Monday, January 9, 2012

Ketika Seorang Ibu Membunuh Anak-Anaknya

Kantor Rusty hanya berjarak sepuluh menit dari rumahnya. Dia berlari menyeberangi areal parkir karyawan dan menuju mobil SUV miliknya. Dari balik kemudi, dia menelepon Andrea. Syukurlah, Andrea menjawab.



“Apa ada yang terluka?” tanyanya.
“Iya,” jawab Andrea.
“Siapa?”
“Anak-anak.”
“Anak-anak? Apa maksudnya? Yang mana?”
“Semuanya.”

Rabu, 20 Juni 2001, adalah hari yang sangat kelam dan tragis bagi seorang laki-laki bernama Rusty Yates. Seorang warga Houston, Amerika Serikat. Pagi itu, jam 9, dia berangkat ke kantor di NASA. Sebenarnya, pikirannya sudah tidak enak karena meninggalkan istri dan kelima orang anaknya. Biasanya, ibundanya, Dora Yates, sudah datang ke rumahnya untuk mengurus kelima anaknya dan menjaga Andrea, istrinya. Tetapi, pagi itu Dora Yates (63 tahun), belum datang karena bangun kesiangan. Benar saja. Ketika ia baru akan memulai rapat di kantornya, Andrea menelepon dan menyuruhnya pulang. Rusty mendadak cemas dan takut. Ia menelepon ibunya, yang masih dalam perjalanan. Sesampainya di rumah, ia terkejut melihat ada banyak polisi dan warga. Rusty Yates hanya bisa berteriak-teriak dan mengamuk sambil memukul-mukul tanah, manakala mendapatkan kabar bahwa anak-anaknya telah tewas dibunuh oleh istrinya sendiri!

Hanya satu jam. Ya, hanya satu jam waktu yang dibutuhkan oleh Andrea untuk menenggelamkan kelima orang anaknya di bath up (bak mandi). Mereka adalah Noah (7 tahun), John (5 tahun), Paul (3 tahun), Luke (2 tahun), dan Mary (6 bulan). Bahkan Opsir David Knapp yang pertama kali mendatangi rumah Andrea dan memeriksa kondisi mayat anak-anak Andrea, merasa shocked dan tidak dapat berkata-kata. Andrea membaringkan keempat anaknya di tempat tidur dan ditutup dengan selimut. Sedangkan, Noah masih mengambang di atas bath up. Hari itu menjadi hari yang amat mengejutkan bagi seluruh warga Houston. Keluarga Yates langsung menjadi terkenal, dan Andrea dicaci maki daln dijuluki sebagai seorang ibu pembunuh.

Benarkah ada ibu yang tega membunuh anak-anaknya? Induk harimau pun tak akan memakan anaknya, demikian peribahasa yang sering kita dengar. Lalu, bagaimana mungkin seorang ibu manusia yang lebih memiliki rasa manusiawi dan logika, sanggup membunuh anak-anaknya? KELIMA ANAKNYA SEKALIGUS?

Seorang wartawan investigasi, Suzanne O’Malle, merangkum semua kejadian tragis itu, untuk mencari sebab musabab perilaku Andrea, dalam buku LUKA CINTA ANDREA. Membaca buku ini, seketika kita akan teringat kasus serupa yang pernah menimpa sebuah keluarga di Bandung. Seorang ibu di Bandung, juga pernah membunuh ketiga anaknya yang masih kecil-kecil, dengan menyekapnya menggunakan bantal. Banyak yang bertanya-tanya; mengapa? Padahal, ibu itu dikenal sebagai orang yang taat beragama, memakai jilbab panjang,dan anak-anaknya disekolahkan di sekolah Islam. Apakah agama tidak sanggup mengontrol seseorang dari perbuatan jahat?
Andrea Yates (35 tahun), juga berasal dari keluarga Katolik taat. Andrea sangat taat beragama. Ia bahkan melarang suaminya untuk meminum bir dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka mempunyai guru spiritual, Michael Woroniecki, seorang pendeta keliling. Andrea sering mendapatkan nasihat-nasihat dari Michael. Diduga, doktrin-doktrin Michael juga menjadi salah satu sebab depresi ibu muda itu.

