Wednesday, August 10, 2011

Info Lomba: Cerpen Pemuda


Tema :
“Ketika Pemuda Membangun Masyarakatnya”

Info Penerbit: Salsabila Pustaka Al Kautsar


Bila Anda Penulis yang mengerti kebutuhan para pembaca buku di Indonesia, kami ajak Anda untuk mengirimkan naskah terbaik Anda dengan tema berikut:

I. Naskah umum dan remaja
• Novel
• Kisah Nyata Inspiratif (Memoar)
• Pendidikan Anak (Parenting)
• Islami Populer
• Kisah-kisah unik (konyol) dunia mahasiswa, pelajar, karyawan, profesional (guru, dokter, wartawan, dll)
• Motivasi
• Metode belajar dan pendidikan
• Pengembangan diri
• Kesehatan
• Manajemen Diri
• Traveling
Tips & Keterampilan (bisnis, internet, craft, hobi, life skill)

II. Buku Anak Islam
• Aqidah
• Akhlaq
• Ibadah
• Hadits
• Sirah (sejarah)
• Kisah Tokoh Muslim
• dll

III. Novel
• Petualangan
• Sains & Pengetahuan
• Misteri/ Detektif

IV. Buku Anak & Umum
• Keterampilan & Kreativitas (membaca, menulis, berhitung, mewarnai, menggambar, craft, origami, dll)
• Metode belajar
• Permainan Anak
• Sains, Pengetahuan dan Penemuan
• Fabel
• Dongeng

Sertakan sinopsis (uraian singkat isi naskah), segmentasi, selling point, analisa pasar, dan biografi ringkas penulis.

Kirimkan naskah Anda melalui alamat berikut:

SALSABILA (PUSTAKA AL-KAUTSAR GROUP)
Jl. Cipinang Mura Raya No. 63, Jakarta Timur13420
E-mail: naskah.alkautsar@gmail.com



Novelku yang diterbitkan oleh Salsabila, Segera Terbit....

Dilema penemuan jodoh bagi lajang kota, memang menjadi bahan obrolan yang nggak ada habisnya. Temukan salah satu penuturan apiknya di novel ini. Lincah, lugas mengalir, namun tetap sarat pencerahan. (Riawani Elyta, Penulis Novel Hati Memilih)


Novel Syndrome Cinderella dengan 3 tokoh yang memiliki karakter dan aktivitas yang berbeda, tapi memiliki satu benang merah yang sama. Dilema terhadap Pernikahan. Penulis meramu kisah dengan sangat apik, sehingga, saya sebagai pembaca tak sabar untuk melihat ending dari akhir cerita ke 3 tokoh tersebut. Haha, sempat merasa bahwa Violet-salah satu tokoh di novel ini adalah cerminan dari diri saya sendiri. Dan bisa jadi tokoh yang lainnya adalah cerminan dari kisah hidup seorang wanita termasuk Anda. Chiklit yang sangat menarik, karena menyadarkan pembaca, untuk tak terjebak dalam syndrome cinderella. Karena kita memang bukan Cinderella. (Tri Lego Indah F N-Mahasiswi penyuka novel chicklit)


Banyak faktor memang yang harus dipersiapkan menuju sebuah pernikahan. Bukan karena usia, omongan orang lain, atau alasan apa pun, tapi karena memang kita sudah siap bertanggung jawab dan berkomitmen pada sebuah keputusan untuk seumur hidup. Yang paling Irni suka dari novel ini adalah quotes Latifa: “Aku harus tetap bersama dengan suamiku, sesusah apa pun, karena itu sudah menjadi pilihanku.” InsyaAllah banyak hikmah yang bisa Irni ambil dari kisah ini. Meskipun fiksi, pada kenyataannya banyak perempuan yang mengalami hal ini. (Irni Fatma Satyawati, Penulis Buku Motivasi Ayo, Kamu Pasti Bisa!)
 

Coming Soon: Novel Jean Sofia









Cinta memang aneh! Ia selalu datang di saat yang tak terduga. Dan, menghampiri siapa pun tanpa melihat usia, golongan, status sosial, latar belakang pendidikan, tempat tinggal, hingga agama seseorang! Termasuk saat ia menimpa dua tokoh utama dalam novel ini: Jean dan Sofia!

Memangnya ada apa dengan kedua anak muda tersebut? 
Inilah masalahnya, Jean adalah seorang non-muslim dan Sofia adalah seorang muslim! Jean sangat tergila-gila sama Sofia dan Sofia pun tak memiliki alasan kuat untuk mengatakan “tidak” kepadanya. 

Sebuah gejolak perasaan yang sama-sama berat untuk diredam. Tapi, sayang, tatkala Jean hendak menyatakan cintanya, Sofia berubah. Dia justru menjauh darinya. Jean pun merasa tersakiti karena sikap tersebut. Ia lalu berusaha melupakan Sofia sebagaimana Sofia yang telah berusaha melupakannya. Namun, ternyata rasa cinta tak dapat dilenyapkan hingga bertahun-tahun lamanya.

Lantas, apa yang terjadi kemudian? 
Tentu saja sebuah cerita seru, di luar dugaan, dan menarik bakal Anda hadapi. Dengan gaya yang cerdas dan penuh tuturan lembut, novel ini sangat layak untuk Anda simak dan renungkan!
Ada banyak nilai spiritual yang terselubung dalam cerita ini!

Sekalipun aku sudah siap menikah, sanggupkah aku menepis bayangan Jean dan mengalihkan cintaku kepada suamiku? Bagaimana jika tidak bisa? Tentu aku akan jadi sangat berdosa kepada suamiku karena telah menduakannya di dalam hati. Aku menikah dengan lelaki lain, tapi pikiranku masih terpaku kepada Jean.


