Sunday, July 10, 2011

Antologi: La Tahzan for Broken Hearted Muslimah

Pangeran Tak Jadi Datang Menjemput

Leyla Imtichanah



Saya patah hati sebanyak saya jatuh cinta.
Karena saya adalah orang yang mudah jatuh cinta, maka saya pun mudah patah hati.
Ketika saya menemukan Islam yang sesungguhnya, ketika itulah saya mulai menata hati agar tidak mudah jatuh cinta.
Saya memohon kepada Allah agar hanya jatuh cinta pada lelaki yang akan menjadi suami saya.
Sejak kecil saya suka membaca cerita dongeng tentang putri dan pangeran. Saya pun jadi membayangkan suatu hari nanti saya menjadi seorang putri yang dijemput pangeran dengan kuda putih.
Lalu saya sering jatuh cinta dan berharap mereka yang saya jatuhi cinta itu adalah pangeran yang akan menjemput saya. Waktu berlalu, cinta saya hanya bertepuk sebelah tangan. Tak satu pun dari mereka menjadi pangeran saya. Itulah mengapa saya tak ingin jatuh cinta lagi, karena kalau sudah patah hati, rasanya sakit sekali.
Dan jadilah saya seorang pemimpi sejati. Masih berharap seorang pangeran datang menjemput. 
Ketika saya merasa sudah siap menikah, saya berdoa dengan sungguh-sungguh agar Allah mendatangkan sang pangeran. Ya Allah, jika sudah tiba waktunya, datangkanlah pendamping hidupku segera dan buatlah aku mencintainya saat pertama kali melihatnya.
Bukan apa-apa. Sudah beberapa kali saya menjalani proses taaruf[1] dan saya selalu merasa tidak sreg karena merasa tidak mencintai orang yang sedang taaruf dengan saya itu. Saya tidak yakin bisa jatuh cinta ketika sudah menikah nanti. Saya tahu, Allahlah yang akan menganugerahi perasaan cinta itu. Tapi kalau tidak, bagaimana? Saya sering mendengar pasangan suami-istri yang menikah karena dijodohkan, sudah sampai punya anak empat pun belum saling jatuh cinta juga. Dan yang terjadi adalah selingkuh. Saya tidak mau itu terjadi pada saya. Makanya saya meminta agar bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan lelaki yang akan taaruf dengan saya.
Siapakah lelaki itu?
Dua minggu berlalu. Satu kabar yang membuat wajah saya memerah, datang. Tawaran taaruf dari seorang teman. Saya langsung berpikir, mungkin ini jawaban dari doa saya. Alhamdulillah.
Dan hari itu pun tiba. Hari ketika saya bertemu dengan lelaki itu. Dia ada di antara orang-orang yang datang. Saya belum tahu dia. Belum melihat fotonya. Saya hanya tahu namanya. Tapi ketika mata saya tertuju padanya, saya langsung bisa menebak, dialah lelaki itu.
Saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan lelaki itu.
Hati saya berdebar tak menentu. Saya belum pernah bertemu dengannya, tapi kenapa saya merasa sudah pernah mengenalnya? Kenapa saya merasa pernah dekat dengannya? Apakah ini yang namanya soul mate?
Hari itu juga, saya merasa mantap. Dialah jawaban dari doa-doa saya.
Seminggu kemudian, dia mengirimi saya SMS. Saya anggap ini sinyal bahwa dia ingin meneruskan taarufnya dengan saya. Kami kembali bertemu di sebuah acara. Saya pikir, pada saat itu dia akan langsung meminta biodata saya dan kontak guru mengaji saya sebagai perantara. Ternyata tidak. Pertemuan itu hanya pertemuan yang dampaknya sangat buruk buat saya; membuat saya semakin jatuh cinta kepadanya.
Hari saya menjadi indah saat SMS-SMS-nya kerap datang. Ya Allah, sudah cukup lama hati ini tak dimasuki oleh cinta. Dan ketika itu datang lagi, rasanya benar-benar indah. Apalagi yang saya jatuhi cinta adalah lelaki yang mungkin akan menjadi suami saya. Angan saya melambung dan segera saya stop dengan kalimat, “tidak boleh, Ela. Dia belum sah bagimu!”
Akhirnya dengan memberanikan diri, saya menetapkan deadline taaruf. Dan tahu apa jawabnya?
“Biarkan semua berjalan seperti air yang mengalir, Ela.”
Saya bingung. Apa maksudnya? Kalau tidak ada deadline, mau sampai kapan taaruf ini berlangsung? Akhirnya saya berterus-terang kepadanya,
“Saya takut hati saya menjadi kotor.”