Buku ini menjabarkan riwayat hidup Andrea. Ternyata, sudah dua tahun ia menderita kelainan mental/ penyakit jiwa. Selama dua tahun itu, Andrea rutin berobat ke psikiater, mengkonsumsi obat-obat anti depresi, dan pernah dirawat di rumah sakit jiwa. Berbagai penyakit jiwa yang menurut pemeriksaan dokter, diidap oleh Andrea, adalah: Postpartum depression (baby blues syndrome), Skyzophrenia, Manic Depression, dan Bipolar. Sungguh mengejutkan! Kumpulan penyakit jiwa yang membahayakan diri dan orang lain, mengumpul di dalam jiwa satu orang saja; Andrea. Andrea pernah dua kali melakukan percobaan bunuh diri.

Hasil wawancara Suzanne pada orang-orang yang pernah terlibat dalam kehidupan Andrea, juga dengan Andrea sendiri, dapat memberikan jawaban atas perilaku mengejutkan itu.

Pertama, ternyata sejak remaja, Andrea sudah memiliki bakat penyakit jiwa. Pada umur 24 tahun, dia juga pernah menderita depresi karena putus cinta. Kakaknya, Brian, juga menderita penyakit jiwa. Andrea sangat tertutup, jarang bersosialisasi (hanya punya sedikit teman), sensitif, dan perfektionis. Ciri-ciri ini mengacu pada orang berkepribadian melankolis, dan memang menurut hasil analisa, orang melankolis mempunyai kecenderungan untuk bunuh diri ketika mengalami peristiwa yang sangat menekan batinnya. Jadi, bagi para lelaki yang sedang mencari calon istri, hendaknya mengetahui latar belakang istrinya, apakah pernah mengalami depresi parah, stress berkepanjangan, dan perilaku kejiwaan lainnya.

Kedua, baby blues syndrome, yang pasti muncul setiap kali melahirkan. Pada kelahiran anak pertama saja, Andrea sebenarnya sudah terkena baby blues, sebuah perasaan untuk membenci bayi yang baru dilahirkannya, karena kondisi trauma saat melahirkan dan pengalaman awal mengasuh bayi. Melahirkan, bagi banyak ibu, adalah proses yang traumatic. Belum lagi saat-saat mengasuh bayi baru lahir, yang menguras fisik dan emosi. Baby blues ini dipengaruhi oleh perubahan hormon estrogen di dalam tubuh seorang ibu, yang meningkat usai melahirkan. Beberapa ibu mengalami baby blues parah, tetapi yang dialami Andrea jauh lebih parah, karena dia sudah mempunyai bawaan genetic penyakit jiwa. Ironisnya, dia dan suaminya bertekad untuk mempunyai banyak anak, “Sebanyak yang Tuhan kehendaki.” Sama dengan prinsip sebagian umat Islam yang ingin mempunyai banyak anak, sehingga tidak mau ber-KB, ternyata di agama Katolik pun ada. Tentu tidak salah, bila kondisi ibu memungkinkan. Dalam beragama tidak ada paksaan. Kenyataannya, kondisi kejiwaan Andrea tidak memungkinkannya untuk punya banyak anak. Baby blues yang dialaminya sangat parah, sehingga menimbulkan delusi. Ia sering mendengar ada orang yang berbicara kepadanya agar ia membunuh anaknya. Bahkan, saat Noah baru berumur 3 bulan, ia sudah punya pikiran untuk membunuh Noah.

