Wednesday, September 28, 2011

Novel: TRUE LOVE (10)


SEPULUH



“Dita...!” panggil Hara, kencang pada sosok yang sedang menunggunya di sebuah taman. Dita menoleh. Keningnya berkerut. Disikutnya pria yang dari tadi berdiri di sebelahnya, Ariel.
“Ta, itu…Hara?”  tanyanya tak percaya.
Ariel menajamkan penglihatannya. “Iya, sih, tapi…,”
“Hara…pakai jilbab?”
“Assalamu’alaikum! Apa kabar?” tanya Hara setelah sampai di hadapan Dita dan Ariel. Hari ini mereka memang janjian bertemu. Liburan semester ini Hara memang sengaja pulang ke Jakarta. Ia sudah kangen. Dua setengah tahun sudah ia tidak pulang, rasanya kangen sekali. Kepada keluarganya, juga Dita yang masih menjadi sahabatnya sampai hari ini.
“Hara?” Dita menatap Hara tak percaya. Tak lama keduanya berpelukan. “Hara! Kamu sudah banyak berubah, deh! Aku sampai nggak kenal!”
“Iya, dong. Setiap hari kan harus ada yang berubah.”
“Tapi sekarang….,” Dita menatap pakaian Hara yang menutup dari atas sampai bawah. “Sejak kapan kamu pakai jilbab?”
“Yah, kira-kira enam bulan lalu. Kenapa, sih? Nggak pa-pa, kan?”
Nggak pa-pa. Apa kabarmu, Ra? Lupa ya sama aku?” Ariel mengulurkan tangan. Hara menggigit bibir. Aduh, kata Salwa, tidak boleh ada persentuhan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram dalam Islam. Tapi, Ariel kan sudah seperti kakak sendiri. Peraturan tetap peraturan. Hara menangkupkan kedua tangannya. Ariel garuk-garuk kepala. “Oh, jadi sekarang sudah nggak mau sentuhan, nih!” 
“Hara kan sudah jadi cewek alim, Ril. Makluminlah!” Dita melirik Hara.
Hara jadi tak enak. “Oh ya? Kalian kapan nikah?” Ia mengalihkan pembicaraan.
 “Yah, kami mana siap lah, Ra. Kami kan masih kuliah,” jawab Ariel.
“Eh, Ra, Arya mana? Nggak ikut ketemuan juga?” tanya Dita, mengejutkan. Hara  terkejut mendengar nama Arya disebut. Ia berusaha menghilangkan keterkejutannya itu.
“Arya? Kok nanyanya ke aku? Mana aku tahu?”
“Lho, gimana sih kamu, Ra? Kalian…masih berhubungan, kan?”
“Hubungan apa?”
“Memangnya kalian sudah tidak berhubungan lagi?” Ariel ikut bertanya.
“Hubungan apa sih? Aku kan di Surabaya,” Hara makin bingung, “aku pikir malah kalian yang tahu kabar dia.”
Enggak sama sekali. Setelah lulus itu, Arya sudah nggak pernah nelepon-nelepon aku lagi. Tau tuh kenapa. Aku coba telepon ke rumahnya, eh katanya dia sekeluarga sudah pindah. Penghuni barunya tidak tahu alamat Arya yang baru. Emang sih, aku agak terlambat nelepon Arya. Habis, aku kan sibuk persiapan ikut SPMB,” ujar Ariel.
Hara tertegun. Arya sudah pindah rumah?
“Iya, aku pikir dia masih berhubungan sama kamu. Kan waktu itu kalian tuker-tukeran alamat?” tanya Dita. Hara diam.
“Ah, udahlah, nggak usah dipikirin. Kita mulai jalan-jalan ke mana, nih?” tanyanya, kemudian.
Ariel dan Dita berpandangan.
“Kamu nggak ajak pacarmu ke Jakarta, Ra?”  tanya Ariel.
Hara tertawa. “Pacar? Enggaklah. Aku nggak punya pacar.”
 “Jangan-jangan kamu masih nungguin dia,” Dita menduga.