Dan tahu apa jawabnya lagi?
“Ya jangan kaukotori hatimu, dong.”
Saya benar-benar bingung. Ikhwan ini sebenarnya serius atau tidak sih? Tapi ya sudahlah. Rupanya cinta sudah membutakan saya sehingga saya mau saja mengikuti permainannya. Membiarkan semuanya mengalir seperti air. Toh, dia seorang ikhwan. Dia aktivis dakwah. Pemahaman agamanya pasti baik. Dia pasti juga paham bagaimana taaruf yang baik.
Seminggu berlalu. Masih tidak ada progress yang berarti. Saya jadi ragu-ragu. Istikharah pun tak ada guna, karena hati saya sudah condong kepadanya. Saya tahu itu tak boleh. Tapi mau bagaimana? Saya merasa dia jawaban dari doa-doa saya. 
Saya tidak tinggal diam. Saya ceritakan semua kepada guru mengaji saya dan ditanggapi dengan senyum manis. Guru mengaji saya tidak keberatan menjadi perantara dan menghubungi ikhwan itu lebih dulu.
SMS dia datang lagi.
“Kamu bilang apa ke guru ngajimu? Semalam dia SMS. Aku nggak tahu harus jawab apa.”
Saya melongo untuk beberapa menit. Tidak tahu harus jawab apa? Bagaimana sih dia ini? Sebenarnya dia serius atau tidak ingin taaruf dengan saya?
Saya menjadi semakin ragu. Hati saya mengatakan, dia tidak serius. Ya, dia tidak serius. Seharusnya saat itu juga saya cut proses taaruf kami karena toh sepertinya dia tidak serius. Tapi cinta lagi-lagi membutakan saya. Dan saya lagi-lagi terpedaya oleh simbol, bahwa dia seorang ikhwan. Tidak mungkin dia main-main.
Saya pun menghubungi teman saya yang pertama kali mengenalkan dia kepada saya. Saya minta teman saya itu agar menanyakan kepadanya, apa sebenarnya yang dia inginkan. Kalau memang dia ingin cut, dari sekarang saja. Agar cinta tak semakin meraja dalam hati saya.
Seminggu berlalu, tetap tak ada jawaban. Dia memang masih SMS, tapi SMS-SMS itu tak mengindikasikan bahwa dia akan memutuskan hubungan taaruf kami. Kata-katanya manis sekali dan membuat saya semakin melambung serta yakin bahwa dia akan meneruskan taaruf ini sampai ke pernikahan. Lalu suatu hari dia SMS bahwa dia akan datang menemui saya. Kami memang terpisah jarak, sehingga hubungan kami hanya melalui SMS.
Saat itu saya berprasangka baik kepadanya. Saya pikir kedatangannya itu untuk membicarakan masalah taaruf kami lebih serius. Saya benar-benar mempersiapkan kedatangannya. Benar-benar seperti seorang putri yang akan dijemput pangeran. Tapi ternyata, tak ada kata yang terucap sepanjang pertemuan kami siang itu bahkan saat saya pulang ke rumah.
Hati saya masih berbunga-bunga meskipun diliputi kebingungan. Sebenarnya dia itu bagaimana, sih?
Suatu pagi yang semula saya kira indah. Pagi-pagi sekali, sekitar jam lima pagi. Tiga SMS masuk ke inbox Hp saya. SMS darinya. Hati saya langsung berbunga-bunga. Tapi setelah membaca SMS itu....
Mendadak dada saya sakit. SMS itu panjang. Panjang sekali. Tapi hanya sebaris kalimat yang saya ingat,
“Mengingat ketidaksiapan saya menikah, mungkin lebih baik kita bersahabat saja ya, Ela.”
Dia membeberkan beberapa alasan mengapa dia belum siap menikah. Tapi sungguh, saya benar-benar lupa apa saja alasan itu saking shocknya. Saya mengambil napas, berusaha menenangkan diri.
“Ya Allah... mungkin dia memang bukan jodohku,” batin saya waktu itu. Allah tahu yang terbaik buat saya. Saya berusaha ikhlas dan pasrah. Tak lama terdengar ponsel saya berdering. Rupanya dia menelepon, tak sabar mendapat jawaban dari saya. Segera saja saya matikan teleponnya. Tak ingin nada bicara saya yang memburu tertangkap telinganya. Saya balas SMS itu dengan jawaban yang tak mengesankan bahwa saya kecewa dengan keputusannya.
Beberapa pertanyaan memenuhi kepala saya, mendesak minta dijawab.
1.                           Kalau dia memang belum siap menikah, kenapa dia menerima tawaran taaruf dari teman saya yang juga temannya?
2.                           Kalau dia tidak sreg dengan saya, kenapa dia masih meneruskan proses taaruf kami sampai sebulan lamanya yang membuat perasaan saya semakin dalam kepadanya?
