Monday, October 3, 2011

Novel: TRUE LOVE (14)

EMPAT BELAS


Hari ini acara akad nikah dan resepsi pernikahan Dita dan Ariel digelar. Semalam, Hara datang ke rumah Dita untuk ikut memberikan kekuatan dan dukungan. Memutuskan untuk menikah bukanlah hal yang mudah karena ada banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan sepasang manusia ketika mereka memutuskan untuk menikah. Itulah sebabnya, orang-orang yang akan menikah memerlukan kekuatan dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya.
Pagi ini Hara datang lebih awal dari tamu undangan lainnya. Ia memang ingin ikut mendampingi Dita dalam akad nikah di masjid dekat rumah Dita yang hanya dihadiri oleh keluarga besar pasangan tersebut. Hara yang sahabat dekat Dita diijinkan untuk ikut. Rasanya menegangkan melihat Dita berdampingan dengan Ariel yang mengucapkan janji pernikahan. Pasti perasaan Dita tak menentu meskipun ia sudah mengenal Ariel cukup lama. Bagaimana kalau mereka baru saling mengenal? Pasti lebih menegangkan lagi. Seperti saat Kak Hamidah menikah dengan Mas Arif.
Usai akad nikah, acara dilanjutkan dengan resepsi pernikahan yang digelar di rumah Dita. Satu persatu tamu undangan mulai berdatangan. Hara menunggu keluarganya yang belum datang. Ia bermaksud memberikan ucapan selamat bersama keluarganya. Saat sedang menunggu itulah ia melihat seseorang yang langsung membuat jantungnya berdebar kencang. Arya! Orang itu adalah Arya!
Hara panik mencari tempat sembunyi. Ia benar-benar tidak ingin bertemu Arya. Pikirannya masih tak menentu gara-gara pria itu. Ia harus melarikan diri dari Arya. Untung tamu lelaki dan perempuan terhalang kayu dekorasi yang memang menjadi pembatas antara tamu lelaki dan perempuan. Jadi, ia masih bisa menyamarkan dirinya di antara banyak tamu perempuan. Ia berlari ke arah dapur. Tempat itu adalah tempat teraman saat ini. 
Arya langsung menuju tempat kedua mempelai duduk berdampingan di atas kursi pengantin untuk memberikan ucapan selamat. Ariel terlihat tampan dengan pakaian adat Jawa, demikian  juga dengan Dita yang cantik dengan kebaya Jawa dan jilbab melati. Mereka beruntung karena kisah cinta mereka berakhir bahagia. Menikah. Satu kata itu adalah kata yang menjadi tujuan setiap orang yang memahami arti sebuah pernikahan. Menikah menjadikan hubungan dua insan sah secara hukum dan agama. Ia sendiri entah kapan bisa menikah. Rasanya tidak ada perempuan yang mau menikah dengan mantan residivis yang hanya menjadi tenaga serabutan di tempatnya bekerja sekarang. Usai memberikan selamat kepada Ariel dan Dita, ia mencari-cari Hara. Memang agak susah karena terhalang kayu dekorasi, tapi ia tak menyerah. Ia harus menemukan Hara. Saat pulang, barulah ia menemukan Hara yang juga baru akan masuk ke dalam sebuah mobil kijang. Ia segera berlari mengejar mobil kijang itu. Sayang, terlambat. Mobil itu telah berlalu pergi membawa bagian hatinya yang hilang. Arya tidak tinggal diam. Ia langsung berlari ke tempat motornya diparkir dan langsung mengejar mobil yang ditumpangi Hara tadi.  Ia pun mengejar mobil itu sampai berhenti di depan rumah Hara.
 “Assalamu’alaikum, Kak,” ucap Arya saat pintu rumah Hara dibuka.
Hamidah tersenyum. “Wa’alaikumsalam. Cari siapa?”
“Hara.”
Hamidah menatap pria yang berdiri di depannya. Jangan-jangan, lelaki ini Arya. “Adik siapa?”
“Arya.”
Ternyata benar. Inilah dia lelaki yang mengejar-ngejar Hara.
“Sebentar, ya.” Hamidah berjalan masuk ke dalam rumah. Bukan memanggil Hara, tapi memanggil Arif, suaminya. Arif akan berbicara empat mata dengan Arya. Arif menyilakan Arya duduk di salah satu kursi yang ada di teras rumah.
“Saya Arif, Kakak ipar Hara.”
“Saya Arya, teman Hara.” 
“Kalau boleh saya tahu, hubungan Adik dengan Hara sebatas apa, ya?” tanya Arif, hati-hati. Arya tak langsung menjawab. Terus-terang ia terkejut mendapat pertanyaan itu.