Hara tertegun. Tidak. Ia malah berharap tidak pernah bertemu dengan Arya lagi.
 “Hara, aku mau tanya. Jangan marah, ya. Aku hanya ingin tahu apakah kamu masih punya perasaan sama dia?” tanya Dita, saat ia punya waktu berdua saja dengan Hara. Sehabis jalan-jalan, Dita menyempatkan diri mampir ke rumah Hara karena masih ingin bicara panjang lebar dengan Hara, sedangkan Ariel sudah pulang ke rumahnya.
“Dia siapa?”
“Jangan pura-pura nggak tahu deh, Ra. Kamu kok jadi tertutup sekarang?”
“Maaf, deh. Tapi aku memang sudah males ngomongin dia. Apalagi soal perasaan-perasaan itu. Aku sudah lupa.”
“Sudah lupa? Pantesan kamu males banget ngomongin dia.”
“Memang.”
“Waktu pertama-tama kuliah, kalian masih berhubungan kan?”
“Iya, tapi habis itu enggak lagi.”
“Kamu yang mutusin hubungan?”
“Dia. Makanya habis itu aku nggak tahu kabar dia lagi. Udah dong jangan ngomongin dia lagi.” Hara jengah. Ia benar-benar tak ingin membicarakan soal Arya lagi. 
***
Hara termenung sendiri di kamarnya. Arya. Gara-gara seharian tadi Dita membicarakan soal Arya terus, ia kembali memikirkan Arya. Arya. Rupanya Dita dan Ariel pun tak tahu di mana Arya berada. Berarti Arya bukan saja menghilang darinya, tapi juga dari Dita dan Ariel. Hara jadi khawatir. Jangan-jangan ada sesuatu yang menimpa Arya. Duh! Hara memukul kepalanya. Untuk apa dia memikirkan Arya lagi? Bukankah ia pernah berjanji untuk melupakan Arya, kenapa jadi memikirkannya lagi? Tapi…kalau memang ada sesuatu yang buruk menimpa Arya, bagaimana? Hara menggigit bibir. Mau menghubungi Arya pun tak tahu ke mana. Ya sudah. Untuk apa dipikirkan?
***
Dita dan Ariel telah sampai di kafe tempat mereka akan bermalam mingguan, malam ini. Mereka langsung menuju ke meja yang sudah dipesan sebelumnya.
“Pesan apa, Ta?” tanya Ariel.
“Em…apa, ya...?” Dita melihat daftar menu.
“Hai, Ya! Apa kabar?!”
“Baik. Lu semua gimana?”
“Wah, elu, lama banget ngilang. Ke mana aja lu?!”
“Ah, elu kayak nggak tahu gue ke mana.”
Suara tawa keras membuat Dita dan Ariel menoleh. Dita angkat bahu. Hanya gerombolan cowok-cowok iseng. Mereka tak peduli tawa keras mereka mengganggu pengunjung kafe lainnya.
“Berisik amat sih mereka! Kayak kafe ini milik ortu mereka aja!” gerutunya.
Ariel tertawa kecil. “Nggak usah sewot gitu.”
Nih, aku pesen ini aja.” Dita menunjuk minuman yang diinginkannya. Ariel memanggil pelayan. Keningnya berkerut saat melihat salah satu pria di depannya.
“Ta, itu kan…Arya?”
“Arya? Yang benar kamu?” ia tak percaya.
Ariel mengangguk. “Iya, benar.”
Dita menoleh. Ia terkejut melihat salah satu pria yang tadi tertawa keras. Arya? Wajah pria itu memang seperti Arya, hanya….
 “Ke sana, yuk, Dit!” ajak Ariel. Dita mengangguk. Mereka segera menghampiri pria yang mereka anggap Arya itu.
“Wah, gila lu, Ya! Akhirnya lu bebas juga!”
“Iya lah. Kayak gitu sih, paling cuma satu-dua tahun!”
Ariel menepuk bahu pria itu, “Arya?” tanyanya. Pria itu menoleh. Terkejut.