3.                           Kalau dia memang tidak serius dengan saya, kenapa dia mengirimi saya kata-kata manis yang membuat harapan saya semakin melambung?
4.                           Apa maksud dia di balik semua itu?   
Pertanyaan nomor tiga langsung dijawab dengan SMS-nya,
“Saya memang suka bercanda sama SIAPA PUN. Maaf ya kalau saya kelewat batas. Tapi sebenarnya tidak ada maksud apa-apa, kok.”
Bercanda? Jadi selama ini dia cuma bercanda?! Duh, perih rasanya hati ini. Yah, mungkin memang saya yang terlalu gede rasa dan berharap terlalu tinggi. Terlalu terpengaruh oleh rasa cinta saya dan kepercayaan bahwa dialah seseorang itu yang didatangkan Allah untuk saya.
Sambil terus berkirim SMS dengannya, saya menghubungi teman saya yang kemarin pulang dengannya. Pikir saya, mungkin teman saya tahu kenapa dia memutuskan hubungan taaruf kami.  Ternyata teman saya memang tahu, dan katanya:
“Dia memutuskan taaruf itu bukan karena belum siap, La. Tapi karena dia juga sedang taaruf dengan akhwat lain.”
Sungguh, jantung saya berdebar lebih kencang dari sebelumnya sampai-sampai saya pikir jantung ini mungkin akan copot dari biliknya. Kemudian yang ada adalah marah. Ya, tentu saja saya marah. Saya merasa harga diri saya diinjak-injak. Di sini saya menyiapkan hati untuknya seorang, tapi di sana hatinya bukan hanya untuk saya, melainkan untuk memilih: saya atau akhwat itu.
Saya istigfar berkali-kali, tapi tetap tak dapat mengendalikan amarah saya. Saya SMS dia dan dia mencoba membela diri. Hati saya semakin sakit saat dia mengatakan,
“Kamu telah salah memahami arti taaruf yang saya maksudkan.”
Saya memegangi dada saya yang semakin sakit. Air mata saya deras dan napas saya tersengal-sengal. Dia bilang saya telah salah memahami arti taaruf? Memangnya apa arti taaruf menurut dia? Hanya kenalan saja?
Mungkin kalau sejak awal hubungan kami hanya teman, saya tidak sesakit ini. Tapi saya berhubungan dengannya untuk taaruf. Taaruf yang bukan hanya berkenalan, tapi taaruf yang dipahami para aktivis dakwah sebagai satu proses menuju pernikahan. Saya masih ingat kata teman saya waktu itu ketika menawarkan dia untuk saya.
“Ada yang nanyain kamu lho, La. Ikhwan. Sudah bekerja. Sudah siap nikah. Malah dia sudah pengen banget nikah dan lagi cari istri. Dia mau taaruf sama kamu. Kamu mau, nggak?”
Taaruf untuk menikah. Itu yang saya pahami. Entah dia. Dan arti taaruf yang saya pahami itu pun sudah saya tegaskan pada saat saya menanyakan kepadanya deadline taaruf. Bahkan saya mengatakan kepadanya, kalau memang dia memutuskan untuk menghentikan taaruf, saya akan menganggapnya sebagai teman biasa. Dan jawabannya mengesankan bahwa dia tidak ingin hanya menjadi teman biasa. Jadi, salahkah saya jika memahami taaruf sebagai satu proses menuju pernikahan? Dan meneruskan proses taaruf kami seperti yang dia kehendaki?
 Dan saya makin sakit waktu dia balik menuduh saya kekanak-kanakan. Tidak tahukah dia bahwa saya sedang menangis keras dan memegangi dada saya yang sakit?
Mungkin saya memang kehilangannya sebab cinta yang sudah dalam. Tapi rasa sakit karena dilecehkan itulah yang lebih dominan. Juga perasaan berdosa karena telah jatuh cinta pada orang yang salah.
Salahkah jika saya mengatakan kepadanya bahwa saya berharap tidak ada lagi ikhwan seperti dia? Berapa banyak akhwat yang akan sakit kalau banyak ikhwan yang tercipta seperti dia? Dan ketika para ikhwan itu berkumpul, mereka menertawakan para akhwat yang telah terbodohi.
Ya Allah... saya merasa sangat berdosa kepada Allah karena sebulan itu saya telah menduakan cinta-Nya.
Dia masih terus berupaya membela diri, tanpa meminta maaf kepada saya. Dia bahkan meminta e-mail saya untuk memberikan penjelasan yang lebih detail. Tapi saya tidak peduli. Saya ingat kata mutiara yang bagus sekali. Alasan-alasan hanya keluar dari mulut seorang pembohong.
