Wednesday, May 23, 2012

Novel: Rara, The Trouble Maker (6)


BACK TO BASIC

“Bagaimana bisa nasyid digabung dengan band?” Fitri tak habis pikir. Kemarin Doddy sudah membicarakan masalah nasyid itu dengan kelompok band-nya. Demi profesionalitas Butterfly, tidak mungkin jika pementasan Butterfly dibatalkan dan diganti dengan nasyid. Salah satu anggota Butterfly mengusulkan untuk mengadakan kolaborasi antara nasyid dengan Butterfly. Jadi, keduanya bisa tampil.



“Kalau menurut saya... itu malah ide bagus.” Hasan menyahuti.
Doddy dan kawan-kawan saling bertatapan. “Yah, hanya itu yang bisa kami tawarkan,” kata Doddy.

“Permasalahannya begini, nNasyid menyuarakan kebenaran, lagu-lagu yang penuh arti, bukan sekadar roman picisan. Di dalamnya ada pesan. Jika setelah menyanyikan salawat lalu disusul lagu “Sephia”, apakah itu namanya bukan sedang ngelawak?” tanya Taufik. Sindiran yang tajam.

“Oke, deh. Mau kalian gimana?” Bimo sedikit kesal. Doddy menyabarkan.
“Bagaimana kalau band Butterfly bersedia menghafpal lagu-lagu yang kami tawarkan. Semua lagu yang akan dibawakan nanti berupa lagu iIslami, karena tim nasyid kami tidak bersedia untuk menyanyikan lagu-lagu romantis.” Fitri angkat bicara.
Doddy dan kawan-kawan saling bertatapan.

“Baiklah. Karena yang meminta Nona Fitri, kami bersedia.” Roni langsung menyahut. Doddy dan lainnya terperangah. Roni nyengir. Fitri geleng-geleng kepala.
“Karena sudah diucapkan, pantang bagi kami mengingkari.” Bimo berkata bijak.
“Jadi, kalian setuju?” tanya Taufik. Kelompok band Butterfly mengangguk.
“Alhamdulillah...!” ucap anak-anak Rohis.

“Kapan kita bisa mulai latihan bareng?” tanya Bimo.
“Minggu ini juga bisa,” jawab Hasan.
Usai membicarakan jadwal latihan, rapat pun bubar. Di luar musala, tempat rapat diadakan, Fitri dan Doddy bertemu. Fitri tersenyum, Doddy juga. Tapi itu semua tak berlangsung lama. Fitri berlalu membawa luka di hati Doddy.
Pokoknya di sekolah, kita harus pura-pura nggak kenal. Ucapan Fitri terngiang kembali. Kenapa, Fit? Karena dunia kita berbeda? tanya Doddy dalam hati.
***

Udara panas memerahkan wajah Rara. Uap mengepbul-ngepbul dari kepalanya. Jantungnya berdebar tak kearuan, seakan ingin keluar dari biliknya. Hari ini, siang ini, ia melihat sendiri Aditya jalan dengan gadis bernama Wita itu. Begitu dekat, begitu mesra. Kepalan tangannya mengeras. Andai... andai ia bisa menonjok wajah imut itu…!
“Rara! Edisi pertama kartu bugil, nih!” kata Toby tanpa rasa takut ketika Rara menginjakkan kakinya di kelas.

“Rara! Lu kan piket hari ini!” Widi ikut-ikutan berteriak.
“Ra! Bayar utang lu, dong!” Doni datang menagih. Teriakan mereka bagai palu yang memukul-mukul kepala Rara.

“Siapa yang nyuruh kalian teriak-teriak di kuping gue! Udah pada bosan hidup, ya ?!” teriak Rara, kencang. Dunia seketika berhenti beraktivitas. Rara kembali ke asal. Semua yang merasa pernah ngerjain Rara, pasang langkah seribu. Rara melotot. Tangannya mengepal. La... riii…!
***

Hari Sabtu pagi ini, rangkaian acara pelantikan PMR dimulai. Truk yang akan mengangkat rombongan PMR menuju tempat berkemah telah siap di depan pintu gerbang. Rara mencangklong ranselnya yang berat dengan santai. Tak jauh darinya, Citra mati-matian membawa ransel dan lampu temploknya. Ia memang kebagian membawa lampu. Rara mencibir. Badan saja besar, energi kurang! Sementara itu, Wina juga santai membawa barang bawaaannya yang sedikit.

“Gue cuma bawa dua kaos. Yang penting kan pakaian dalamnya,” katanya saat ditanya.
“Cemilannya, Win?” tanya Betty.
“Kan ada Citra.” Wina tersenyum.

Citra melotot. “Sorry aja, ya!” sungutnya.
Sepasang bola mata Wina kebat-kebit melihat Doddy datang dengan menenteng gitar. “Asyik! Keinginan gue denger suara gitarnya bakalan terpenuhi!”
“Win! Lu nggak sungkan? Lu kan pernah ngasih dia surat cinta?” tanya Rara.
Wina cemberut. “Habis sikap gue mesti gimana? Gue pasti kan ketemu dia.”
“Sikap dia gimana?”

“Biasa aja. Mungkin dia juga malu.”
“Atau jangan-jangan dia malah nggak kenal elu!”
Wina melotot marah.

“Ayo, adik-adik! Cepat! Kita harus sampai ke lokasi jam delapan!” seru Eva dari kejauhan. Semua langsung menuju lapangan upacara. Usai upacara bendera, mereka menaiki truk pasir yang telah disediakan. Rara cemberut. Naik truk pasir?!
“Maklum, lah. Bayarannya aja cuma lima ribu.” Wina menyabarkan. Setelah semuanya naik, truk berjalan perlahan.

“Ayo kita nyanyi mars PMR!” Ranti mengisi kekosongan.
“Lagu Rif aja, Mbak!” sahut Citra.

“Dewa!” seru Yani. Lalu suasananya pun menjadi ramai. Rara mengambil tempat di pojok. Saat melihat ke samping, ia baru sadar kalau ia berdiri tepat di sebelah Doddy. Dari dekat, cowok itu memang tampan, apalagi kalau memakai topi biru itu. Sayang, Rara lebih naksir temannya, Aditya.

“Dod! Pinjem topinya, dong! Panas, nih!” kata Yani.
“Aduh... sebenarnya... tapi hati-hati, ya.” Agak berat Doddy menyerahkan topi birunya. Yani tersenyum senang.

“Kak Doddy! Kok diem aja! Nyanyi, yuk!” ajak Citra, genit.
Rara mencibir melihat aksinya. “Dasar cewek! Nggak bisa liat kupu-kupu nganggur!” sahutnya, sinis. Wina menyikutnya. Rara nyengir. Cemburu ya, Win?
“Aduh... Doddy!” teriak Yani, tiba-tiba, membuat heboh seisi truk.
“Topi gue!” Doddy ikut berteriak melihat topinya melayang jatuh ke jalanan. “Hentikan truknya…!” Teriakannya mengguncang dunia. Tapi truk berjalan kencang. Percuma. Doddy tertunduk meratapi.

“Udahlah lah, Dod.” Eva menyabarkan.
“Maaf, ya.... Nanti Yani ganti,” ucap Yani, penuh sesal.
“Alah... topi tiga ribuan aja!” sahut Rara.
“Masalahnya... itu kan topi dari Wita.....” Doddy masih meratapi kepergian topinya.
Rara terkejut mendengar nama itu. Wi... ta? Bukannya itu....
***

Pukul sembilan pagi, telat satu jam dari jadwal, rombongan sampai di tempat tujuan. Desa Buaran, Serpong. Di sana sawah, di sini sawah, di tengah-tengah empang. Lokasi pilihan bagi anak-anak Pramuka atau lainnya yang ingin kemping sebelum digusur menjadi real estate. Rara sendiri belum pernah ke sini.

“Eh, Dian? Rombongannya sudah sampai, ya?” tanya Hari yang tiba-tiba saja keluar dari satu-satunya tenda yang sudah berdiri.
“Kok udah ada tenda di sini?” Dian balik bertanya.
“Kita kan udah nginep dari hari Sabtu Jumat.”

“Kak, kelompok kita nggak punya tenda, nih?” tanya Lia. Dian menyikutnya. “Kalau bisa minta bantuan, kenapa enggak?” Lia berbisik. Dian cemberut.
“Nggak punya tenda. Wah... bagaimana? Ya sudah, kalian pakai tenda saya aja. Teman-teman! Keluar!” Hari memanggil teman-temannya yang masih ada di dalam tenda.
“Apaan sih, lu? Orang gue lagi tidur juga!” omel Andri sambil menguap.
“Tenda ini mau dipakai kelompok satu,” jawab Hari.

