Thursday, April 11, 2013

Repost: Aku Juga Tangguh, Lho... (Seremonial Hari Kartini)


Di setiap hari Kartini, entah mengapa, selalu ada liputan tentang wanita-wanita tangguh.  Begitu juga pagi ini, 21 April 2011. Dan entah mengapa, selalu saja yang disebut tangguh itu adalah wanita-wanita yang mengendarai busway, truk, menjadi  petinju, pembalap, dan semua pekerjaan “laki-laki” lainnya. Terus terang, aku merasa tersinggung. Seakan-akan  seorang wanita itu dikatakan “tangguh” apabila melakukan pekerjaan laki-laki. Lalu, apa artinya aku yang sehari-hari murni melakukan pekerjaan wanita? Apakah itu berarti aku bukan seorang wanita yang tangguh?

Ya, pekerjaanku sehari-hari benar-benar hanya pekerjaan wanita yang berkisar antara dapur, sumur, dan kasur. Oke, sekarang ini aku memang tidak begitu berperan di dapur dan sumur, karena mendapat bantuan dari asisten rumah tangga sejak beberapa bulan yang lalu.  Namun, aku juga tidak lepas tangan begitu saja. Aku tetap merawat dan mengasuh anak-anakku sendirian, karena aku tinggal jauh dari orang tua dan keluarga besar. Asisten rumah tanggaku hanya membantuku dalam urusan pekerjaan rumah tangga.
Suami memboyongku ke pelosok Bogor, tinggal berdua di rumah yang kecil, empat bulan setelah menikah. Jauh dari orang tuaku, dan lebih jauh lagi dari mertua yang tinggal di kampung. Satu per satu anak kami lahir, dengan rentang usia hanya setahun. Tatkala si sulung baru berusia lima bulan, aku hamil lagi. Anak kedua lahir ketika kakaknya berusia satu tahun. Masa-masa itu adalah masa-masa yang melelahkan bagiku.
Beberapa kali aku mengganti ART (Asisten Rumah Tangga) dengan beragam alasan. Intinya, setiap kali jeda pergantian ART, meninggalkan kesan yang sulit dilupakan. Bayangkan, mengasuh dua bayi sekaligus sendirian! Aku sempat stress, frustasi, hampir pingsan, dan mau mati. Lho? Memangnya apa yang aku lakukan? Ah, bukan apa-apa. Aku hanya ibu rumah tangga. Sumpah. Bukan pekerjaan laki-laki. Bukan pembalap. Bukan petinju.
Pagi-pagi, aku bangun seperti ibu-ibu lainnya. Langsung mandi, karena badan bau ompol anak-anak yang sedang dilatih tidak pakai diapers. Belum dua menit di kamar mandi, si dede sudah menyusul bangun. Menangis meraung-raung, lalu mengompol lagi. Kalau tidak segera digendong, bisa-bisa dia muntah. Keluar kamar mandi, aku langsung mengepel pipis dan muntahan. Menggendong dan mendiamkannya, sampai suamiku gentian menggendong anak-anak.
Selesai salat, aku langsung mengerjakan tugas rumah tangga, karena waktuku mepet. Suamiku hanya bisa membantu menjaga anak-anak sampai jam 7 pagi, karena harus ke kantor.  Aku ngebut melakukan semuanya. Cuci piring, cuci baju, dan sering disambi dengan memandikan anak-anak. Memasak makanan untuk sarapan, membuatkan susu, semua seperti tidak ada hentinya. Aku bahkan tidak sempat untuk duduk dan sering lupa makan. Padahal, aku harus menyusui si bungsu.
Masih lekat dalam ingatanku, ketika baru selesai memandikan anak-anak. Belum sempat kupakaikan baju, karena disambi dengan menjemur pakaian, anak-anak berbarengan BAB. Yang sulung, kotorannya menempel di tembok. Yang bungsu, kotorannya ke mana-mana, karena ia berlarian. Tubuhku sudah sangat letih, sementara jam di dinding baru menunjukkan pukul 8 pagi!
Berhubung kedua anakku masih batita dan semuanya masih toilet training, maka kesibukanku tidak lepas dari membersihkan pipis dan pup mereka. Sampai-sampai aku berpikir, “masa lulusan sarjana kerjaannya cuma bersihin pipis dan ee?!” Memang, kadang-kadang mereka dipakaikan diapers, tapi tidak sering. Sebab, terlalu sering memakai diapers juga tidak baik. Anak-anak tidak dapat cepat mengenali pipis dan pup, juga buruk untuk ekonomi keluarga. Anak sulungku menyusu botolnya kuat, sebulan bisa habis empat kaleng ukuran 900 gram. Apabila ditambah dengan pembelian diapers untuk dua batita, bisa dibayangkan berapa biaya yang harus kami keluarkan.