Lu…”
Dita tak percaya melihat sosok di depannya. Itu benar Arya, hanya agak berubah. Arya agak kurus, agak hitam, dan dandanannya mirip preman. 
“Ke mana aja kamu, Ya?” Ariel menjabat tangan Arya yang wajahnya masih terlihat bingung.
“Kalian…?” Ditatapnya Ariel dan Dita satu persatu. Selanjutnya, Arya dan Ariel berpelukan.
***
Hara bergegas memakai jilbab bergonya ketika mendengar ada yang mengetuk pintu rumah.
“Cari siapa?” tanyanya, setelah membuka pintu.
“Hara?”
Hara mendongak. Ia pun terkejut melihat sosok di depannya. “Arya?”
Arya  tersenyum. “Hai, Hara. Apa kabar? Ternyata benar kamu sudah pulang?” Arya terlihat senang.
Jantung Hara berdebar kencang. Ya Allah… tiba-tiba saja Arya muncul di hadapannya? Apakah ia sedang bermimpi?
“Eh, iya. Silahkan masuk!”
Arya mengikuti Hara masuk ke dalam rumah. Hara terlihat canggung. “Ternyata benar kata Dita, kamu sudah berubah. Kamu pakai jilbab ya sekarang? Aku pikir tadi kakakmu.”
“Ya, begitulah. Kamu juga terlihat berubah. Kok kamu jadi kurus dan hitam sih, Ya?”
“Hara…Hara…kamu masih juga lugu seperti dulu!” Arya tergelak.
Hara tersipu. Arya…sikapnya juga masih seperti dulu.
“Hei, Ra, gimana kuliahmu? Pasti sukses dong?”
“Ya, alhamdulillah, sejauh ini.”
Hening. Arya membatuk. “Kok jadi kaku, ya?” selorohnya.
Hara tertunduk.  “Em…Arya sendiri gimana? Kuliah di mana?”
“Em…memangnya Dita belum cerita, ya?” 
“Arya sudah ketemu Dita?”
“Iya. Aku ke sini karena Dita ngasih tahu kalau kamu sudah pulang. Dita juga yang ngasih tahu jalan ke rumah Hara.” Arya memberitahu perihal pertemuannya dengan Dita malam Minggu kemarin.
 “Oh...gitu. Em...Arya belum jawab pertanyaan Hara, kan? Arya kuliah di mana sekarang?”
“Aku...aku kuliah di Australi.”
“Australi?! Subhanallah! Jadi, Arya berhasil dapet beasiswa untuk kuliah di luar negeri?”
“Iya, Ra, tapi  nggak selesai.” Arya terlihat sedih.
Nggak selesai? Kenapa, Ya?”
“Yah, ada sedikit masalah.” Arya  tertunduk. 
Hara ikut prihatin. “Terus, sekarang Arya kuliah di mana?”
Nggak tahu. Ah, sudah lah, Ra. Jangan diomongin lagi.”
“Maaf ya, Ya. Kamu jangan putus asa, ya? Suatu hari kamu pasti dapet kesempatan yang lain.”  Mereka terus bicara  tentang segala hal sampai tiba waktunya Arya pulang.
“Ra, besok-besok aku masih boleh kan main ke sini?” tanya Arya sebelum pulang. Hara menggigit bibir. Duh, kalau bertemu Arya terus, ia akan kembali mengotori hatinya. Tapi, kalau menolak nanti dibilang sombong. Lagipula, dari dulu kan mereka memang hanya berteman.
“Iya, boleh,” angguknya.
Thanks ya, Ra. Aku nggak akan ganggu kamu, kok. Kalau kamu lagi ada kerjaan dan nggak mau diganggu, usir aja aku.”
“Iya, iya.”
Arya menaiki motornya. “Dah, Hara. Oh, ya, Assalamu’alaikum!
Wa’alaikumsalam.”