Penerbit: Laksana, DIVA PRESS
Harga: Belum diketahui
Insya Allah bisa didapatkan di toko-toko buku Gramedia, Toga Mas, dll. 

Novel: Cinta Buat Chira (13)


13

Tak terasa dua hari berlalu. Sudah banyak ilmu agama yang telah didapatkan para peserta. Bukan hanya ilmu, tapi mereka juga telah bersama-sama merasakan kedekatan sebagai saudara satu iman. Malam ini sebagai malam terakhir akan digunakan untuk kajian bareng dan pentas seni. Karena hanya kaum ikhwan yang menyajikan nasyid, maka kaum akhwatnya bisa bersantai-santai tanpa perlu latihan.
“Eh, Ra. Elu kenapa, Ra?” tanya Putty melihat wajah Cira yang pucat. Cira menggeleng lemah.
“Nggak tau, nih.  Kepala gue pusing banget.” Cira memijit-mijit keningnya.
“Hem…pasti lu kekurangan deh.”
“Kurang apa?”
“Kurang makan! Elu kan harusnya makan segentong, tapi di sini cuma dua kali sehari.” Cibir Putty. Cira manyun mendengarnya.
“Ah…Putty. Elu tega banget, sih. Tapi…emang bener sih. Mana di sini nggak ada tukang jualan lagi. Gue nggak bisa ngemil.” Cetusnya. Putty tertawa mendengarnya.
“Terus gimana, Ra? Elu nggak bisa ikut pentas seni?”
“Aduh…nggak tau. Padahal gue pengen banget, nih. Tapi…rasanya gue pengen tiduran aja.” Cira menggigil.
“Wah, gawat. Kalo gitu elu bener-bener nggak bisa ikut. Mana udara malam ini juga dingin banget. Ya udah deh. Lu istirahat aja.” Putty menyelimuti Cira.
“Terus…elu?”
“Ya…gue mau nonton pentas seni. Siapa tahu kak Adrian manggung?” Putty tersenyum. Kening Cira berkerut.
“Kak Adrian?” tanyanya, bingung.
“Gue rasa udah saatnya lu tau, Ra. Sebenarnya gue tuh udah lama naksir kak Adrian.” Putty mengerjapkan mata. Cira bengong mendengarnya.
“Ah, lu nggak usah bengong gitu deh. Wajar aja kan kalau kak Adrian banyak yang naksir? Tapi…gue nggak langsung bergerak. Gue tunggu waktu yang tepat dulu. Gue ngadaian penyelidikan dulu.” Lanjut Putty.
“Jadi…itu yang bikin elu rajin ke musholla, ikut Rohis, pakai jilbab….” Cira geleng-geleng kepala.
“Ye! Ya nggak gitu, lah. Gue emang udah dari SMP rajin sholat. Enak aja!  Justru karena gue rajin ke musholla itu gue jadi sering ketemu kak Adrian dan jadi naksir. Eh, di tengah-tengah, tiga Ratu Gosip bikin masalah. Mereka malah nyomblangin gue sama Doni. Sebel! Padahal Doni itu kan cuma akal-akalan gue aja. Gue nggak beneran naksir!” urai Putty membuat Cira semakin melongo.
“Ya ampun, Put. Jadi selama ini elu udah nyembunyiin banyak hal sama gue?”
“Nggak banyak kok. Cuma satu. Lagian kan meskipun kita bersahabat, nggak semua rahasia gue musti elu ketahui. Iya, kan? Gue cuma nggak mau kak Adrian tahu sebelum waktunya.”
“Maksud lu apa?”
“Nanti kalau saatnya tepat, gue akan mengatakan perasaan gue sama kak Adrian.” Kata Putty mantap. Cira melotot mendengarnya.
“Elu…serius…Put?” tanyanya tak percaya. Putty mengangguk mantap.
“Yup! Gue kan udah pake jilbab dan udah ikut Rohis, masa’ sih dia masih nolak gue. Gue tahu dulu-dulu itu dia nolak para cewek karena mereka nggak berjilbab, nggak ikut Rohis.” Kata Putty, yakin. Cira hanya manggut-manggut mendengarnya.
“Nah elu juga mestinya gitu, Ra. Kalau gue udah berhasil nembak kak Adrian, elu musti ikutan. Biar kita sama-sama punya pacar.” Lanjut Putty. Cira melongo lagi mendengarnya.
“Gu…e…?”
“Ya…siapa lagi? Ah, udah, ah. Sekarang gue mau nonton pentas seni dulu. Lu istirahat aja, Ra.”
“Yah…jangan, Put….” Cira menarik lengan Putty.
“Jangan gimana, sih?”
“Masa’ elu nggak nemenin gue, sih? Elu nggak setia.”
“Nemenin elu tidur? Ini bukan masalah setia nggak setia, tapi gue bete ngeliatin elu tidur sementara gue belum bisa tidur.” Putty mencibir. Cira melirik pohon besar di samping jendela.
“Kalau sendirian…gue juga nggak bakalan bisa tidur….” Rengeknya. Putty menghela napas.
“Hei, ngapain sih elu takut. Kita udah tiga hari di sini dan sekarang malam terakhir. Nggak ada apa-apa, kan?”
“Ya…Put. Jangan….”
