Monday, May 28, 2012

Curahan Hati: Bahagianya Menjadi Ibu

Tiba-tiba saja saya mendapatkan ide untuk menuliskan ini, ketika tadi anak pertama saya, Ismail, bertanya, “bayinya juga makan, ya, Ma? Biar cepet gede? Biar cepet keluar?”



Saya memang sedang makan malam, ketika Ismail bertanya hal itu. Ia tahu di dalam perut mamanya sedang ada bayi, calon adiknya yang kedua, calon anak ketiga saya. Kami sudah sering memperkenalkan calon anak ketiga ini kepada kakak-kakaknya, yang baru berumur 4 dan 3 tahun. Mereka cepat mengerti, bahwa sebentar lagi mereka akan punya dede bayi. Terlebih setelah melihat bayi-bayi yang belakangan kami jenguk. Seperti itulah bayi… badannya kecil… kakinya kecil…. Kedua anak saya sangat tertarik melihat bayi. Mereka senang mengetahui mamanya juga akan melahirkan bayi. Mereka sering menciumi perut saya dan menyapa calon adik mereka.

Saya jadi tertarik ingin tahu bagaimana perasaan Ismail dan Sidiq ketika adik bayinya telah lahir. Betapa tertariknya mereka ketika melihat wujud calon adiknya di layar USG.

“Kakak, liat itu dede bayinya….” tunjuk Sidiq, seru, ke layar USG. Baru melihat di layar USG saja, bahagianya tak terkira, apalagi kalau adiknya sudah lahir.
Padahal, sejujurnya, tadinya saya kurang siap untuk hamil lagi ketika Ismail dan Sidiq masih kecil. Belum siap, tapi tak

ada usaha untuk mencegahnya, hehehe…. Sama saja sebenarnya saya siap, hanya masih banyak pertimbangan. Saya mengurus anak-anak tanpa ada yang membantu. Sesekali suami membantu, kalau hari libur. Pekerjaan suami saya padat, pergi jam 7 pagi, pulang jam 9 malam. Sering kali kalau suami pulang, anak-anak sudah tidur. Tak terbayangkan bagaimana mengurus anak-anak yang semuanya masih harus dibantu ibunya, bila ditambah dengan kehadiran seorang bayi. Tapi, bismillah, yakin pasti bisa, karena Allah tak membebani seseorang di luar kemampuannya.

Lalu, saya teringat ucapan Irsyad Manji, tokoh feminis yang lesbian, yang tidak mau melahirkan anak. Argumentasinya, melahirkan itu bisa apa saja, tak perlu anak. Bisa buku, pemikiran, karya, dan sebagainya. Entahlah, apa alasan Irsyad berkata demikian, menyalahi kodratnya sebagai seorang wanita yang diberikan karunia sebuah rahim, tempat yang kokoh untuk mengandung bayi. Mungkin dia punya pengalaman traumatis mengenai kelahiran. Seperti seorang wanita yang saya kenal, yang memutuskan untuk tidak akan pernah mengandung dan melahirkan bayi, meskipun bersuami, karena trauma melihat persalinan kakaknya.

Irsyad Manji memilih jalan menjadi lesbian, sebagai perwujudan seorang feminis total, yang tidak mau menikah dengan laki-laki, karena menerima laki-laki sama saja berada di bahwa kekangan laki-laki. Feminis yang benar-benar tak mau melibatkan laki-laki dalam hidupnya. Ada juga setengah feminis, yang tetap menjalin hubungan dengan laki-laki, tapi tidak mau menikah, alias kumpul kebo. Dan tentu saja juga tidak mau punya anak, dengan menggunakan berbagai alat kontrasepsi penghambat kehamilan. Sebenarnya, pilihan mereka untuk tidak mempunyai bayi, mengandungnya di dalam rahim sendiri, adalah karena mereka tidak tahu betapa menakjubkannya proses mengandung dan melahirkan bayi. Sungguh, sangat menakjubkan.

Sejujurnya, dulu ketika remaja, saya juga punya ketakutan yang sama terhadap proses melahirkan anak. Almarhumah mama saya sering bercerita mengenai proses kelahiran saya yang sulit. Seminggu menahan sakit, tapi bayinya tak keluar-keluar. Saya membayangkan sebuah proses yang sangat menyakitkan. Pernah juga saya protes, mengapa seorang wanita harus selalu merasakan sakit? Sakit saat haid, pengalaman berhubungan seks pertama kali, dan saat melahirkan.

Alhamdulillah, kalau haid, rasanya hanya dua kali saya merasakan sakit, entah kenapa. Selanjutnya, proses datang bulan yang saya rasakan, biasa-biasa saja. Proses melahirkan itulah yang nyata-nyata memang amat menyakitkan. Saya bahkan pernah berucap, ketika sedang melahirkan Ismail, bahwa saya tidak akan melahirkan lagi. Nyatanya, hanya tiga bulan setelah Ismail lahir, saya mengandung lagi. Hmmmm….. Mau tahu kenapa?