Mengenai baby blues, setiap ibu pasti mengalaminya dengan rentang stress yang berbeda. Saya sendiri mengalami baby blues ketika melahirkan anak pertama, karena memang sangat traumatic. Proses kelahiran melalui infuse rangsang mulas, tiga jam menahan mulas yang super menyakitkan (sampai berharap lebih baik mati), episiotomy, dan jahitan pada jalan lahir, menambah ketakutan saya akan proses melahirkan. Menjadi ibu untuk pertama kalinya, tanpa dampingan suami (karena suami kerja di Jakarta, sednagkan saya mengungsi di rumah mertua di Garut). Suami hanya ke Garut, dua minggu sekali. Saya hanya tidur berdua dengan bayi, yang kerap kali menangis dan sulit didiamkan. Sementara kondisi fisik saya pun lelah dan sakit. Bekas jahitan benar-benar mengganggu, selain sakit, juga gatal. Mertua memang membantu, tapi kalau malam, hampir selalu saya berjuang sendiri menenangkan bayi. Pernah, ketika saya sedang tidur di sebelah bayi, ada seseorang yang berbisik kepada saya, “Saya ambil ya, bayinya… hihihi….” Huaaaah! Saya langsung bangun. Rasanya seperti nyata. Apalagi saya melihat seorang wanita berambut panjang sambil tertawa, di mimpi saya itu.

Sebuah pelajaran bagi suami dan orang-orang terdekat, agar selalu mendampingi seorang ibu yang baru saja melahirkan. Jangan dibiarkan sendirian, karena stresnya bukan main. Kalaupun suami berhalangan, usahakan ada orang dekat lainnya yang mendampingi istrinya. Berdasarkan pengalaman melahirkan anak kedua, saya hampir tidak mengalami baby blues, karena benar-benar didampingi oleh adik-adik saya. Saya juga lagi-lagi tidak didampingi suami, karena kali ini melahirkan di rumah orang tua. Tetapi, adik-adik saya ikut tidur bersama saya dan ikut membantu bila bayi terbangun di malam hari dan menangis tiada tara. Ada baiknya juga bagi para suami agar sering-sering memberikan hadiah kepada istrinya yang baru melahirkan.

Bayangkan, istri Anda baru saja mempertaruhkan nyawanya di ranjang persalinan demi melahirkan buah cintanya dengan Anda. Banjiri istri Anda dengan ucapan romantic dan manis, untuk menyenangkan hatinya. Itu akan mengurangi baby blues yang dialaminya. Sayangnya, kebanyakan suami justru tidak peduli ketika istinya baru saja melahirkan. Bahkan, ada yang merasa tersaingi dengan kehadiran bayi, sehingga sulit bermesraan lagi dengan istrinya.

Ketiga, selain baby blues, kondisi Andrea juga diperparah dengan isolasi yang dilakukannya terhadap dirinya sendiri. Pilihan hidup Andrea dan Rusty, tidak baik bagi kesehatan mental Andrea. Mereka memilih untuk tinggal di dalam rumah mobil (orang Amerika banyak yang melakukannya). Otomatis, mereka tidak punya tetangga, karena selalu berpindah-pindah. Andrea terkungkung di dalam rumah mobilnya yang sempit, bersama ketiga orang anaknya yang masih kecil-kecil. Tidak punya teman bicara, sehingga sibuk dengan pikirannya sendiri. Dalam pemakaman anak-anaknya, yang dihadiri oleh ratusan orang (suatu hal yang luar biasa bagi rakyat Amerika yang individualis), Rusty Yates membatin, “seandainya dulu kami membaur dengan masyarakat, Andrea mungkin akan mempunyai banyak teman bicara, sehingga kejadian ini bisa dihindari.”