Andri melotot. “Apa?! Enak aja! Mereka harus bikin tenda sendiri, dong!”
“Nggak pa-pa, lah....” Hari membujuk.
Andri menatap Dian. “Oh... ada pacar lu, toh!” katanya, maklum sambil pergi.
Dian merengut. “Bagus, ya. Kalian memanfaatkan gue!” omelnya sambil berbisik ke kelompoknya. Semua cengengesan.
Hari tersenyum. “Ya, sudah. Kalian bisa menempati tenda ini. Ada yang kamu perlukan lagi, Yan?”

“Deu....” Yang lain usil.
Dian melotot. “Nggak ada! Makasih!” jawabnya, ketus.
“Kok kamu begitu, sih? Kalau ada, bilang aja ke saya.” Hari berusaha sabar.
“Iya!”

“Asyik! Ada Dian! Kita bisa dapet fasilitas terus, nih!” Citra berteriak, girang.
“Ih! Kalian!” omel Dian, marah. Semua tertawa. “Udah, deh! Buruan kita beresin tendanya!” teriak Dian sekaligus perintah. Malas-malasan mereka menuruti perintahnya.
“Wow! Tendanya luas...!” seru Wina setelah melihat-lihat. Sementara kelompok lain merasa iri karena kelompok satu mendapatkan tenda gratis yang sudah berdiri rapi.
“Hei! Gue nanti tidur di sini ya!” Citra sudah memesan tempat.
“Pokoknya gue di sebelah Lia.” Dian ikut-ikutan.

“Win! Lu di pinggir, ya? Badan lu kan gede. Jadi bisa ngelindungin gue,” kata Rara. Wina cemberut.
“Agenda kita hari ini, beresin tenda, upacara pembukaan, materi, istirahat, mandi.” Dini yang scheduling merinci kegiatan hari ini.
“Karena tenda kita udah siap, kita bisa santai,” kata Lia.
“Eh, acara gojlokannya kapan?” tanya Wina.
“Mungkin nanti malam.” Dini menjawab.

“Emang ada acara gojlokan segala?” tanya Rara.
“Pasti ada lah.” Wina menjawab sambil berlalu.
Acara hari ini berlangsung lancar. Sore harinya, mereka mandi di rumah warga yang terdekat. Tetapi hanya sekali ini saja mereka boleh menumpang mandi. Besok pagi mereka akan menumpang di rumah lainnya. Usai salat Magrib, mereka mempunyai waktu bebas.

“Eh, lu sadar nggak sih, Ra? Tenda kita berdiri di bawah pohon besar,” bisik Wina, gemetar.
“Emangnya kenapa, sih? Cuek aja lagi.”
“Rara! Ini kan hutan.”
“Sst... tenda sebelah yasinan!” seru Dini. Semua saling menatap.
“Seharusnya kita juga.” Dini mengeluarkan Al-Quran.
“Ayo, kita baca bareng-bareng!” suruh Dian. Rara senyum-senyum melihat wajah tegang teman-temannya.

“Teman-teman... kita berada di tengah hutan yang jauh dari mana-mana...!” bisik Tina. Semua menatap ke arahnya. Tina langsung menyorot wajahnya dengan senter hingga tampak menyeramkan.
“Aaah…!”
“Tina!”

“Citra penakut juga ternyata!” Tina tergelak.
“Heh! Serius, dong! Mau ngaji, nggak?!” Dini ikut-ikutan teriak. Semua diam kembali. Dipimpin Dini, malam ini mereka yasinan.
“Kesannya kayak malam Jumat aja. Padahal ini malam Minggu,” gumam Rara. Usai yasinan, mereka salat dan berkumpul di lapangan untuk mendengarkan wejangan dari pembina PMR, Pak Kun.

“Eh, katanya Pak Kun itu galak, lho!” bisik Tina.
“Ala... basi.” Rara mencibir.
“Mana yang lainnya! Ayo cepat! Lelet sekali kalian!” Teriakan itu membuat rombongan Rara lari terbirit-birit menuju lapangan.
“Tuh, kan, bener, Ra. Liat aja orangnya. Keker gitu.” Wina bergidik melihat Pak Kun yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.
Rara manyun sedikit. Wah, bakalan nggak bisa berontak, nih!
“Semuanya duduk! Biar pantat kalian menikmati dinginnya embun malam!” suruh Pak Kun. Takut-takut mereka menuruti perintahnya.
“Prediksi lu salah, Win. Mestinya lu bawa kaos yang banyak,” bisik Rara.
“Iya, nih. Bakalan kotor.” Wina merengut.

Pak Kun memberikan banyak wejangan bagaimana menghadapi hari esok (cie....). Beliau juga menegaskan bahwa beliau pantas untuk ditakuti.
“Eh, Ra. Kayaknya ujan, deh.” Wina menadahkan telapak tangannya. Rara juga mulai merasakan rintik-rintik hujan itu.

“Wah, adik-adik! Ternyata hujan! Oke, kalian kembali ke tenda sambil berlatih. Nanti setelah hujan reda, akan ada api unggun. Kalian harus menyumbangkan dua buah lagu!” seru Pak Kun sebelum anak-anak berlari mencari perlindungan.
“Kita mau nyanyiin lagu apa, nih?” tanya Dian di dalam tenda kelompok satu.
Semua sibuk berpikir.

“Yang unik dan rame, gitu!” tukas Lia.
“Oke, deh. Apa, ya?”
“Tenda Biru aja! Tapi diplesetin,” usul Tina.
“Iya, deh. Boleh juga tuh!” Citra setuju.
Dian menatap Lia. “Ya sudah. Kita menyanyikan Tenda Biru saja, habis waktunya cuma sedikit sih. Gimana liriknya?”
Semua langsung berembuk.

“Halo, adik-adik! Cheers!” Suara Eva mengagetkan semuanya.
“Hujannya sudah berhenti. Foto dulu, yuk!” kata Hari.
“Asyik…!”

“Di dalam aja. Kan ada lampu, tuh!” tukas Eva.
“Yang bawa lampu, di tengah!” Citra langsung menyerobot.
“Dian aja yang di tengah,” kata Hari.
“Huuu!”

“Udah! Udah! Satu... dua....”
KLIK! Entah apa jadinya foto malam itu. Yang pasti, semuanya tampak menyeringai.
“Rencananya kalian mau nyanyiin lagu apa?” tanya Hari usai potret-memotret.
“Mau tau aja sih!” sengit Dian.

“Siapa tau saya bisa kasih masukan. Kamu masih marah ya, Yan?”
“Heii! Nggak ada waktu buat pacaran!” Semua berteriak. Dian merengut.
Hari tersipu malu. “Ya sudah, latihan. Gunakan waktu dengan baik. Nanti malam tenda kalian mau dijaga dengan siapa?”

“Emang ada yang jagain tenda kita?” tanya Wina.
“Iya, lah. Kalian mau tidur tanpa ada yang menjaga? Padahal tenda kalian paling ujung. Tenda yang di tengah sih nggak pa-pa,” jawab Hari. Semua bergidik.
“Iya, deh, ya deh. Tapi.... kita maunya Kak Doddy.” Citra bicara.
“Iya! Setuju!” Semua ikut-ikutan.

Hari menatap Dian. “Kalau kamu, Yan?”
“Saya ikut mereka, lah.” Dian menjawab ketus.
Hari kecewa. “Saya juga bersedia menjaga tenda kalian.”
“Gimana, ya...?” Semua mempermainkan perasaan Hari.
“Ya, sudah. Saya bilangin Doddy nanti.”
“Asyikkk!”
Hari geleng-geleng kepala.
***

Api unggun berkobar-kobar di tengah lapangan. Semua calon anggota PMR, senior-seniornya, dan tamu undangan duduk mengitari api yang terlihat ganas itu. Meski api unggun berkobar, tapi udara malam ini tetap terasa dingin. Pak Kun dan para senior memeriksa anak-anak satu per satu.

“Siapa yang pakai jaket atau sweater?” tanya mereka dengan suara keras.
“Ayo, lepas sweaternya!” suruh Pak Kun pada anak-anak yang ketahuan memakai sweater.
“Dingin, Pak.”
“Memang itu maksudnya! Supaya kalian bisa tahan dingin!”
“Gawat!” Rara bergumam.

“Ra! Lu pakai sweater ya?” tanya Wina.
“Ini bukan sweater. Ini kaos biasa. Cuman emang tebal kayak sweater.”
“Kamu! Ayo lepas!” Suara seorang senior menaggetkan Rara. Rara memberi alasan yang sama.

“Wah, pinter kamu, ya! Pakai kaos yang tebalnya seperti sweater!” puji senior itu.
“Ini kok nggak dilepas?” Pak Kun tiba-tiba datang. Senior itu menjelaskan. Pak Kun manggut-manggut. “Licik juga kamu!” serunya. Rara tersenyum. Usai pemeriksaan, acara api unggun dimulai.