“Ah, udah, ah. Lepasin tangan gue!” Putty menepis pegangan tangan Cira. Tiba-tiba saja Naila masuk ke kamar.
Assalamu’ alaikum. Afwan ya, Dek. Nyelonong aja. Pintunya terbuka.” Katanya, tersenyum.
“Nggak pa-pa, Kak. Masuk aja.” Putty membalas senyum itu.
“Kok kalian masih di sini? Acaranya sudah mau mulai, lho. Cira? Kamu nggak pa-pa?” tanya Naila melihat Cira yang terbaring lemah.
“Iya, nih, Kak. Cira sakit kepala. Nggak bisa bangun katanya.” Putty cemberut menatap Cira.
“Oh...masya Allah. Ya udah, Ra. Kamu nggak  usah keluar kamar. Tiduran aja di sini.”  Naila membelai kepala Cira.
“Masalahnya, Kak, Cira itu penakut.” Cibir Putty. Naila tersenyum.
“Oh….”
“Kok cuma ‘oh’? Gimana, Mbak? Putty kan juga pengen liat acaranya. Masa’ Putty mesti nungguin Cira?” Putty merengut. Cira juga merengut. Dasar Putty bener-bener nggak setia!
“Yah, nggak pa-pa. Kalau Putty mau nonton acaranya ya nggak pa-pa.” Naila mengangguk.
“Ya? Terus Cira gimana, Mbak?” Cira cemberut.
“Ya, Cira tetap di sini.” Naila tersenyum. Cira melotot.
“Yah, Mbak Naila jahat!” rengeknya.
“Eh, Cira, tenang dulu. Maksudnya, kamu tetap di sini dengan Lina. Lina kan sedang sakit juga. Dia di kamar Mbak sekarang. Terserah kamu, mau kamu yang ke kamar Mbak, atau Lina yang ke sini.” Jelas Naila. Cira menghela napas lega.
“Oh…jadi gitu. Ya udah, deh. Cira aja yang ke sana. Biar sekalian.” Cira bangkit dari tidurnya.
“Sini Mbak bantuin, Ra!” Naila membantu Cira berdiri.
“Nggak usah kok., Mbak. Nggak pa-pa.” Cira menggeleng, tapi Naila dan Putty tetap menolongnya sampai ke kamar sebelah tempat Lina berada.
“Makasih ya, Mbak. Akhirnya Cira bisa tidur tenang di sini.” Cira menghela napas lega. Di sampingnya Lina hanya tersenyum melihatnya. Putty mencibir.
“Ra, sorry, ya. Gue musti ninggalin elu. Sayang banget nih elu nggak bisa ikutan.” Katanya. Cira pura-pura tak mendengar.
“Sudah ya, Putty. Selamat menikmati malam ini.” Katanya sambil menutup tubuhnya dengan selimut. Putty pun pergi bersama Naila meninggalkan Cira dan Lina.
“Eh, Lina, kamu sakit apa?” tanya Cira sambil menatap wajah Lina yang  pucat., Lina tersenyum.
“Asmaku mendadak kambuh. Tapi nggak pa-pa, kok. Aku udah baekan,. Cuma aja aku nggak boleh kena udara dingin.”
“Oh…gitu. Eh, nggak enak ya, sakit. Aku sebenarnya pengen banget liat pentas seni.” Keluh Cira.
“Sudahlah. Semua ada hikmahnya. Kalau kita tetap ke sana nanti kita ngerepotin orang.”
“Iya, deh. Kita tidur yuk, Lin.” Cira mulai memejamkan mata.
“Eh, Ra, mendingan kita sholat Isya dulu.” Lina menggoyangkan tubuh Cira.
“Ntar aja deh. Kan baru adzan.” Cira menjawab malas.
“Eh, Ra. Kan lebih baik kita langsung sholat habis adzan. Nanti kan tidur kita lebih tenang. Kalau sholatnya malam-malam, apa kamu berani ke kamar mandi sendirian? Soalnya aku mau sholat sekarang, lho.” Kata Lina. Cira langsung bangkit dari tidurnya.
“Ya…Lina! Lu nggak toleransi banget, sih?” rengeknya.
“Ini bukan soal toleransi atau enggak, tapi gue emang pengen sholat sekarang. Kita kan nggak tahu sampai di mana umur kita. Gimana kalau nanti kita nggak bisa bangun lagi padahal kita belum sholat Isya?”
“LINA! Kamu jangan nakut-nakutin gitu, dong! Ya udah, deh. Kita sholat sekarang!” Cira turun dari tempat tidur. Lina tersenyum.
“Nanti kan kalau udah sholat, tidurnya jadi tenang.”
“Iya, iya! Ayo kita ke kamar mandi!” seru Cira sambil menuju ke pintu yang ada di dalam kamar itu. Ia terkejut karena ternyata pintu itu tidak langsung menuju kamar mandi, tapi menuju lorong yang gelap dan sempit.
“Di kamar ini memang ada banyak kamar mandi. Tinggal masuk aja ke lorong itu, ntar ada banyak kamar mandi. Yuk!” ajak Lina. Cira menggeleng. Melihat lorong panjang itu, ia jadi takut.
“Enggak ah, Lin. Kok gelap, sih. Aku takut.”
“Nggak usah takut. Lampu lorongnya memang mati, tapi lampu kamar mandinya enggak, kok. Yuk! Kan bareng aku ini.” Lina tersenyum. Meski takut, akhirnya Cira ikut juga.
