Sunday, July 10, 2011

Novel: Cinta Buat Chira (4)

4

“Wow, Putty! Bagus deh.” Puji Milly.
“Iya. Lu jadi kayak artis Hongkong.” Fera ikut-ikutan.
“Kalau Putty sih emang cocok.” Kata June. Huh! Cira sebel. Kupingnya panas banget denger omongan barusan. Giliran Putty yang potong rambut, dipuji mati-matian! Sebel!!!
“Cira, lu nggak komentar?” tanya Putty sambil memegangi rambut chaggynya. Cira mencibir. Ia tahu, sikapnya ini nggak layak banget dialamatkan buat orang yang selama ini selalu membelanya.
“Lu sih bisanya ngejiplak.” Katanya, sinis. Kening Putty berkerut. Milly, June,  Fera ikut-ikutan menajamkan telinganya.
“Apa kata lu tadi?” tanya Putty. Cira melengos.
“Lu mah bisanya ikut-ikutan doang. Gue potong chaggy, eh lu ikut-ikutan!” katanya, jelas banget. Cira terkejut mendengarnya. Terlebih lagi yang lain.
“Wah, Cira! Lu ngiri, nih!” seru Milly.
“Iya. Cira iri berat.” June ikut-ikutan.
“Jangan gitu dong, Ra. Lu harus ngakuin kalau Putty emang lebih pantes dipotong pendek.” Kata Fera. Putty hanya menghela napas.
“Cira…gue nggak nyangka lu bisa ngomong kayak gitu. Lu kan sahabat gue.” Ucapnya disertai anggukan yang lain. Spontan Cira berdiri.
“Ya udah. Kalo lu nggak mau sahabatan sama gue lagi. Ya udah!” serunya sambil meninggalkan semuanya. Putty dan kawan-kawan hanya bisa terbengong-bengong.
“Cira kenapa tuh?” tanya Fera.
“Tau deh. Dia duluan kok.” Putty tak mau ambil pusing.
***
Cira menangis di musholla. Selalu saja begitu. Bukan sekali ini saja ia diperlakukan tidak adil oleh teman-temannya. Kenapa sih mereka nggak bisa sekali…saja menghargainya? Kenapa? Hiks! Cira sedih. Sangat. Ia merasa tidak berharga di dunia. Kalau bukan karena masih ada Derry…ya, kan masih ada Derry. Tapi…di mana dia? Kenapa dia tidak datang menemaninya di sini? Mendengarkan ceritanya. Kenapa?
“Wah, Putty. Potong rambut, nih, ye!” kata Derry sambil mesem-mesem. Beruntung sekali ia hari ini. Cira nggak ada jadi dia bisa duduk di sebelah Putty.
“Ngapain sih lu di sini?” sungut Putty.
“Gue mau duduk sama elu. Ngerjain apa sih? Kayaknya lu sibuk…terus.” Tanya Derry, basa-basi.
“Suka-suka gue dong.”
“Eh, Cira mana?”
“Nggak tahu.”
“Masih lama nggak ya dia?”
“Emang kenapa?”
“Biar gue bisa duduk lama-lama di sini.” Jawab Derry, lagi-lagi sambil mesem-mesem. Kening Putty berkerut.
“Kok lu malah seneng sih Cira nggak ada?” tanyanya, bingung.
“Iya lah.” Derry mesem-mesem lagi. Putty jadi curiga.
“Gue mau cerita nih sama elu. Gue mau curhat. Lu mau kan jadi temen curhat gue?” tanya Derry.
“Curhat sama Cira aja.”
“Ya, mana? Orangnya aja nggak ada. Sebenarnya gue lebih suka curhat sama elu. Kayaknya elu lebih enak diajak curhat.” Derry mesem-mesem lagi. Pokoknya Putty benar-benar nggak ngerti. Dan ketidakmengertiannya itu juga dialami oleh Cira yang melihat dengan mata kepalanya sendiri: DERRY DEKET-DEKET SAMA PUTTY!!!
***
Komplit udah kesedihan gue hari ini. Putty merebut semua yang gue miliki. Teganya dia ngerebut Derry. Padahal yang lebih dari Derry dia juga bisa dapet. Kenapa sih dia nggak usaha sendiri? Kenapa, Putty?!!! Sekarang dan entah kapan, gue nggak bakal punya sahabat lagi. Semua orang sama aja. Putty juga. Dia sama jahatnya. Sebel!
