Sunday, May 6, 2012

Motivasi Menulis: Ketika Menulis Menjadi Passion


Banyak orang ingin menjadi penulis. Terlebih setelah klub-klub penulis didirikan. Namun, berapa yang bertahan menjadi penulis seumur hidup? Sebagian besar hanya sekali-dua kali menelurkan karya, lalu tenggelam. Berganti dengan kehadiran penulis-penulis baru, yang lagi-lagi tak lama bertahan. Agaknya, keinginan menjadi penulis hanya bertahan sementara, lalu terlibas oleh aktivitas lain yang lebih penting.



Mengapa bisa begitu? Karena menulis belum menjadi panggilan jiwa. Hanya semata mengisi waktu luang, mencari tambahan uang, kesenangan sesaat, dan gegap gempita dunia menulis. Begitu dibenturkan pada konsistensi dan hambatan, hilanglah semua.

Kemarin, saya baru terima inbox dari seorang “penulis.” Dia bertanya, bagaimana supaya tetap menulis? Dia sudah hafal teori menulis, sudah banyak mendapatkan motivasi menulis, sudah pernah menang beberapa audisi menulis, tapi susah sekali memelihara semangat menulis. Selain sibuk kuliah, juga karena sesuatu yang entah kenapa. Sampai hari ini, saya belum jawab inboxnya. Ah, sebodo amat. Urusanmu sendiri. Situ gak bisa nulis, ya sudah. Saya gak bisa kasih nasihat apa-apa, wong situ sudah tahu jawabannya.

Lalu, masih di hari yang sama, ada juga seorang “penulis” yang merasa hidupnya hampa, padahal sebentar lagi buku solo dan antologinya akan keluar. Tadinya dia pikir kehampaannya itu karena tulisan-tulisannya belum juga bisa menembus penerbit, tapi setelah tembus, kenapa masih hampa? Nah, kalau itu saya tahu jawabannya. Mungkin yang bersangkutan sedang kemasukan jin, jadi harus diruqyah. Saya tidak bercanda, bisa saja kan???

Mengapa sulit memelihara semangat menulis? Saya sendiri sering beberapa kali mengalami kejenuhan menulis, tapi tak lama bangkit lagi. Menulis sama saja seperti rutinitas lainnya, jika dilakukan terus menerus, lama-lama juga bisa bosan. Maka, saya tak mengisi seluruh waktu dengan menulis. Apalagi saya juga punya kesibukan lain sebagai ibu rumah tangga dan hamba Allah. Tetapi satu yang saya sadari, saya tak pernah meninggalkan dunia menulis sejak memasukinya. Selalu ada kelebatan-kelebatan pikiran yang mendorong saya untuk menuliskannya. Itulah yang saya namakan, passion.



Tanyakan pada dirimu, apa yang membuatmu ingin menjadi penulis? Uang? Duh, enak ya Kang Abik, novel Ayat-Ayat Cinta mendapatkan royalty hingga 1 M, apalagi kemudian difilmkan. Tere Liye? Novel-novelnya best seller terus, royaltinya pasti ratusan juta. Andrea Hirata, apalagi. Saya??? Saya belum sehebat mereka. Saya juga tidak tahu kenapa bisa begitu. Eit, deeeh…. Saya sudah berusaha menulis, buku juga sudah banyak, tapi belum ada yang fenomenal. Kenapa, ya? Entahlah. Saya pikir, best seller itu takdir. Banyak penulis, hanya segelintir yang karyanya fenomenal. Allah memang menakdirkannya demikian. Mungkin para penulis itu sudah dianggap “siap” untuk menyandang status sebagai penulis fenomenal.
Apakah saya berhenti menulis?

Mulanya memang ada jeda ketika mengalami rintangan-rintangan. Sama halnya saat kita sedang mengendarai mobil, lalu ada batu di jalan. Mobil berhenti sebentar, tapi tak lama jalan lagi karena belum sampai di tujuan. Begitulah saya. Di awal menulis, saya sudah mengalami berbagai hambatan. Misalnya saja, naskah tidak lolos-lolos seleksi penerbit. Hambatan itu menghentikan minat saya menulis untuk sementara. Alhamdulillah, tak lama saya bangkit lagi, karena menulis sudah menjadi hobi. Sulit rasanya untuk tidak menulis. Diterbitkan atau tidak, urusan nanti. Yang penting menulis.

Setelah buku-buku banyak yang diterbitkan, lagi-lagi saya mengalami hambatan. Sikap puas diri dan jenuh. Jenuh rasanya menerbitkan buku begitu-begitu saja. Saya berhenti lagi. Namun, ide-ide yang melintas di kepala, terus mendesak untuk dituliskan. Maka, saya menulis lagi. Baru kemarin, saya juga merasa berhenti di jalan lagi. Ketika buku-buku kurang mendapatkan sambutan. Ah, rasanya tak enak. Berhenti dulu, ah. Alhamdulillah, tak lama.

