Wednesday, August 10, 2011

Novel: TRUE LOVE (8)


DELAPAN

                   
Dita menatap bangku tempat Ariel biasanya duduk. Sudah dua hari ini bangku itu kosong. Ariel tidak masuk kelas tanpa kabar berita. Apakah ini semua gara-gara kejadian tiga hari lalu? Tiga hari lalu, memang ada masalah antara Ariel dan Bornie yang disebabkan olehnya. Ia memergoki Bornie menyontek dan hendak mengadukan perbuatan Bornie ke Bu Guru. Bornie marah dan hendak memukulnya, lalu Ariel datang membelanya. Bornie dan Ariel terlibat seru. Dita pikir itu cuma akal-akalan Ariel saja untuk menarik perhatiannya. Ariel dan Bornie kan berteman dekat. Akibatnya, justru ia yang malah bertengkar dengan Ariel. Dua hari ini Ariel tidak masuk. Ah, peduli amat. Biar saja Ariel tidak masuk. Bukan urusannya. Ia tak mau tahu. Tapi…entah kenapa Dita merasa sangat bersalah. Bagaimana kalau Ariel tak masuk lagi selamanya?
Dita tak tahu apakah keputusan yang diambilnya ini benar. Hari ini ia mengajak Hara dan Arya ke rumah Ariel!
Ternyata Ariel tidak sakit. Ia hanya enggan ke sekolah. Ia enggan bertemu Dita. Tadi saja ia terkejut melihat Dita muncul di depannya.
 “Ariel, em…kamu…kenapa nggak sekolah?” Dita gagap. Ariel garuk-garuk kepala. Kedatangan Dita benar-benar sudah melambungkan hatinya.
“Em…sebenarnya…sebenarnya….”
“Maafin aku ya kalau kata-kataku waktu itu bikin kamu  tersinggung,” potong Dita, “aku udah dengar dari Arya kalau kamu udah nggak berhubungan sama gerombolan Bornie dan kamu benar-benar menolongku tiga hari yang lalu.”
“Iya, Ta. Dita cuma salah paham aja kok.” Arya menambahkan. Ariel manggut-manggut.
“Iya…nggak pa-pa, kok.”
“Nggak pa-pa kok kamu nggak masuk?” tanya Hara. Ariel tertunduk.
“Em….” Ia sulit mengungkapkan isi hatinya.
***
Dita dan Ariel jadian! Akhirnya impian Ariel terkabul. Sejak kedatangan Dita waktu itu, hubungan mereka jadi dekat dan akhirnya ketika ia mengungkapkan isi hatinya, Dita menerimanya! Ariel senang sekali.
Kebahagiaan Ariel membuat Arya iri. Seandainya ia pun bisa begitu terhadap Hara. Sayang, sampai sekarang ia belum bisa mengungkapkan isi hatinya kepada gadis itu. Padahal wajah Hara selalu mengganggu hari-harinya. Ia tahu, sekarang pun sudah dekat dengan Hara meskipun hanya sekadar teman. Tak lebih dari itu. Padahal ia ingin lebih. Rasanya lega sekali kalau bisa mengungkapkan isi hatinya. Akan tetapi, ia tak seberani Ariel. Ah, seandainya….
“Arya!” panggil Hara, tiba-tiba. Arya menoleh. Dadanya berdebar kencang.
“Ada apa?” 
“Mau pulang, kan? Bareng yuk!” kata Hara dengan wajah ceria. Arya mengangguk. Angkot yang akan mengantar mereka sampai ke rumah sudah menunggu tak jauh dari depan pintu gerbang. Awalnya angkot yang mereka naiki itu penuh dengan penumpang, tapi satu persatu para penumpang turun, tinggal Hara dan Arya yang memang rumahnya paling jauh.
“Ya, Ajaib banget ya hubungan antara Dita dan Ariel?”  Hara memulai pembicaraan.
“Emangnya kenapa?”
“Tadinya kan  mereka marahan, eh sekarang malah pacaran.”
“Ya, apa pun bisa terjadi.”
“Padahal pendekatanku sudah begini jauh. Tinggal ngasih tahu intinya saja.”
“Pendekatan apa?”
“Aduh! Keceplosan!”
“Apa, hayo!!”
“Ya sudah deh. Sudah terlanjur. Aku kan deketin kamu biar bisa nyomblangin kamu sama Dita.” 
“Apa?” Arya tak percaya dengan pendengarannya.