***
Malam ini Hara tak bisa tidur. Benar, kan? Gara-gara bertemu Arya lagi, ia kembali memikirkan cowok itu. Arya. Yah, meskipun Arya sudah tak seganteng dulu lagi, tapi tetap saja ia masih mempesona. Namanya juga cinta. Cinta? Wajah Hara seketika bersemu merah. Cinta? Ya Allah! Hara istigfar. Ia tak sadar kalau sedang menduakan Allah. Ia tidak boleh memikirkan Arya lagi! Tapi…bagaimana mungkin? Arya bilang ia akan berkunjung lagi ke rumahnya. Padahal Hara ingin melupakannya. Arya mana tahu perasaannya. Arya menganggap hubungan mereka sebatas teman. Apa tak boleh sesama teman saling mengunjungi? Tapi Hara kan tak menganggap hubungan itu sebatas teman. Selalu ada yang beda tatkala keduanya bertemu. Dan Hara tak mau itu, kecuali jika sudah disahkan dalam ikatan pernikahan.
Cinta adalah sesuatu yang fitrah. Kita tidak bisa memungkiri datangnya cinta. Setiap orang pasti pernah jatuh cinta. Hanya yang perlu diingat adalah cinta itu milik Allah dan bermuara kepadaNya. Jadi, ketika kita mencintai manusia, kita harus mencintainya karena Allah.
“Bagaimana aku tahu bahwa aku mencintai Arya karena Allah?” Hara menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Seharusnya pertemuan ini tak pernah terjadi. Sekarang, aku jadi memikirkannya lagi. Padahal kan aku ingin melupakannya. Bagaimana ini? Aku harus melupakannya. Kalaupun pertemuan ini terjadi, aku tak mau kami disatukan dalam ikatan pacaran. Aku ingin disatukan dalam pernikahan. Tapi, apa benar Arya pria  yang baik untukku? Aku memang mencintainya, tapi aku tak yakin. Aku tidak tahu seperti apa Arya belakangan ini. Aku tahu dia pintar dan baik, tapi itu kan dulu. Melihatnya sekarang, aku jadi ragu. Penampilan Arya saja tak beda dengan anak-anak preman yang sering kulihat di jalan-jalan. Aku tidak mau mendapatkan jodoh seperti itu. Aku mau jodoh yang baik. Apa yang harus kulakukan?
“Semua tergantung pada diri Hara sendiri. Setiap jalan pasti ada rintangannya. Begitu juga dengan jalan yang sedang Hara ambil sekarang. Sepanjang hidup, manusia akan selalu diuji. Hara sedang diuji sekarang. Hara ingin menjadi baik, ingin melupakan Arya, tapi Arya malah datang kembali. Hara harus bisa bertahan dengan jalan yang sudah Hara ambil,” urai Salwa ketika Hara menceritakan permasalahannya di telepon. Hara tertunduk.
“Jadi, apakah sebaiknya aku menjauhi dia?”
“Yah, kalau memang kehadirannya membuat kamu takut tergelincir, sebaiknya begitu.”
“Makasih ya, Wa atas nasihatnya.” Hara menutup telepon.
Hara sudah mantap sekarang. Sebaiknya ia balik saja ke Surabaya meskipun waktu liburannya masih lama. Ia harus melupakan Arya sampai saatnya tiba. Entah kapan itu.
***
Hari ini Arya datang lagi. Hara benar-benar tak bisa menghindar. Arya selalu begitu. Datang tiba-tiba tanpa menelepon dulu sehingga Hara tak punya alasan untuk menolak. Arya datang, membungakan hati Hara. Bunga-bunga yang tumbuh di atas duri. Berat, tapi Hara pun tak bisa menolak. Tak bisa juga menafikkan bahwa hatinya senang dengan kehadiran Arya.
Arya bercerita kalau sekarang ia bekerja sebagai tukang parkir di sebuah mall dan belum sempat melanjutkan kuliah lagi karena belum ada biaya. Hara benar-benar prihatin mendengar cerita Arya. Kasihan Arya. Seseorang yang berpotensi memiliki masa depan yang lebih baik ternyata harus terpuruk seperti itu.
“Sebentar kuambil minum dulu, ya.” Hara baru sadar kalau ia belum menyediakan minum untuk Arya.