“Sekarang acara hiburan! Dimulai dari kelompok satu!” Ranti berteriak. Maklum, lingkarannya besar. Ketujuh gadis dari kelompok satu saling dorong mendorong.
“Ih! Kok gue di depan?!” Dian protes.
“Lu kan ketuanya!” cetus Citra.

Dian merengut. “Kami ingin menyanyikan lagu Tenda Biru dan Rasa Sayange,” katanya pada penonton.
JREENG! Terdengar suara gitar dipetik. Semua menoleh. Hahhh! Doddy! Hampir saja Wina berteriak.

“Tahan... tahan....” Rara berbisik.
Wina tertunduk, tersipu malu. Lalu, mereka pun bernyanyi diiringi denting gitar Doddy. Hati Wina seakan terbang ke awan. Malam ini, malam minggu, ia bernyanyi diiringi denting gitar Butterfly. Seperti mimpi.
***

Malam semakin larut. Pukul sebelas tepat, acara api unggun selesai. Semua kembali ke tenda masing-masing untuk tidur. Wina sudah menguap saja dari tadi.
“Aduh... gue tidur di pinggir, lagi. Tukeran dong, Ra...!” pintanya, melas.
Rara manyun. “Siapa cepat dia dapat!”

“Elu mah nggak setia kawan!” Wina memeluk sepatunya.
“Ngapain tuh sepatu lu peluk?” Rara heran.
“Melindungi sepatu gue. Nanti malam kan kita dibangunin tiba-tiba. Biasanya mereka suka ngerjain, nyembunyiin sepatu sampe kita telat dateng. Akhirnya kita dihukum, deh.”

“Lu kayak udah sering ikut pelantikan aja?”
“Dulu waktu Pramuka gitu.”
“Udah, udah. Ayo kita tidur!” suruh Dian.
“Nyuruh-nyuruh mulu, sih!” sengit Citra.
“Gue kan ketua.” Dian tersenyum penuh kemenangan.
Citra memeluk lampu teploknya. Rara geleng-geleng kepala. “Gue harus melindungi lampu gue biar nggak pecah.” Citra menjawab sebelum ditanya.
“Yang satu melindungi sepatu, yang satu melindungi lampu, dan kedua gajah ini mengapit gue,” gumam Rara.

“Apa lu bilang?!” tanya Wina dan Citra, bareng. Rara nyengir.
“Kalian bisa tidur dengan benar nggak, sih? Nanti kita nggak bisa bangun!” seru Dian. Tenda pun hening.

“Udahlah, Yan. Mendingan lu maafin aja dia.” Suara Lia memecah kesunyian.
“Nggak bisa! Gue udah sakit hati!”
“Tapi dia kan udah bantuin elu.”
“Pokoknya gue gengsi!”

“Woi! Katanya disuruh tidur!” teriak Citra. Dian dan Lia merengut.
JRENG!
“Selamat malam, adik-adik.” Suara Doddy membangunkan mereka lagi.
“Doddy?!” tanya Wina. Rara mengangguk.
“Selamat... malam... duhai kekasih....” Doddy menyanyikan lagunya Evie Tamala yang terkenal itu. “Malam ini saya akan bernyanyi untuk menemani tidur kalian,” katanya lagi. Penghuni tenda cengengesan.

“Ya Allah! Ini seperti mimpi.” Wina tak percaya dengan pendengarannya.
“Jangan kegeeran luh!” sungut Citra.
“Ternyata benar Doddy yang jagain kita.” Rara ikut bersuara.
“Tau nggak sih? Mendengar doi nyanyi dangdut, gue jadi suka dangdut!” kata Citra. Rara mencibir.

“Selamat tidur kekasih gelapku.... Coba cepat kaulupakan aku....” Sephia-nya Sheila On Seven mengalir lancar dari mulut Doddy.
Wina sampai tak bisa bernapas. “Sepertinya dia sedang sedih,” gumamnya.
“Ah, elu! Sok romantis! Sok puitis!” Rara usil.
“Rara? Wina? Kalian kok masih berisik?” tanya Dian.
“Kamu juga. Aku jadi nggak bisa tidur nih.” Dini protes.
“Apaan? Gue udah diem kok!”

“Hei! Bisa diem nggak, sih!” Citra berteriak.
“Udah, dong! Kok jadi sambung-menyambung?!” Tina yang sudah lelap, terbangun. Lalu tenda itu kembali bergoyang-goyang. Doddy yang melihatnya, kebingungan sendiri.
“Apa yang sedang dilakukan cewek-cewek itu, ya?”
***

“Woi! Bangun! Bangun! Bangun!” Suara di luar terdengar berisik. Citra mengucek mata.
“Apaan, sih? Berisik banget...!” keluhnya.
“Ra! Rara! Jurit malam, Ra!” teriak Wina.
“Hah! Jurit malam?!” Teriakan Citra membuat heboh tenda kelompok satu.
“Ayo bangun! Cepat kumpul di lapangan! Yang terlambat dihukum!” Perintah itu terdengar jelas. Semua langsung heboh. Wina bergegas memakai sepatunya.
“Perasaan baru aja tidur!” gerutunya.

“Tina! Bangun! Lu tidur serius banget, sih!” Citra berteriak.
“Udah subuh, ya?” Dini mengucek mata.
“Baru jam satu. Ngapain lagi, sih?” tanya Rara, sebal.
“Jam satu malam?” Lia tak percaya.
“Eh, ayo cepetan! Jangan sampai kita dihukum!” Dian langsung keluar tenda. Semua terbirit-birit mengikutinya.

“Cepet kumpul! Jongkok, tutup mata dan telinga kalian!” suruh Ssenior, galak.
“Mau ngapain sih?!” Rara menggerutu.
“Yang dipanggil namanya, maju! Selama menunggu panggilan, jangan melihat dan mendengar apa pun!”

“Gimana bisa tau kalau nggak boleh denger?!” Rara nggak habis pikir. Meski hatinya protes, ia tetap mengikuti perintah itu. Ia memang menutup mata dan telinganya, tapi sesekali mendengar dan melihat, boleh kan? Senior-senior itu juga banyak yang usil. Pura-pura bertanya pada peserta. Kalau dijawab, mereka malah marah-marah. Jelas lah, kan katanya nggak boleh dengar.

Satu jam berlalu. Rara merasa kakinya kesemutan. Telinganya panas karena terus-menerus ditutup, sementara namanya tak juga dipanggil. Untuk apa coba ia berada
di sini? Buang-buang waktu! Seharusnya kan ia masih terlelap. Sekali-kalinya saja deh ia dikerjain seperti ini.

“Sst... yang di depanku siapa ya?” Seseorang bertanya dengan berbisik.
Rara mengenali suara itu, Dian. “Itu elu ya, Yan?” tanyanya.
“Rara? Kok kita belum dipanggil, ya?”
“Nggak tau. Kaki gue kesemutan, nih.”
“Gue juga. Kayaknya udah nggak ada orang lagi, deh.”
“Hei! Kalian ngobrol, ya?!” teriak Eva, tiba-tiba. Rara dan Dian langsung diam. “Jawab…!” Eva membuka telinga Rara. Rara membuka mata. “Siapa yang suruh buka mata?!” tanyanya, marah. Rara buru-buru tutup mata. Eva melengos. “Huh!” gerutunya, lalu pergi. Dian dan Rara terkekeh ditahan.
“Kenapa lu nggak jawab, Ra?”

“Kan kita pura-puranya nggak denger.”
“Rara dan Dian!” suara Ranti terdengar.
“Kita dipanggil, ya?” tanya Dian.
“Iya, sih. Tapi beneran, nggak?” Rara tak yakin.
“Dian dan Rara…!” teriak Ranti.
“Kalian dipanggil, Dek!” Eva berkata garang. Dian dan Rara langsung menghampiri Ranti.

“Kalian kelompok terakhir. Sekarang kalian satu tim. Silakan mulai berjalan ke arah sana dan nanti kalian akan bertemu dengan pos-pos dan diberi pertanyaan. Kalian harus kompak, ya. Ayo mulai!” Usai Ranti menjelaskan, kedua gadis itu meninggalkan lapangan merah basah yang telah sepi tersebut.
“Hii! Rara! Serem, ya?” Dian bergidik. Bayangkan. Pukul satu malam, berjalan mengelilingi hutan. Ketemu senior yang galak sih mending. Nah, kalau ketemu pocong? Dian memeluk lengan Rara, erat.