Dan dia memang pembohong. Beruntunglah saya tidak mempercayainya. Di antara salah satu SMS-nya dia berkata,
“Sekarang saya sudah memutuskan untuk tidak taaruf dengan dua-duanya.”
Maksudnya, dia bukan saja memutuskan taarufnya dengan saya, tapi juga dengan akhwat itu. Kenyataannya? Sekitar dua bulan kemudian saya mendapat kabar bahwa dia akan menikah dengan akhwat itu.
Sepertinya dia sengaja membuat saya sakit. SMS-SMS darinya yang dahulu indah, sekarang menjadi pedih tak terperikan. Salah satunya:
“Saya bersyukur Tuhan tidak jadi memilihkan kamu untuk saya. Kita lihat saja nanti siapa yang tertawa belakangan.”
Saya tidak bisa berkata apa-apa, karena saya luruh, jatuh, jatuh ke jurang yang dalam. Inilah pertama kalinya saya patah hati yang benar-benar patah hati. Saya benar-benar sakit hati, dan dampak dari patah hati itu memang sangat fatal. Saya yang semula berhasil membangun kepercayaan diri, harus memulai dari nol lagi. Jelas. Kepercayaan diri saya hancur. Saya merasa menjadi orang yang tidak berarti. Tidak pantas dipilih. Tidak berharga. Padahal saya memiliki begitu banyak kelebihan yang sempat membuat saya bangga. Tapi semua itu seperti lenyap, dan saya menjadi orang yang tidak bersyukur.
Saya kalah!
Hidup saya juga jadi tidak menentu. Setiap hari yang ada adalah melamun, lalu tiba-tiba menangis. Ya Allah, saya benar-benar tidak mau perasaan melankolis itu mendera saya. Saya sudah sering patah hati, tapi tidak pernah sampai seperti itu. Kehilangan gairah hidup, bahkan menjauh dari Allah. Parahnya lagi, saya jadi tidak bisa menulis! Apalagi menulis cerita romantis. Amit-amit, deh. Jangankan menulis, membaca cerita romantis juga tidak mau. Rasanya memuakkan.
Kisah ini benar-benar menjadi pelajaran bagi saya untuk merevisi doa saya. Saya berharap hanya akan jatuh cinta pada lelaki yang sudah menjadi suami saya. Ingat, sudah menjadi suami saya. Cinta itu pun nantinya akan saya kelola sebisa mungkin agar tidak berlebihan karena meskipun sudah menjadi suami, bukan tidak mungkin suami kita membuat kita patah hati. Dan mungkin saya memang masih lemah dalam soal cinta, sehingga Allah terus menguji saya dengan masalah ini. Satu lagi, mata saya dibukakan untuk tidak melihat seseorang hanya dari simbol.
Ikhwan juga manusia.
Sayalah seorang putri yang tidak jadi dijemput pangeran. Tetapi sekarang sang putri tidak hanya menunggu di atas menara istana, karena menunggu itu rasanya membosankan. Perlahan, sang putri menuruni tangga menara dan memulai kehidupan barunya dengan membagi cintanya bukan hanya untuk sang pangeran yang entah kapan datang menjemput, tapi juga untuk keluarga dan orang-orang di sekitar yang selama ini terlupakan.
Sang putri mulai menata hidup dan membersihkan hatinya agar lapang saat menerima kedatangan pangeran yang sesungguhnya.
Makin dekat dengan Allah melalui salat malam, salat Duha, dan puasa sunah.
Makin produktif menulis. Apalagi kisah di atas memberikannya banyak inspirasi, meskipun sulit menuliskannya.
Makin teratur; setelah salat Subuh, olahraga sebentar, bersih-bersih rumah, lalu berangkat ke kantor.
Makin banyak kegiatan. Jalan-jalan silaturahim ke rumah teman atau ke tempat-tempat yang bisa memberikan sedikit kegembiraan.
Makin tebar pesona J
Makin yakin. Pangeran pasti datang. Dan yang baik, hanya untuk yang baik. Mudah-mudahan di mata Allah, sang putri termasuk orang yang baik, sehingga dijodohkan dengan orang yang baik juga. Aamiin. 
 
Rumah Cahaya, 6 September 2005
Saat hidup mulai tertata.
Terima kasih untuk semua orang yang sudah men-support saya. 
Dimuat dalam buku antologi La Tahzan for Broken Hearted Muslimah, Lingkar Pena, bersama Asma Nadia, Dkk





[1] Satu proses perkenalan antara seorang lelaki dan seorang perempuan dengan tujuan menikah. 

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....