Ya, bicara. Memang, ada pepatah bahwa diam itu emas. Tapi, kalau diam terus, malah jadi tekanan batin. Terlebih bagi seorang wanita yang memang sudah fitrahnya untuk suka berbicara. Tingkat bunuh diri atau stress hampir pasti tidak dialami oleh para wanita yang suka berbicara dan mencurahkan isi hati. Menjadi ibu rumah tangga tanpa teman bicara, adalah tekanan stress yang luar biasa besar. Mencurahkan isi hati itu hal yang lumrah. Itulah mengapa saya sering mengkritisi apabila ada orang yang bersikap sok menasihati orang-orang yang suka curhat. Di dunia maya ini, kita mengenal fesbuk, salah satunya sebagai tempat curhat. Kalau di perkampungan, kita melihat ibu-ibu berkumpul di suatu tempat, sambil mengasuh anak. Kelihatannya mereka ngobrol ngalor ngidul, tapi sebenarnya itu terapi stress juga. Setidaknya, meski hanya dengan bicara, beban stress mereka dalam mengasuh anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga, mengurai seketika. Hanya saja tema pembicaraannya yang perlu diarahkan agar tidak menjadi suatu yang sia-sia dan jatuh ke kubangan dosa.

Sedangkan, bagi ibu-ibu perkotaan yang individualis (saya termasuk di antaranya), jejaring social adalah tempat untuk mencurahkan isi hati. Fesbuk, twitter, blog, itu adalah tempat bicara. Memang, aktivitasnya menulis, tapi sebenarnya sama saja dengan berbicara. Dan memang, efektivitas fesbuk terhadap tingkat stress yang saya alami benar-benar terbukti. Saya tidak punya teman bicara di rumah, karena hanya ada anak-anak. Asisten rumah tangga hanya sampai jam sepuluh pagi. Suami tidak bisa diganggu kalau sedang kerja (huh!). Alhamdulillah, saya bertemu dengan fesbuk. Untuk hal-hal yang bisa dibicarakan dengan 4 ribu friendlist, saya share di fesbuk. Tetapi, untuk hal-hal pribadi, saya punya grup ibu-ibu yang hanya beranggotakan 40 orang, itupun tidak banyak yang aktif. Paling-paling hanya beberapa saja. Dan untuk yang sangat pribadi, saya pilih satu atau dua orang teman fesbuk yang sudah saya percayai.

Ada yang beranggapan, curhat itu kepada Allah/ Tuhan saja. Andrea dan ibu di Bandung itu adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhan. Apakah itu cukup? Terlalu tinggi rasanya bila kita menganjurkan orang-orang untuk hanya curhat kepada Tuhan. Sementara, di dalam agama Islam pun, diatur dua jenis hubungan: hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Pembicaraan dengan Allah, bisa jadi diikuti oleh bisikan setan. Alam gaib tak terjangkau oleh manusia. Kita tidak tahu siapa yang sedang bicara dengan kita; Tuhan atau Setan? Sedangkan kalau dengan manusia, jelas kita tahu. Misalnya saat itu kita sedang berbicara dengan Anna, ya kita tahu orang itu Anna. Sedangkan dengan zat yang tak terlihat, pikiran kita hanya menerka-nerka, siapa yang berbicara dengan kita; Tuhan atau Setan?

Seperti itulah yang dialami oleh Andrea. Setiap hari dia bergelut dengan ayat-ayat Tuhan, tetapi justru Setan yang membisikinya. Sebagaimana ketika setan menyuruhnya untuk membunuh anak-anaknya. Andrea membunuh anak-anaknya karena ada yang membisikinya, menyuruhnya untuk “menyelamatkan” anak-anaknya sekarang, daripada nanti anak-anaknya tumbuh dewasa dan berbuat dosa karena dibesarkan oleh ibu yang banyak dosa, seperti dirinya. Intinya, curhat kepada manusia tidak terlarang, selain curhat kepada Allah. Sebab, kita juga membutuhkan feedback yang nyata saat menyampaikan isi hati. Namun, yang perlu diingat adalah memilih-milih teman curhat, agar tidak terbuka aib kita di kemudian hari. Jadi, sangat dianjurkan untuk bergaul dengan orang-orang yang saleh, yang dapat memberikan nasihat baik bila kita sedang tertimpa masalah dan dapat menyimpan curhat kita dengan baik.