“Kita jadi akrab gini!” Rara terkekeh. Dian merengut. Meski berjalan takut-takut, pos demi pos mampu mereka lewati hingga pos terakhir.
“Lelet banget kalian!” omel Andri, di pos terakhir.
Hari, yang juga berjaga di pos terakhir, tersenyum. “Karena kalian peserta terakhir, kita udah kehabisan pertanyaan. Lewat aja dah!” katanya, angkuh.
Dian melengos.

“Oke, deh!” seru Rara.
“Nggak mau! Saya mau pertanyaannya!” sungut Dian.
Rara menyikutnya. “Heh! Udah bagus kita bisa lewat!”
“Pokoknya saya mau pertanyaannya!” Dian ngotot.
Hari menghela napas. “Ya udah. Apa kepanjangan PMR?” tanyanya, asal.
Tangan Dian terkepal. “Lu selalu begitu! Lu selalu ngeremehin gue! Gue nggak akan maafin elu!”

“Dian! Udah!” Susah payah Rara menarik tangan Dian yang emosional agar meninggalkan tempat itu. Dian terus berteriak-teriak.
“Cewek itu gimana, sih? Gue bingung.” Hari tak habis pikir. Andri hanya garuk-garuk kepala. Dia lebih bingung lagi soalnya belum pernah punya cewek.
Rara dan Dian terpaku melihat tatapan tajam Pak Kun. Mereka saling berpegangan tangan.

“Jadi, ini peserta terakhir?” tanya Beliau, agak marah. Dian dan Rara barengan mengangguk. “Lambat sekali kalian? Kalian ditunggu-tunggu oleh semua peserta. Mana yang namanya Dian?”

Dian terkesiap. Jantungnya berpacu lebih cepat. “Sa... sa... ya,” jawabnya, gugup.
“Oh... kamu. Ehm... oke. Katanya kamu ketua kelompok satu, jadi... pasti lebih berani. Kamu kenal dia?” Pak Kun menunjuk Dini yang sedang tertunduk sambil membaca surat Yyasin. Suaranya terdengar pilu. Dian mengangguk.

“Dia anggota kamu, kan?” tanya Pak Kun lagi. Dian mengangguk. “Dia tadi langsung menjerit begitu memasuki pekuburan ini. Ketakutan! Liat mereka semua! Mereka takut! Kamu, sebagai ketua, harus bisa membuktikan bahwa kelompok kalian tidak penakut. Berani tidak kamu masuk ke pekuburan itu?” tantang Pak Kun.

Dian bergidik ngeri. Ditatapnya Dini, Lia, Tina, Citra, dan Wina yang sedang membaca surat yasin Yasin dengan tergagap-gagap. Terlihat raut ketakutan di wajah mereka. Kemudian ditatapnya Rara yang tersenyum. Bisa-bisanya tersenyum! Lalu ditatapnya pintu masuk pekuburan yang terbuka lebar.

“Ehm... tadi pagi juga ada yang baru dikubur. Terserah, kalau kamu mau masuk, silakan. Kalau tidak juga tidak apa-apa. Tapi... kamu jadi punya label penakut!” tegas Pak Kun.
Dian tertunduk. “Gimana, Ra?” tanyanya.
“Elu yang ditanya.”
“Kalau Rara, berani nggak?” tanya Pak Kun.
“Berani!” jawab Rara, tegas.
“Wah! Yakin sekali kamu!”

“Kalau masuknya berdua, boleh, Pak?” tanya Dian.
Pak Kun tertawa. “Lebih baik kamu tidak usah masuk!” ejeknya.
Dian tertunduk. “Ya, sudah. Saya nggak masuk,” ucapnya.
Pak Kun tertawa lagi. “Yang begini kalian pilih jadi ketua. Saya akan terus mengingat kamu, Dian. Rara! Katanya kamu berani. Ayo masuk!” suruhnya.
Rara mengangguk. Dengan yakin, ia langkahkan kakinya memasuki pekuburan itu. Baru juga lima langkah, Pak Kun sudah berteriak lagi. “Berhenti! Hebat kamu, Rara!” pujinya. Rara tak mengerti. “Yakin sekali kamu. Seperti tidak ada rasa takut sedikit pun. Apa rahasianya?” tanya Pak Kun.

“Yah... saya memang sudah terbiasa, Pak. Tiap hari pulang lewat kuburan,” jawab Rara.
“Pantas! Liat, nih, Dian! Masak kamu yang ketuanya tidak berani?”
“Pak... jadi... nggak beneran masuk ke kuburan, toh?” Dian bertanya bingung.
“Ya, tidak. Mana berani saya ambil resiko membiarkan kalian masuk ke kuburan itu? Coba saja liat nanti siang, seperti apa bentuk pekuburan itu,” kata Pak Kun sambil pergi.

Dian melongo.
“Ya... Dian... kenapa lu nggak berani?” tanya Citra.
“Iya, nih. Udah tau dikerjain.” Tina ikut-ikutan.
“Kalian juga pada takut, kan?” tanya Dian, bingung.
“Enggak. Kita lulus semua, kok!” jawab Wina.
Dian terkejut. “Lho? Tapi... kenapa tadi kalian seperti ketakutan?”
“Kita kan cuma bersandiwara. Disuruh Pak Kun,” jawab Lia.
Dian melongo. “Jadi... jadi gue doang dong yang nggak lulus...!” jeritnya, sedih.
“Sst... Dian! Jangan nangis gitu! Bisa nyaingin penghuni kuburan baru itu, lho!” kata Tina sambil berlalu pergi. Yang lain juga ikutan pergi. Dian terpaku melihat kuburan baru yang tepat berada di bawah kakinya.
“Teman-teman…!”
***

Malam masih panjang. Pukul tiga pagi, rombongan calon anggota PMR masih menelusuri jalan-jalan di hutan itu. Tanah yang becek karena hujan semalam membuat sepatu mereka bertambah ketebalannya.

“Aduh... sepatu gua... hari Senin gua pake apa, ya?” keluh Wina, heboh.
“Sst! Kalo ketauan ngeluh bisa diomelin, lho!” bisik Rara. Wina merengut.
“Berhenti, adik-adik! Kalian lihat sungai ini?! Sungai ini sebenarnya dangkal, cuma karena semalam hujan, airnya jadi meluap. Sekarang, saya minta kalian menceburkan diri ke dalamnya dan terus berjalan mengikuti alirannya. Saya ingin menguji ketahanan kalian menghadapi dingin. Kenapa kalian harus melakukan ini? Karena kalian seorang Ppalang Mmerah. Suatu saat nanti, mungkin kalian akan menjadi sukarelawan di medan perang. Jadi, kegiatan-kegiatan ini untuk memperkuat mental kalian.” Pak Kun menjelaskan panjang lebar.

“Adik-adik! Yang merasa alergi dingin atau alergi air atau yang sakit, mundur!” Suara Eva menggelegar, tapi tak satu pun yang mundur.
“Lia, lu kan alergi?” tanya Dian.

Lia menggeleng. “Biarin, ah. Gue nggak mau dianggap lemah.”
“Alah... ini kan kali. Paling cetek.” Rara meremehkan dan menceburkan diri lebih dulu. Hup! Ternyata. Ia terlelap sampai leher! Dian sampai panik melihatnya.
“Pak! Ini bahaya nggak, Pak?” tanyanya, cemas.
“Tenang. Ini sudah diuji coba oleh kakak-kakak kalian,” jawab Pak Kun.
Dian manggut-manggut. Sebenarnya ia gundah. Apakah ia juga harus menceburkan diri?
“Dian! Buruan!” teriak yang lain. Dian menggeleng lemah.
“Yan? Kamu nggak pa-pa? Kalau takut, bilang aja. Nggak pa-pa kok nggak nyebur,” kata Hari, tiba-tiba.

Dian melotot. “Gue nggak takut!” serunya sambil menceburkan diri. Semua bengong melihatnya. “Ahh…! Gue nggak mau ikut beginian lagi!” teriak Dian, heboh.
“Kayak gini jadi ketua!” Citra geleng-geleng kepala.
“Tenang, Yan, tenang,” hibur Lia.

“Siapa... lagi yang mau ikut perang?!” Dian masih menggerutu. Semua peserta berjalan mengikuti aliran sungai. Cukup lama mereka berjalan. Rara yang memakai kaos tebal, sekarang kena batunya. Karena terkena air, otomatis kaosnya menjadi berat. Wina terkekeh melihatnya.
“Emang enak?” candanya.

“Dosa, lho! Orang lagi kesulitan malah ketawa!” Rara menggerutu.
“Ayo cepat, adik-adik! Sudah Ssubuh, nih!” Senior berteriak-teriak.
Rara merengut. Tapi asyik juga. Perjalanan yang menghebohkan itu pun berakhir. Wajah para peserta terlihat lelah. Yang pasti, semua menggigil kedinginan. Setelah diperbolehkan kembali ke tenda, mereka beramai-ramai mencari rumah terdekat untuk menumpang mandi.