Tanpa menafikkan pekerjaan lain, memang menjadi penulis itu sebuah proses yang tidak instan. Apalagi kalau kita menulis hanya untuk uang. Hasilnya tidak bisa cepat. Malah modalnya yang bikin cekak. Menulis satu buku, perlu waktu berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Jika ada orang yang bilang bahwa dia bisa menulis satu buku sehari, pasti isinya copy paste. Atau, tiga hari, satu minggu… pasti hasilnya garing, alias tidak ada rasanya.

Menulis yang pakai rasa, seperti seorang chef professional yang belajar masak bertahun-tahun, sama sekali tidak instan. Untuk itu, dibutuhkan kesabaran. Kalau tidak sabar, maka kita hanya menjadi penulis selintas lewat. Banyak penulis yang kemudian beralih profesi menjadi pebisnis, karyawan kantoran, dan sebagainya, karena hasil dari menulis tak bisa diharapkan. Akhirnya, menulis hanya kegiatan sepintas lalu, kalau ada waktu ya menulis, kalau tidak ya sudah.

Saya melihat, beberapa orang “penulis,” yang hanya bisa gembar-gembor, mau menulis ini, mau menulis itu, tapi tidak bisa-bisa, karena selain waktunya sudah banyak terpakai untuk aktivitas lain, dia malah terpikir untuk melakukan pekerjaan lain yang lebih cepat uangnya. Jadi, cita-citanya untuk menulis itu semata menjadi cita-cita.

Saya sendiri juga dikaruniai banyak keinginan. Waktu kecil saya suka menggambar komik. Pernah terpikir bakal jadi komikus. Lalu, saya juga suka mendesain baju. Gini-gini, saya pernah menang lomba desain busana muslimah tingkat kampus. Lumayan lah, meskipun hanya tingkat kampus. Pernah terpikir ingin bikin butik. Pernah juga terpikir ingin kursus bikin kue, karena suami pernah kerja di Bogasari. Suami menyemangati saya untuk bikin usaha toko roti. Ah, tapi semua semata keinginan. Tidak ada yang benar-benar tercapai, kecuali menjadi penulis.

Ya, sebab menulis sudah menjadi passion saya. Sehari saja tidak menulis, rasanya hampa. Harus diterbitkan? Tidak juga. Dipajang di blog saja rasanya sudah lega. Tidak ada yang mengomentari? Tidak mengapa. Karena saya tahu biarpun tidak dikomentari, tetap ada yang membaca berdasarkan statistic blog, hehehe……

Jadi, bagaimana memelihara semangat menulis? Kuncinya ada dalam dirimu sendiri. Apakah menulis sudah menjadi panggilan jiwa? Saya tersiksa sekali kalau sehari saja tidak menulis, kamu? Ketika menulis sudah menjadi passion, kita menjadi begitu cintanya pada pekerjaan itu. Menulis telah menyatu di dalam diri kita. Saking cintanya, gak dibayar pun gak apa. Setiap kalimat yang kita tulis, selalu memberikan kelegaan dan kebahagiaan. Tak perlu ada bayaran dalam bentuk materi dan immateri. Cukup perasaan senang dan bahagia saja, setiap kali kita menyelesaikan satu tulisan, atau bahkan hanya satu paragraph. Saya yakin, semua penulis yang mendapatkan gelar; Life Achievement Award, Penghargaan Seumur Hidup, telah menjadikan menulis sebagai passion mereka.


Satu kebahagiaan lagi, saat melihat buku-buku dipajang di toko buku dan di tangan pembaca....


9 comments:

  1. subhanallah bagus sekali isinya mbak. mungkin rasa hampa yg selama ini kualami akibat mendadak berhenti menulis maybe....

    ReplyDelete
  2. subhanallah, mba hbat slain jdi ibu rumah tangga,bisa mxlesaikan skian bku,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, insya Allah bisa kalau terus berusaha. Terima kasih sudah mampir.

      Delete
  3. Assalamualaikum,,,
    memberi motivasi,,

    mudah-mudahan sebagai pemula, kami bisa tetap mau menulis,,

    ReplyDelete
  4. mbak isinya bagus,mungkin saya seperti salah satu orang yang mba bilang,saya hobinya baca ,kadang-kadang terlintas ide untuk menulis sesuatu tapi karena ditunda nulisnya akhirnya blank deh,kata-kata mbak lely banyak memberi motivasi bagi kami yang baru mulai menulis.tks ya mbak

    ReplyDelete
  5. Kalau sudah jadi passion menulis jadi terasa menyenangkan tentunya. Artikel yang bagus.

    ReplyDelete
  6. saya jg skarang mulai suka dgn menulis. Sya sudah membuat blog bbrapa hari yg lalu dan sudh memposting tulisan saya dstu. Tpi saya msih bru skali dlm dunia blogger dan msih blum tahu seluk beluknya. Bgmana ya caranya supya postingan2 kita bnyk dibaca oleh orang lain? Mohon bantuannya...

    ReplyDelete
  7. "dipajang di blog saja rasanya sudah lega", kata-kata menyejukan bagi saya. Terima kasih mba, tulisannya bagus, dan sesuai judul, ketika menulis menjadi sebuah passion, ada atau tidak adanya komentar sangat puas rasanya melihat adanya statistik pembaca yang mengunjungi blog kita.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....