“Iya. Dita kan  naksir kamu, Ya. Dia minta tolong aku nyomblangin dia sama kamu. Soalnya dia masih percaya kalau kita sepupuan.” Hara tersenyum geli. Arya memicingkan mata.
“Jadi…itu sebabnya kamu….”
“Iya. Seandainya Dita belum jadian sama Ariel, kamu mau jadi pacarnya?”
“Nggak!” Arya menjawab ketus.
“Enggak? Emang kenapa?”
“Karena aku sudah punya pacar!”
“Kamu…sudah punya pacar?”
“Kenapa? Nggak percaya?” Arya menatap Hara, tajam. Hara menggeleng.
“Soalnya…kamu nggak pernah keliatan jalan sama cewek.”
“Ah, masa? Tapi aku sudah punya pacar.”
“Siapa?”
“Kamu mau tahu?” Arya tersenyum. Hara mengangguk. “Stop, Bang!” seru Arya, tiba-tiba.
“Arya! Kasih tahu dulu siapa pacarmu!”
Arya lagi-lagi hanya tersenyum. Ia turun dari angkot lalu membayar ongkosnya.
“Dua ya, Bang. Sama cewek yang di belakang, tuh!” katanya.
“Arya! Jawab dulu dong!”
“Ongkosmu sudah tuh!” seru Arya. Angkot mulai berjalan lagi.
“Arya! Siapa pacarmu?” tanya Hara, sedikit berteriak. Arya tersenyum misterius.
“Pacar saya…kamu!” serunya, kencang. Hara terkejut mendengarnya. Ia terus menatap Arya tak percaya yang kian hilang seiring berlalunya angkot. Tapi ia masih sempat melihat jelas gerak bibir itu yang kedua kali.
“Pacar saya…kamu!”
***
Hara menutup buku matematikanya. Pikirannya tak konsen. Ia terus saja memikirkan perkataan Arya tadi siang. Arya serius atau bercanda sih waktu mengucapkannya? Duh, ia jadi…kepikiran terus. Ia tak tahu apa ini namanya. Apakah ia sudah…kege-eran? Siapa tahu Arya hanya bercanda. Arya kan suka bercanda. Tapi, apa maksud Arya mengucapkannya? Apa?
Arya menutup buku matematikanya. Ia masih tak percaya dengan kata-katanya tadi siang kepada Hara. Ia tak percaya ia berani mengucapkannya. Hara tanggap nggak ya dengan kata-katanya itu? Atau jangan-jangan Hara hanya menganggapnya angin lalu? Duh, semoga Hara tanggap. Semoga Hara tahu itulah isi hatinya yang sebenar-benarnya. Bahwa ia sangat ingin Hara menjadi pacarnya. Ingin sekali.
***
Tiba-tiba hari ini semua terasa lain. Hara dan Arya sama-sama tak tahu harus berbicara apa saat keduanya bertemu. Canggung. Benar-benar canggung. Bagi Hara, terus-terang ia merasa ge-er dengan ucapan Arya kemarin. Benarkah yang Arya katakan? Apa maksudnya itu? Apakah Arya hanya bercanda? Sedangkan bagi Arya, ia merasa malu telah mengucapkan kalimat itu kemarin. Ia malu bertemu Hara. Ia malu Hara akan mengejeknya, meskipun sebenarnya tidak. Akhirnya, keduanya malah diam-diaman. Bahkan ketika bertemu, pura-pura saling tak mengenal satu sama lain. Benar-benar membingungkan.
Sudah tiga hari berlalu. Hara tak tahan. Ia tak tahan diam-diaman terus sama Arya. Padahal mungkin masalahnya tak segawat itu. Mungkin ucapan Arya waktu itu hanya bercanda. Lalu, kenapa mereka harus jadi canggung begini? Hara harus bicara. Harus!
“Arya!” panggilnya. Arya terkejut. Dadanya berdebar kencang. Akhirnya…akhirnya Hara bicara kepadanya.
“Ada apa?” 
“Lihat PR Fisikanya, dong!”
Hening.
“Arya!”
“Eh, iya! Nih!” Arya menyerahkan buku fisikanya, lalu pergi begitu saja. Hara bingung.
