Wednesday, August 7, 2013

Tukang Bakso Tetap Laris di Siang Hari Bulan Ramadan

Sekarang saya sudah ada di Garut. Mudik, ceritanya. Tadi siang jalan-jalan ke Kota Garut, nganterin suami cukur rambut dan ibu mertua yang mau benerin celana panjangnya di tukang jahit. Baru sampai, anak-anak sudah minta makan (karena memang belum makan siang). Anak-anak belum saya suruh puasa, karena usianya baru 5 dan 4 tahun. Masuklah saya ke warung bakso yang tertutup. Maklum, namanya juga bulan Ramadan, biasa kan warung-warung tuh pakai penutup gitu, biar dianggap menghormati orang yang berpuasa. Tapi, alangkah terkejutnya saya pas masuk ke dalam warung, penuuuh boooo.....


Saya pun balik badan, maksudnya mau nyari warung bakso yang lain (karena anak-anak minta makan bakso). Saat itu sudah jam 3 sore. Ternyata di sekitar situ gak ada lagi warung bakso. Jadi saya balik lagi ke situ, siapa tau masih ada meja yang kosong buat anak-anak. Ternyata ada dan memang hanya untuk anak-anak. Jadi, saya nunggu di dekat kasir saja selagi anak-anak makan. Memandangi orang-orang dewasa yang sedang makan di dalam warung dengan lahapnya. Tak hanya ibu-ibu dan anak-anak, bapak-bapak pun ada! Yap, bapak-bapak makan bakso dengan lahapnya di siang hari bulan Ramadan. 

Mungkin mereka bukan muslim? Tidak. Ada satu keluarga yang sedang makan, ibunya memakai jilbab dan bapaknya lahap saja memakan bakso yang dilanjutkan dengan merokok. Anaknya sudah remaja. Jadi mereka bermaksiat sama-sama ya? Kalau ibu-ibu, kita boleh berprasangka baik, barangkali sedang datang bulan. Bapak-bapak? Tak lama berselang, tukang bakso mengumumkan bahwa bakso mereka sudah HABIS! Itu baru jam 3 sore. Buka puasa saja belum kok baksonya sudah habis ya? Aneh betul. Apakah di Garut ini banyak nonmuslimnya?

Pemandangan itu sekali lagi mengingatkan saya pada kejadian di warung makan depan Masjid Istiqlal. Sudah bertahun-tahun lalu, ketika saya mengantarkan surat lamaran pekerjaan ke Sekretariat Negara diantar oleh orang tua, di siang hari bulan ramadan. Kami menghapus haus dan lelah dengan membasuh wajah memakai air wudhu, salat, dan melanjutkan  perjalanan lagi melewati warung makan yang penuh sesak oleh karyawan PRIA yang sedang makan di siang hari bulan ramadan.

Entahlah. Kok jadi saya yang merasa sakit hati? Lah wong mereka yang gak puasa, biar saja tho mereka yang dosa? Apa yang ada di dalam hati mereka ketika dengan ringannya menyepelekan perintah Allah? Bagaimana dengan anak-anak mereka bila orang tuanya saja tidak berpuasa? Bagaimana kelanjutan generasi mereka kelak? Kalau sudah begitu, saya jadi bersyukur dilahirkan oleh orang tua yang taat kepada perintah agama. Saya mulai diajarkan berpuasa di usia 6 tahun, sudah merasakan beratnya berpuasa, sampai mencuri-curi menjilat cokelat tetapi terus teringat perintah ibunda, "kalau puasa, jangan makan yaa... nanti dosa." 

Dua hari sebelumnya, menjelang azan berbuka, di sebuah restoran fast food, saya melihat kejadian sebaliknya Seorang anak yang usianya lebih besar dari anak saya, memandangi anak saya yang sedang makan. Lalu, ayahnya berkata, "kalau kamu jangan makan dulu ya, nanti  setelah azan Magrib." Saya jadi merasa tak enak hati, sama tak enak hatinya ketika ingin makan di siang hari bulan ramadan (sedang tak puasa karena datang bulan) dan akhirnya menunda makan sampai bedug Magrib demi menghormati orang yang sedang berpuasa. Akibatnya, perut saya sakit dan badan menggigil, lah wong gak niat puasa dan sedang sakit pula. Sebuah kontradiksi dengan orang-orang yang begitu ringannya makan di siang hari bulan ramadan, padahal tak ada halangan yang memberatkan kecuali nafsu yang tak bisa dikendalikan. 

Semoga Allah mengampuni dan memberikan mereka hidayah.

1 comment:

  1. saya sering mendapati hal seperti ini,Mbak...miris rasanya...

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...