Em...memangnya kenapa, Mas?”
“Ah, tidak. Saya hanya ingin tahu saja. Saya dengar, Adik selalu mencari dan menelepon Hara ke rumah.”
“Oh...,” Arya tersipu. Ia jadi tak enak keluarga Hara sampai tahu ia rajin mencari Hara. “Yah...saya dan Hara...sahabat.”
“Sahabatan sejak kapan?”
“SMA.”
“Memang masa-masa SMA itu masa mencari sahabat, ya?”
“Kami cocok satu sama lain, maksudnya...dulu kami sama-sama suka belajar dan bantu-membantu dalam pelajaran.”
“Saya ingin jawaban yang jujur dari Adik. Maaf kalau Adik tersinggung. Sebenarnya...bagaimana perasaan Adik terhadap Hara?”
Arya terbelalak mendengar pertanyaan itu. “Maksudnya...?”
“Mohon jangan tersinggung. Setahu saya, persahabatan antarlawan jenis biasanya selalu lebih dari itu. Mungkin saja kan Adik punya perasaan yang lebih dari sekadar sahabat terhadap Hara?”
“Oh...tidak! Tidak!” seru Arya, cepat. Sifat pemalunya muncul lagi. Jujur, ia belum bisa berterus-terang mengenai perasaannya yang sebenarnya terhadap Hara. “Bagi saya...Hara benar-benar hanya sahabat.”
Arif mengangguk. Sahabat. “Adik tidak punya perasaan lebih dari itu?”
Arya diam sejenak. Aduh...! Kenapa tiba-tiba Kakak ipar Hara menanyakan hal itu padanya? “Sebenarnya...sebenarnya saya memang punya perasaan khusus terhadap Hara,” jawabnya, malu-malu.
“Lalu, hubungan apa yang Adik kehendaki? Hanya bersahabat saja, atau lebih dari itu?”
“Ya...sebenarnya...saya ingin lebih dari itu.”
“Menikah?”
Arya terbelalak. Menikah?! “Oh, tidak! Saya belum siap!”
“Belum siap?”
“Iya. Saya belum punya apa-apa untuk menghidupi keluarga.”
“Lalu hubungan apa yang Adik kehendaki kalau bukan menikah?”
“Ya...seperti penjajakan begitu. Maksud saya, saya dan Hara saling memahami satu sama lain dulu. Nanti kalau sudah siap, baru kami membicarakan pernikahan.”
Arif manggut-manggut. Jawaban klise yang selalu diberikan seorang pengecut. “Kalau begitu,  bagaimana kalau sekarang Adik bersiap-siap saja dulu?”
“Maksud Kakak, Kakak merestui hubungan saya dengan Hara?!” Arya antusias.
“Kalau Hara juga mau, kenapa tidak? Tapi yang saya dan Hara inginkan, Adik datang ke sini lagi kalau Adik benar-benar sudah siap menikah. Karena di dalam keluarga kami, penjajakan itu hanya ada kalau sudah ada niat menikah dalam waktu cepat. Kami menyebutnya, ta’aruf.”
“Oh, begitu. Yah, mungkin memang begitu seharusnya.” Arya bergumam. Pembicaraan mereka berlangsung lebih kurang empat puluh menit, selanjutnya Arya pamit pulang.
Hara terbelalak saat Hamidah memberitahukan bahwa Arya baru saja mencarinya. Ia tak menyangka Arya senekat itu. “Tuh kan, Kak. Hara takut, nih!” ujarnya, gemetar.
Deu…adik Kakak ini…. Ternyata ada juga yang suka sama kamu, ya?”
Iiih, Kakak! Sekarang gimana, nih?” Hara bingung bukan main.
“Dari omongan Arya tadi, Mas Arif bisa mengambil kesimpulan bahwa dia belum siap menikah. Hubungan yang dia inginkan seperti hubungan haram lainnya. Pacaran.” Arif memberitahu.
Tuh, kan! Benar!”
“Yah, mungkin karena dia belum tahu bagaimana hubungan yang seharusnya itu,” ujar Hamidah.
“Tapi sepertinya dia penurut. Dia mau mendengarkan penjelasan Mas dan mau mengerti kalau hubungan yang kamu inginkan adalah pernikahan. Jadi, untuk sementara dia akan menjauhimu dan akan menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menikahimu.” Arif melanjutkan.
Hara terbelalak mendengarnya. “Aapa?! Menikah?! Kenapa Mas Arif janjiin pernikahan ke dia...?!!!”