“Eh, kamar mandinya yang hadap-hadapan, ya.” Pinta Cira.
“Iya.”
“Kamu harus tungguin aku, lho. Kalau mau balik, bilang.”
“Iya.” Lina geleng-geleng kepala.
“Udah, Lin. Kamar mandi yang ini aja.” Kata Cira. Lina mengangguk. Mereka berbarengan masuk ke kamar mandi yang berbeda tapi berhadap-hadapan.
Lina membasuh wajahnya yang basah oleh air wudhu. Ia melihat kamar mandi Cira masih tertutup. Ternyata Cira belum selesai juga.
“Lin! Elu masih di situ, kan?” tanya Cira dari kamar mandi.
“Iya!” jawab Lina. Cira menghela napas lega. Lina geleng-geleng kepala. Ternyata Cira lama juga di kamar mandi.
“Lin! Elu masih di situ, kan?” tanya Cira lagi.
“Iya!”
Cira menghela napas lega. Ia tahu ia memang agak lama di kamar mandi. Maklum, ternyata perutnya sakit.
“Lin! Elu masih di situ, kan?” tanyanya lagi.
“Iya!”
Cira tersenyum. Akhirnya selesai juga. Setelah berwudhu, ia pun segera keluar dari kamar mandi. Ia juga nggak enak lama-lama di kamar mandi. Cira melotot melihat kamar mandi Lina yang telah kosong sedang Linanya sudah tak ada. Tanpa basa-basi lagi, Cira langsung meninggalkan lorong sempit itu kembali ke kamar.
“LINA!!!!”
“Cira! Kenapa sih kamu?” tanya Lina yang baru selesai sholat. Cira melotot melihatnya.
“Lina…elu….”
“Maaf, ya. Gue sholat duluan, habis elu lama sih.”
“Terus, tadi elu nungguin gue di kamar mandi?” tanya Cira, gugup.
“Iya, tapi cuma sebentar. Gue takut batal.” Jawab Lina sambil melipat mukenanya. Wajah Cira makin pucat.
“Lu denger nggak pas gue nanya lu masih di situ apa enggak?” tanyanya lagi.
“Iya. Habis elu nanyain itu, gue masih nungguin elu, tapi karena elu lama, gue pergi aja.”
“Gue kan nanyanya tiga kali, elu jawab berapa kali?” tanya Cira, lagi.
“Sekali, habis itu gue pergi. Emang kenapa sih, Ra? Lu kayak ketakutan.” Tanya Lina. Wajah Cira makin pucat.
“Gue…gue denger suara elu, Lin. Lu jawab pertanyaan gue terus, kok. Gue kan nanyanya sampai tiga kali. Terus…yang dua itu siapa yang jawab?” tanyanya, gugup. Wajah Lina langsung pucat juga.
“Nah, lho, Ra….”
AAAGH!!!!
“Udah! Udah, Ra! Tenang! Tenang! Nggak pa-pa, kok. Nggak ada apa-apa!” Lina menepuk-nepuk bahu Cira.
“Tapi jelas banget, Lin. Jelas banget gue denger suara elu jawab pertanyaan gue….”
“Ya udah, deh. Nggak usah panik, dulu. Sekarang sholat aja dulu, ya biar hati tenang.” Suruh Lina. Cira mengangguk. Ia pun sholat meskipun tidak khusyuk karena ia terus teringat kejadian tadi.
***
Putty merasa bete juga duduk sendirian di bangku penonton. Penyebabnya ada dua, meskipun Cira boros tempat, tapi kalau nggak ada dia nggak enak juga.  Kedua, ceramah memboringkan ini dari tadi juga nggak selesai-selesai. Mending kalau yang ngasih ceramah Kak Adrian yang super cute, keren, de el el itu. Jadi kan dia nggak bakalan boring. Ngeliatin wajahnya yang keren itu, nggak bakalan boring deh!
Putty merengut. Bawaannya jadi pengen marah kalau begini. Untung sebelum marah, tuh ustadz yang bikin boring (menurut Putty) udah cabut. Putty lega. Sekarang saatnya sambutan dari Ketua Rohis yaitu Adrian!!! Putty menutup mulutnya. Untung nggak ada yang lihat kalau dari tadi dia senyum-senyum sendirian.
“PERGI LUH!!!” sebuah suara yang datang tiba-tiba mengejutkan semua peserta. Seorang peserta akhwat tiba-tiba saja berteriak tak karuan, meraung-raung dan mencakar kanan-kiri. Semua peserta akhwat yang duduk di samping kiri, kanan, depan, belakangnya langsung kabur. Putty yang duduk dua bangku dari akhwat kesurupan itu masih belum tanggap dengan apa yang terjadi. Tahu-tahu saja akhwat kesurupan itu sudah menarik bajunya.
“BRENGSEK LUH! SIALAN! #$%^&*” maki tuh akhwat. Putty hanya bisa bengong. Ekspresi mukanya ada dua: bingung dan takut.
“Eh, kamu kenapa?” tanya Putty, gemetar.
“PERGI LUH! PERGI!!!!”
“Iya! Iya! TOLONG!!!!” jerit Putty.
“Sabar, sabar, Dek!” Akhwat-akhwat senior berdatangan dan menolong Putty dengan menarik peserta yang kesurupan itu. Ustadz yang tadi ceramah langsung mendatangi tempat itu.