Keempat, kehadiran Rusty sebagai suami, hampir tidak membantu apa-apa. Sebagaimana curahan hati Andrea kepada Pendeta Michael, bahwa Andrea membenci suaminya. Andrea memang terkadang berbicara dengan Michael, tapi hanya sedikit-sedikit saja dan menjadi terhenti ketika ia pindah rumah. Sebulan setelah putus komunikasi dengan Michael itulah Andrea membunuh anak-anaknya. Rusty tidak taat beribadah, sangat sibuk dengan pekerjaannya, dan jarang membantu pekerjaan rumah tangga. Mereka tidak punya pembantu, sepertinya memang warga Amerika biasa, tidak ada pembantu. Andrea merawat anak-anaknya sendirian, ditambah dengan melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Tak terbayang betapa repotnya. Saya saja yang baru punya dua anak kecil, sering merasa sangat menderita ketika tidak ada seorang pun yang membantu pekerjaan saya. Anak-anak yang masih harus dilayani, terus menerus berteriak minta ini-itu, sementara pekerjaan rumah tangga terus mengejar. Bagi Andrea, itu adalah tekanan depresi yang parah. Sehingga yang semula ia membenci suaminya, beralih pada membenci anak-anaknya.

Namun, Rusty Yates pun perlu diacungkan jempol. Dia merawat istrinya sendirian, ketika Andrea mulai mengalami depresi parah. Dia setia mendampingi istrinya ke rumah sakit untuk berobat, memberikan obat setiap hari kepada istrinya yang sudah seperti orang gila (pandangan mata kosong, sulit diajak bicara, dan sering bermimpi buruk). Ia juga tidak berpaling ke wanita lain, meski penampilan Andrea sudah tidak menarik, dengan tubuh kurus dan rambut rontok, di mana ubun-ubunnya botak dan luka karena sering digaruk. Andrea merasa di ubun-ubunnya tercetak tanda 666, yang artinya tanda setan. Rusty jugalah yang pontang-panting mengurus anak-anaknya, selama Andrea sakit. Sehingga, anak-anak pun menjadi lebih dekat dengan Rusty daripada dengan Andrea. Dulu, Andrea adalah pusat anak-anak. Rusty bagaikana ayah yang diabaikan. Tapi, setelah Andrea sakit, ia tak mau mengurus anak-anaknya lagi, dan yang terjadi adalah sebaliknya. Seandainya… ya, seandainya sejak awal Rusty mau membantu istrinya, sebelum Andrea sakit, mungkin kegilaan Andrea tidak memuncak. Mencegah lebih baik daripada mengobati, kan?

Kelima, doktrin-doktrin Pendeta Michael yang ekstrim, ditambah oleh sifat Andrea yang perfeksionis. Jika mengacu pada ayat-ayat bible, Andrea merasa dirinya sudah melakukan banyak dosa dan bukan seorang ibu yang baik. Seperti ketika anak-anaknya menonton film Disney, Andrea merasa bersalah karena telah membiarkan. Menurut pemahaman agama Andrea, film Disney itu film setan, karena banyak penyihir di dalamnya. Sedangkan injil menjelaskan bahwa tukang-tukang sihir itu setan. Begitu pula ketika anak-anak memakan permen manis, Andrea merasa ada yang berbicara kepadanya. Menyebutnya sebagai ibu yang tidak baik, karena membiarkan anak-anak memakan permen. Permen bisa membuat gigi bolong dan obesitas. “Kau membiarkan anak-anakmu memakan banyak gula!” begitu seru suara yang bergema di telinganya. Andrea juga mengambil program homeschooling, mengajari sendiri anak-anaknya. Ketika masih terkontrol, ia telaten mengajari anak-anaknya. Ia menginginkan pendidikan yang sempurna untuk anak-anaknya melalui tangannya sendiri. Namun, hatinya terpukul ketika ada orang yang tak sengaja menyebut anaknya susah diatur dan nakal. Andrea merasa telah gagal menjadi ibu.