“Cira? Bengong lagi?” tanya Farhan, mengejutkan. Cira buru-buru menghapus airmatanya. Aneh, lagi-lagi ketemu Farhan dan lagi-lagi di tempat pemberhentian angkot.
“Eh, elu. Gue udah sholat, kok.” Kata Cira sebelum ditanya. Farhan tersenyum.
Alhamdulillah. Kamu kenapa, Cira? Kok kayaknya sedih banget.” Tanyanya. Cira jadi nggak enak. Sejujurnya, dia GR. Farhan selalu perhatian padanya.
“Enggak. Nggak pa-pa, kok.” Cira berusaha menyembunyikan perasaan hatinya.
“Yah, kalau nggak mau cerita ya nggak pa-pa. Tapi kalau mau cerita, itu lebih baik lagi. Jangan suka memendam masalah. Nggak baik.” Kata Farhan, lembut. Yang begini ini nih yang semakin membuat hati Cira tak menentu. Tapi dipikir-pikir…kenapa ia nggak terima aja ya maksud baik Farhan? Itung-itung menggantikan Derry.
“Eh, tuh angkotnya kosong!” tunjuk Farhan. Cira mengikuti langkah kaki Farhan menuju angkot.
“Silahkan, Ladies First!” kata Farhan, mempersilahkan. Cira jadi makin kebat-kebit. Di angkot, mereka duduk hadap-hadapan. Alasan pertama, buat Farhan itu lebih baik daripada bersebelahan. Kedua, memang tidak ada tempat duduk lagi. Selanjutnya angkot berjalan perlahan karena jalanan memang macet. Cira sibuk mencari kata-kata yang tepat untuk menceritakan masalahnya.
“Gue lagi ada problem sama Putty.” Katanya pada akhirnya.
“Oh….” Farhan manggut-manggut. “Masalah apa?”
“Pokoknya gue punya masalah dan intinya gue mungkin nggak akan ngomong sama dia lagi.” jelas Cira.
Astaghfirullah! Tidak baik itu.” Kata Farhan. Selanjutnya Cira mendengarkan ceramah Farhan yang kali ini terasa menyenangkan.
“Memutus hubungan silaturahmi itu dosa. Marahan sampai tiga hari saja dosa.” Kata Farhan.
“Iya. Gue juga pernah denger itu. Tapi gimana? Gue gengsi kan baekan. Ntar deh tunggu sampe tiga hari.” Cira menghela napas.
“Wah…kalau bisa lebih cepat, kenapa enggak?’
“Tapi gue gengsi.”
“Lebih baik mana daripada kehilangan teman?”
“Gue maunya Putty  yang ngomong duluan.” Cira merengut. Farhan manggut-manggut.
“Mungkin saya bisa usahakan.” Ucapnya. Cira surprise. Nggak lama. Selanjutnya ia manyun lagi.
“Jangan bilang gue yang duluan minta baekan, lho. En kalau dia mau baekan sama gue, dia musti jauhin Derry!” tegasnya. Farhan terkejut.
“Kok jadi bawa-bawa Derry?”
“Iya. Putty berusaha merebut Derry dari gue!” seru Cira. Farhan istighfar.
“Memangnya…kamu dan Derry….”
“Yah, ini rahasia sih.” Cira menutup mulut.
“Oh…saya tak menyangka.” Farhan bergumam.
“Apa? Ternyata lu sama aja! Lu ngeremehin gue!” teriak Cira.
“Eh, tenang…tenang dulu, Cira. Sabar….” Farhan jadi tak enak hati. Gara-gara teriakan Cira barusan, semua mata di angkot menatapnya. Cira berusaha meredam emosinya.
“Maaf kalau saya menyinggung kamu. Tapi saya tahu bagaimana Derry. Dia itu kan…” Farhan istighfar. “Kok jadi malah ghibah, ya?” gumamnya.
“Apaan tuh?” Cira bingung.
“Ngomongin orang. Yah, pokoknya Derry itu suka sama perempuan dengan ciri wajah tertentu.” Jawab Farhan, makin membuat Cira bingung.
“Maksud lu apa, sih?”
“Yah…perempuan kan suka ngomongin laki-laki, nah laki-laki juga begitu. Derry juga suka ngomongin tipe perempuan yang dia suka dan saya sering denger juga.” Jelas Farhan. Cira manggut-manggut.