“Ayo yang akhwat, pegang jempol kanannya! Yang ikhwan ikut ngaji sini!” perintah tuh Ustadz. Semua yang diperintah langsung bergerak. Putty yang sudah diungsikan masih terbengong-bengong. Ia tak percaya dengan apa yang barusan terjadi.
“Kak…dia kenapa?” tanyanya pada akhwat senior yang menjaganya.
“Dia kesurupan, Dek.” Jawab akhwat senior itu.
“Kesurupan?” Putty nggak mengerti. Ketidak mengertiannya itu terjawab saat si akhwat  yang kesurupan berteriak-teriak lagi.
“WOI LEPASIN GUE! LU-LU NGGAK BAKALAN BISA NGELUARIN GUE DARI SINI! DI SINI ENAK! WEEE!!!” kata tuh akhwat sambil meleletkan lidah. Putty makin bengong melihatnya. Ya Allah! Tuh akhwat kenapa? Makin aneh aja!
“Keluar kau! Jangan ganggu dia! Keluar!!!” seru Pak Ustadz sambil memukul ubun-ubun akhwat yang kesurupan dengan sarung, sementara ikhwan-ikhwan yang lain membaca ayat-ayat pengusir jin. Akhwat itu mengejang lalu tak sadarkan.
“Bawa dia ke kamar! Jinnya sudah keluar, tapi bisa masuk lagi. Tolong dingajikan terus, ya.” Pesan Pak Ustadz. Para akhwat yang diperintah mengangguk. Putty masih terbengong-bengong melihatnya. Kemasukan Jin? TOLONG!!!
***
“CIRA! CIRA! Pokoknya elu nggak nyangka!” seru Putty sesampainya di kamar tempat Cira dan Lina berada. Cira dan Lina keheranan melihatnya.
“Lu kenapa sih, Put? Dateng-dateng kayak orang kesurupan gitu? Emang acaranya udah selesai?” tanya Cira.
“Kesurupan! Iya! Gara-gara akhwat kesurupan itu acaranya jadi batal total!” teriak Putty. Cira dan Lina bertatapan lagi.
“Ya ampun! Kalian tuh telat mikir banget sih?! Ada cewek kesurupan! Kemasukan jin! Tuh lagi dirawat di kamar sebelah!” seru Putty. Cira dan Lina terbelalak mendengarnya.
“Kemasukan Jin?!!!” jerit Cira.
“Masya Allah? Beneran? Siapa?” tanya Lina.
“Nadia.” Kata Naila yang tiba-tiba masuk. Semua berbarengan menatapnya.
“Maaf ya, masuknya nggak bilang-bilang. Cuma mau mengingatkan, sebaiknya di sini pikiran kalian jangan kosong. Kami  baru saja mendapatkan penjelasan dari penjaga kalau di sini banyak jinnya.” Jelas Naila.
“JIN?!!”
“Iya. Sayang sekali penjaganya nggak bilang dari pertama. Jinnya suka masuk ke tubuh orang yang nggak ada penjaganya. Penjaganya apalagi kalau bukan doa dan zikir? Nadia memang baru saja kehilangan ayahnya seminggu lalu, jadi pikirannya masih menerawang ke mana-mana, akhirnya dia kemasukan Jin.” Jelas Naila. Cira menatap Lina, pias.
“Mbak…Jinnya tadi bisa ngomong, nggak?” tanya Cira dengan bibir bergetar.
“Bisa. Kalau orang yang kesurupan itu ngomong, berarti itu jinnya yang ngomong.” Jawab Naila. Cira melotot.
“Jadi?”
AAAGH!!!
***
Mabit telah membawa banyak pelajaran untuk Cira, terutama kejadian semalam. Cira sekarang merasa betapa pentingnya sholat, karena sholat adalah penjaga utama ruhani  agar nggak kesurupan. Cira sudah menceritakan kejadian semalam kepada Ustadz ternyata Ustadznya bilang jinnya memang sedang mengincar orang-orang yang lengah. Kemungkinan Cira termasuk yang diincar, tapi nggak bisa karena Cira sholat Isya malam itu. Cira bersyukur sekali karena ia tak menunda sholat isyanya. Coba kalau iya, mungkin dia sudah kesurupan.
Kasus Nadia lain lagi. Selain ia sedang banyak melamun karena baru saja kehilangan ayahnya, ia juga sedang datang bulan. Otomatis Jin mudah masuk ke dalam tubuhnya. Syukurlah Jin itu nggak membandel. Begitu didoakan, Jin itu mau keluar. Soalnya kata Pak Uztadz, ada banyak Jin yang membandel dan susah keluar sampai berbulan-bulan. Hiy! Cira ngeri membayangkan andai ia yang kena. Orang yang kesurupan kan udah nggak ada bedanya sama orang gila. Ya Allah…Cira bersyukur sekali sudah diselamatkan oleh Allah malam itu. Ia berjanji tidak akan meninggalkan sholat sampai kapan pun, kecuali ya kalau lagi datang bulan. He he he he.
***
Klik di sini untuk baca kelanjutannya yaa

