Sunday, July 10, 2011

Cerpen: CATATAN-CATATAN SINGKAT

CATATAN-CATATAN SINGKAT
Leyla Imtichanah

Menjelang Ebtanas 1999
28 Maret 1999
Alia menjejakkan kakinya di gedung resepsi itu. Dua  minggu lagi  Ebtanas,  tapi Evi, temannya malah menikah. Sekarang ia di sini memenuhi undangannya. Undangan Evi cukup menyentak kalbunya. Evi menikah? Rasanya sulit dipercaya.  Tak apa jika ia sudah lulus SMU. Tapi Evi sama seperti dirinya. Baru akan mengikuti Ebtanas dua minggu lagi. Tak bisakah ia menunggu?
Pandangan mata Alia menyusuri seluruh ruangan, juga kepada sepasang pengantin muda yang sedang tersenyum itu. Evi tersenyum padanya, ia membalas. Evi memang cantik. Sejak SD mereka selalu bersama. Baru setelah SMU mereka  berpisah. Alia diterima di sekolah negeri, sedangkan Evi harus cukup puas di sekolah swasta karena NEM-nya tak mencukupi. Meski berpisah, hubungan mereka tak terputus. Itulah sebabnya Evi mengundangnya hari ini. Sesuatu yang masih belum bisa dipercayainya. Evi bukan hanya cantik, waktu SD dan SMP  ia  selalu meraih  juara  kelas. Evi gadis yang baik dan pintar. Itulah sebabnya Alia tak percaya ketika Evi menikah karena  telah  hamil dua bulan oleh pacarnya!

1 April 1999

Alia membereskan buku-bukunya dengan cepat. Ia sudah terlambat Ada bimbingan belajar jam setengah tujuh nanti. Persiapan Ebtanas.
Assalamu’alaikum!” ucapnya, saat memasuki kelas. Semua mata  memandangnya. Ia jadi malu. Juara kelas, telat.
“Masuk, Lia! Tumben telat.” Bu Iva tersenyum. Alia tersipu.  “Sebelum masuk ke materi, saya mau absen dulu, ya!”  kata Bu  Iva.   Anak-anak mengiyakan. Bu Iva mulai mengabsen satu persatu.
“Taufik?”
“Nggak ada, Bu!” jawab Dino, ketua kelas.
“Taufik tidak ada  lagi?  Sudah  satu  minggu  dia  tidak  masuk.  Ada  yang tahu kenapa?” tanya Bu Iva. Anak-anak saling bertatapan. Mereka pun tak tahu ada di mana juara kedua di kelas itu.
“Ardi? Masak kamu nggak tahu tentang Taufik? Kamu kan sahabatnya,” tanya Bu Iva pada Ardi, teman sebangku Taufik. Anak itu tertunduk.
“Sebenarnya ini rahasia, Bu. Tapi demi kebaikan Taufik sendiri…. Baiklah! Taufik dipenjara, Bu. Ketahuan nyuri playstation,” jawabnya. Anak-anak terkejut, apa lagi Bu Iva. Kelas pun jadi ramai.
“Ya Allah! Bagaimana bisa begitu? Kenapa sekolah sampai tidak tahu?”    tanya Bu Iva, tak percaya.
“Orang tua Taufik sendiri yang nyuruh saya tutup mulut. Taufik nyuri karena nggak punya uang buat bayar Ebtanas nanti,” jawab Ardi. Bu Iva tertunduk. Alia juga terpaku. Taufik seharusnya….

10 April 1999

Alia merapatkan jaketnya. Dingin. Hari ini hujan turun terus-menerus. Enaknya malam ini makan martabak. Itu sebabnya ia dan Faiz, adik satu-satunya   malam-malam di jalanan mencari tukang martabak.
“Martabak kejunya, Bang!” serunya setelah menemukan penjual martabak itu. Lumayan ramai juga malam ini. Atau memang setiap malam begini? Ia tak tahu. Ia jarang keluar rumah malam-malam.
“Mbak! Mbak! Liat deh! Ada ciblek!” seru Faiz. Ciblek adalah panggilan untuk WTS yang belum cukup umur.
“Hus! Faiz! Dijaga omongannya!” Alia mengomel.
“Iya, tau. Tapi liat, deh! Itu, kan masih segede Mbak.”
“Jangan diliatin gitu, dong, Iz!”
“Liat, Mbak! Siapa tau temen Mbak.”
 Alia merengut.
“Enak aja! Teman Mbak nggak ada yang kayak gitu!” tukasnya. Tapi ia menoleh juga akhirnya. Seorang gadis muda seusianya, dengan pakaian yang bertolak belakang dengan cuaca malam ini. Tertawa-tawa tak karuan di pelukan lelaki tua. Alia geleng-geleng kepala. Saat gadis itu tertimpa cahaya lampu jalan, wajah Alia pucat. Gadis itu… Vira! Gadis itu benar temannya! Gadis itu pun seharusnya belajar malam ini untuk persiapan Ebtanas! Alia lemas.
Alia tak menyentuh sedikit pun martabak kejunya. Selera makannya hilang. Ia masih teringat Vira. Ia tak percaya. Vira jadi perempuan malam? Vira, teman SD-nya juga yang sempat menjadi pesaingnya memperebutkan juara kelas kedua? Benarkah itu?