Proses kehamilan Ismail, awalnya memang menyiksa. Ngidam yang saya rasakan terasa berat. Pusing kepala, tidak nafsu makan, anemia, mual, dan muntah. Berat badan saya justru turun, di mana seharusnya ibu hamil mengalami kenaikan berat badan. Saya sempat kesal dan terpikir seandainya tidak hamil. Saya tidak bisa menikmati hidup. Kehamilan benar-benar tidak enak.

Namun, ketika usia kandungan sudah lima bulan, saya merasakan ikatan batin dengan anak saya, melalui tendangan-tendangan yang dia berikan di perut saya. Saya mulai merasakan kehadirannya yang nyata. Terutama bila saya letakkan telapak tangan saya di atas perut, calon bayi yang kemudian diberi nama Ismail itu, akan bergerak-gerak. Subhanallah… tak dapat dikatakan betapa senangnya saya. Sering sekali saya mengajak Ismail berkomunikasi. Saya senang bila dia menendang-nendang. Kalau diperdengarkan murottal, dia pun bergerak-gerak.

Melihat wujudnya di layar USG, membuat saya tak sabar menanti kelahirannya. Antusiasme begitu tinggi menyambut kelahirannya. Membeli pakaian dan keperluan bayi, benar-benar sensasi yang luar biasa. Bahkan sampai mengandung anak ketiga pun, saya masih antusias berburu keperluan bayi, sebagai tanda bahwa saya menyambut kehadirannya dengan sukacita.

Dan melahirkan, memang sangat menyakitkan. Pengorbanan yang luar biasa dari seorang ibu untuk anak-anaknya. Baik kelahiran Ismail, maupun Sidiq, tak ada yang enak. Semuanya sakit. Kelahiran normal, maupun ceasar, semuanya sakit. Memang, jika operasi ceasar sebelum ada kontraksi, ibu tak akan merasakan sakit. Tapi, setelah obat biusnya hilang, katanya akan terasa sakit luar biasa. Alhamdulillah, proses kelahiran keduanya normal, dan sakit.

Tentu jadinya wajar apabila proses melahirkan adalah jihadnya seorang wanita. Surga itu tidak murah. Surga itu mahal. Butuh pengorbanan harta, darah, dan airmata. Dan seorang ibu yang sedang melahirkan, sesungguhnya sedang membeli surga. Apabila ibu meninggal saat melahirkan, insya Allah surga telah menunggunya. Sebagaimana prajurit yang tewas di medan perang.

Ketika Ismail lahir, rasa sakit seakan menghilang. Ya, itu benar. Saya tak sabar melihat wajahnya. Wajah bayi adalah penyembuh luka fisik saya. Bahkan, ketika sudah bisa bangun dari tempat tidur dan menggendong bayi, saya gendong terus Ismail dan saya ciumi wajahnya, sampai-sampai bidan memperingatkan agar bayinya jangan digendong terus, nanti jadi “bau tangan.” Suami saya pun cemburu dan melarang saya untuk terus-menerus mencium bayi kami. Tetapi, kecintaan saya kepada si bayi, benar-benar tak tertahankan. Betapa saya ingin terus hidup agar bisa membesarkannya.
Begitu juga ketika adiknya lahir. Keajaiban yang sama terulang. Sering kali kita berpikir negatif terhadap para ibu yang dikaruniai banyak anak. Ketika ada seorang ibu yang sedang mengandung anak kelima, kita berpikir bahwa dia tak bahagia menyambut kelahiran bayinya. Bahwa dia merasa kerepotan mengasuh anak-anaknya.

Namun, saya melihat, sesungguhnya semua ibu memiliki kecintaan terhadap anak-anaknya. Saya lihat wajah teman saya yang baru melahirkan anak kelima. Ketika sedang hamil atau mengetahui sedang hamil lagi, tercetus dari bibirnya. “duh… repot nih bakal punya bayi lagi….” Namun, ketika bayinya sudah lahir, ibu itu sukacita merentangkan kedua tangannya, untuk menjaga bayinya dari kemalangan. Rela berpayah-payah demi kelangsungan hidup sang bayi. Sesekali marah ketika sedang capai adalah manusiawi, tetapi kecintaan ibu terhadap anak-anaknya melebihi orang lain, termasuk sang bapak. Cinta ibu terhadap anaknya lebih besar daripada cinta bapak terhadap anaknya.

Sehingga wajarlah bila di dalam Islam, pengasuhan bayi dan balita, lebih tepat berada di tangan ibunya. Anak-anak baru diperbolehkan memilih ikut ibu atau bapaknya, ketika telah memiliki kehendak. Maka, wajarlah bila anak-anak harus menghormati ibunya, tiga kali lebih banyak daripada bapaknya. Begitu tinggi penghargaan Allah terhadap profesi seorang ibu,

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...