Monday, November 28, 2011

Motivasi Menulis: Penulis Harus Bermental Baja

Tadi pagi saya membaca status seorang teman penulis, yang mengatakan bahwa dia akan berhenti menulis. Yang kutangkap dari penjelasannya, dia frustasi karena naskah-naskahnya gagal terbit. Padahal, dia termasuk penulis yang sudah cukup berpengalaman, karena beberapa kali menembus majalah. Namanya juga sudah cukup dikenal, karena sering mengadakan audisi menulis.


Sehari sebelumnya, seorang penulis senior, yang cerpen-cerpennya sering menghiasi majalah remaja, di masa jayanya, kini lebih sering woro-woro untuk menerbitkan di self publishing alias penerbit indie. Kebetulan, saya pernah berinteraksi dengannya, dan mengetahui alasannya yang kini lebih suka berindie publishing. Dia memang pernah kecewa dengan penerbit-penerbit label yang menolak naskah-naskahnya, padahal dia merasa sudah berpengalaman menulis di media massa dan majalah. Bahkan, sekarang namanya mengemuka sebagai penguasa blog.

Menjadi penulis memang harus bermental baja. Saya sendiri juga pernah mengalami masa keterpurukan. Oh, bukan… bukan pada saat mulai memasuki dunia penerbitan. Ketika baru pertama kali mengirim naskah ke majalah dan penerbit, saya justru sangat bersemangat. Ditolak berkali-kali di majalah, justru membuat semangat saya terpompa untuk menaklukkan majalah itu. Ditolak oleh penerbit, begitu juga. Justru saya mengalami keterpurukan ketika kesuksesan telah berada di tangan, tapi roda nasib berada di bawah.

Ya, sekitar 3 tahun lalu, setahun setelah menikah, naskah-naskah saya mengalami penolakan terus-menerus dari penerbit. Padahal, saya sedang berada pada tingkat kepercayaan diri yang tinggi, karena belasan buku saya sudah diterbitkan, beberapa antologi ditulis bersama penulis terkenal macam Asma Nadia, Boim Lebon, Gola Gong, dsb. Tapi, kenapaaa? Kenapa kok saat itu naskah saya ditolak teruuus? Apakah pengalaman penulis tak lagi menjamin?

Saya sempat menulis di blog multiply, mengenai kemungkinan saya gantung pena, alias berhenti menulis. Beberapa teman blogger sempat memberikan semangat. Kala itu, saya belum mengenal facebook. Saya sempat frustasi, bertanya-tanya kepada Allah, mengapa saat itu jalan saya tertutup? Apakah Allah sudah tidak lagi meridai pilihan saya untuk menjadi penulis? Saya sudah berusaha dan berdoa. Tak terhitung banyaknya naskah yang saya kirim ke penerbit, berupa printout. Saya sudah habis modal banyak untuk beli tinta, kertas, dan ongkos kirim. Saya sudah berusaha, tapi mengapa selalu gagal?

Sebelumnya, jika saya kirim 5 naskah, 3 diterima. Tetapi, saat itu, SEMUA ditolak. Saya seperti kehilangan arah. Merasa gagal menjadi penulis. Apalah artinya menulis, jika tidak ada yang membaca? Hingga akhirnya saya mengenal facebook, jalan saya kembali terbuka. Lalu, saya kembali memulai dari awal.  Yah, saya seperti menjadi pemula. Saya ikuti audisi menulis—apa pun itu—meski hadiahnya hanya dua buku. Bahkan, pernah ikut audisi menulis status, hehe…. Hasilnya, banyak yang gagal. Hadeeeuh…. Bahkan, demi memecah telor (meminjam istilah Mba Izti), saya memulai menerbitkan buku (Pilihlah Aku Jadi Istrimu) secara indie. Semangat saya tersuntik lumayan. Tapi, tidak berhenti di sana. Saya mencari-cari link penerbit yang dulu belum saya temukan. Saya simpan alamat imel mereka. Ketika ada naskah yang sesuai dengan keinginan mereka, saya rombak naskah yang sudah ada, dan kirim.