16 April 1999

Tiga hari lagi Ebtanas. Ebta praktek telah usai. Ah, Alia lega sekali meski perjuangan belum usai. Hari ini ia jalan-jalan sebentar di supermarket. Hitung-hitung bantu ibu belanja. Seseorang menegurnya saat ia sedang memilih buah.
 “Hai! Apa kabar, Alia?” Alia menoleh. Ia agak terkejut menatap sosok langsing berbalut kaos dan jeans ketat itu. Seperti artis sinetron, tetapi bukan. Dia, Sintia, teman SD-nya dulu. Terakhir bertemu waktu perpisahan SD dulu.
“Tadinya aku ragu waktu mau negur kamu. Kamu bener Alia, kan?” tanyanya. Alia tersenyum. Mereka akhirnya berpelukan.
“Kamu beda banget, Lia!” kata Sintia menatap jilbab dan pakaian Alia yang longgar. Alia tersenyum.
“Kamu juga!”
Seorang lelaki setengah tua berpakaian necis menghampiri mereka dan langsung memeluk Sintia. Alia terkejut.
“Ini pacarku, Lia. Udah tua, sih. Tapi nggak pa-pa. Yang penting duitnya,” kata Sintia, bangga. Alia berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
“Emm… udah siap Ebtanasnya?” tanyanya, mengalihkan pembicaraan. Sintia tertawa lebar, begitu juga lelaki di sampingnya. Alia merasa mereka menertawakannya.
“Ebtanas? Buat apa, sih? Hidup gue udah terjamin ini. Kan, ada dia….Udah dulu, ya, Lia. Gue ada acara. Bye…!” Sintia berlalu meninggalkan Alia yang terpaku. Sekali lagi, ia tak percaya.

17 April 1999

Kami semua berharap padamu, Lia. Keberhasilanmu bukan hanya untuk dirimu sendiri, tapi juga kebanggaan kami, guru-gurumu,” kata Bu Mira, di ruang BP (Bimbingan Penyuluhan). Alia tersenyum.
“Insya Allah, Bu.”
“Berusahalah dengan sebaik-baiknya, ya. Kamu itu harapan bangsa. Orang-orang seperti kamu hanya sedikit di negeri ini. Kamu telah diberi kesempatan untuk berhasil. Cobalah lihat di sekelilingmu. Banyak yang gagal. Karena itu, jangan sia-siakan kesempatan ini,” pesan Bu Mira lagi. Alia mengangguk. Ya, tentu saja. Ia telah menyaksikan semua fenomena kegagalan itu. Ia tak mau menjadi salah satu dari mereka. Tidak.

18 April 1999

Alia garuk-garuk kepala. Pussing! Besok hari pertama Ebtanas, jadi malam ini ia belajar extra keras. Untung kemarin-kemarin sudah dicicil sedikit-sedikit.
Ia melirik koran  di sampingnya. Untuk meringankan pikiran, lebih baik baca koran dulu. Siapa tahu besok keluar dalam ujian. Apa coba? Diraihnya koran itu dan dibacanya.
Jakarta,Harian Umum.
Seorang siswa kelas tiga SMU sebuah sekolah swasta di Jakarta ditangkap polisi di sebuah diskotek  hari Sabtu kemarin. Ia tertangkap karena membawa 10 butir extacy di dalam sakunya. Saat ditangkap, yang bersangkutan sedang mabuk. Sayang sekali, padahal tersangka tercatat sebagai peserta Ebtanas yang akan dimulai hari Senin besok.
Alia melipat korannya. Ia geleng-geleng kepala. Satu demi satu peristiwa terjadi. Tentang mereka, teman-temannya. Evi, Taufik, Vira, Sintia dan anak ini. Mereka semua seusianya, dan mereka seharusnya mengikuti Ebtanas, besok.
***
Dimuat di Annida No. 19 Th. XII 1-15 Juli 2003




No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....