“Astaghfirullahaladziim... capek banget.” Tina merebahkan tubuhnya, usai mandi.
“Hei, salat Subuh dulu.” Dini membangunkan.
“Duluan, deh.”
“Aduh... pingsan deh gue. Mami! Lihatlah penderitaan anakmu ini!” Citra berteriak-teriak.
“Cerewet!” maki Wina.
“Suka-suka!”
“Udah, jangan bertengkar. Hemat energi,” kata Rara. Usai salat Subuh, semua tertidur lelap.
***

TEEEET…!
“Bangun! Bangun! Bangun! Siapa yang suruh tidur lagi?! Ayo ke lapangan! Yang telat dihukum!” Senior berteriak-teriak satu jam kemudian. Semua langsung terbangun dan kelabakan. Saling tabrak dan berebutan memakai sepatu. Tina yang bangun paling belakang, kebingungan. Mana kepalanya masih pusing pula!
“Lia, itu sepatu gue!” teriak Dian.
“Gue lagi!”

“Udah, pake yang mana aja.” Citra cuek saja.
“Sepatunya masih basah, nih!” keluh Dini.
“Semua juga masih basah!” Rara melenggang cuek.
“Rara! Tunggu!” Wina berlari mengejar.
“Tungguin, dong!” Dini terbirit-birit. Dian, Lia, dan Citra berlari menyusul.
“Hei! Tunggu! Aduuh... sepatuku mana, ya?!” Tina yang belakangan, panik.
“Cepetan, Dek!” Teriakan senior makin garang.
“Sekalinya aja deh gue begini.” Rara mengeluh lagi.
“Perut gue sakit. Gue kan belum setor.” Wina ikutan mengeluh. Rara nyengir mendengarnya.

“1Satu,2 dua,3 tiga,4 empat,5 lima,6 enam... kurang satu, ya?” tanya Eva, menghitung jumlah kelompok satu.
“Maaf! Saya telat!” Tina mengatur napasnya yang terengah-engah.
“Alasan?”

“Sepatu saya... hilang. Saya nggak tahu ini sepatu siapa, yang pasti kegedean, jadi tadi lepas mulu.”
“Push up lima kali!” suruh Eva.
Tina melotot. Bangun tidur ku terus push up... jadilah ia bersenandung. “Siapa sih yang tega make sepatu gue?” tanyanya, melas, setelah push up.
Citra nyengir. “Maaf ya, Tin. Gue asal ngambil aja sih. Pantesan kok kekecilan.”
Tina merengut. Pantesan! Ketukernya sama Citra yang badannya gede!
“Baiklah, adik-adik. Pagi ini ujian memasang perban. Silakan berpasangan. Satu jadi PMR, satu jadi korban. Bergantian.” Eva memberi instruksi. Semua langsung mencari pasangan mereka masing-masing.

“Tina! Elu ama gue, ya?!” Rara berteriak.
“Rara! Pengkhianat!” Wina cemberut.
“Soalnya kita sama-sama nggak bisa.” Rara beralasan.
“Lia, gue yang masang perban ya?” tanya Dian. Lia merengut.
“Pakeinnya yang bener, dong! Emangnya gue mumi!” Tina marah-marah, ketika gilirannya menjadi korban. Soalnya Rara tak bisa memasang perban. Seluruh wajahnya dipasangi perban seperti mumi.

“Ceritanya kan elu korban granat.” Rara berseloroh.
“Perbannya kurang, nih.” Dini mengeluh.
“Iya, gue tau! Muka gue kelebaran!” sungut Citra.
“Sebel! Gue nggak dapat pasangan!” Wina mengeluh.
PRITTT!

“Ya! Sudah, adik-adik!” seru Eva. Semua berbaris kembali.
“Ternyata banyak dari kalian yang belum bisa memasang perban. Bagaimana ini? Bagaimana kalau kalian menghadapi korban yang sesungguhnya?” tanya Eva, marah. Dilihatnya Tina yang perbannya masih terpasang di wajah. “Kamu lagi! Kenapa perbannya belum dibuka?! Push up lima kali!”
Tina melotot. Push up lagi? “Pagi ini gue sial banget. Tadi gara-gara Citra, sekarang gara-gara Rara!” gerutunya, usai acara selesai. Rara dan Citra cengengesan.
Setelah pemanasan pagi, mereka diberikan waktu untuk istirahat lagi. Semua kembali ke tendanya masing-masing. Usai istirahat, mereka melaksanakan ujian teori. Yang ini tidak menguras tenaga, tapi pikiran. Banyak dari mereka yang asal menjawab.
“Apa arti bulan sabit merah dalam Ppalang Mmerah?” Dahi Rara berkerut. Apa? “Apa sih?” tanyanya pada Wina.

“Nggak tau. Sailormoon kali!”
“Huh…!”
“Bulan Sabit Merah itu nama lain untuk Palang Merah. Lambang Bulan Sabit Merah digunakan oleh negara-negara Islam karena mereka tidak mau memakai lambang palang yang nota bene adalah lambang agama Nnasrani. Turki adalah negara Islam pertama yang menggunakan lambang Bulan Sabit Merah.” Dini menjelaskan. Rara dan Wina buru-buru mencatat. “Saya bukannya ngasih contekan, lho. Ini buat pemahaman kalian aja!” sergah Dini.

“Iya, iya. Kita paham, kok….” Rara dan Wina tertawa-tawa.
“Kenapa ya Henry Dunant memakai lambang palang? Seharusnya kan pakai lambang yang lebih universal.” Rara bertanya-tanya.

“Henry Dunant itu kan seorang Kkristen radikal yang bergabung dengan gereja kebangkitan atau Eglise Du Reveil. Buat orang Kkristen, palang salib itu kan lambang keselamatan. Jadi, wajar dong kalau dia menggunakan lambang palang,” urai Dini.
“Dini hebat, lho! Bisa tau semuanya!” seru Wina.
Kening Rara berkerut. “Kita kan orang Islam. Kenapa kita ikut-ikutan pakai palang? Kalau gitu, kita seharusnya nggak gabung sama Ppalang Mmerah, dong!” cetusnya.
“Yang penting kan niatnya. Palang Mmerah, kan organisasi kemanusiaan. Kalau saya sih, tujuan ikut PMR ya biar bisa nolong diri sendiri dan orang lain, terlepas dari simbol-simbol.” Dini menjelaskan.
“Iya, Ra.” Wina menyikut Rara.

“Alah! Kalo lu sih biar bisa ketemu Doddy aja!” sungut Rara. Wina nyengir. “Kenapa nggak sebaiknya kita pake nama Bulan Sabit Merah, ya? Sebagian besar penduduk Indonesia kan beragama Islam?” tanya Rara, tiba-tiba.
“Tapi kita bukan negara Islam,” jawab Dini.
Rara manggut-manggut. “Padahal… lebih bagus kalau kita pakai lambang Bulan Sabit Merah, ya?”

“Sebenarnya di Indonesia juga ada organisasi Bulan Sabit Merah, tapi bukan milik pemerintah,” kata Dini.
“Eh, harusnya kita gabung di sana!” seru Rara.
“Karena bukan milik pemerintah, ya nggak ada di sekolah-sekolah negeri. Nanti aja kalau udah lulus.” Dini menjelaskan.
Rara manggut-manggut. “Lu mau nggak gabung, Win?” tanyanya.
“Gue nggak bisa mikir, Ra. Gue laper....” Wina memegangi perutnya yang sedang bernyanyi keroncong.

Rara mencibir. Beruntung buat Wina, keinginannya terkabul. Usai ujian teori, mereka mendapat makan pagi (sebenarnya sudah agak siang, sih). Setelah itu mereka kembali berkumpul di lapangan dengan seragam putih-putih dan syal putih.
“Siang ini kalian akan mendapatkan ujian berat, karena inilah ujian yang sebenarnya. Kalian akan melewati pos-pos seperti semalam, tapi di setiap pos, pertanyaan yang diberikan bukan hanya teori melainkan juga praktek.” Hari memberikan penjelasan.
“Heh! Kalian harus bisa jawab lho! Jangan gue mulu!” Dian wanti-wanit.
“Lu kan ketua…!” seru semuanya. Dian merengut.

Perjalanan dimulai. Semua kelompok berjalan beriringan, tetapi, siapa yang cepat sampai di pos dan menjawab pertanyaan itulah yang menang. Kelompok satu, meskipun di urutan pertama, tapi berjalan paling akhir karena anggotanya selalu bertengkar.
“Rara! Lu nginjek sepatu gue!” Citra berteriak.
“Apaan, sih? Wina kali!”
“Fitnah! Nggak sudi gue!”
“Apa lu bilang?!”