Novel: Cinta Buat Chira (12)


12

Cira menggaruk kepalanya yang memang gatal ketombean. Hari-hari ujian ini membuatnya malas keramas. Sekarang semuanya serba cepat. Makan cepat, tidur cepat, mandi pun cepat, makanya ia malas keramas. Cira memang tidak ingin melewatkan waktu belajarnya. Ia harus belajar dengan benar agar bisa naik kelas. Baginya sih yang penting naik kelas, soalnya kalau dapet ranking…berat!!!
“Cira! Lu ngotorin tempat tidur aja?!” Rana mulai berisik setelah melihat tempat tidurnya yang penuh dengan ketombe Cira. Cira melotot.
“Diem lu, ah! Ganggu aja! Besok gue Geografi, nih!” sungutnya. Rana mencibir.
“Cuma geografi ini….”
“Ih! Pergi sana!” usir Cira.
“Ye! Gue kan juga mau belajar!” sungut Rana. Cira merengut. Alhasil malam ini ia tidak benar-benar belajar karena berantem terus dengan adik satu-satunya itu.
***
“Cira!!!” jerit Putty, mengejutkan. Cira melengos melihatnya. Tentu saja Putty heran.
“Lu kenapa, sih? Muka lu kok kusut banget. Udah rambut lu gimbal gitu lagi!” tanyanya sambil mengibaskan rambut Cira.
“Iyalah. Seminggu ini gue nggak keramas, tau!” sungut Cira.
“Aiiih…kenapa lu?” Putty geleng-geleng kepala.
“Gue pusing, tau! Gue udah belajar semaleman, eh nggak keluar.”
“Geografi sih nggak usah belajar. Pake perasaan aja.”
“Ye! Emangnya elu!” Cira mencibir.
“Udahlah, yang penting sekarang kita bebas. Eh, liburan lu mau ke mana?” tanya Putty sambil merangkul bahu Cira. Cira menghela napas.
“Mabit.”
“Mabit?!” Putty melotot. “Apaan tuh?”
“Malam Bina Iman dan Takwa.”
“Yah…pasti kerjaan Rohis lagi.” Putty mencibir.
“Eh, ini seru lagi, Put. Rencananya kita mau mabit di Taman Mini. Bayangin, Put. Tiga malem bareng Farhan!!!” jerit Cira. Putty melotot mendengarnya.
“Maksud lu…semua anggota Rohis bakalan nginep di Taman Mini?” tanyanya tak percaya. Cira mengangguk. Putty terpana. Berarti…dia juga bakalan….
“Gue juga mau ikut, ah!” serunya, cepat. Kening Icr aberkerut.
“Elu?”
“Iya.”
“Tapi…elu bakalan ketemu mbak Naila terus, lho. Lu nggak malu?” cibir Cira. Putty memalingkan wajahnya yang merah.
“Emangnya…kenapa harus malu?” ia balik nanya.
“Emangnya gue nggak tau? Elu kan selalu menghindar kalau ketemu dia.”
“Ye! Itu kan….”
“Nanti elu bakal ketemu dia tiga hari tiga malam!” seru Cira.
“Biarin! Yang penting gue….” Putty berkhayal.
“Woi! Bangun! Elu serius mau ikut?!” seru Cira. Putty mengangguk cepat.
“Yah…meskipun gue nggak ikut mentoring kan tapi gue ikut kajian terus. Ini buat perpisahan Rohis, kan?” tanyanya.
“Ye! Bukan, Put. Ini buat mabit aja. Buat memperkaya ruhani kita.” Cira mengutip perkataan Naila dulu. Putty manggut-manggut.
“Yah, apalah namanya. Pokoknya gue ikut.” Katanya sambil tersenyum. Cira mencibir.
“Ya udah. Daftarnya di mbak Naila.” Katanya. Putty melotot.
“Ya…Cira…tolongin gue, dong!!!”
***
“Jadi adik-adik, rapat Rohis kemarin memutuskan bahwa kita akan mabit di Desa Wisata di Taman Mini selama tiga hari. Biayanya seratus lima puluh ribu. Silahkan kalau kalian mau mendaftar sekarang, langsung saja sama saya.” Kata Naila seusai memberikan materi mentoring hari ini. Semua adik binaannya berebutan mendaftar.
“Em…kalian nggak keberatan kalau biayanya sebesar ini? Kami sudah berusaha memperketat anggarannya.” Tanya Naila.
“Ah, enggak kok, Mbak. Wajar aja.” Kata Farah diangguki oleh yang lain. Naila tersenyum.
“Mbak…” Cira mulai bicara.
“Ada apa, Ra?”
“Em…Putty…mau ikut.”
“Putty?” Naila terkejut. Semua berbarengan menatap Cira. Cira jadi tak enak.
“Putty mau ikut, Mbak. Putty minta didaftarin.” Lanjutnya. Naila manggut-manggut sementara yang lain kasak-kusuk.
“Oh…ya, nggak pa-pa. mudah-mudahan setelah ikut mabit, Putty mau ikut mentoring lagi. Iya, kan, adik-adik?” Naila menatap adik binaannya satu persatu. Semua manggut-manggut. Cira tersenyum. Debar di dadanya hilang sudah.
***
“Tuh, Put! Lu udah gue daftarin!” seru Cira sambil melempar kuitansi pembayaran ke depan Putty. Putty tersenyum. Dipeluknya Cira yang kesulitan bernapas.
“Udah, dong! Udah!!!” teriak Cira.
“Makasih ya, Ra…. Makasih….” Putty mencium-cium kuitansinya.  “Kapan kita berangkat, nih?”
“Kok jadi kamu yang antusias, sih?”
“Iya, dong. Kan asyik bisa liburan bareng….”
“Ikhwan? Jangan harap, lho. Soalnya tempatnya dipisah sama ikhwan. Paling kalau ada acara yang bareng-bareng aja kita bareng.”
“Yah…nggak pa-pa. Setidaknya kan gue ada kesempatan.” Putty tersenyum.
“Kesempatan apa?”
“Udah deh. Ntar juga lu tau. Oke, Ra?!” Putty meninggalkan Cira setelah sebelumnya menjawil hidung Cira yang bulat. Cira manyun.
***
Cira menatap wajahnya di cermin. Cermin itu memantulkan wajah yang berbeda. Wajah Cira dengan jilbab yang baru dibelinya tadi siang. Cira tersenyum. Lumayan juga. Setidaknya jerawat-jerawat yang ada di bagian samping bisa tertutupi.
“Ra! Lu mau pakai jilbab?!!!” teriak Rana, tiba-tiba sampai-sampai Cira lompat.