“Terus?” ia penasaran. Farhan melongok ke luar jendela.
“Aduh…maaf ya, Cira. Saya sudah sampai. Besok saja kita lanjutkan.” Ia mohon pamit. Cira melengos.
“Gue minta nomer telpon lu deh!” serunya. Farhan tersenyum.
“Belum ada telpon di rumah saya.” Katanya sambil ke luar dari angkot. Cira melengos. Tak lama ia sadar, ia sendiri belum punya telpon!
***
Tiba-tiba aja gue merasa sangat bersalah sama Putty. Seharusnya gue nggak boleh marah sama dia. Dia kan selalu baik sama gue. Cuma dia yang selalu hadir membela gue. Gue tahu, yang salah tuh sebenarnya ya gue. Gue iri sama dia. Gue iri sama semua keberuntungan yang dia dapatin. Sedikit pun gue nggak liat kekurangannya. Apapun yang dia lakukan, pasti selalu dipuji orang. Sedangkan gue? Mana pernah orang memuji gue. Kayaknya Tuhan emang nggak adil buat gue. Tuhan bener-bener nggak adil! Kenapa ada orang yang sangat beruntung seperti Putty dan ada orang yang sangat sial seperti gue?! Hiks! Sedih. Pokoknya gue sedih. Tapi seharusnya Putty nggak boleh menerima kesedihan gue ini. Dia seharusnya tetap temen gue karena cuma dia yang baik sama gue. Gue harus baikan sama dia! Harus! Tapi…gue gengsi.
***
Hari ini benar-benar hari yang tidak menyenangkan buat Cira. Biasanya setiap ketemu Putty, mereka berdua tersenyum lebar seperti ketemu pacar saja. Tapi sekarang? Jangankan tersenyum, saling melihat saja tidak. Putty buang muka, dan Cira…karena dia gengsi digituin, dia juga buang muka. Mereka seperti dua orang yang berdekatan tapi nggak saling mengenal. Pokoknya bagi Cira, ini benar-benar siksaan batin. Apalagi ternyata teman-temannya yang lain entah kenapa nggak menyapanya juga. Mereka ngobrol dengan Putty tanpa mengindahkan keberadaannya. Sepertinya Cira itu hantu yang nggak kelihatan!!!
“Put, gue tadi ketemu Doni, lho. Gue rasa, lu bakalan rugi banget kalo nggak nyoba pedekate sama dia.” Kata Milly. Fera dan June ikut manggut-manggut. Pandangan mata mereka benar-benar hanya ke Putty. Ia seperti tidak melihat Cira. Putty hanya tersenyum menanggapi.
“Iya, Put. Gue pikir juga sebaiknya lu deketin tuh cowok. Kalau elu gue yakin berhasil deh.” June ikut  mengompori.
“Kalau perlu, kita bantuin, deh.” Fera menawarkan.
“Nggak perlu! Nggak perlu! Gue nggak perlu bantuan kalian!” jerit Putty. Milly, Fera dan June tertawa.
“Santai aja lagi. Naksir kan biasa. Emangnya cowok aja yang boleh pedekate.” Milly tersenyum.
 “Nggak! Sekali enggak ya enggak. Gue nggak mau harga diri gue jatuh!” seru  Putty, mantap.
“Yah, payah. Sekarang kan udah jamannya cewek ngutarain cinta duluan. Kenapa enggak? Habis, kalo nunggu doi, kelamaan.” Fera meyakinkan.
“Pokoknya sekali enggak, enggak. Ntar kalau jodoh juga ketemu.” Kata Putty, yakin.
“Kalo enggak?” tanya June.
“Ya udah.” Jawab Putty, ringan.
“Berarti elu emang bener-bener nggak niat. Elu nggak bener-bener suka sama Doni.” Milly memancing.
“Pokoknya sampai kiamat pun enggak. Terserah deh lu mau bilang apa.” Putty tersenyum. Milly, Fera dan June saling berpandangan.
“Woi, cewek-cewek! Gosip aja!” seru Derry, tiba-tiba. Jantung Cira berdetak lebih kencang karenanya.
“Yei! Mau tau aja urusan cewek!” sungut Milly.
“Ada gosip apa, nih?” tanya Derry, ikut nimbrung.
“Eh, lu cowok ikut-ikutan aja.” Sahut June.