“Udah dong, jangan berantem!” Dian pusing sendiri.
Pos satu berhasil mereka lewati. Dini mampu menjelaskan sejarah PMR dengan baik. Di pos kedua, mereka disuruh membuat tandu dan mempraktekkan cara menandu korban.
“Ayo, yang bisa bikin tandu, bikin tandu!” suruh Dian. Rara cuma pura-pura bekerja, padahal sih sebenarnya dia nggak bisa. “Sudah selesai! Periksa! Periksa! Kuat, nggak?!” tanya Dian.
“Kuat!” Lia menjawab.

“Sekarang, siapa yang mau jadi korbannya?” tanya Dian. Semua saling menatap.
“Yang kurus,” kata Citra. Untung dia gemuk. Jadi tidak bakal ada yang mau menyuruhnya menjadi korban.
“Tina! Tina!” seru Wina.

“Eh, gue sebenarnya berat, tau!” Tina mengelak.
“Dini!” seru Rara.
“Pasti guesaya.” Dini merengut. Dengan terpaksa, ia menjadi korban karena memang tubuhnya yang paling kurus di antara mereka. “Jangan dijatuhin, ya!” pintanya. Semua mulai menggotong.
“Satu... dua... ti... ga!” Dian memberi instruksi.
“Berhasil!”

“Maju ke depan tiga langkah!” suruh Hari.
“Jangan nubruk-nubruk, dong!” maki Citra.
“Ya sudah! Sekarang, letakkan tandunya!” suruh Hari. Karena keberatan, keenam gadis itu menjatuhkan tandu tersebut.
BRUK…!

“Aduh! Aduh! Masih ada orangnya, nih!” omel Dini.
“Maaf! Maaf, Din!” Lia panik. Rara dan Wina nyengir. Dasar tidak berbelas kasihan!
“Jangan dibanting, dong. Kasihan,” kata Hari. Tapi semua telah terjadi. Mereka segera melanjutkan perjalanan ke pos berikutnya.
Di pos ketiga, mereka ditanyakan tentang P3K. Lagi-lagi Dini dan Dian yang menjawab. Selama ada mereka, yang lain tenang-tenang saja. Di pos keempat, mereka bertemu Butterfly eh, Doddy.

“Sudah siap, adikAdik-Aadik?” tanya Doddy, ramah plus senyumnya yang khas. Melihatnya serasa mau pingsan! Apalagi Wina dan Citra. Keduanya tak kuasa menahan degub jantung yang memburu.
Doddy berdehem kecil. “Saya akan mengajak kalian berlatih baris-berbaris sekaligus bernyanyi. Jadi, kalian berbaris dengan rapi sambil bernyanyi. Siapa yang mau berbaris di belakang saya?”.

“Saya! Saya!” Semua berebutan.
Doddy tersenyum. “Ketuanya saja, ya?”
“Baru kali ini jadi ketua ada untungnya.” Dian nyengir.
“Gue di belakang Dian!” seru Wina.
“Gue duluan!” Citra merebut.
“Citra! Gue kan duluan!”
“Siapa cepat, dia dapat!”

“Citra! Norak banget sih lu?!” Rara emosi. Maksudnya membela Wina.
“Lu tuh yang norak!”
“Caper (Cari Perhatian)!”
“Lu TP (tebar pesona)!”

“Diam!” Doddy marah. Semua diam. “Apa-apaan kalian?” Doddy bertanya, garang. Semua tertunduk. “Ayo, jalan!” perintah Doddy, keras. Kelembutannya sirna oleh sikap anak-anak kelompok satu. Perjalanan pun dimulai. Doddy menghela napas. Rara dan Citra bertatapan sinis. Citra yang berjalan di depan sesekali menoleh ke belakang hanya untuk menjulurkan lidahnya pada Rara.

“Kasihan... deh. Bbadannya gede, tapi di mata Doddy... nggak keliatan!” seru Rara.
“Lu tuh yang kasihan!” Citra membalas. Doddy menoleh. Rara dan Citra pura-pura diam. Doddy geleng-geleng kepala.

“Hei! Ada bunga ilalang!” teriak Tina, tiba-tiba. Semua menoleh ke arah hamparan bunga ilalang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tina langsung berlari menghampiri bunga-bunga tersebut. “Wow! Cantik-cantik!” serunya sambil memetik beberapa bunga (sebenarnya rumput ilalang). Yang lain ikut-ikutan.
“Ih, bagus ya?” Lia memetik beberapa tangkai.
“Iya. Buat kenang-kenangan, ah!” sahut Dini.

“Jarang-jarang bisa liat kayak ginian. Tempatnya asyik buat pacaran.” Citra berkomentar.

Doddy bengong melihat tingkah adik-adik kelasnya itu. “Ya sudah! Sekarang lomba memetik bunga saja!” serunya. Semua menoleh, lalu bertatapan heran.
“Lomba metik bunga? Baru denger?” tanya Rara dan Wina, bareng.
“Yang paling banyak metik bunga, mendapat nilai terbanyak,” kata Doddy lagi. Segera setelah itu, semua berebut memetik bunga.
“Ini bunga gue!” teriak Citra.
“Bunga gue, lagi!” Rara tak mau kalah.
“Salahnya kenapa lu telat ngambil!”
“Elu tuh yang rakus!”

“Rara duluan juga!” Tina membela Rara.
“Sudah! Kalian bertengkar lagi!” Doddy jadi marah. Rara dan Citra diam.
“Tapi saya duluan yang tau, Kak!” tukas Rara.
“Tapi tangan gue yang megang duluan!” Citra ngotot.
“Kan ada bunga yang lain!” sahut Doddy.
“Pokoknya, kalau udah bunga yang ini, saya nggak mau yang lain.” Rara merengut.
“Cewek itu beda dengan cowok. Kalo seorang cewek udah suka seorang cowok, dia nggak akan pindah ke lain hati. Tapi kalo cowok, asal ada yang lebih baik juga bisa
pindah ke lain hati,” urai Citra.

Doddy diam. Wajahnya merah. Kok, dia jadi merasa tersindir, ya? “Ah, enggak juga. Banyak kok cewek yang gampang berpindah ke lain hati,” katanya membela diri.
“Iya. Tapi sedikit. Ingat, sedikit. Kalau cewek itu berpindah ke lain hati berarti dia tidak bener-bener cinta.” Citra menegaskan.
“Ah, udah, ah! Kok malah ngomongin gitu! Ini bunga gue!” teriak Rara.
“Pokoknya gue bunga yang ini!” sahut Citra.
“Ya sudah! Sekarang suit saja!” seru Doddy.
Rara dan Citra pun bersuit.

“Gue menang! Emang ini jodoh gue!” tukas Citra, senang.
Rara cemberut. Kalau adu suit, dia memang sering kalah. Tapi kalau adu otot.... “Ya sudah!” Akhirnya Rara berlalu dengan kesal.

“Kak Doddy, ini bunga untuk Kakak,” kata Wina, tiba-tiba. Semua menoleh.
Doddy tersenyum. “Terima kasih. Bunga yang kamu ambil, bagus-bagus,” katanya. Wina serasa terbang ke awan. Rara dan Tina lirik-lirikkan, lalu tertawa kecil.
“Baiklah, adik-adik. Ayo, kita lanjutkan perjalanan! Jangan bertengkar lagi dan jangan berhenti-berhenti lagi. Kita harus sampai ke pos lima tepat waktu. Kalian tau, kalian kelompok terakhir, paling telat lagi! Heran saya!” Doddy berkata panjang-lebar sambil geleng-geleng kepala.

Inilah pos lima, belum pos yang terakhir, tapi pos yang paling gawat karena dijaga oleh Pak Kun sendiri. Ternyata Pak Kun suka air. Ketujuh gadis itu harus menceburkan diri ke dalam sungai yang seperti tadi malam, sementara Pak Kun menunggu di atas batu tak jauh dari sana.

“Ayo cepat, Dek! Udah ditunggu Pak Kun, tuh! Kalian berjalan menyusuri sungai ini sampai bertemu Pak Kun!” suruh Eva dengan suaranya yang lantang.
Dian yang sejak awal sudah takut dengan Pak Kun, melotot. Bertemu Pak Kun lagi?!
“Begini... gue ngundurin diri jadi ketua,” katanya, tiba-tiba. Semua terperangah.
“Apa maksud lu?! Lu lagi nggak ngigau, kan?” tanya Citra, heran.
“Dian, jangan main-main dong,” pinta Dini, serius.
“Gue nggak main-main.”

“Tapi, Yan, kita udah di ambang maut, nih!” Kali ini Lia tak membela Dian.
Dian menggenggam tangan Lia. “Please... Lia. Gue takut...!” ucapnya, pilu.
“Tuh, kan! Apa gue bilang? Dian pengecut! Kenapa baru sekarang ngundurin dirinya?” tanya Tina, marah.

