Thursday, July 28, 2011

Novel: TRUE LOVE (5)

LIMA


Benarkah cinta seperti angin?
Datang sebentar: nikmat,
lalu pergi: derita
Benarkah cinta seperti air?
Tenang: menghanyutkan
Arus: menenggelamkan
Bukan cinta itu yang kumau
Kuingin cinta yang menenangkanku
Cinta

“Hara!” panggil Ariel, terburu.
Hara menoleh. Terbersit rasa takut di hatinya saat melihat sosok bertubuh tinggi besar. Ia harus…LA…RI...!
“Hara! Tunggu!” Ariel mencengkeram lengan Hara. Hara berontak. “Please…,” Hara menenangkan dirinya, lalu mengangguk. “Ada apa?” tanyanya, gemetar.
“Maafkan atas kejadian kemarin. Gue nggak sengaja. Gue bener-bener nggak sengaja. Gue menyukai Dita dan berusaha menjadi baik demi dia, tapi dia nggak juga menerima gue.”
“Oo…”
Lu mau kan maafin gue?”
“Ya…aku sudah memaafkanmu. Aku sih nggak pa-pa.”
“Terima kasih, tapi…gue minta bantuan lu.”
“Aku?”
“Tolong ya, Ra. Lu tahu kan perasaan gue sama Dita? Tolong gue. Gue harus berbuat apa lagi untuk meyakinkan dia?”
“Aku….” Hara tak dapat menjawab. Saat dilihatnya wajah Ariel yang penuh harap, akhirnya ia mengangguk.
Makasih, Ra! Lu memang baik!!” Ariel mengguncang-guncangkan tubuh Hara.
“Iya! Iya! Tapi, udah, dong!”
“Maaf. Gue nggak bisa nahan diri.”
“Oh, ya? Kok kamu sudah masuk? Kamu kan juga diskors?”
Yah, gue cuma main aja ke sekolah. Nggak pa-pa, kan? Gue sengaja mau nemuin lu.”
“Oh….”
“Ya sudah, Ra. Tuh, sudah bel.” Ariel menunjuk ke arah anak-anak yang berhamburan memasuki kelas.
Hara mengangguk. “Duluan, ya!” katanya sebelum berpisah dengan Ariel.
***
“Aku lihat kamu tadi ngomong sama Ariel. Ngomongin apa kamu, Ra?” tanya Dita, sesampainya Hara di kelas.
“Oh…itu. Dia minta maaf atas kesalahannya kemarin,” jawab Hara, tenang.
“Terus, kamu maafin dia?”
“Ya, iyalah. Cuma ngasih maaf aja. Apa susahnya?”
“Hara! Kamu gimana, sih?! Ariel itu yang bikin Arya diskors! Diskors!”
“Tapi, kan Ariel juga diskors. Sama-sama, lah.”
“Ih, Hara! Kamu gimana, sih? Ariel itu nggak boleh dimaafin!”
“Kamu kok kayaknya benci banget sama Ariel sih, Dit?”
“Iyalah! Siapa yang suka sama dia?!”
“Kata kakakku, nggak boleh benci orang berlebihan, entar kamu malah suka.”
“Jangan gitu dong, Ra!”
“Iya, bener. Gitu juga sebaliknya. Jangan mencintai orang terlalu berlebihan, siapa yang tahu suatu hari nanti kamu malah akan membencinya.”
“Ah…Hara. Aku nggak mau kalau suatu saat aku suka Ariel!”
“Benar?”
“Iya! Titik! Eh, enggak, ding! Entar aku jadi suka dia lagi!”
“Gimana  kalau Ariel suka kamu?”
Enggak! Enggak!
“Tapi kayaknya iya, lho!”
Enggak, ah! Titik! Udah, deh, Ra...!”
“Hus! Bu Irma, tuh!” Hara menunjuk Bu Irma yang telah memasuki kelas. Dita menutup mulutnya lagi.
“Aku nggak mau pacaran dengannya!” kata Dita sebelum benar-benar menutup mulutnya.
Hara termangu. Pacaran. Apakah cinta harus melewati tahap itu? Pacaran? Kak Hamidah bilang pacaran dilarang Allah. Itu sebabnya Kak Hamidah selalu melarangnya pacaran. Pacaran banyak jeleknya dan lebih banyak merugikan pihak perempuan. Jika cinta memang ada dan harus pacaran, kenapa harus merugikan? Bukankah cinta itu bahagia? Hara tak mengerti. Pacaran. Apakah ia juga harus melewati tahap itu?