“Biarin!” Derry senyum-senyum. Tatapannya tak mau lari dari Putty. Cira jadi sebal. Tuh, kan. Derry cuek padanya! Tanpa sadar ia berdiri dan meninggalkan kerumunan itu.
“Hei! Cira mau ke mana?” tanya June. Langkah Cira terhenti. Jadi mereka sadar dengan kehadirannya, toh? Cira berusaha tersenyum.
“Ke luar.” Jawabnya sambil berlalu. Putty, Milly, June dan Fera berpandangan.
“Kayaknya…Cira masih marah.” Kata mereka, bareng. Putty menghela napas.
“Nggak tau deh. Gue sih merasa nggak bersalah.” Katanya.
Gue pengen nangis. Suer!!! Gue bener-bener nggak punya temen, juga pacar. Perhatian semua orang sekarang terpusat ke Putty. Gue ingin nggak membencinya, tapi gimana? Dia bener-bener udah ngerebut Derry dari gue. Sebel!!!
“Cira!” tegur seseorang. Cira menoleh. Derry! Benarkah?! Apakah Derry datang untuk minta maaf? Oh…Cira senang sekali. Ia buru-buru menghapus airmatanya.
“Gue mau ngomong.” Kata Derry sambil tersenyum.
“Apa?” tanya Cira. Sebenarnya sih Cira sudah tahu Derry mau ngomong apa. Paling mau minta maaf.
“Gue minta maaf, ya.” Kata Derry. Tuh, kan!! Duh, Cira seneng banget. Ia tak bisa menyembunyikan senyumnya.
“Untuk apa?”
“Gue…gue nggak perlu bantuan lu lagi.” kata Derry mengejutkan. Apa maksudnya ini? Cira tak mengerti.
“Maksud lu apa?”
“Yah…gue rasa…gue bisa deketin Putty sendirian. Jadi, gue nggak perlu mak comblang lagi.”
PLASS!!!! Rasanya tanah tempat Cira berpijak sekarang ambruk dan membawa serta Cira. Ia ingin benar-benar masuk ke dalam bumi saja. Apa kata Derry tadi? Mak comblang? Jadi selama ini Derry memintanya menjadi…mak comblang? Cira tak bisa menahan airmatanya.
“Jadi…selama ini…elu naksir….”
“Cira? Lu nggak pa-pa, kan? Kok elu nangis?” Derry khawatir. Cira buru-buru menghapus airmatanya.
“Enggak. Nggak pa-pa. Gue emang nggak bisa bantuin elu, Der.” Cira terisak. “Gue kan lagi marahan sama Putty.”
“Oh…ya deh. Maka dari itu, gue nggak butuh bantuan lu lagi. tungguin aja jadinya gue sama Putty, ya. Ntar kalo udah jadi, gue bikin kalian baekan lagi, deh. Udah dulu, ya!” kata Derry sebelum meninggalkan Cira yang semakin kencang nangisnya.
“Ya Tuhan!!! Kau benar-benar nggak adil sama gue!!!” teriaknya, memecah kesunyian musholla tempatnya berdiam saat ini. Tadi ia memang melarikan diri ke musholla yang kondusif banget buat merenung. Suara orang mengaji yang sangat merdu membuatnya terpaku. Suara itu datang dari tempat sholat laki-laki. Cira membuka tirai yang memisahkan tempat laki-laki dan perempuan itu.
“Farhan?” tanyanya, pelan. Farhan menoleh.
Astaghfirullahaladziiem! Cira! Saya pikir siapa.” Serunya, lucu. Rupanya ia terkejut dengan kedatangan Cira yang tiba-tiba. Cira tertawa melihat ekspresi wajah Farhan yang lucu.
“Farhan…” ucapan Cira menggantung.
“Ada apa? Eh, sebaiknya kalau mau ngobrol kita ke luar saja, yuk. Nggak enak, nih di dalam musholla. Mana sepi lagi.” kata Farhan, lucu. Cira tertawa.
“Ye! Gitu! Nggak mungkin deh kita di musholla macam-macam.”
“Siapa tahu? Setan kan bisa datang di mana aja. Atau kalau enggak, tirai ditutup lagi deh.” Pinta Farhan. Kening Cira berkerut.
“Maksudnya…gue pindah ke sana?”
“Yah, bukan. Itu malah bikin kita jadi makin deket. Maksudnya kita ngobrol dipisah tirai saja, gitu.”