Mulanya, saya bertemu penerbit Diva Press. Saya kirim naskah nonfiksi yang sudah ditolak beberapa kali, ternyata ditolak juga oleh Diva Press. Lalu, saya pelajari novel-novel yang sudah diterbitkan oleh Diva Press. Saya add fb para redaksi dan penulisnya. Saya ubek-ubek stok naskah novel dan mencari yang kira-kira sesuai dengan Diva Press. Jumlah halaman minimal kala itu, 250 halamn, cukup tebal menurut ukuran saya yang belum terbiasa menulis novel tebal. Saya temukan naskah Jean Sofia, yang pernah ditolak satu penerbit. Saya permak Jean Sofia, dan menambah jumlah halaman agar sesuai dengan persyaratan. Alhamdulillah, sebulan revisi, sebulan dikirim, DITERIMA!

Sujud syukur, hingga tubuh gemetar saking bahagianya. Meski nominal honornya kecil, setidaknya sudah menjadi pembuka jalan memasuki dunia tulis menulis. Biarpun novel Pilihlah Aku Jadi Istrimu sudah terbit, masih banyak yang memandang sebelah mata, karena hanya diterbitkan indie.
Saya kembali bersemangat menulis dan mencari link-link penerbit. Tidak lagi tertarik mengikuti lomba kecil-kecil, karena pesaing yang terlalu banyak dan waktu menulis yang sedikit (lebih baik nulis novel solo). Alhamdulillah, di akhir tahun ini (tepat setahun saat saya keluar goa), Novel Jean Sofia sudah terbit, Nonfiksi Rahasia Pengantin Baru dan Catatan Ibu Bahagia sedang proses cetak, dan antologi Sweet Candy dijadwalkan terbit.

Seandainya dulu saya benar-benar BERHENTI menulis, tentu tak akan ada buku-buku itu. Baru-baru ini, saya juga dibuat kesal oleh ucapan seorang calon penulis di sebuah grup menulis. Saya melempar topic tentang bagaimana menulis naskah BEST SELLER. Lalu dia—sebagaimana opini kebanyakan calon penulis—berpendapat bahwa yang penting itu menulis, tidak perlu pikirkan soal best seller. Saya sebutkan bahwa sekarang ini fokus saya bukan lagi menulis, sebab saya sudah banyak menulis. Fokus saya adalah bagaimana buku saya bisa dibaca oleh banyak orang (best seller). Dan, si calon penulis itu—yang masih duduk di bangku kuliah—mengatakan dengan sadis, “Oh, mungkin dulu buku-bukunya gak laku ya, gak ada yang baca, bla bla bla….”

Dalam hati saya berkata,  “sotoy kamu… belum juga nulis, belum nyoba masukin naskah ke penerbit, wkwkwkwk….” Saya tak mau memperpanjang diskusi, karena percuma berdiskusi dengan orang yang belum merasakan asam garam dunia penerbitan. Itu hanya segelintir ujian mental bagi seorang penulis. Setelah sulitnya menembus dunia penerbitan, sulitnya meraih simpati pembaca (minimal membuat orang tertarik membaca buku kita), dan komentar-komentar sinis serta menjatuhkan dari orang yang bahkan BELUM PERNAH bergelut dengan dunia penerbitan.

Simpati saya juga kepada seorang penulis yang ketika dia menyebutkan bahwa dia sudah menerbitkan puluhan novel, lalu penulis lain berkata, “yang mana ya? Kok saya belum pernah lihat sih….” Itu sungguh ucapan yang juga menjatuhkan mental. Sebab, menulis dan menerbitkan buku itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, lalu ujug-ujug orang yang bukunya tidak lebih banyak dari kita, berkata seperti itu.  

Jadi, siapkanlah mental kita, ketika kita sudah memilih dan meniatkan diri untuk menjadi penulis yang karyanya dibaca banyak orang. Kelak, bila buku kita best seller pun, banyak yang membeli dan membaca, masih ada orang-orang yang mengkritik habis-habisan, bahkan cenderung menjatuhkan. Jika di awal saja mental kita sudah surut, bagaimana nanti? Jangan heran, banyak memang penulis-penulis terkenal (terutama di penulis luar negeri) yang meninggal karena BUNUH DIRI.

Yuk, kita terus menulis! Chayo!


(Fresh from the oven)

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....