***
Arya merasa rindu ini semakin membara. Dua hari tak bertemu Hara seperti dua tahun dalam penjara. Sebenarnya ia ingin menemui Hara di rumahnya, tapi ia tidak tahu. Ia memang tidak jenius. Maklum, Hara adalah perempuan pertama yang hinggap di hatinya. Ia tak tahu bagaimana caranya menggapai cinta itu. Ia hanya berharap, semoga Hara mengerti. Selama diskors Arya benar-benar dipenjara di rumah. Ibunya tak memperbolehkannya ke mana-mana. Ia harus di rumah, merenungi kesalahannya.  Arya anak yang manis. Ia selalu mematuhi semua perintah ibunya. Dan ketika hari pertama masuk sekolah setelah masa skorsing-nya, Arya berdiri di pintu gerbang menunggu Hara melewatinya.
“Arya? Ngapain kamu berdiri di sini?” sapa Hara bingung.
“Aku senang.”
“Senang?”
“Iyalah. Aku kan sudah bebas sekarang.” Arya menatap wajah Hara lekat. Hara memalingkan wajah dan mempercepat langkahnya. “Kamu kenapa sih, Ra?” kejar Arya.
Enggak. Hari ini kan ada PR Fisika. Ada satu yang belum selesai kukerjakan. Aku harus buru-buru!”
Arya menepuk jidat. “Bu Irma lagi! Suka banget sih dia menyengsarakan kita dengan PR?”
“Lho? Biasanya kamu senang kalau ada PR?”
“Sekarang tidak. Pikiranku lagi nggak konsen,” Arya tersenyum. Semua ini gara-gara kamu, Ra.
“Oh…tapi kamu nggak boleh gitu. Ntar kalau kita dipanggil Bu Irma, gimana?”
Biarin!”
 Hara geleng-geleng kepala. Tau, lah!
***
Arya benar-benar tak memperhatikan pelajaran Bu Irma. Ia bahkan tak takut ketika Bu Irma menyuruhnya mengerjakan PR di depan dan ia tak bisa. Bu Irma heran. Anak-anak sekelas juga heran. Meskipun belum melihat soalnya, Arya pasti bisa menjawab pertanyaan itu, tapi sekarang? Mereka tak tahu kalau Arya sedang mabuk. Mabuk cinta. Matanya hanya terfokus pada benda hidup di depannya. Hara.
“Arya, Ibu kecewa sama kamu.” Bu Irma menatap Arya, tajam. Saat ini mereka sedang berada di ruangan guru.
“Soal saya diskors itu, Bu?”
“Salah satunya. Yang kedua, kamu tidak bisa mengerjakan soal Fisika tadi.”
“Maklum saja, Bu. Saya kan tidak masuk kemarin. Saya tidak tahu materi yang diajarkan.”
“Ibu tidak percaya kamu tidak belajar.”
“Ah, Ibu. Ibu kan bukan Tuhan yang tahu semua kegiatan saya.”
“Arya! Kamu kok ngomong gitu, sih? Nggak biasanya kamu begini?”
Arya mendengus kesal.
“Ya sudah. Kamu boleh kembali ke kelas. Ibu hanya tak ingin peringkat kamu turun di semester terakhir ini, Ya.”
“Maaf, Bu. Saya tidak akan mengecewakan Ibu,” kata Arya sebelum meninggalkan Bu Irma yang mengangguk.
“Ibu percaya, Arya.”
***
“Arya! Arya!” Dita berlari-lari menghampiri Arya yang sedang berjalan menuju kelas.
Arya mendengus. “Ngapain sih kamu, Dit, pake teriak-teriak segala? Baru juga aku mau ke kelas.”
“Kamu nggak pa-pa, kan? Kamu nggak dimarahin Bu Irma, kan?”
Enggak, enggak. Bu Irma nggak mungkin lah marahin aku.”
