Monday, December 26, 2011

Resensi Buku: JEAN SOFIA (3)


Mohon maaf, kalo saya paling males nulisin sinopsis meski judulnya lagi me-review, untuk novel ini, satu tagline ini rasanya cukup untuk menggambarkan keseluruhan isi cerita : kisah cinta beda agama dengan segala lika-liku dan perjuangan pahit-manisnya.

Mohon maaf juga, kalau kali ini saya nggak menyinggung soal unsur intrinsik dari fiksi yang biasanya jadi bahan obrolan dalam review, karena untuk penulis sekelas Leyla Hana, saya yakin rata-rata unsur ini telah terpenuhi dengan baik, dan apa yang terpenting adalah bagaimana karya yang dihasilkan menarik bagi pembaca.


Kesimpulannya, review saya memang tolok ukurnya kata hati, juga apa yang paling mendominasi rasa dan pemikiran saat usai membaca, jadi nggak bisa dijadiin standar review yang baik, hehe...

Kenapa judul review-nya kok ini? karena....ada beberapa hal yang harus saya akui, sedikit melenceng dari ekspektasi yang saya bangun dari awal.

Melihat cover dan sinopsisnya, awalnya saya mengira ini adalah novel rumah tangga dengan penuturan yang ‘dewasa’ dan mengungkap hal2 yang serba dalam, ternyata oh ternyata, ini novel khas Leyla Hana banget, mengalir lincah, manis, crunchy, tak ubahnya karya2nya sebelumnya, sehingga boleh dibilang penulis satu ini emang pas banget untuk karya di genre teenlit dan chicklit. Saatnya saya untuk berdamai dengan ekspektasi pertama yang melenceng, karena satu hal yang saya senangi, meski gaya tuturnya chicklit, tapi ini adalah chicklit yang membumi, nggak bertabur kosakata benda2 branded name atau menyajikan kehidupan yang serba di awang2, membumi deh istilahnya, dan juga, sarat muatan islami.

Kita langsung bergerak ke isi cerita. Hingga hampir separuh isi novel saya baca, benak saya terus dibayangi penasaran, kenapa sih kedua tokoh ceritanya bisa jatuh cinta begitu dalam, hanya didasari faktor ketertarikan fisik semata? Nyatanya memang saya nggak menemukan ada sebab lain, selain ya, pada ketertarikan fisik itu. Jean yang digambarkan tampan, cerdas, dll, dan Sofia yang cantik, berjilbab dan ini menjadi faktor yang saling menarik keduanya. Memang sih pepatah dari mata turun ke hati belum lagi usang, sayangnya saya terlanjur nghayal duluan kalo ada sesuatuu aja yang bikin salah satu tokohnya jatuh cinta selain soal fisik, mungkin dari tindak-tanduk, perilaku yang mengundang simpati, atau Jean pernah nolongin Sofia, atau apa gitu, bahkan sampai lulus kuliah pun kedua tokoh ini nggak pernah saling ngobrol (saya punya pengalaman pribadi yang mirip ini loh, tapi sepertinya ini bukan note yang tepat untuk curhat, hihi)....sekali lagi saya mengibarkan bendera damai, however, ini adalah fiksi islami, sudah seharusnya saya nggak berharap ada interaksi yang memadai antara kedua tokoh yang berlawanan jenis dalam kondisi keduanya belum menikah, untungnya, penulis berhasil menyelamatkan ‘kekeringan’ ini dengan menuturkan romantisme antara kedua pasangan pada saat mereka udah married.