“Yah, nggak enak. Ntar nggak bisa ngeliat wajah elu lagi.”
“Ya memang tidak usah pakai liat-liatan.”
“Ah, elu kege-eran deh.” Cira melengos.
“Memangnya nggak boleh? Saya kan pemalu. ” Farhan tertawa. Cira juga. Lalu ia menutup tirai. Sekarang mereka berdua dipisahkan tirai.
“Jadi orang yang suka kege-eran itu nggak enak.” Gumam Cira.
“Apa?” Farhan tak mendengar.
“Tuh, kan. Gini nih kalo ngomong dipisah tirai.” Cira merengut.
“Yah, yang keras, dong.”
“Gue sebel! Gue pikir Derry naksir gue, ternyata dia naksir Putty!” seru Cira.
“Hus! Jangan kenceng-kenceng, Cira. Nanti kedengeran orang loh. Memangnya kamu nggak malu.”
“Iya. Gue malu. Malu banget. Ugh! Ternyata Derry cuma jadiin gue mak comblang buat deketin Putty.”
“Apa saya bilang….”
“Emang lu pernah bilang?”
“Belum sih. Belum sempat, tapi sudah ada di otak saya. Saya sudah tahu kalau Derry itu suka Putty. Derry memang menyukai perempuan yang berwajah Cina.” Urai Farhan. Mulut Cira membentuk huruf O.
“Jadi gitu. Tapi…sikap Derry itu bikin gue GR.”
“Memang kita tidak boleh terlalu banyak berprasangka. Sebagian prasangka itu dosa.”
“Gue kesel sama Allah. Kenapa sih Dia nggak adil sama gue?”
Astaghfirullah…. Tuh, kan kamu berprasangka lagi. Kamu boleh berprasangka asal yang baik-baik saja, karena Allah mengikuti prasangka hambaNya. Kalau kamu berprasangka baik sama Allah, maka Dia akan memberikan prasangka itu padamu. Sebaliknya, kalau enggak, ya kamu akan mendapat apa yang kamu sangka itu.” Jelas Farhan. Cira mangut-manggut.
“Tapi kan…gue juga berprasangka baik.”
“Apa?”
“Yah, waktu Derry deketin gue, gue seneng banget karena ternyata ada juga cowok yang suka sama gue. Ternyata…semua hanya mimpi.” Cira manyun lagi. Farhan tersenyum.
“Bukannya itu bagus?”
“Bagus gimana?!” Cira naik darah.
“Yah, bagus. Kalau dia benar suka sama kamu, nanti kalian pacaran. Nah!”
“Nah apa? Ngomong yang langsung dong!”
“Pacaran itu nggak boleh, Cira….” Jawab Farhan. Cira melongo. Hah?! Baru denger!
“Tapi….” Belum sempat ia bertanya lebih jauh, bel berbunyi.
“Wah, sudah bel nih, Ra. Kita masuk, yuk!”
“Ya udah deh. Kapan-kapan kita lanjutin lagi, ya.” Cira menghela napas lega. Setidaknya sedikit masalahnya sudah terselesaikan.
“Oh ya. Sebaiknya kamu berprasangka baik juga sama Putty. Prasangka buruk hanya akan membuat kalian bermusuhan terus.” Kata Farhan menutup pembicaraan. Cira manggut-manggut.
***
Kata Farhan, pacaran itu dosa. Masa’ sih? Tapi kenapa gue nggak pernah denger sebelumnya? Dan kenapa hampir semua anak di sekolah ini pacaran? Kalau dosa, harusnya mereka takut, dong. Ah, Farhan cuma mengada-ada. Gue nggak pernah denger deh ada Ustadz yang ngomong gitu. Paling ustadz-ustaadz bilang yang dosa itu kalau kita bunuh orang, ngerampok, berjudi, minum minuman keras, dan lain-lain. Tapi gue nggak pernah denger kalo pacaran itu juga dosa. Iya nggak sih? Gue musti tanya sama Farhan lebih lanjut.
DUG! Cira dan Putty sama-sama menatap, selanjutnya sama-sama membuang muka. Barusan kepala mereka saling bertabrakan saat sama-sama ingin mengambil  buku di dalam laci. Kalau lagi nggak musuhan, sih, pasti mereka sudah tertawa bareng. Tapi sekarang? Mana bisa? Cira jadi sedih banget. Nggak enak deh rasanya nggak ngobrol seharian sama Putty. Sampai kapan ia harus begini?