Mari kita lihat fenomena sekarang ini, di mana para ibu menuntut kesempurnaan pada dirinya dan anak-anaknya. Dunia parenting begitu riuh dengan anjuran-anjuran agar orang tua memberikan nutrisi dan pendidikan yang TERBAIK untuk anak-anaknya. Ada segolongan yang –maaf, saya anggap ekstrim—menganggap bahwa orang tua adalah satu-satunya guru untuk anak-anak, sehingga mereka melakukan homeschooling. Tentu tidak salah, silakan saja. Tetapi, bersiap juga untuk menjadi guru yang gagal, bila ada satu, dua kurikulum/ pengajaran yang tidak dapat/ gagal dicapai. Manusia tidak ada yang sempurna, bukan? Kampanye Pro ASI begitu gencar, yang memang sangat-sangat baik, mengembalikan fitrah bayi untuk mengisap ASI. Tetapi, tanpa sadar membuat ibu-ibu yang tidak sengaja tidak bisa memberikan ASI secara penuh, karena hal-hal yang memang terpaksa, merasa terpojokkan dan akhirnya beranggapan bahwa dia bukan ibu yang baik, karena tidak bisa memberikan ASI untuk anaknya. Andrea juga merasa menyesal karena tidak bisa memberikan ASI secara penuh kepada Luke dan Mary, karena ASI-nya sudah tidak keluar, akibat penggunaan obat anti depresi. Belum lagi serbuan informasi mengenai bahan-bahan makanan berpengawet dan mengandung gula tinggi, membuat orang tua begitu paranoid. Anak-anak dilarang jajan di luar. Ibu-ibu telaten membuat makanan sendiri, itu bagus. Tetapi, janganlah terlalu paranoid ketika tiba-tiba anak-anak memakan permen atau makanan buatan pabrik. Bayangkan jika sangat paranoid, seakan-akan makanan itu racun sianida yang membunuh dengan cepat.

Andrea merasa dirinya adalah setan, atau di dalam dirinya ada setan, yang suatu ketika dapat mengancam keselamatan anak-anaknya. Sehingga, dia pernah dua kali mencoba bunuh diri, agar tidak dapat mencelakai anak-anaknya. Manakala ia sedang berada di dua dunia: nyata dan tidak nyata, ia selalu teringat puisi Pendeta Michael berikut ini:

Ibu Modern Duniawi
Ibu Modern Duniawi sangat, sangat pemalas,
Semua anaknya membuat dia gila.
Injil menyuruhnya untuk memukul dan melatih mereka,
Tapi masyarakat berkata dia tidak boleh memaksa mereka.
Buah kedurhakaan kini dia petik,
Di hari pertanggungjawaban dia takkan punya pembelaan.
Ibu Modern Duniawi dilemparkan ke neraka!
Kini, akan menjadi apa anak-anak dari ibu macam Jazebel?
*Jezebel adalah Putri Phoenician dalam kisah Injil yang pertama kali memperkenalkan konsep tirani dan kemusyrikan.

Beban seorang Ibu terasa berat di pundaknya. Dengan anak-anak yang masih kecil-kecil, ia menginginkan pendidikan dan pertumbuhan yang sempurna pada anak-anaknya. Ia membanding-bandingkan anak yang satu dengan lainnya. Ketika Luke belum bisa merespon bicara saat berumur 2 tahun, ia membandingkannya dengan Noah, yang sudah pintar di usia segitu. Ia merasa gagal mendidik Luke. Bukankah sekarang kita sering mendengar curhat ibu-ibu yang mengeluh, “kok anakku belum bisa begini ya, padahal sudah umur segini?”

