Saturday, July 9, 2011

Tips Menulis: NUlis Nonfiksi Ternyata Gampang!

Nulis Nonfiksi Ternyata Gampang


Rencana menulis nonfiksi sudah ada dalam benak saya usai ngobrol dengan Mbak Ryas Nurdiana, salah satu pengurus FLP Semarang, dulu ketika saya masih mengetuai FLP Semarang. Mbak Ryas mengajak saya untuk menulis nonfiksi. Saya tidak langsung menanggapi, karena yang ada di pikiran saya, menulis nonfiksi itu sangat berat. Maklum, waktu itu saya sedang menyelesaikan skripsi yang nota bene nonfiksi. Kenapa berat? Karena yang namanya nonfiksi, tentu harus ada pertanggungjawabannya secara ilmiah, apa benar yang kita tulis itu. Juga, harus memakai referensi sebagai salah satu pertanggungjawaban secara ilmiah.

Mencari buku referensi kan gampang. Tinggal ke perpustakaan atau klik google, begitu kata teman. Masalahnya, saya memang lebih  banyak membaca novel atau buku cerita, ketimbang buku referensi, hehehehe…. Entah kenapa, kalau baca buku referensi atau nonfiksi, pasti lama selesainya. Apalagi kalau bukunya tebal. Setiap ada pameran buku, saya selalu memborong buku-buku nonfiksi, sebenarnya, selain novel. Tapi, kalau novel-novelnya selalu selesai saya baca hanya dalam beberapa jam, buku-buku referensi tidak begitu. Malah ada beberapa buku yang sampai hari ini masih disampul plastik. Jangankan dibaca, dibuka saja tidak, meskipun saya membelinya.

Namun, ketika Izzatul Jannah pertama kali menyemangati yuniornya untuk menulis nonfiksi, saya mulai memikirkannya. Waktu itu, kami memang sedang ngobrol-ngobrol dengan Mbak I-Je (begitu beliau biasa dipanggil), sambil menunggu agenda rapat dimulai. Itu tuh… pas Mukernas FLP Pusat di Bandung, Mei 2006 lalu. Mbak I-Je yang memegang sebuah penerbitan bercerita kalau sekarang yang laku adalah buku nonfiksi. Jadi, buruan nulis nonfiksi!

Saya yang sedang mikir-mikir, terpikir sebuah tema; taaruf. Hehehe… sekadar bocoran, waktu itu saya memang baru aja gagal taaruf. Jadi kepikiran, gimana kalau bikin buku tentang gagal taaruf. Mbak I-Je langsung menyemangati. Malah bilang, “nulisnya bareng saya aja, Dek. Siapa tahu bukunya laku keras, kan bareng saya, hehehe… narsis.” Tentu saja saya jadi semangat, tapi sayang, masih nggak pede. Jadilah ide itu cuma tertahan di kepala.

Lalu, ketika sedang rapat redaksi (masih jadi Editor di Lingkar Pena, neeh…), Mbak Asma kembali menyemangati. Ceritanya Lingkar Pena sedang giat-giatnya memburu naskah nonfiksi. Jadilah kami—redakturnya—didorong-dorong untuk menulis nonfiksi. Saya mengajukan lagi tema itu; taaruf. Mbak Asma kembali menyemangati, bahkan memberi saran agar fokus bahasannya nggak cuma tentang gagal taaruf, tapi semua tentang taaruf; tips n tricknya. Mbak Asma meminta outlinenya, yang saya pikirkan selama berhari-hari. Wuah… nulis nonfiksi emang susah ya, hehehehe…..

Ketika sudah jadi, saya serahkan ke Mbak Asma. Dikoreksi n ditambahi, lalu… dimulailah penulisan buku nonfiksi pertama itu. Judul awalnya juga diberikan oleh Mbak Asma; Taaruf, Yuk…! Semua yang tertulis di dalam buku tersebut, adalah buah pemikiran saya berdasarkan pengalaman yang saya lihat di lapangan. Jadi, memang sedikit sekali memakai referensi. Sebab, justru itu yang ditekankan Mbak Asma ketika menyemangati saya untuk menulis nonfiksi. “Nggak usah terfokus dengan referensi. Tulis aja berdasarkan pengalaman. Kayak buku JJMN, kan nggak ada referensinya,” begitu kata beliau.

Tentu saja saya memang jadi hunting pengalaman taaruf ikhwan-akhwat. Untuk ikhwannya, saya dibantu oleh Ratno Fadillah, penulis juga. Sedangkan untuk yang akhwat, saya banyak minta dicurhati oleh teman-teman akhwat tentang pengalaman taarufnya. Dari situlah saya mengambil kesimpulan bahwa taaruf itu mesti begini, begini, begini.

Dan… waktu delapan bulan pun usai. Yap, kurang lebih delapan bulan saya menyelesaikan buku itu. Bahkan seperti doa Mbak Asma, semoga setelah menulis buku itu, saya segera taaruf lagi dan menikah. Alhamdulillah, ketika buku itu terbit, 10 November 2006, delapan hari kemudian, saya menikah. Bahkan, beberapa eksemplar langsung “menghilang,” diambil oleh saudara-saudara saya yang datang pas pernikahan.

“Taaruf, Keren…! Pacaran, Sorry Men…!” itulah judul akhir buku nonfiksi pertama saya yang sedikit sekali memakai referensi (hanya dua yang tertulis di daftar pustaka!). Diberikan oleh Bang Andi Birulaut, di detik-detik terakhir cetak. Isinya sembilan puluh persen berasal dari pengalaman taaruf ikhwan-akhwat yang curhat ke saya, hehehe….. Tips n triknya insya Allah bisa membantu siapa saja yang ingin mencoba taaruf; sebuah proses alternatif untuk menikah, tanpa melalui pacaran. Lebih jelasnya, silakan beli atau baca buku tersebut.

Bagaimana dengan bahasanya? Buku nonfiksi yang identik dengan bahasa baku dan berat itu, tidak berlaku untuk buku saya. Beberapa pembaca berkomentar, bahwa membaca buku saya cukup beberapa jam saja, sebab enak dibacanya. Alhamdulillah. Saya memang tidak memakai bahasa yang rumit. Saya menggunakan bahasa sebagaimana ketika saya menulis novel remaja. Ringan dan popular.  Bahasa sehari-hari.  

 Sekarang saya bisa bilang, bahwa nulis nonfiksi ternyata gampang. Memang, waktunya lumayan lama juga, tapi ternyata tidak serumit yang saya bayangkan. Pertanggungjawaban ilmiahnya? Hehehe… tinggal serahkan saja ke suami kalau ada yang nanya yang berat-berat. Lebih jago jawabnya dia.
Ayo, siapa mau coba nulis nonfiksi?

In home, 5 Maret 2007


Buku nonfiksi saya: Taaruf, Keren dan Pranikah Handbook



No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....