“Ah, elu! Ngagetin gue aja! Emangnya kenapa?”
“Cie…ada angin apa lu sampe mau pakai jilbab?” Rana mencibir.
“Nggak ada angin apa-apa. Kesadaran gue sendiri.”
“Kesadaran?”
“Udah deh. Lu jangan mulai ngejek. Pokoknya gue mau pakai jilbab. Keren, kan?”
“Keren? Lu kayak emak-emak, tau! Yang pake jilbab kan cuma emak-emak!”
“Enak aja! Mbak-Mbak Rohis gue cantik-cantik pake jilbab!”
“Emak-emak kan juga ada yang cantik!”
“Udah ah! Lu jangan gangguin gue!” sembur Cira. Rana buru-buru meninggalkan Cira sendirian. Cira kembali menatap cermin yang memantulkan wajahnya yang berjilbab rapi. Ya Allah, kuatkanlah hatiku untuk mentaati perintahMU.
***
Apa yang dipikirkan Cira menjadi kenyataan. Teman-teman akhwatnya di Rohis terkaget-kaget melihatnya memakai jilbab di hari ketika mereka akan berangkat ke Taman Mini.
“Subhanallah…. Selamat ya, Ra. Baraokallah. Moga istiqomah.” Begitu selalu yang diucapkan mereka. Ah, Cira senang sekali. Ucapan mereka itu semakin memotivasinya untuk terus berjilbab. Selamanya.
“CIRA! Lu pakai jilbab juga!” tegur Putty yang baru datang. Cira tersenyum.
“Insya Allah.”
“Selamanya?”
Cira terkejut dengan pertanyaan Putty barusan. Maksud Putty apa, sih?
“Lu kok ngomong gitu sih, Put?” tanyanya, emosi. Putty tersenyum.
“Enggak. Gue pikir tadi elu  tuh pake jilbab karena kita semua pakai jilbab.”
“Yah, mudah-mudahan Cira istiqomah dengan jilbabnya. Iya, kan, Ra?” Naila mengusap-usap pundak Cira. Cira tersenyum. Putty mencibir.
“Iya, Put. Mudah-mudahan sih gue bener-bener pake jilbab. Maksudnya, gue tetap pake jilbab ke mana pun gue pergi. Termasuk kalau mau ke mall.” Bisik Cira pada Putty. Putty membuang muka. Sebel!
“Ayo Cira, Putty, letakkan barang-barangnya di bagasi. Nanti nggak kebagian tempat, lho.” Naila memberi instruksi. Putty dan Cira  berbarengan melangkah menuju bus yang telah menunggu mereka.
“Liat aja nanti, Ra. Elu juga bakalan nggak tahan pake jilbab.” Bisik Putty. langkah Cira terhenti. Benarkah? Ah, lihat saja nanti.
***
Perjalanan menuju Taman Mini Indonesia Indah tidak terlalu memakan waktu lama. Hanya tiga jam. Rencananya mereka akan mabit di Desa Wisata yang memang disediakan bagi pengunjung yang ingin menginap di Taman Mini. Kenapa memilih Taman Mini? Karena biayanya memang tidak terlalu mahal. Seratus lima puluh ribu itu sudah termasuk biaya penginapan tiga hari, akomodasi dan makan. Lumayan murah, kan? Semoga acara mabit ini tidak hanya membuang-buang uang, tapi juga bisa menambah keimanan mereka.
Tak lama rombongan Rohis telah sampai di tempat tujuan. Setelah membayar tiket masuk, mereka segera menuju ke Desa Wisata yang dimaksud. Ternyata Desa Wisata itu tak seperti bayangan. Mereka pikir mereka akan menginap di rumah-rumah kayu seperti yang ada di pedesaan. Ternyata mereka menginap di bangunan yang menyerupai asrama. Bagian laki-laki dipisah dengan bagian perempuan. Berdasarkan pengundian kamar, Putty dan Cira menempati kamar paling ujung yang tepat berada di sebelah sebuah pohon besar. Cira langsung merinding dibuatnya.
“Hii! Put, kok kita sial banget ya dapat kamar ini?” Cira mengusap-usap tubuhnya yang merinding. Mana kamarnya besar lagi.
“Alah! Dasar penakut! Baru sampe udah takut. Lu kebanyakan nonton film misteri, sih.” Cetus Putty sambil melempar tas punggungnya ke tempat tidur.
“Bukan gitu. Ini feeling aja. Liat tuh pohon besar itu.” Cira menunjuk pohon besar yang dahannya melambai-lambai di samping jendela.
“Jangan diliatin. Ntar setannya balas ngeliatin, lho!” Putty tertawa. Cira melemparnya dengan bantal.
“Eh, Ra. Gue bete banget nih.  Masa’ kita dipisah sih sama yang cowok? Tadi busnya dipisah, sekarang ruangannya juga dipisah. Kapan ketemunya?” Putty mendengus kesal.
“Tuh, kan bener. Lu cuma pengen ngeceng aja kan ke sini?” Cibir Cira.
“Eh, jangan sok suci, ya. Lu juga, kan? Lu masih naksir sama Farhan, kan?” Putty balas mencibir.
“Ssst…jangan kencang-kencang. Kamar sebelah kan mbak Naila, ntar kedengeran lagi.” Cira meletakkan telunjuknya ke bibir. Putty tertawa. Tawanya terhenti saat terdengar suara pintu diketuk. Putty dan Cira berpandangan.
“Eh, siapa tuh, Put?” tanya Cira dengan wajah ketakutan. Dia melirik pohon besar di samping jendela yang daunnya masih melambai-lambai.
“Nggak tahu. Elu dong yang buka.”
“Ih…elu, dong. Katanya lu pemberani.”
“Siapa bilang? Sana buka!”
“Lu aja!”
“Elu!”
“Elu!”
“E…” keributan keduanya berhenti saat ointu kembali diketuk. Tak terasa ternyata mereka sudah berpelukan.
“Ra….”
“Put….”
TOK. TOK. TOK.
Assalamu’alaikum, Dek. Sholat Ashar jamaah, yuk.” Suara Naila terdengar. Putty dan Cira berbarengan menghela napas.
“Ah, elu, sih, Ra. Lu nularin otak paranoid lu ke gue!” Putty bersungut-sungut sambil membuka pintu.