Andrea pun menafsirkan injil dengan salah. Ketika sedang merasa gagal menjadi ibu itu, dia memikirkan kehidupan anak-anaknya kelak. Akan jadi apa anak-anaknya jika ibunya seperti ini? Bagaimana kalau kelak anak-anaknya menjadi anak-anak yang buruk dan masuk neraka akibat didikan yang buruk? Semua pikiran itu berkecamuk di dalam otak Andrea, hingga memberikan kesimpulan mengejutkan. Andrea memutuskan untuk membunuh anak-anaknya, agar anak-anaknya dapat masuk ke surga, karena meninggal saat belum punya dosa!

Ya, itulah jawaban dari keputusan Andrea yang tragis. Semula ia hendak membunuh dirinya sendiri agar tidak dapat mencelakakan anak-anaknya. Tetapi, kemudian berubah ingin menyelematkan anak-anaknya dari dosa dengan membunuh mereka! Memang benarlah kata pepatah. Induk harimau pun tak akan memakan anaknya. Andrea memang tak hendak menyakiti anaknya. Pikiran irrasionalnya justru ingin menyelamatkan anak-anaknya dengan membunuh mereka. Setelah anak-anaknya meninggal, Andrea merasa lega karena dia berpikir anak-anaknya sedang bermain di Surga bersama Tuhan.

Keenam, penyebab terakhir adalah kesalahan pemberian obat kepada Andrea, karena prediksi yang salah terhadap penyakitnya. Andrea tak merasa dirinya sedang sakit, sehingga psikiater kesulitan memeriksanya. Terlebih, Andrea sangat pendiam. Dugaan atas penyakitnya pun bermacam-macam, dan ternyata di antara semua indikasi itu, yang paling dominan adalah Bipolar. Andrea tidak dapat membedakan mana yang nyata dan tidak nyata, benar dan salah. Di satu sisi, Andrea tahu bahwa tindakannya membunuh anak-anaknya itu salah, di sisi lain ia merasa benar telah melakukannya untuk menyelamatkan anak-anak. Akibat prediksi yang salah, Andrea pun mendapatkan obat yang salah. Ditambah ketidakpatuhannya meminum obat, sehingga ia sulit untuk sembuh.

Apa pun, buku ini benar-benar menyadarkan saya, sebagai seorang ibu. Juga untuk para suami dan calon suami, agar lebih peka terhadap istrinya. Terus terang, saya juga pernah merasa tidak baik menjadi ibu, karena banyak kesalahan pendidikan dan makanan yang saya berikan untuk anak-anak. Buku ini juga membuat saya berkaca-kaca, demi melihat foto-foto di pertengahan buku. Foto-foto anak-anak Andrea yang lucu-lucu dan tampan-tampan. Empat anak laki-laki dan satu anak perempuan. Saya membayangkan bagaimana pengasuhan mereka di bawah ibu yang berpenyakit jiwa? Seperti Rusty Yates yang berharap setidaknya masih ada satuuu saja anaknya yang selamat, saya pun berharap demikian. Seandainya Rusty dan Dora tidak datang terlambat…. Duh, sangat mengenaskan.

Namun, jangan mengharapkan untaian kata-kata sastra di dalamnya, sebab buku ini ditulis oleh seorang wartawan dengan gaya reportase. Hampir tanpa emosi, kecuali saat Andrea menceritakan bagaimana ia menenggelamkan anak-anaknya. Campur aduk perasaan saya, sampai berkali-kali saya ciumi anak saya.

                                






Penulis: Suzanne ‘O Malley
Penerbit: Qanita

21 comments:

  1. bagus bgt ulasannya mbak, menjadi renungan utk kita org tua dan calon orang tua

    ReplyDelete
  2. wah, review yang sangat menarik mba, sukses membawa saya ke keinginan untuk memiliki buku ini.... :)

    oya, ijin follow blognya ya mba... trims.