“Memangnya kamu nggak mau menikah dengannya, Ra?” tanya Hamidah.
“Buat apa? Pokoknya Hara nggak suka dia!”
“Hara! Istigfar! Orang yang di mata kamu buruk belum tentu dia buruk di mata Allah. Kamu sudah tahu itu, kan?”
“Habis, gimana? Hara jadi takut sama dia. Wajar kan kalau Hara pingin pendamping yang salih? Tapi dia? Pria yang mengejar-ngejar wanita seperti itu apa bisa dibilang salih?”
“Iya, Kakak ngerti. Ya sudah lah. Nanti Kakak dan Mas Arif pikirkan lagi.”
“Buat apa, Kak?”
“Ya nyariin kamu solusi, dong. Supaya kamu nggak bingung begini.”
Hara manggut-manggut. “Ya udah deh. Hara tunggu solusinya.”
***
Berhari-hari Hara pusing memikirkan jalan keluar apa yang sedang direncanakan oleh kakaknya itu. Ia tak mau jalan keluar itu malah akan membuat Arya marah kepadanya. Ia tak mau masalahnya dengan Arya semakin runcing.
Akhirnya, malam ini Hamidah menelepon, memberitahu solusi apa yang menurutnya akan menyelesaikan masalah Hara dengan Arya. 
“Jalan keluarnya adalah…menikah!!”
Hara terbelalak. Menikah…?! Apa tidak salah?! “Kakak jangan main-main, dong! Hara nggak suka, nih!”
“Adik dari teman Mas Arif katanya sudah siap menikah. Usianya dua puluh enam tahun. Dua tahun di atas kamu. Dia ikhwan yang salih dan sudah bekerja. Kamu mau nggak ta’aruf dengannya?”
Hara tertegun. Cukup lama ia terdiam karena tak percaya dengan apa yang dikatakan kakaknya barusan.
“Ra…? Kamu nggak pa-pa, kan?” tanya Hamidah, khawatir.
Enggak…cuma…,”
Udahlah. Sekarang, kamu pikirin aja dulu. Kamu mau nggak ta’aruf dengan ikhwan itu? Mulai malam ini, kamu juga sudah bisa salat Istikharah untuk menentukan apakah benar kamu mantap untuk menikah. Kakak tunggu jawaban darimu, ya?” ujar Hamidah sebelum menutup telepon.
Hara termenung. Jadi itu solusi yang dicarikan oleh kakaknya? Menikah. Solusinya adalah menikah. Hara menghela napas. Kalau memang itu jalan terbaik untuknya, kenapa tidak? Kalau ia sudah menikah, mungkin Arya tidak akan menganggunya lagi.
***
Ternyata benar. Cinta kepada manusia begitu cepat berlalu. Seperti apa yang Hara rasakan saat ini. Ia masih ingat betul betapa menggebu perasaannya kepada Arya dahulu. Arya pintar, baik, tampan. Siapa yang tidak jatuh cinta kepada Arya? Bahkan Dita pun jatuh cinta kepadanya. Sebenarnya, awal berjumpa dengan Arya, ia tak merasakan perasaan itu. Sikapnya biasa saja. Namun, kedekatannya dengan Arya menyebabkan benih-benih cinta itu muncul. Semakin lama, Arya semakin memenjara hatinya. Ia terbelenggu oleh perasaan yang terus muncul meskipun mereka telah berpisah. Arya adalah cinta pertamanya.
Sekarang, apa yang terjadi? Tiga tahun berlalu dan perasaannya pun berganti. Arya menjelma menjadi benalu dalam hidupnya. Ia sungguh tak menyangka betapa rasa cinta dapat berubah menjadi benci sedemikian cepatnya. Tak ia pungkiri bahwa sikap Arya yang berubah itulah yang membuat perasaannya berubah. Arya tidak seperti dulu. Arya yang pintar dan baik sudah tidak ada lagi. Sekarang, sudah tak ada cinta lagi untuk Arya.
Sebenarnya kesalahan bukan mutlak di tangan Arya. Arya hanya kehilangan kesempatan untuk meraih semua yang dicita-citakannya. Arya bahkan harus rela mencoreng nama baiknya karena nasib tidak berpihak kepadanya. Lalu Hara, apa yang harus dilakukannya? Menerima Arya begitu saja atau benar-benar menutup hatinya untuk Arya? Hanya Allah yang tahu jawabannya. Yang pasti, usai salat istikhoroh malam ini, Hara merasa mantap untuk mengenal ikhwan yang disodorkan Hamidah kepadanya.
*** 
Bersambung....
klik di sini untuk baca lanjutannya yaa

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....