“Tina! Lu jangan gitu, dong!” seru Lia.
“Udah! Udah! Kita udah ditunggu Pak Kun, tuh!” Rara mengingatkan.
“Rara aja deh yang jadi ketua,” kata Dian.
Rara mendelik. “Ogah!”
“Udahlah, Yan. Lagian Pak Kun udah tau kalo elu ketuanya. Kita hadapi sama-sama aja.” Wina menenangkan.
“Huh! Sok toleran!” sungut Citra.
“Iya, maksudnya, Dian tetap jalan di depan, kita mengikuti.” Wina nyengir.
Dian merengut. “Tuh, kan....”
“Dek! Lama sekali kalian?!” omel Eva. Dian mengkerut.
“Penakut banget, sih!” maki Rara sambil mencemplungkan diri ke dalam sungai.
“Seharusnya kalian memahami Dian!” Lia menukas.
“Udah, nyemplung!” seru Citra, dan.... BLURRR!
“Ah! Citra jahat!” teriak Dian. Citra mendorong tubuh Dian hingga jatuh ke sungai. Citra tertawa. Ia juga menceburkan diri disusul yang lain. Dian memeluk Lia, menangis.

“Cengeng!” maki Citra.
“Kita benar-benar salah milih ketua!” sahut Tina.
“Kalian jangan begitu.” Dini menengahi. Satu per satu mereka mulai berjalan menyusuri sungai.
“Jadi, ini kelompok satu?!” tanya Pak Kun dengan suara lantang. Dian langsung bersembunyi di belakang Lia. “Kalian tau apa julukan untuk kalian?” tanya Pak Kun. Semua menggeleng. Pak Kun tertawa. Giginya menyeringai. Menyeramkan. “Kelompok paling manja, malas, bergantung pada senior, kekanak-kanakkan, dan lelet!” serunya. Semua tertunduk.

“Tenda saja tinggal pakai! Kalian kelompok pertama, tapi datang terakhir! Banyak lagi laporan yang saya dapat dari senior yang mengawasi kalian. Kalian paling tidak serius! Kerjaan kalian hanya bercanda saja!”
Semua mendengarkan uraian Pak Kun dengan sedikit mengerutkan dahi. Jadi selama ini ada senior yang mengawasi, tho? Jadi malu. Apalagi di atas (maksudnya di daratan), semua orang berkumpul melihat mereka. Senior-senior dan para peserta yang sudah lebih dulu sampai. Aduh... berlipat-lipat nih, malunya.
“Mana Dian?!” tanya Pak Kun. Jantung Dian seakan berhenti. “Mana si pengecut itu?!” Pak Kun kembali bertanya. Citra terkekeh. Dian merengut. Matanya panas. Ia ingin menangis.

“Dian... mau nggak mau lu harus ngadepin ini,” bisik Lia.
Dian mengangguk. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, ia pun maju.
“Nah! Ini nih dia! Ketua kelompok satu yang penakut!” Pak Kun terbahak-bahak. Dian merinding.

“Kenapa kalian bisa memilih dia sebagai ketua?!” tanya Bbeliau, emosi. Tak ada yang menjawab. Pak Kun meraih syal Dian dengan kasar hingga wajahnya dengan wajah Dian hanya terpaut beberapa senti.

“Dan kamu… pede sekali jadi ketua!” bentaknya. Dian tertunduk. Tubuhnya bergetar hebat. Anak-anak ikut merinding melihatnya. Setelah Dian, yang lain juga pasti kena. Lia tak percaya dengan penglihatannya. Dian pasti syok. Maklum, gadis itu tak bisa dikerasi.

“Ayo, jawab! Kok diam saja!”
“Mereka yang meminta saya, Pak!”
“Suara yang keras!” Dian menangis. “Komplit! Sudah penakut, cengeng pula!” BYUR! Semua terpana. Pak Kun melempar tubuh Dian ke sungai. Lia dan Dini buru-buru menolongnya. Wina memeluk erat lengan Rara.
“Gue takut, Ra….”

“Katanya PMR itu penuh kasih sayang.” Rara protes.
“Selanjutnya! Yang gendut!” Instruksi terdengar lagi. Citra takut-takut menghampiri. Sama seperti Dian, ia pun mendapat perlakuan yang kejam dari Pak Kun, tapi untunglah tidak ditarik syalnya dan diceburkan ke dalam sungai. Selanjutnya Dini, Lia, Tina, Wina, dan….

“Apa yang kamu ketahui dari PMR?” tanya Pak Kun.
Rara bengong. Ia ingin menjawab, “tidak ada”, tapi mana mungkin… bisa-bisa dia…. “P3K.”
“Terus?”
“Udah.”
“Udah?!” Pak Kun melotot. Rara mengangguk. “Bagaimana kamu bisa pede mengikuti pelantikan kalau cuma tahu P3K?!”

“Yang lainnya saya tahu sih… tapi cuma sedikit-sedikit….”
Wina memukul kepalanya sendiri, merutuki kebodohan Rara. Rara… jujur sekali dia. Pak Kun menarik syal Rara, persis seperti yang dilakukannya pada Dian tadi.
“Kamu tidak boleh main-main masuk PMR. Kamu tahu kan kerjaan PMR? Menyangkut nyawa orang! Kalau kamu main-main, tidak tahu caranya memberikan pertolongan pada orang yang kecelakaan, kamu bisa membunuh orang!” Pak Kun menatap Rara, tajam.
“Begitu juga Anda! Saat ini Anda sedang main-main dengan nyawa orang. Bagaimana kalau salah satu dari kami jantungan?” balas Rara. Tatapan matanya juga tajam. Masuk jauh ke dalam hati Pak Kun. Pak Kun tak menyangka, gadis ini mampu menatapnya setajam ini. Mereka saling bertatapan. Lama.

“Lepas.” Suara Rara pelan, tapi bagaikan petir di telinga Pak Kun. Perlahan, dilepasnya Rara. Rara membetulkan syalnya yang berantakan.
“Jalan lagi sana! Perjuangan kalian belum berakhir!” suruh Pak Kun. Semua menuruti perintahnya.

“Rara… lu ngomong apa tadi?” tanya Wina.
“Ada, deh.” Rara tersenyum.
Satu per satu anggota kelompok satu kembali ke darat. Dian masih sesegukan. Lia berusaha menyabarkan. Rara sebenarnya kasihan dengan gadis itu, tapi ia tak mempunyai kelembutan seperti Lia. Ia tak bisa membuat orang yang sedang menangis menjadi diam.
“Dian! Kamu nggak pa-pa, kan?!” Hari berlari menghampiri Dian.
Dian menampik uluran tangan kekasihnya itu. “Jangan sentuh gue! Lu yang bikin gue begini!”
“Tapi….”

“Lu yang nyuruh-nyuruh gue ikut PMR! Gue nggak tau kalau jadinya bakal begini!”
“Saya minta maaf….”
“Nggak perlu! Kita udah putus!”

DUAR!
Kata-kata itu bagaikan petir di siang bolong. Hari lemas. Benarkah… benarkah hubungannya dengan putri impiannya berakhir secepat ini?
“Di… an….”
***

Perjuangan calon anggota PMR belum berakhir. Masih ada dua pos lagi. Pos yang keempat ini dijaga oleh Hari. Hampir-hampir Dian membiarkan pos ini berlalu begitu saja, tapi Lia menabahkannya.

“Perjuangan lu udah berat. Lu nggak mau ngelepasin ini begitu aja, kan?” bisiknya. Terpaksa, Dian harus menemui lelaki yang dibenci sekaligus dicintainya itu.
“Saya akan mengetes kalian tentang pengetahuan agama,” kata Hari, tegas. Ia berusaha mengusir galaunya pada bidadari yang berdiri angkuh di hadapannya.
“Agama?” Kening Rara berkerut.

“Agama kalian Islam semua, kan?”
“Elo mau ngetes kita tentang pengetahuan agama? Emangnya lu tau apa tentang agama?” tanya Rara, pedas. Hari terkejut.
“Itu sudah tugas saya.”

“Kenapa bukan anak Rohis? Mereka kan lebih tahu agama?” cecar Rara.
“Memangnya hanya anak Rohis saja yang tahu agama?!”
“Emangnya lu tau agama?!”
“Rara! Tolong bacakan surat Al-Falaq!” suruh Hari.
Rara melotot. Aduh, Mak! Ia tak hafal! Kalau membaca surat itu pasti terbalik-balik terus. “Nggak bisa,” ucapnya, cuek.