Arya menyulut rokoknya. Tak lama Hara datang membawa dua gelas minuman. Hara terkejut melihat Arya merokok. Setahunya dulu Arya tidak merokok. Arya benar-benar sudah jauh berubah dan perubahan itu membuatnya kecewa.
***
“Kamu lihat nggak sih ada yang berubah dari Arya?” tanya Hara saat ia menemui Dita di rumahnya.
Dita mengangguk. “Perubahan itu mengecewakanmu, kan? Kamu berharap Arya sudah berhasil sekarang. Kuliah di luar negeri, atau paling tidak kuliah di PTN seperti kamu.”
Hara memang mengharapkan Arya seperti itu. Harapan yang wajar dan tidak muluk-muluk, bukan?
“Kamu kan juga tahu siapa Arya dulu. Dia baik, pintar, dan nggak macam-macam. Tapi sekarang dia jadi begitu. Lihat saja dandanannya. Belum lagi kebiasaannya merokok itu.”
“Kamu nggak bisa menerimanya kan, Ra?”
“Aku ingin tetap berteman dengannya, kalau bisa membantunya kembali seperti dulu. Tapi…aku takut. Aku manusia yang suatu hari bisa salah juga. Karena itulah aku harus hati-hati.”
“Hati-hati, kenapa?”
“Menjaga hatiku agar tidak jatuh cinta kepadanya.”
“Memangnya kenapa, Ra? Arya kan bukan monster buruk rupa yang tidak boleh dicintai? Dia hanya salah sedikit.”
“Kamu jangan marah dong, Ta.”
“Ternyata kamu tidak pernah benar-benar mencintai Arya. Kamu suka dia karena dia pintar, baik, alim. Sekarang, setelah dia tidak seperti itu lagi, kamu tidak mau mencintainya! Kamu pamrih! Kamu tidak  benar-benar mencintainya!!”
“Kamu kok gitu sih, Ta?” Hara tak mengerti, “Kamu lupa, ya? Kamu sendiri pamrih kan waktu mencintai Ariel? Dulu waktu Ariel nakal, kamu nggak suka sama dia. Baru setelah dia menjadi baik, kamu mau menerimanya. Cinta kepada manusia itu pasti karena pamrih!” balas Hara.
Dita terperangah. Ia tak menyangka akan dibalikkan seperti itu oleh Hara. “Oke, tapi kamu jangan egois gitu dong, Ra?!”
“Egois di mana? Wajar dong kalau aku mencintai orang yang baik.”
“Karena kamu juga sudah menjadi baik, kan?”
“Terserah! Yang pasti, aku kecewa dengan keadaan Arya sekarang. Lagipula, aku juga punya prinsip untuk tidak pacaran sebelum menikah!”
“Memangnya kenapa?” Dita bingung.
“Mungkin akan sulit bagimu untuk mengerti begitu saja. Perlu pemahaman yang panjang. Yang pasti, itu sudah prinsipku. Maaf, ya, Dit.”
“Semua memang sudah berbeda, tapi bukan berarti kamu tidak mau menerima Arya sebagai teman juga, kan?”
“Aku mau menerimanya sebagai teman, seperti aku menerimamu dan Ariel. Tapi…aku tidak tahu bagaimana dengan hatiku. Aku pernah jatuh cinta kepada Arya. Sulit sekali untuk hanya sekadar menjadi teman,” Hara tertunduk.
Dita memeluk Hara. “Intinya, kamu ingin benar-benar menjauhi Arya?”
Hara mengangguk. Pedih, tapi harus.
***
Mungkin aku memang harus pergi agar bisa melupakannya. Biar saja semuanya berlalu sampai hatiku benar-benar bisa menerimanya sebagai teman. Hanya teman. Tidak lebih.
Hara terkejut melihat sosok yang berada di depan pintu rumahnya itu. Arya! Pagi-pagi begini, mau apa dia?
“Hai, Ra. Ternyata benar kamu mau balik ke Surabaya, ya?”  tanya Arya. Hara mengangguk. Ditatapnya tas besar bawaannya. Terdengar helaan napas berat Arya. “Boleh aku antar ke stasiun?”