“Kenapa sih dia? Kok cuek gitu? Kalo dia emang mau cuek sama aku, aku juga bisa cuek sama dia!” gerutunya. “Apakah ada yang salah? Kenapa semua jadi begini? Perasaan, aku nggak berbuat salah sama dia. Kalau emang ucapan dia waktu itu cuma bercanda, kenapa dia jadi secuek itu? Apakah aku sudah bersalah karena mendekati dia untuk nyomblangin dia sama Dita? Ya, mungkin memang ini semua salahku. Sepertinya Arya benar marah.” 
Hara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bayangan Arya terus bermain di kepalanya. Ia jadi merasa bersalah. Benarkah sikap Arya yang cuek adalah salahnya? Benarkah Arya marah kepadanya? Ia jadi sedih. Terlebih sedih lagi saat melihat sikap cuek Arya. Tanpa ia sadari, ia menangis. Ia sendiri tak mengerti kenapa bisa menangis hanya untuk hal sepele itu. Sejujurnya ia tak mau jauh dari Arya. Seperti ada yang hilang kalau Arya menjauh darinya. Sesuatu yang ia tak pahami apa itu. Kedamaian. Ketenangan. Ia takut kehilangan Arya. Takut sekali. Ternyata benar apa yang dikatakan Hamidah. Jatuh cinta membuat pikiran terganggu. Setiap hari hanya Arya saja yang ada di pikirannya. Ia menyesal telah dekat-dekat dengan Arya. Sekarang, ia tak tahu bagaimana cara menghilangkan Arya dari pikirannya.
“Kamu kenapa sih, Ra? Ada masalah? Cerita, dong. Aku kan sahabatmu,” tanya Dita yang heran melihat Hara menangis tiba-tiba. Hara buru-buru menghapus air matanya.
“Nggak! Nggak pa-pa, kok!”
“Kayak gitu kok nggak pa-pa. Terus air mata itu? Matamu lagi kelilipan?”
“Iya!”
“Bohong! Ayo, cerita! Ada yang gangguin kamu?” desak Dita. Hara menggeleng. Mungkinkah ia cerita pada Dita, sementara semua ini juga berhubungan dengan Dita.
“Dit, aku pengen tahu. Kenapa kamu mau jadi pacar Ariel? Bukannya...kamu suka Arya?”
Dita tersipu malu mendengar pertanyaan Hara barusan. “Iya, sih. Tapi...sekarang udah enggak. Habis, percuma saja aku nunggu lama. Arya nggak juga memperhatikanku.”
“Berarti...kamu terpaksa nerima Ariel, ya?”
Enggak juga. Aku rasa, Ariel baik,” Dita tersenyum, “memangnya kenapa, sih?”
“Dita…kamu nggak marah kan kalau aku terus terang?”
Enggak. Ngomong aja.”
“Meskipun ini akan menyakitimu?”
“Iya. Mudah-mudahan aku nggak marah.”
“Ya…serius, dong!”
“Iya, iya. Kalau aku marah kan sama aja bikin temanku ini tambah sedih.”
“Maafin aku ya karena selama ini aku udah ngebohongin kamu. Padahal aku sahabatmu,” Hara memulai ceritanya.
“Bohong apa, Ra?” tanya Dita. Nada bicaranya mulai tak enak.
“Tuh kan kamu marah.”
Nggak deh, nggak. Emang kamu bohongin apa, sih?”
“Aku…aku…aku…suka sama Arya,” Hara berucap pelan. Kening Dita berkerut.
“Suka…suka sama Arya? Memangnya kenapa?”
“Aku…aku mencintai dia, Dit,” Hara menegaskan. Dita melongo.
“Kamu? Kamu cinta sama dia? Kamu nggak salah ngomong, Ra? Dia kan…,”
“Dia bukan sepupuku,” potong Hara, “maafin aku, Dit. Selama ini aku udah bohong sama kamu. Sebenarnya…Arya bukan sepupuku. Aku...aku juga nggak tahu kenapa waktu itu aku mengakuinya sebagai sepupuku. Aku keceplosan dan akhirnya keterusan bohong. Aku merasa bersalah telah membohongi kamu dan membuatmu banyak berharap,”
Hening. Hara tak mampu menatap mata Dita.
“Ra…jadi…selama ini….” Dita bingung mau berkata apa.
