Pagi itu, kami sedang dalam perjalanan ke Garut, menengok kakek dan nenek anak-anak dari keluarga suamiku. Seperti biasa, sambil menyetir, suamiku mengobrol apa saja. Suamiku membicarakan soal seorang temannya yang sedang menjual rumahnya di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Rumah yang cukup besar, di lokasi strategis, tetapi dijual dengan harga miring, karena butuh uang cepat. Seandainya suamiku ada uang menganggur, tentulah rumah itu sudah diambilnya sebagai investasi.
Kakek teman suamiku, si pemilik rumah itu, sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit untuk waktu yang tidak ditentukan. Dia telah bergantung pada alat bantu pernapasan, sehingga kemungkinan sampai akhir hidupnya akan terus dirawat di rumah sakit. Tentu saja itu membutuhkan biaya besar, dan diputuskanlah untuk menjual rumah satu-satunya, harta paling berharga, sebagai biaya pengobatan. Saat itulah suamiku menekankan pentingnya memiliki asuransi jiwa dan kesehatan.
“Kasihan sekali ya orang-orang yang sudah mengumpulkan uang untuk masa depan, eh harus habis dalam sekejap gara-gara sakit,” gumamku. Aku teringat pada Almarhumah ibuku, yang juga meninggal dunia karena sakit keras. Penyakit kanker lidah, yang masih amat langka di dunia. Masih teringat betapa banyaknya uang yang harus kami keluarkan untuk membiayai kesembuhan ibuku. Orang tuaku tak memiliki asuransi kesehatan, kecuali asuransi dari kantor sebagai pegawai negeri sipil. Sayangnya, asuransi itu sulit sekali diproses, berbelit-belit, dan rumah sakit sering memandang sebelah mata kepada para pasien yang menggunakan kartu asuransi untuk PNS itu.
Sebuah rumah di Bogor, yang dibeli ibuku untuk tabungan masa depan, akhirnya harus dijual demi membiayai pengobatan. Motor pun sempat digadaikan sebelum bisa ditebus lagi dengan uang hasil menjual warisan dari orang tua ibuku. Bahkan, perhiasan ibuku tak bersisa. Semua tabungan masa depan, lenyap tak berbekas untuk biaya pengobatan. Hanya rumah yang tersisa. Tadinya rumah itupun akan dijual, tetapi ibuku melarang. Ia tak mau gara-gara penyakitnya, suami dan anak-anaknya yang masih kecil, harus berkorban banyak. Penyakit itupun mengalahkan ibuku. Kekurangan finansial membuat Ibu tak dapat bertahan lebih lama guna melawan penyakitnya. Keluarga kami memang belum bisa mencapai kebebasan finansial. Tak terpikir adanya solusi perbankan untuk mengatasi permasalahan itu.
Kedua orang tuaku ketika masih sehat |
Memang, berapa pun uang yang kita miliki, kalau Tuhan sudah berkehendak untuk mencabut nyawa kita, tak akan lagi berguna. Namun, bila kami memiliki cadangan finansial, setidaknya kami bisa melakukan ikhtiar maksimal demi penyembuhan penyakit ibuku. Sejak awal, ibuku menolak pengobatan di rumah sakit karena terbentur biaya. Dokter menyarankan agar ibuku dikemoterapi, tetapi kami sama sekali tak punya uang. Kami hanya bisa mengupayakan biaya pengobatan tradisional, dari yang mistik sampai herbal. Aku pun sudah menyarankan orang tua agar tidak menempuh cara-cara mistik, semacam memindahkan penyakit ke telur atau ke kambing, sebagaimana yang dipopulerkan oleh Ustad-Ustad gadungan, tetapi orang tuaku tak mau mendengar, karena sudah kadung terdesak oleh penyakit itu. Tak heran bila dukun-dukun gadungan laku keras, karena biaya pengobatannya terjangkau, bahkan se-relanya. Hasilnya, hanya kesia-siaan yang kami dapatkan dari cara-cara pengobatan mistik itu. Semua hanya penipuan.
Ibu juga mencoba meminum obat-obat herbal yang diduga bermanfaat untuk penyembuhan penyakitnya. Dari obat herbal Papua, Arab, sampai Cina. Meskipun obat herbal, harga tak main-main. Obat dari Papua saja harganya menyentuh angka 1,5 juta per botol. Obat-obatan Cina, sekitar 800 ribu untuk satu minggu. Jus buah-buahan, madu, habbatussauda, semua itu seyogyanya hanya untuk pencegahan penyakit, bukan penyembuhan. Tetap saja tak ada hasil yang memuaskan, karena seharusnya ibuku memang berada di bawah penanganan dokter.