“Kok lama banget sih, Dek? Buruan ya. Ditunggu sholat jamaah di kamar Mbak.” Kata Naila sambil tersenyum. Putty mengangguk.
“Iya, Mbak.” Katanya sambil menutup pintu setelah Naila pergi.
“Ayo, Ra! Sholat!” kata Putty sebelum masuk ke kamar mandi.
“Put, elu mau ke mana?” tanya Cira cemas, sambil terus melirik ke arah pohon besar. Putty geleng-geleng kepala.
“Ya Allah. Penakut amat sih lu, Ra. Ini kan masih sore. Kagak ada setan sore-sore. Gue mau wudhu. Mau sholat. Ikut nggak, lu? Ntar gue tinggal sendirian lu di kamar ini.” Katanya sambil masuk ke kamar mandi. Cira buru-buru berlari ke kamar mandi.
“Put! Bareng, dong!!!”
***
Seusai sholat Ashar berjamaah, panitia mabit memberikan waktu istirahat pada para peserta agar segala kepenatan selama perjalanan tadi siang dapat dihilangkan. Putty dan Cira tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk tidur. Pukul setengah enam mereka  bangun, mandi dan sholat Maghrib berjamaah.  Sehabis sholat ada tilawah bareng sampai sholat Isya. Sehabis Isya ada kajian khusus akhwat.
“Bosen gue, Ra. Masa dari tadi ketemunya sama akhwat-akhwat mulu. Sebel!” gerutu Putty. Cira geleng-geleng kepala.
“Gue juga bosen denger elu ngomongin ini mulu.”
“Sia-sia gue ngeluarin uang seratus lima puluh ribu untuk acara yang ngebosenin gini.” Putty masih bersungut-sungut.
“Ya Allah, Put. Lu ngomongnya kejam banget, sih?” Cira geleng-geleng kepala.  Ia tak mau menanggapi omongan Putty yang menurutnya sudah kelewatan  batas itu.
Dua sesi acara kajian telah usai tepat pukul sepuluh malam. Semua peserta kembali ke kamarnya masing-masing. Karena sangat mengantuk, pikiran Cira tak ke mana-mana lagi. Ia tak perduli ada hantu di kamar ini. Yang penting…tidur….”
***
TOK. TOK. TOK.
Cira menggeliat.
TOK. TOK. TOK.
Kedua matanya mulai terbuka sedikit.
TOK. TOK. TOK.
“Put! Put! Put! Bangun, Put!” Cira menggoyang-goyang tubuh Putty. Putty menggeliat.
“Putty!!!” jeritan Cira makin kencang.
TOK. TOK. TOK.
Cira melotot. Dipeluknya Putty, erat.
“ADUH!! Apa-apaan sih, lu?!!” teriak Putty, marah. Cira menunjuk-nunjuk ke pintu. Angin malam yang dingin membuat bulu kuduknya makin berdiri.
“Ah! Elu penakut amat!!”
TOK. TOK. TOK.
Putty dan Cira berpelukan erat.
“Ra…itu siapa?” Putty merinding.
“Nggak tau.” Cira menggeleng cepat.
“Ini jam berapa, ya?” Putty meraba-raba jam di meja. Dapat. Tapi…nggak kelihatan!
“Nyalain lampu dong, Ra.”
“Nggak mau. Gue takut.”
“Ah. Itukan di sebelah elu tombolnya.”
“Gue takut. Gue pengen meluk elu terus, Put.”
“Ah, itu sih bukan takut. Jangan-jangan elu….”
“Ye!!”
TOK. TOK. TOK.
Cira dan Putty berpelukan lagi.
“Dek…bukain dong. Kok lama banget? Ayo sholat lail bareng.” Suara Naila terdengar. Putty dan Cira menghela napas lega.
“Ternyata mbak Naila lagi.” Cira geleng-geleng kepala.
“Tuh orang hobi banget nakut-nakutin orang. Sana gantian elu yang buka pintu.” Suruh Putty. Dengan malas Cira menjalankan perintah itu. Dibukanya pintu, dan…. Cira melotot. Tak ada siapa-siapa!!
“PUTTY!!!”
“Hei! Cira! Cira! Ada-ada?” tanya Naila, tiba-tiba. Putty menyalakan lampu. Di depannya Cira berdiri ketakutan ditemani Naila yang kebingungan.
“Cira, kamu kenapa?” tanya Naila sambil mengguncang-guncangkan tubuh Cira. Cira membuka matanya.
“Mbak Naila!!!” serunya sambil memeluk Naila, kencang. Naila gagap.
“Iya, iya. Udah dong. Mbak nggak bisa napas, nih.”
“Mbak, tadi Mbak kan yang ngetok pintu?”
“Iya.”
“Kok Mbak nggak ada tadi?”
“Mbak kan ada di samping sini.” Naila tersenyum.
“Hem…dasar Cira. Penakut tuh, Mbak.” Putty mencibir. Naila tersenyum.
“Nggak ada apa-apa, kok. Sudah ya. Ditunggu di kamar sebelah. Sholat lail bareng.” Katanya sebelum meninggalkan Putty dan Cira. Putty dan Cira bertatapan.
“Sholat lail?” kening Putty berkerut.
“Udahlah. Kita  ikutin aja.” Cira masuk kembali ke dalam kamar. Putty menguap.
“Padahal gue ngantuk  banget, nih.”
***
Sholat lail pada jam tiga pagi berlangsung cukup khusyuk. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh sebagian besar peserta dan panitia, kecuali mungkin Putty dan Cira. Entah bagaimana, ketika yang lain bangkit dari sujud, Cira dan Putty tetap  sujud bahkan sampai rakaat kedua belas selesai.
“HUAH!!!” Putty menguap. Rasa kantuk kembali menyerangnya setelah kajian Shubuh usai.
“Put! Jangan tidur lagi!” Cira menarik baju Putty yang telah bersiap-siap tidur kembali.
“Gue ngantuk banget. Mereka nggak punya perasaan.” Putty memejamkan mata.
“Perasaan apa?”
“Bayangin, sholat tahajud dua belas rakat! Abis sholat Subuh, ada kajian pula.” Kedua mata Putty benar-benar sudah melekat meski tak dilumuri lem.
“Yah, itu kan udah konsekuensi kita. Ayo, Put. Sekarang rihlah!” Cira menarik-narik baju Putty lagi. Tak ada suara. Putty benar-benar sudah tertidur. Cira geleng-geleng kepala. Terpaksa ia berangkat rihlah tanpa Putty.
***
Klik di sini untuk baca kelanjutannya yaa