“Maafin aku, Dit. Kamu mempercayaiku, tapi ternyata aku adalah musuh dalam selimut…,”
“Bukan begitu, bukan begitu, Ra. Justru aku yang harus minta maaf sama kamu,” potong Dita. Hara tak mengerti. “Aku sudah buat kamu sedih. Padahal kamu juga mencintai Arya, tapi aku malah nyuruh kamu nyomblangin aku sama dia. Itu pasti butuh pengorbanan perasaan yang besar. Maafin aku ya, Ra.” Dita memeluk Hara. Keduanya berpelukan erat. Hara tak menyangka Dita akan berkata begitu.
“Tapi, Ta…,”
“Perasaan itu kan datangnya nggak bisa dicegah. Aku tau, Ra karena aku juga pernah merasakannya. Aku merasa bersalah banget karena udah mencegah kamu punya perasaan itu. Sekarang gantian aku yang akan nyomblangin kamu sama Arya.”
“Apa?”
“Iya, Ra. Aku….”
Nggak deh. Nggak usah, Dit. Aku takut. Aku malu. Kamu nggak usah repot-repot deh.”
“Ye! Kamu gimana sih? Udah deh tenang aja. Okey?!” 
Nggak,  nggak usah. Aku cerita begini nggak minta solusi dari kamu. Apalagi solusi begitu. Aku kan nggak boleh pacaran sama Kak Hamidah. Nggak pacaran aja pikiranku udah terganggu begini, apalagi pacaran?!”
“Ye...! Kata siapa?! Pacaran enak, tau! Kak Hamidah aja tuh yang berlebihan!”
“Aku nggak tahu deh. Tapi aku udah merasakannya sekarang. Aku nggak mau pikiranku makin terganggu. Apalagi sekarang udah kelas tiga. Sebentar lagi Ujian Akhir. Aku nggak ingin nilai-nilaiku anjlok. Mungkin, aku harus melupakan Arya.”
“Ya udah, deh. Terserah kamu.” Dita berujar pasrah.
Hara tidak tahu bahwa apa yang ada di pikirannya sama seperti ada yang di pikiran Arya. Arya pun bermaksud menjauh dari Hara. Cintanya yang tak juga sampai membuatnya jenuh. Ia tak ingin konsentrasinya ke pelajaran terganggu gara-gara terus memikirkan Hara. Ia memang jatuh cinta pada Hara dan tak mampu mengungkapkan perasaannya selama ini. Daripada sakit hati, lebih baik ia menjauhkan diri dari Hara.
***
 “Selamat kepada para wisudawan/ wisudawati yang telah lulus dari sekolah ini. Semoga kalian berhasil menempuh jenjang selanjutnya. Jangan menyia-nyiakan masa muda kalian, karena masa itulah yang akan menentukan keberhasilan kalian selanjutnya. Bapak harap kalian semua berhasil dan berguna bagi nusa dan bangsa.” Tepuk tangan meriah mengakhiri sambutan dari Kepala Sekolah saat melepas siswa-siswa kelas tiga yang telah lulus. Dua di antaranya, Hara dan Arya.
Hara mencuri pandang ke arah Arya. Ah, sudah cukup lama ia tak bertegur sapa dengan Arya hanya gara-gara masalah itu. Memang ia merasa tak enak saat harus sengaja mengacuhkan Arya, apalagi mereka sekelas. Tapi...apa boleh buat? Ia tak ingin perasaannya menjadi kacau kalau berhubungan lagi dengan Arya. Sekarang saat akan berpisah, ia baru merasakan kehilangan. Ia tak ingin berpisah dengan Arya tanpa kalimat apa pun. Ia ingin berbaikan dengan Arya, tapi….
Hara tak bergeming. Arya...mau apa Arya menghampirinya? Bukankah mereka….
“Hai, Dita, Ariel!” Arya tersenyum, “Selamat ya. Kita semua lulus.”
“Iya, sama-sama.” Dita dan Ariel yang selalu ada di sisinya menjawab ucapan selamat Arya sementara Hara diam saja. Arya menatap Hara.
“Hai, Ra! Selamat!” ia mengulurkan tangan. Hara menatapnya tak percaya. Apakah ini pertanda mereka telah berbaikan? “Jangan lupakan aku ya, Ra. Ini alamat rumahku. Kalau kamu kuliah di luar kota, kirim surat ke aku ya.” Arya menyodorkan sebuah kartu nama. Hara tak percaya saat menerimanya.“Hei, gimana kalau hari ini kita ke rumah Hara?” Arya mengusulkan. Hara terkejut mendengarnya.
“Iya, kan cuma ke rumah Hara aja yang belum. Masa kita belum pernah ke rumah Hara?” Ariel menatap Hara yang terlihat cemas.