“Sst…Farhan.” Bisik Robert. Farhan menoleh.
“Ada apa?”
“Gini, menurut lu gimana ya kalau gue deketin Putty?” tanya Robert. Farhan terkejut.
“Buat apa?”
“Ye! Ya buat jadiin dia pacar gue!” seru Robert, tapi kemudian menutup mulutnya kembali. Farhan melongo.
“Kamu…suka juga sama Putty?”
“Iya, gue tahu sih dia tuh banyak yang naksir.”
“Kamu ingin jadi pacarnya?”
“Iya. Menurut lu gimana?”
“Kalian kan beda agama.” Farhan geleng-geleng kepala.
“Emangnya kita mau nikah! Orang pacaran sih nggak perlu mikirin agama!” cetus Robert.
“Saya tak menyangka.”
“Udah deh. Nggak usah disangka-sangka.”
“Tapi itu berarti kamu bersaing sama Derry.”
“Derry?” Robert terkejut. Farhan mengangguk. “Ah, biarin! Makanya gue pengen cepet-cepet nembak Putty.” Kata Robert, mantap.
“Siapa tahu dia sudah punya pacar.”
“Nggak! Gue nggak yakin. Gue tahu sih, cewek secantik dia pasti udah punya pacar, tapi gue nggak pernah liat tuh.”
“Siapa tahu di rumahnya?”
“Nah, makanya. Di sekolah kan belum punya, jadi dia harus punya pacar yang di sekolah.”
Masya Allah! Kamu pikir Putty tipe perempuan seperti itu?” Farhan geleng-geleng kepala.
“Liat aja gayanya. Dia kan genit banget. Dikit-dikit bedakan. Paling juga gampangan.” Robert meremehkan. Farhan istighfar.
“Kamu mau dengan perempuan yang gampangan?”
“Gue bilang juga cuma buat pacaran ini. Gue kan nggak mau nikah sama dia.” Gerutu Robert. Sebal karena Farhan nggak paham-paham. Farhan istighfar.
“Jadi pacaran itu cuma buat main-main?”
“Iya lah. Namanya juga baru kelas satu SMU. Gimana nurut lu? Kira-kira Putty bakalan nerima gue, nggak?”
“Sebaiknya jangan deh. Anak orang tuh.”
“Ya iya lah. Emangnya anak monyet!”
“Iya. Jangan dipermainkan.”
“Habis, dia mengundang banget sih!” Robert senyum-senyum. Farhan istigfar lagi.
“Kamu kok pikirannya kotor sekali?”
“Biarin, ah. Pokoknya gue akan nembak dia.” Kata Robert, yakin. Farhan geleng-geleng kepala. Tiba-tiba saja ia merasa kasihan pada Putty.
***
Bel pulang sekolah berbunyi. Kelas pun gaduh karena semuanya sibuk membereskan buku-bukunya. Cira berkali-kali menoleh ke arah Farhan. Ia mau pulang bareng Farhan.
“Farhan!” panggilnya. Farhan tersenyum.
“Ada apa?”
“Gue pulang bareng elu, ya?”
“Tapi saya mau sholat Dzuhur dulu.”
“Gue juga. Yuk!” ajak Cira.
“Tapi….” Farhan ragu-ragu.
“Tapi apalagi, sih?” Cira kesel.
“Jalannya jangan terlalu deket, ya? Nanti orang-orang mikir yang bukan-bukan lagi.”
“Huh! Dasaar! GR banget, sih!” Cira merengut.
“Kalau ini bukan GR, tapi mencegah.”
“Mencegah apa?”
“Mencegah terjadinya fitnah. Ayo, siapa yang mau duluan ke  musholla? Saya atau kamu?” tanya Farhan. Cira manyun.
“Lu aja duluan, gih!” sungutnya. Farhan tersenyum. Cira menoleh ke belakang. Terlihat di sana Putty sedang jalan berdua dengan Derry. Cira marah! Giliran Putty aja, Derry nggak takut dimarahin kakaknya. Dasar!
“Sebenarnya  gue tuh pengen nggak benci sama Putty, tapi gimana, ya?” tanya Cira pada Farhan setelah mereka selesai sholat Dzuhur. Sekarang mereka sedang menunggu angkot.
