Thursday, June 7, 2012

Curahan Hati: Bye-Bye, Toko Buku

Terkejut saya ketika membaca berita dari teman-teman fesbuk, bahwa beberapa toko buku di beberapa kota besar di Indonesia telah ditutup. Penyebabnya apa? Entahlah. Mungkin, bangkrut. Padahal, toko buku itu terletak di pusat kota dan dekat dengan lembaga-lembaga pendidikan. Bukankah toko buku identik dengan pelajar dan mahasiswa sebagai konsumen utama? Lalu, bagaimana toko buku yang dekat dengan sekolah dan kampus itu bisa tutup? Apakah mahasiswa dan pelajar sudah tidak suka membaca?



Ah, yaa… tentu saja. Wajar apabila tutup. Beberapa kali saya mengunjungi toko buku yang berbeda, kondisinya sama; sepi pengunjung. Sedih rasanya. Padahal, saya bukan pemilik toko buku itu. Ya, jelaslah sedih… sebab… saya PENULIS BUKU. Kalau toko buku sepi pengunjung, lalu akhirnya bangkrut, bagaimana nasib buku-buku saya kelak?

Zaman selalu berubah. Lama saya berpikir. Mungkin memang sudah saatnya buku-buku tak memerlukan lagi toko buku. Terlebih, beberapa toko buku besar mematok harga distribusi yang sangat tinggi, mencapai 60 persen. Itulah mengapa harga buku menjadi tak terjangkau. Sementara rakyat Indonesia masih harus digiatkan untuk membaca. Budaya membaca belum menjadi kebiasaan. Urusan perut dan penampilan tetap yang utama dibandingkan otak. Rakyat Indonesia masih lebih mementingkan makan dan pakaian, dibandingkan asupan otak melalui buku. Apalagi teknologi internet sudah mudah didapatkan melalui fasilitas ponsel murah. Orang lebih suka mencari informasi via situs-situs di internet daripada melalui buku. Kelak, buku-buku pun akan dijual secara digital dalam bentuk e-book.

Toko buku offline, atau yang selama ini kita lihat sebagai bangunan mirip supermarket, tapi menjual buku-buku, kelak mungkin akan benar-benar ditinggalkan. Buktinya, ketika saya mengadakan kuis berhadiah buku yang syaratnya harus berfoto dengan buku itu di toko buku, amat sedikit peserta yang ikut. Alasannya, hampir tidak pernah ke toko buku. Daripada ke toko buku, lebih enak beli buku melalui internet, atau toko buku online. Bahkan, sebagian besar toko buku online memberikan diskon 15-20 persen untuk buku-buku baru. Dan banyak juga acara lelang buku dengan harga murah atau obral buku. Berbeda dengan beberapa toko buku besar yang sama sekali tidak memberikan diskon.

Tentu saja toko buku memerlukan pembiayaan yang lebih besar daripada toko buku online. Lihat saja secara fisikal. Ada bangunan yang membutuhkan biaya perawatan bulanan, ada biaya untuk membayar pegawai toko buku, serta modal untuk menyetok buku. Sedangkan toko buku offline tak memerlukan bangunan secara formal. Bisa dikerjakan di rumah, karena pembeli tak perlu datang ke toko tersebut. Tak memerlukan seorang pun pegawai, karena bisa dikerjakan oleh si pemilik toko buku itu sendiri. Kalaupun perlu pegawai, tidak banyak. Itupun bila pelanggan toko buku online tersebut sudah membludak. Beberapa toko buku online tak membutuhkan modal untuk menyetok buku, karena buku akan dibeli dari penerbit ketika ada pesanan. Kalau tidak ada stoknya di penerbit, toko buku online akan mengatakan kepada pemesan bahwa stoknya kosong. Lebih praktis bagi kedua pihak; penjual dan pembeli.

Bagi pembeli, membeli di toko buku online berarti menghemat waktu, tenaga, dan ongkos perjalanan ke toko buku. Terlebih bagi pembeli yang sibuk dan hampir tak punya waktu untuk berjalan-jalan ke toko buku. Buku akan diantar menggunakan jasa kurir titipan kilat atau pos, itupun biayanya masih lebih murah daripada jalan sendiri ke toko buku. Kalau jalan sendiri, selain ongkos angkutan atau bensin, biasanya ada biaya makan juga. Begitulah menurut pengalaman saya sendiri, yang setelah dipikir-pikir, lebih banyak belanja buku via online daripada offline.

Yup, benar. Ternyata saya sendiri juga lebih sering belanja buku melalui internet. Alasannya sederhana, saya amat jarang punya waktu ke toko buku. Toko buku terdekat dari rumah saya, memakan waktu 1,5 jam perjalanan. Ongkos bensin dengan mobil, 50 ribu sekali jalan. Belum lagi ongkos buat mentraktir supir dan para kurcaci, alias suami dan anak-anak saya. Bisa-bisa keluar ongkos 100 ribu. Itu belum dengan belanja bukunya, yang bila di toko buku besar, amat jarang ada diskon. Sedangkan beberapa toko buku online langganan saya, memberikan diskon cukup besar untuk buku baru, 20 persen. Juga menawarkan buku-buku yang diobral hingga 50 persen. Memang buku lama, tapi toh saya belum baca juga, hehe…. Biaya kurir titipan kilat hanya 8 rb per kilo. Lebih irit beli di toko buku online, bukan?

Lalu, bagaimana bila orang sudah tidak mau membeli buku dalam bentuk cetak? Alias yang menggunakan kertas seperti sekarang ini ada. Kelak, apabila semua orang sudah memiliki ponsel pintar yang bisa mengakses informasi dari internet, mungkin orang sudah tidak membutuhkan buku kertas. Mereka akan membaca e-book saja, alias buku elektronik yang bisa dibaca melalui ponsel. Ya, tak masalah. Profesi penulis tetap dibutuhkan untuk menghasilkan e-book itu. Jadi… tetap semangat menulis! Yang berubah hanya toko buku dan bentuk bukunya, isi tulisannya tetap sama.
Tetapi, saya anjurkan agar sesekali tetap berjalan-jalan ke toko buku karena ada nuansa berbeda di sana; wisata buku.


Note: sebenarnya tulisan ini untuk menyemangati diri saya sendiri :D




Suasana di toko buku. Sumbangan foto dari Eka Natassa Sumantri, Medan.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....