“Eh, nggak usah deh!” Hara berusaha menghindar.
Nggak pa-pa lagi. Kan sekarang udah nggak ada kakak Hara yang suka ikut campur itu!” kata Dita. Hara melotot.
“Nanti aku bilangin Kak Hamidah, lho!!” ancamnya. Semua tertawa.
Udah, ah! Ayo, cepat kita ke rumah Hara!” Arya tak sabar. Hara merengut. Payah!! Mereka pasti akan memberantaki rumahnya.
*** 
Siang ini, Arya, Ariel, dan Dita berkumpul di rumah Hara. Sebenarnya Hara senang dengan kedatangan mereka, tapi ia sedikit khawatir kalau-kalau kakaknya, Hamidah, datang ke rumah. Sesekali, kakaknya yang sekarang tinggal dengan suaminya itu, datang ke rumah Hara. Meskipun usia Hara sudah lewat tujuh belas tahun, Hamidah masih saja overprotektif kepadanya. Hamidah sering kali ke rumah menanyakan dirinya, prestasinya di sekolah, dan dengan siapa ia bergaul di sekolah.
 “Kenapa  ya saat kita akan berpisah, kita baru bisa sedekat ini?” tanya Ariel. Arya, Hara, dan Dita berbarengan menatap Ariel. Ariel heran. “Lho? Aku benar, kan? Beberapa waktu lalu, kita nggak bisa ngumpul-ngumpul kayak gini karena serius belajar!”
“Iya, iya…! Aku tahu. Tapi kalau aku dan kamu kan enggak.” Dita tersipu.
“Huuuh!!” seru Arya dan Hara, bareng. Keduanya bertatapan. Arya dan Hara mengerti apa maksud perkataan Ariel tadi. Sebenarnya Ariel sedang menyinggung mereka berdua.
“Ya, beberapa waktu lalu aku memang sengaja menjauh dari kalian. Sorry, deh,” ucap Arya. Hara tertunduk. Dialah yang telah menyebabkan Arya menjauh. Meskipun sampai sekarang ia tak tahu apa kesalahannya.
Dita menatap Arya dan Hara bergantian. Rasanya ia sudah tak sabar menyomblangkan mereka berdua. “Udahlah, yang begitu nggak usah diomongin lagi. Kan, sekarang kita udah bersama-sama. Gimana kalau kita berjanji untuk bersahabat selamanya!”
“Setuju! Setuju!” Ariel langsung menaruh tangannya di atas tangan Dita. Dita menariknya cepat-cepat.
“Apa-apaan, sih?!” 
“Lho, katanya mau berjanji?” Ariel bingung. Arya dan Hara tertawa.
“Ya, deh. Aku janji!” Arya menaruh tangannya di atas tangan Ariel. Akhirnya Dita menaruh kembali tangannya di bawah tangan Ariel. Semua menatap Hara yang masih terdiam.
“Ra? Kamu nggak mau jadi sahabat kami?” tanya Dita. Hara tersenyum. 
“Iya dong. Tapi apa kalian yakin kita masih bisa berhubungan meskipun nanti berjauhan?”
“Iyalah! Kalau kita selalu berhubungan, kita nggak akan berpisah,” sahut Ariel. Hara mengangguk. Ia meletakkan tangannya di atas tangan Arya. Ada sesuatu yang tak bisa dilukiskan saat tangannya menyentuh tangan Arya. Sesuatu yang membuat dadanya bergetar.
“Oke, kita harus berjanji untuk terus berhubungan selamanya!” ucap Ariel. Semua mengangguk mantap.
“Oh, ya. Aku dan Dita kan sudah jadian. Gimana kalau Arya dan Hara juga jadian? Biar kita bisa pasang-pasangan gitu?” Ariel mengusulkan. Hara dan Arya terkejut mendengarnya. Refleks, Hara menarik tangannya kembali.
“Hara?!” seru Dita. Wajah Hara merah.
“Aku rasa kita cukup berteman saja. Itu lebih abadi,” kata Arya. Semua menatap Arya. Hara jadi tak enak. Berteman. Ya. Itu sudah cukup.
Sore hari. Arya, Ariel, dan Dita pamit pulang. Ada rasa kehilangan yang sangat saat Arya meninggalkan rumah Hara.
***
Bersambung....
klik di sini untuk baca lanjutannya yaa


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....