    ReplyDelete
  3. bagus banget ulasannya mbak...mengingatkan saya yang pernah mengalami baby blues parah juga....dan sekarang sedang hamil anak kedua..semoga diberi kelancaran....ku follow blognya ya mbak....

    ReplyDelete
  4. Sama dong mbak kita .. Berdua doang dgn bayi rewel dan suami jauh. Kadang ada keinginan buat ngelempar si kecil ke tembok kalo nangisnya non stop. Kadang kepengen bekap mulutnya pake bantal. Suami ditelepon agar cepat pulang krn saya merasa sudah sampai tahap bisa nyakitin si kecil pun tetap suami ngak pulang. Untung si kecil masih aman sentosa krn pikiran2 liar itu ngak diwujudkan krn akal sehat masih bisa dikendalikan. Merawat bayi memang buat frustasi terlbh ngak ada bantuan dari siapa2, lebih2 jumlah bayinya lbh dari satu.

    ReplyDelete
  5. wew iya jadi ibu rumah tangga yang mengurusi semuanya sendiri memang berat 24 jam, tidak ada hari libur dan tidak boleh sakit.. tetap semangat 😁😁

    ReplyDelete
  6. Mbakkkk sapaaa itu yang bisikiiinnn...

    ReplyDelete
  7. Bersyukur sekali baca tulisan mba Hana, saya termasuk yang tidak betah kalau nggosip rame rame cape, tapi beruntung ada ada blog jadi apa isi hati bisa juga tersalurkan ..

    ReplyDelete
  8. ya Alloh. ini tulisan lama banget ya mbak. dan selalu berulang.

    naudzubilaahi min dzaalik.

    ReplyDelete
  9. Saya baca sampai akhir tulisan mak.leyla ini... tp masih penasaran ingin baca bukunya jg. Duhh ... entah gmn menerjemahkan perasaan saya setelah baca ini *_*

    ReplyDelete
  10. aku udah baca kata per kata, ini menjadi reminder bagi semua ya mbak. Makasih udh share :)Semoga kita terhindar dr hal2 semacam ini..

    ReplyDelete
  11. Sampe akhir malah semakin penasaran sama bukunya mba. Istri dan Ibu adalah tugas berat menurut saya.

    ReplyDelete
  12. Bacanya merinding. Sedih banget
    Ga bisa marah karena itu murni gangguan jiwa. Semoga jiwa kelima anaknya tenang

    ReplyDelete
  13. Ya Salaaam, sedih bacanya. Gak kebayang perasaan neneknya anak2 merasa sangat bersalah karena datang terlambat.

    ReplyDelete
  14. Aku termasuk seorang ibu yang galak. Stress kalo lagi cape fisik. Ngomel-ngomel nggak karuan. Tapi, biasanya setelah anak-anak pergi tidur. Aku sedih luar biasa.... makasih ya mbak... baca ini pengetahuanku dalam mendidik anak bertambah.

    ReplyDelete
  15. Tulisannya bernas dan mencerahkan. Trims mbak. Semoga kita bisa saling menguatkan ya. Menjadi Istri dan Ibu.itu butuh teman dan cinta juga dukungan dari lingkungan..

    ReplyDelete
  16. Hi mbak.. Saya baca sampai akhir, dan nggak karuan rasanya. Ijin share ya mbak.. Saya rasa tulisan mbak ini sangat bermanfaat, terutama untuk para ibu dan ayah diluar sana.

    ReplyDelete
  17. Setelah 10 tahunan yang lalu aku baca tulisan ini lagi. Langsung Inget kisah Andrea saat dengar berita ibu bunuh anaknya. Makasih Mba Ela, tulisanmu ini sangat berharga bagiku saat dulu masih jadi ibu baru dan minim pengetahuan 😘

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....