Hari geleng-geleng kepala. “Kalian liat rimbun ilalang itu?” tanyanya. Semua serentak menoleh ke arah rumput ilalang setinggi dua meter tak jauh dari tempat mereka berdiri. Ada desir ngeri di dada Rara. Yang pasti, ia tak mau lewat di antara rimbun ilalang itu. Syerem….

“Itu adalah tanah kuburan yang seharusnya kalian masuki semalam. Silakan kalian teruskan perjalanan,” kata Hari sambil meninggalkan kelompok satu. Semua melotot. Terlebih Rara. Alangkah angkuhnya semalam ia menerima tawaran Pak Kun. Bagaimana kalau pembina PMR itu tak menghentikan langkahnya?
“Kak Hari! Jangan tinggalin kita dong! Kita harus lewat mana?!” teriak Dini.
Hari menghentikan langkahnya. “Ikuti saya!”

Selanjutnya mereka memasuki ruang penggojlokan terakhir. Rara dan kawan-kawan terkejut melihat teman-teman mereka yang lain sedang disuruh push-up di dalam kubangan lumpur hitam itu.
“Kelompok satu, ya?! Lelet banget! Ayo, cepat!” Eva berteriak, garang.
“Kita mau ngapain lagi, nih?” tanya Wina.
“Udah, deh. Turutin aja.” Rara pasrah.

“Lia. Lu nggak pa-pa?” tanya Dian melihat tubuh Lia menggigil.
“Dingin. Kayaknya… gue sakit.”
“Minta ijin aja, ya?”
“Nggak usah. Gue masih bisa bertahan, kok.”

“Jangan gitu. Nanti kalau lu pingsan, gimana? Gue panggil Medy, ya?” Dian mendekap tubuh Lia. Lia mengangguk lemah. Dian mencari-cari Medy, pacar Lia. “Aduh… gue nggak nemuin dia,” keluhnya.

“Udah deh, nggak pa-pa. Lagian, dia pasti juga nggak berani nanggung resiko.”
“Ayo cepat kelompok satu! Gantian!” suara Eva terdengar lagi. Pasukan kelompok satu berbaris rapi di bibir kubangan lumpur itu. “Ini tadinya bekas empang. Kalian tahu, kan apa itu empang?” tanya Eva.

Dian bergidik. Empang tempat memelihara ikan lele yang di atasnya ada jambannya itu? Ikan lele makan dari kotoran manusia yang mampir ke jamban setiap harinya. Hiy!
“Ini… bekas orang buang hajat juga ya?” tanya Wina, takut-takut. Ternyata ia punya pikiran yang sama dengan Dian.
Eva mengedikkan bahu. “Tidak tahu. Pokoknya setelah sampai di sini, empang ini sudah tidak digunakan dan airnya sudah dikosongkan.”
“Lalu?” tanya Dian.

“Kalian harus push-up di dalamnya,” jawab Eva. Semua melotot. Push-up di dalam empang yang meskipun sudah tidak digunakan, tapi kan….
“Kalau bahaya buat kulit, gimana?” tanya Dian, panik.
“Kalau ada lintahnya?” sambung Wina.
“Tenang saja. Tim kita sudah melakukan pengujian,” jawab Eva dengan tenang.
“Apa gunanya kita push-up di sini?” tanya Rara, tiba-tiba. Matanya bersibaku dengan mata Eva.

“Jangan memelototi saya, Dek!” bentak Eva. Rara memalingkan wajahnya.
“Kenapa kalian harus push-up di sini? Untuk menguji mental kalian. Mengerti?!” tanya Eva. Semua tertunduk. Kecuali Rara. Eva menjadi kesal dengan sikap angkuh Rara.
“Kamu memancing emosi saya! Ayo, cepat! Kamu yang mempraktekkan bagaimana caranya push-up dalam lumpur itu!” Tiba-tiba saja Eva menarik tubuh Rara. Rara berusaha menahan emosinya. Dibiarkan saja Eva memperlakukannya dengan kasar. Ia tak mau apa yang sudah dicapainya menjadi berantakan gara-gara melawan seniornya itu. Ia harus bisa bersabar seperti Dian.

“Ayo yang lain juga push-up!” suruh Eva. Semua melakukan perintahnya. Masuk ke dalam lumpur dan… push-up!
“Satu! Dua! Lelet banget, sih! Citra! Kenapa pantatnya saja yang naik turun?!” Eva berteriak, garang.

Citra merengut. Dagunya sudah beberapa kali terkena lumpur. Pakaiannya? Jangan ditanya. Yang lain juga begitu. Sampai hitungan kelima, mereka berhenti karena lelah.
“Push-up apa, tuh? Nggak ada bentuknya. Masak push-up aja nggak bisa.” Sebuah suara membuat mereka semua menoleh. Doddy si Butterfly! Doddy berjongkok di samping empang. Ia tersenyum. Senyum yang membuat para gadis bergelimpangan. Sayang, disajikan dalam keadaan yang tidak tepat.
“Lama-lama… gue eneg sama cowok sok cakep ini. Tebar senyum mulu!” gerutu Rara.
“Jangan gitu, Ra. Dia kan datang untuk memberi semangat.” Wina membela pangerannya.
“Ayo, teruskan! Baru juga lima kali! Push-up yang bener! Gitu aja nggak bisa!” seru Doddy, sinis.

“Iya, nggak bisa! Makanya contohin dong!” seru Rara, tiba-tiba. Yang lain terkejut mendengarnya. Doddy apalagi.
“Apa?”
“Lu tuh selalu bikin masalah di mana pun lu berada. Lu kan nggak bertugas di sini. Apa hak lu nyuruh-nyuruh kita? Dasar TP! Mau tebar pesona aja, ya? Sok kecakepan! Gue heran kenapa temen-temen gue pada naksir elu. Padahal, masih banyak cowok lain yang lebih cakep!” tukas Rara, menyentak.

Doddy makin terkejut. Dia… senior PMR… diceramahi yunior seperti Rara?
“Rara, jangan gitu dong. Nggak mungkin Kak Doddy mau terjun ke lumpur. Nanti, Gianny Versace-nya kalah dengan bau lumpur.” Tina menambahi.
Wajah Doddy merah padam. “Diam! Sampai saat ini saya masih senior kalian!” teriaknya, marah. Rara memalingkan muka. Doddy meninggalkan gadis-gadis itu dengan hati gondok. Pukulan telak untuknya dari seorang gadis bernama… Rara!
***
Doddy menatap langit yang kemerahan di atas sana. Tanpa rasa bersalah, ia menendangi kerikil-kerikil kecil di sepanjang jalan yang dilewatinya. Umpatan yunior yang bernama Rara tadi menambah kesialannya selama dua hari ini. Padahal alasannya mengikuti pelantikan PMR adalah untuk melarikan diri dari kegalauan hati yang sedang menerpanya. Dua hari lalu ia memang sedang ribut dengan Wita dan belum ada satu pun dari mereka yang meminta maaf. Dipikirnya mengikuti acara pelantikan PMR ini akan menghibur hatinya sejenak, namun ternyata bayangan Wita terus menghampiri. Dan di saat emosinya sedang meluap, seorang gadis memakinya habis-habisan. Rara… ya, Rara. Akan selalu diingatnya nama itu. Rara.
***

Matahari senja mengoranyekan wajah-wajah letih para calon anggota PMR. Akhirnya perjuangan hari ini selesai juga. Sebelum pelantikan dimulai. Mereka diberi waktu untuk membersihkan badan terlebih dahulu. Apalagi mereka juga harus salat Asar. Rara dan kawan-kawan kebingungan. Rumah-rumah yang kemarin memberi mereka tumpangan mandi, sudah tak mau memberi lagi. Mereka hanya mau memberi tumpangan untuk satu kelompok saja. Untung Hari masih berbaik hati mencarikan mereka tempat mandi di ujung persawahan. Tempat mandi umum. Tentu dengan pamrih mendapatkan kembali hati Dian.

Mars PMR disenandungkan, mengiringi upacara pelantikan sore ini. Satu per satu anggota PMR maju. Mencium bendera merah putih (ritual yang seharusnya tak diperbolehkan untuk menghindari pengkultusan bendera), dikalungkan syal kuning oleh Ppak Kun, dan disiram air comberan dengan aneka bunga rumput.
“Tau begini, nggak usah mandi tadi!” Citra bersungut-sungut.
Rara tersenyum saat mencium bendera merah-putih. Bukan tersenyum pada benderanya, tapi pada pemegangnya, Doddy! Doddy jengah. Ia jadi ingat kata-kata Rara yang beberapa jam lalu keluar dari mulut gadis itu. Phiuh! Sinis. Baru kali ini ia dimaki sedemikian rupa oleh makhluk yang mempunyai nama lain: Hawa. Dan Hawa yang kali ini, mungkin tak akan bisa dilupakannya.
***

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....