“Tapi…aku sudah diantar ayahku.”
Please, Ra. Aku masih pengen ngomong sama kamu. Perasaan, kita baru ketemu, eh sudah harus berpisah lagi. Memangnya liburanmu sudah selesai, Ra?”
 Hara tertegun. Apa maksud kata-kata Arya barusan?
“Lho, Hara, temannya nggak disuruh masuk?” tanya Ayah, tiba-tiba. Ibu mengikuti di belakang.
“Oh, ini Arya yang sering main ke sini, kan?” tanya Ibu.
Arya mengangguk. “Iya, saya Arya, Om. Teman SMA Hara. Boleh nggak Om kalau saya antar Hara sampai stasiun?”
Hara menggigit bibir. Gawat!
“Oh, boleh-boleh! Silahkan. Kebetulan. Berarti Ayah nggak usah nganter Hara lagi. Hara sendiri mau, nggak?” Ayah menatap Hara yang tertunduk. Tak ada alasan baginya untuk keberatan. Arya temannya. So what? Akhirnya, Hara mengangguk. Wajah Arya terlihat senang.
“Ya sudah, sana berangkat. Nanti ketinggalan kereta,” suruh Ayah. Hara mengangguk. Diciumnya tangan Ayah dan Ibu. Ibu mencium Hara lama. Beliau masih belum rela ditinggalkan Hara lagi.
“Hara berangkat dulu ya, Yah, Bu,” ucap Hara. Ayah dan Ibunya mengangguk. Hara terkejut saat Arya ikut-ikutan mencium tangan Ayah dan Ibunya. Huuh! Kesannya bagaimana gitu! Apalagi setelah mendengar pesan Ayah berikut:
“Jaga Hara baik-baik ya, Arya.”
“Tenang, Om. Hara aman bersama saya.” Arya tersenyum senang. Hara tertunduk. Kacau. Semuanya jadi kacau. Untungnya ia berhasil melobi Arya agar mau meninggalkan motornya di rumahnya sehingga mereka berangkat dengan mobil Ayah. Ia tak mau membonceng motor Arya yang membuat jarak mereka semakin dekat.
“Ada  yang ingin aku bicarakan sama kamu, Ra,” kata Arya di perjalanan.
“Ya, ngomong aja.”
“Sepertinya kamu sudah malas berteman denganku, ya?”
“Ke…kenapa kamu bisa ngomong gitu, Ya?” Hara gagap.
“Sudah kelihatan dari wajahmu kalau ketemu aku. Memangnya aku kenapa, sih, Ra? Atau…karena kamu sudah pakai jilbab jadi nggak boleh berteman dengan cowok? Apalagi cowok yang nggak punya masa depan seperti aku.”
“Bukan. Bukan begitu,” Hara mengelak. Meskipun sebenarnya memang begitu. “Tapi…yah, aku hanya…,”
“Malu. Iya, kan? Soalnya orang pakai jilbab itu alim. Nggak boleh bergaul sama orang sembarangan. Iya, kan?” cecar Arya membuat bibir Hara makin terkatup. Semua ucapan Arya barusan memang benar. “Kita kan cuma teman, Ra. Iya, kan? Apa susahnya sih jadi teman?”
“Maaf kalau kamu merasa sikapku sudah berubah. Kita sudah tidak bertemu cukup lama. Wajar kalau ada rasa canggung.”
“Canggung?” Ia merasa aneh dengan kata itu, “Yah, mungkin benar. Apalagi kita kan nggak pernah dekat satu sama lain.”
Hara  terkejut. Dekat satu sama lain? Apa maksud Arya?
Hari ini Hara berpisah dengan Arya. Sebenarnya ia tak mau bertemu lagi dengan Arya. Ia tak ingin mempermainkan hatinya. Ia ingin menyucikan hati. Ia ingin melupakan Arya. Tapi…apakah bisa?
***

Bersambung....
klik di sini untuk baca lanjutannya yaaa



No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....