Pedih rasanya bila mengingat kejadian itu. Kami banyak menanggung hutang karena biaya pengobatan Ibu. Bahkan, resepsi pernikahanku pun harus mendapatkan bantuan pinjaman dana dari kerabat, karena semua uang habis tak bersisa. Aku tak mau kelak mengulang kesalahan yang sama. Saat ini, suamiku sedang berusaha menyimpan investasi untuk masa depan, seperti rumah kontrakan dan tanah perkebunan. Namun, siapa yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan? Meski tak boleh berandai-andai, bagaimana bila kelak salah satu dari kami, tertimpa penyakit berat seperti almarhumah ibuku dan kakek teman suamiku? Penyakit yang membutuhkan biaya yang tak sedikit.
Agaknya kami membutuhkan produk perbankan yang dapat menjembatani keinginan kami. Kami harus kembali memikirkan rencana masa depan, agar semua yang telah kami tabung tak berantakan gara-gara biaya pengobatan. Kami tak ingin bangkrut di hari tua. Kami memang masih menimbang-nimbang layanan perbankan apa yang bisa memberikan kemudahan bertransaksi. Saat ini, kami sudah banyak memakai layanan perbankan, untuk membiayai kredit rumah dan kendaraan. Mungkin nanti ketika cicilan-cicilan sudah berkurang, kami bisa memilih produk asuransi jiwa dan kesehatan dari perbankan tertentu untuk investasi masa depan kami.
Aku dan kedua anakku |
Biaya rumah sakit, terlebih penyakit berat, sungguh di luar logika. Terutama bagi keluarga menengah ke bawah. Tarif kamar per hari saja saat ini menyentuh angka ratusan ribu, belum ditambah tarif dokter dan obat-obatan. Apalagi obat untuk penyakit berat, seperti kanker dan penyakit-penyakit “pembunuh” lainnya. Beberapa minggu lalu, seorang tetangga juga kesulitan mencari dana untuk biaya rumah sakit ibundanya yang terkena stroke. Sehari harus menyediakan dana sebesar satu juta rupiah. Terpaksa mengurus surat keterangan tidak mampu, agar mendapatkan layanan dari Jamkesmas, itupun hanya di rumah sakit tertentu, dan kebanyakan rumah sakit itu berkilah bahwa kamar sedang penuh, pasien harus antri.
“Orang miskin dilarang sakit,” begitu ungkapan yang kerap kali terdengar. Sungguh ironis. Itulah kenapa kita harus menyiapkan masa depan sebaik-baiknya, termasuk perlindungan jiwa dan kesehatan. Sebab, kenyataannya, perlindungan jiwa dan kesehatan juga menjadi bagian dari investasi.
orang miskin dilarang sakit.
ReplyDeleteiya mba, kasihan. aku juga waktu opname di RS, ngeliat fenomena gitu, jadi pengen nangis.
makanya dari sekarang kita harus sedia payung sblm hujan.
Sisihkan pendapatan 10 % untuk asuransi.
Sukses mba ;)
Iya, mba Windy....
DeleteBtw, makasih informasinya ya... :D
Sedih ya mbak, kisah ibu dulu. Mudah2an kita semua bisa belajar dari pengalaman ini ...
ReplyDeleteIya, mba Mugniar.... dari pengalaman orang tua, jadi belajar tuk siap-siap menghadapi kemungkinan di masa depan. Makasih dah mampir, mbak....
ReplyDeletesediiiihh bacanya. Jadi ingat cerita sendiri. bukan tentang penyakit mbak, tapi tentang ortu yang telat membangun rumah. Hingga kini, hingga saya, sebagai anak pertama mereka, telah memberikan mereka seorang cucu, rumah orangtua belum lagi selesai. Jadinya saya dan suami bertekad, kami akan membangun rumah sedikit demi sedikit dari SEKARANG, selagi anak masih kecil dan belum sekolah. Sudah banyak contoh, orang-orang yang membangun rumah ketika anak sudah sekolah atau kuliah. Biaya tak akan cukup lagi.
ReplyDeleteIngin buat tulisan ini untuk lomba juga :)
Iya, Kak Eky.... menikah itu bener-bener harus punya perencanaan yah. Soal rumah juga, masih banyak pasangan yg udah punya anak banyak, tp belum punya rumah. Kasian, sebenarnya. Padahal semakin anak-anak besar, semakin banyak kebutuhannya.
Deletetetap semangat dan keep blogging :))
ReplyDeleteMampir dan komentar ya di http://www.idblogging.com/2012/06/toko-online-yang-ngasih-diskon-beneran.html
thanks :))
Ok, Reyhan, makasiih
Deleteah iya mbak, sering banget ngeliat kenyataan orang miskin dilarang sakit. Hwaaah, sebel sebenanrya, tapi seringnya berakhir dengna ngelus dada
ReplyDeleteIya, mbaa Afin... makasih dah mampir ya
Deletemembaca kisahnya Mbak Leyla jadi ingat kisah bapak dan ibuku yang suidah meninggal..ternyata, uang memang sangat penting utk kehidupan...
ReplyDelete