Wednesday, November 30, 2011

Motivasi Menulis: Menulis, Dapat Apa?

Beberapa waktu lalu, ada seorang calon penulis yang bertanya; apakah penghasilan dari menulis itu bisa dijadikan pegangan hidup? Dan kemarin, ketika dua orang mahasiswi Unpad mewawancarai saya untuk tugas kuliah jurnalistiknya, pertanyaan itu kembali terlontar: bisakah kita hidup dari menulis?


Ah, memang sudah sering orang menanyakan itu. Kelihatannya susah ya menjadikan profesi penulis sebagai pegangan hidup. Itu sebabnya ayah saya dulu merobek-robek buku catatatn saya, yang berisi cerpen-cerpen dan novel, yang kala itu masih ditulis dengan tangan (belum punya komputer). Saya baru duduk di bangku kelas 1 SMP. Hanya merasa hobi menulis, belum punya niat mengkomersilkannya. Kata ayah saya, “jangan jadi pengkhayal! Kerjaan kok mengkhayal terus….”

Namun, rupanya saya memang sudah ditakdirkan menjadi penulis. Tak peduli ayah tidak merestui, saya tetap menulis. Setiap bulan, saya membeli buku harian baru (diary) untuk menampung semua kisah saya. Setiap hari saya menuliskan kejadian-kejadian hari itu, sekalipun hanya tentang uang dua ribu rupiah yang saya temukan di jalan menuju sekolah.

Saat SMA, gairah menulis semakin meningkat. Bahkan, buku-buku catatan berisi novel-novel saya, sudah beredar di seantero kelas (dan luar kelas). Bergantian, teman-teman sekolah saya membacanya. Hingga tenarlah saya sebagai seorang penulis, yang sibuk menulis ketika ada jam kosong. Sampai seorang teman menyarankan agar saya mengirimkan tulisan-tulisan itu ke majalah.

Ah, ya, sejak itu, saya jadi rajin mengirim naskah ke majalah. Selama dua tahun, hanya menerima penolakan-penolakan, hingga di tahun ketiga, saya mendapatkan kabar gembira; cerpen saya dimuat di majalah Kawanku! Horeee…. Bukan hanya saya yang bergembira, teman-teman sekolah yang mengetahui hobi saya, juga ikut gembira.

Itulah awal ketika menulis menghasilkan pundi-pundi rupiah buat saya. Tapi, itu belum menjadi tujuan. Saya memang senang menulis. Bagi saya, rasanya sudah puas ketika berhasil menuangkan imajinasi ke dalam tulisan. Saya tetap mengirim cerpen ke majalah, lalu meningkatkan keberanian, mengirim novel ke penerbit. Beberapa dimuat, lebih sering ditolak. Jika dibangkan antara honor menulis dan modal yang keluar (untuk sewa komputer, ngeprint, fotokopi, dan perangko tuk kirim naskah), rasanya belum terbayar. Belum ada keuntungan, kecuali beberapa orang mulai mengenal saya sebagai penulis. Bahkan pernah ada senior yang agak jutek, begitu mengetahui cerpen saya dimuat di Annida, dia langsung terpekik, “Oh, kamu….!”

Saya hanya senyum simpul. Biasa aja, kaleeee… wkwkwkwk….. Dan begitulah, roda nasib terus berputar. Hingga usaha-usaha saya membuahkan hasil. Naskah menang sayembara, novel-novel terus diterbitkan. Ketika kembali ke Jakarta, saya dapat bertemu muka dan berbincang-bincang dengan penulis-penulis senior yang selama ini hanya saya kagumi melalui buku-buku mereka. Bagi saya dulu, mereka bak artis yang tidak terjangkau pandangan mata. Naskah-naskah saya mempertemukan saya dengan mereka; Pipiet Senja, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Gola Gong, Boim Lebon, dan lain-lain.
Honor menulis terus mengalir. Bila dikumpulkan, mungkin bisa membeli rumah. Hanya saja setiap masuk honor, langsung ke luar lagi. Jadi tidak sempat beli rumah dari honor menulis. Syukurlah, suami yang membelikan, hehe…. Ah, sudahlah. Honor menulis hanya salah satu keuntungan dari menulis. Keuntungan lainnya, saya mendapatkan banyak teman, dari penulis senior sampai calon penulis. Terutama teman-teman FLP (Forum Lingkar Pena), awal saya bergabung di organisasi penulis, dulu. Ya, bantuan teman-teman FLP dalam meringankan biaya pengobatan almarhum mama saya, luar biasa. Terkumpul 12 juta dari teman-teman FLP, untuk almarhumah Mama. Solidaritas penulis, begitulah.

Meskipun selama ini saya baru mengisi workshop-workshop menulis kecil-kecilan di sekolah-sekolah dan toko buku, tidak menutup kemungkinan kelak saya mengekor kesuksesan penulis-penulis senior yang telah berlanglang buana ke luar negeri untuk menyebar virus menulis. Aamiin. Pipiet Senja, HTR, dan Asma Nadia, adalah beberapa di antaranya. Berhubung saya cukup kenal dekat dengan mereka, jadi pernah tahu sedikit rutinitas jalan-jalan demi menyebar virus menulis. Tentu saja biayanya tak keluar dari kocek sendiri, melainkan dari sponsor. Hongkong, Singapura, Malaysia, Korea, juga kota-kota di Indonesia, telah mereka singgahi, hanya dari MENULIS. Yap, mereka telah menaklukkan sebagian dunia, dari menulis. Cita-cita saya dulu juga bisa berkeliling dunia, siapa tahu bisa terwujud dari menulis. Hanya sekarang saya belum punya passport.

Beasiswa menulis? Rekan penulis senior pun telah mendapatkannya. Kuliah enam bulan di Korea dari hasil beasiswa menulis. Waah, tidak disangka, ya? Ya, tapi tentu saja itu hanya bisa didapatkan bila kita serius menekuni dunia ini. Dan mulailah dengan cinta, bukan iming-iming materi. Sebab, untuk mencapai materi sedemikian rupa, tidak hanya melalui kedipan mata. Ada proses yang panjang, tak kenal lelah, tak tak patah semangat. Jangan tergoda dengan iming-iming penulis instan. Sebab, semua yang instan jadinya, instan pula hilangnya. Lihatlah penulis yang meniti karir menulis dengan perlahan-lahan dan tertatih-tatih, sampai sekarang mereka tak lekang oleh zaman. Tetapi, penulis instan, begitu mendapat sedikit terpaan, langsung lenyap tak berbekas.

Menjadi penulis, juga salah satu cara untuk membuat kita menyejarah. Ya, bukan hanya keluarga dan sanak sodara yang mengenal kita, tapi semua orang yang membaca buku kita, insya Allah akan mengenang kita kelak melalui buku-buku kita. Dan insya Allah, amal menulis kebaikan yang telah kita tanam, kelak akan kita tuai hasilnya di akhirat. 


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....