“Kamu kenapa sih, Ya? Kok kamu sampai nggak bisa ngerjain soal tadi?”
Nggak pa-pa. Wajar, kan? Aku kan nggak masuk dua hari.” Arya menatap Dita, tajam. “Sekarang jangan gangguin aku lagi. Berisik, tau!”
Dita terkejut melihatnya. Baru sekali ini Arya marah padanya. Arya kan…baik. Ia masih terpana saat Arya meninggalkannya dan menghampiri Hara yang masih sibuk belajar.
“Jadi, begini?” tanyanya dengan suara tertahan.
Hara mendongak. Tersenyum. “Hai, sudah selesai ngobrol sama Bu Irma?”
Arya membuang muka. “Kamu kok nggak peduli banget sih sama aku?”
“Maksudnya apa?”
“Kamu itu pura-pura nggak peka atau emang nggak peka, sih?”
“Biar aku jelasin, Ra!” sela Dita.
Arya dan Hara berbarengan menatapnya. Dita tersenyum. “Maksud Arya, kamu itu kan sepupunya. Masa kamu nggak kasihan sih Arya tadi diceramahin Bu Irma.”
Arya dan Hara sama-sama mengerutkan kening.
“Jadi, kamu belum jelaskan kalau kita,” Arya menatap Hara, lekat.
“Belum! Maksudnya, aku sudah mengerti kok apa maksudmu!” potong Hara, cepat. Arya melengos. Ditinggalkannya Hara dan Dita yang terbengong-bengong.
“Apa aku salah ngomong?” Dita garuk-garuk kepala.
“Salah banget!”
“Ra, kamu nggak liat perubahan Arya? Sejak diskors, dia kayaknya berubah.”
“Yang suka merhatiin dia kan, kamu.”
“Ih! Sekali-sekali serius, kenapa?!”
***
Arya tak suka hari ini. Harus dengan apa ia melukiskan betapa bencinya ia hari ini? Ia pikir ia akan menemukan bahagianya hari ini. Ternyata: sepi. Kenapa Hara begitu acuh padanya? Kenapa, Hara? Lalu apa maksud perhatianmu kemarin? Perhatian? Benarkah Hara memperhatikannya? Hara hanya meneleponnya sekali dan…ah! Gila, kau, Arya. Sebenarnya Hara tak memperhatikanmu sama sekali. Sama sekali. Kasihan kau, Arya.
Tanda tanya.
Aku benci tanda tanya.
Aku hanya ingin jawabannya segera.
Seperti apakah hatimu, Cinta?
***
Hara menatap kipas angin yang berputar di pojok kamarnya. Baru saja diadakan pertemuan keluarga yang membicarakan rencana pernikahan kakaknya, Hamidah. Hara tentu saja terkejut mendengarnya. Setahunya, Hamidah tidak punya pacar dan tidak ada rencana menikah. Eh, tahu-tahu kakaknya itu bilang akan menikah. Besok Ahad, calonnya datang untuk melamar. Kak Hamidah akan menikah tanpa pacaran. Prosesnya pun cepat. Minggu lalu kenalan, besok dilamar. Benarkah cinta akan hadir dalam waktu secepat itu? Kalau belum, apakah enak menikah dengan orang yang tidak kita cintai? Hara menggelengkan kepala. Kenapa Kak Hamidah mau, ya? Pasti kan berat menikah dengan orang yang tidak kita cintai. Apakah benar cinta itu akan hadir setelah pernikahan? Bagaimana mungkin? Jika benar, berarti Kak Hamidah lah orangnya yang menikah tanpa pacaran.
Aku belum mengerti tentang cinta
Mungkin karena aku belum melaluinya
Apakah aku akan melaluinya?
Seperti apakah nanti rasanya?
Aku ingin cinta yang putih, bersih, tulus
Adakah?
***

Bersambung...
Klik di sini untuk baca lanjutannya yaa

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....