Lalu, saya menemukan ada lompatan yang besar setelah kedua tokohnya lulus kuliah, cerita lalu bergerak ke masa tujuh tahun setelahnya. Dikisahkan Jean telah menjadi mualaf dan pengusaha sukses. Sekali lagi, saya telanjur berharap bahwa ada cerita yang lebih detail dan inspiratif tentang proses jean yang berpindah keyakinan, tapi sampai selesai novel saya baca, saya hanya berhasil menemukan bahwa proses ini didasari hidayah yang berawal dari ketertarikan Jean pada sosok Sofia (jadi mengingatkan saya juga pada proses beralih keyakinannya tokoh Aanon dalam novel Xie Xie ni De Ai-nya Mells Shaliha). Padahal, kalo melihat latar belakang Jean yang berasal dari keluarga katholik, meski digambarkan mereka bukan pemeluk yang taat, sepanjang pengetahuan saya yang juga pernah sekantor dengan mereka yang beragama katholik dan protestan, mereka yang katholik lebih saklek dan sulit untuk berpindah aqidah ketimbang mereka yang protestan. Lagi dan lagi, saya pada akhirnya berdamai dengan ekspektasi saya, karena kalo sudah hidayah yang jadi alasan, what should we ask more?

Terhadap sosok Jean sendiri, dimata saya, metamorfosanya dari seorang pengusaha kaya raya, lalu menjadi pengawas mini market, ‘turun’ lagi jadi petani demi kecintaannya pada Sofia juga demi mempertahankan aqidahnya adalah suatu penggambaran yang cukup....luar biasa. Yup, rasanya, di jaman yang udah kian tak menentu sekarang ini, sosok seperti Jean barangkali hanya akan kita temukan dalam bilangan yang sangat langka. Kalaupun digambarkan akan ketidakberaniannya mengungkapkan keislamannya didepan keluarga juga sempat sejenak meninggalkan Sofia, itu masih dalam batas yang wajar dan belum mampu menggeser stigma mr. nice guy seorang Jean dimata saya. Berdamai lagi? Yup. Mengingat diluar sana, ada banyak karakter tokoh fiktif didalam novel yang bahkan bikin geleng2 kepala, yang cowok psikopatlah, yang menganggap selingkuh bahkan sampai – maaf- menghasilkan anak diluar nikah hanya kekhilafan semata, atau yang mengalami disorientasi seksual, dan masih banyak lagi yang tak kalah aneh, jadi, kalau ke’aneh’an itu justru mengarah pada karakter yang serba baik, ini justru mengandung nilai positif, bukan?

Ada yang heran kali ya? dari tadi kok ngibar bendera damai terus sih? Ini bukan faktor subjektifitas belaka kok, walau penulisnya saya kenal dan sering berinteraksi di fesbuk, namun satu hal yang ingin sepenuhnya saya dukung disini adalah tentang bagaimana penulis mampu merefleksikan pesan2 moral dan kebaikan yang rahmatal lil alamin dalam tutur yang mengalir manis, tidak menggurui juga mengemasnya dalam sebuah karya fiksi yang cukup panjang. Jujur, saya sendiri terkadang berpikir, kapan ya, saya bisa dan mau untuk menulis novel dengan muatan islami yang lebih kental dan dominan, secara saya kerap didera kekhawatiran untuk menuliskan sesuatu yang lebih islami dari perilaku, tindak tanduk dan perkataan saya sendiri. Apalagi, saya juga tidak memiliki preferensi pengalaman religi yang cukup banyak, saya nggak pernah mondok, selain hanya sekadar pernah mengikuti pesantren kilat, saya nggak pernah terlibat rohis, karena kuliah pun di PT yang mahasiswanya sebagian besar karyawan, bahkan diantara 4 kakak beradik yang semuanya wanita, saya yang terakhir mengenakan jilbab :D (pengakuan dosa.com)

Overall, dengan semua nilai kebaikan yang terangkum didalam Jean dan Sofia, mulai dari bagaimana menjaga kesucian hati dan pandangan terhadap lawan jenis, arti keikhlasan (disini juga ada sekilas kisah ttg poligami), perjuangan mempertahankan aqidah dan cinta, rasanya saya nggak ragu angkat dua jempol untuk novel ini, dan tentu aja, ...... sesaat berdamai dengan ekspektasi dan juga logika.

Judul : Jean Sofia
Penerbit : Diva Press
Tahun terbit : 2011
Penulis : Leyla Hana

Peresensi: Riawani Elyta
http://www.facebook.com/notes/riawani-elyta/review-jean-sofia-saatnya-berdamai-dengan-ekspektasi/10150432748492260

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...