“Kamu iri dengannya ya?” tanya Farhan. Malu-malu Cira mengangguk. “Saya paham.” Farhan mengerti.
“Yah, cewek mana sih yang nggak bakal iri sama Putty? Dia punya segalanya.” Cira merengut.
“Tapi penyakit hatimu itu yang membuatmu membencinya. Padahal belum tentu Putty juga membenci kamu.”
“Tapi dia juga ngediemin gue!” sungut Cira.
“Belum tentu itu karena dia benci kamu juga, tapi karena dia takut menegur kamu.”
“Maksudnya?”
“Dia tahu kamu marah sama dia. Dia takut kalau dia negur kamu, kamu nanti malah tambah marah.”
“Jadi…gue yang harus duluan negur?” tanya Cira. Farhan mengangguk.
“Tapi gue…”
“Gengsi?” tebak Farhan. Cira mengangguk.
“Yah, terserah. Kalau kamu masih mau berteman sama dia, terserah.” Kata Farhan, ringan. Cira jadi makin bingung.
“Belum tentu dengan memiliki segalanya orang akan menghargai kita. Banyak gadis yang cantik ternyata hanya menjadi bahan permainan lelaki.” Jelas Farhan. Cira menggut-manggut.
“Iya yah.”
“Yang penting yang cantik itu hatinya. Kalau hati kita cantik, orang akan menghargai kita tanpa menilai fisik kita.” Lanjut Farhan. Cira manggut-manggut lagi.
“Lu persis Aa’ Gym, deh.”
“Saya memang penggemar Aa’ Gym. Eh, itu angkotnya. Yuk!” ajak Farhan. Cira mengikuti Farhan.
“Eh, Farhan.” Panggil Cira. “Tolong dong bantuin gue baekan lagi sama Putty.” Pintanya. Farhan tersenyum.
“Insya Allah.”
“Eh, Farhan! Boleh gue nanya sama elu lagi?” tanya Cira, ragu, setelah mereka duduk di dalam angkot. Farhan mengangguk. Cira diam sejenak.
“Tapi lu jangan marah, ya?” pintanya.
“Kenapa harus marah?”
“Entar gue nyinggung lagi.”
“Insya Allah saya nggak marah.” Farhan tersenyum. Cira meremas-remas jemarinya.
“Em…kenapa sih elu nunduk terus?” tanyanya, membuat Farhan terkejut.
“Em…memangnya kenapa? Nggak boleh?” Farhan balik nanya. Cira garuk-garuk kepala.
“Ya enggak sih. Cuma gue merasa terhina aja. Kan dalam etika pergaulan, kalau sedang berbicara kita harus menatap lawan bicara kita.” Katanya, jelas. Farhan tertawa kecil. Cira merengut.
“Kenapa sih? Gue lucu, ya?” tanyanya, marah.
“Enggak, enggak. Maaf ya, Cira. Maaf kalau selama ini saya sudah menyinggung kamu. Ya, memang sih. Etika pergaulan itu harus dipakai, tapi kalau ngobrolnya sama sesame jenis. Kalau sama lawan jenis, sebaiknya etika pergaulan dalam Islam yang dipakai.” Jelas Farhan.
“Etika pergaulan dalam Islam?” Cira bingung.
“Iya, kalau dalam Islam, mata kita harus dijaga. Sama lawan jenis nggak boleh liat-liatan. Soalnya pandangan mata kita itu adalah anak-anak setan. Kan dari mata turun ke hati.” Jawab Farhan. Cira melongo mendengarnya.
“Oh…gitu….” Gumamnya.
“Sudah ngerti?”
“Belum.” Jawab Cira, lugu.
***
Bener juga apa kata Farhan. Gue aja yang kurang berpikir jernih. Lama-lama gue seneng juga deketan sama Farhan terus, meskipun dia suka ceramah. Bareng dia benar-benar bikin hati senang. Dia nggak pernah menyinggung hati gue. Dia menghargai gue banget. Farhan, gue banget! Apa coba? Mudah-mudahan gue bisa baekan lagi sama Putty. Eh, gue lupa. Ada yang lupa gue tanyain sama Farhan. Kenapa pacaran itu dosa? Nah, lho! Besok lagi deh gue tanyain dia. Sekarang gue mau tidur.

---------------------------
Klik di sini untuk baca kelanjutannya yaaa



No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....