Pengalaman anak sulungku yang memakai diapers dari usia 3 bulan sampai setahun, tidak bisa cepat mengenali pipis dan pupnya. Sampai umur 2,5 tahun, belum bisa bilang kalau mau pipis. Kalau tidur pasti mengompol. Sedangkan adiknya sebaliknya. Sejak bayi hanya sesekali dipakaikan diapers. Usia 1,5 tahun sudah bisa bilang pipis dan kadang-kadang pipis sendiri di toilet. Kalau tidur juga tidak mengompol, kecuali kalau cuaca dingin. Jadi, aku benar-benar harus bersabar mengurusi pipis dan pup mereka.   
Betapa sering anak-anakku terluka, karena terjatuh ketika sedang bermain. Orang-orang menyalahkanku yang teledor, tidak bisa menjaga anak-anak dengan baik. Bukannya tidak menjaga, tapi memang seluruh badanku remuk tak berdaya karena mengerjakan semua tugas rumah tangga sendirin dan mengasuh anak-anak. Anak-anak berlarian ke sana ke mari. Pipis dan buang kotoran berganti-ganti. Lantai belum kering, mereka sudah berlari-lari. Akibatnya… gedubrak! Si kakak gigi tengahnya patah, gara-gara terjatuh dari mobil mainannya. Hanya karena aku meleng sedikit. Setiap kali ingat itu, aku selalu menyalahkan diriku yang tidak becus menjaga anak-anak. Juga keadaanku yang tanpa bantuan siapa-siapa.
Mengurus anak-anak saja sudah kewalahan, apalagi ditambah dengan pekerjaan rumah tangga yang berjibun. Dua kali kakiku terkena setrikaan, menimbulkan luka berbekas yang tidak hilang. Gara-gara aku nekat menyelesaikan tumpukan setrikaan yang menggunung, sambil sesekali menyusui si dede yang masih sering terbangun di malam hari. Aku hanya bisa menyetrika pakaian pada malam hari, karena siang hari anak-anak bisa mengganggu pekerjaanku. Mereka sering ingin bermain-main dengan setrikaan. Tentu aku tidak ingin celaka dua kali.
Setiap malam menjelang tidur (upacara menidurkan anak-anak juga sebuah pekerjaan yang melelahkan dan sering membuatku stress), aku merasa tulang-tulang persedianku lepas semua. Tubuhku pegal-pegal dan seakan remuk. Sehari rasanya seabad. Yang jelas, aku tidak mau berada di dalam kondisi itu selamanya.  Setiap hari aku berpikir, “mengapa pekerjaan rumah tangga tidak selesai-selesai?” Bahkan, aku sempat mengkonsumsi vitamin penambah stamina, seakan-akan pekerjaanku itu bagaikan pekerjaan seorang buruh bangunan. Aku tidak ingin fisikku drop, karena nanti tidak ada yang mengurus anak-anakku.  
Rasanya, bekerja di kantor, biarpun menghabiskan perjalanan 4 jam pulang pergi, tidak membuat tubuhku pegal-pegal dan rontok, seperti saat melakukan pekerjaan rumah tangga. Aku pernah kerja kantoran sebelum menikah. Biarpun sering dimarahi bos, menerobos kemacetan Jakarta,  lembur tiap weekend, aku tidak pernah merasa se-stres saat melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak-anak sendirian.
Menjadi ibu rumah tangga tidak ada berhentinya. Malam hari pun masih harus terbangun melayani anak-anak yang minta susu atau rewel ketika sedang sakit. Kedua anakku masih menyusu, yang satu sufor, lainnya ASI. Terkadang keduanya tidak mau berkmpromi. Si dede terus saja menyusu ASI, tidak mau memberikan kesempatan kepadaku membuatkan sufor untuk kakaknya. Sumpah. Lebih baik aku menjadi wanita karir, bekerja di kantor atau apa pun, daripada menjadi ibu rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga itu sangat berat. Secara psikis dan ekonomi juga tidak kalah.
Seoang ibu rumah tangga juga harus pintar menyiasati uang belanja yang dititipi oleh suami, sementara harga cabai dan bumbu dapur melonjak jadi seratus ribu per kilo-nya. Jika punya penghasilan tambahan, mungkin akan membantu. Tapi kalau tidak punya, harus bisa berhemat. Jika dulu sewaktu masih kerja kantoran aku bisa membeli baju baru setiap bulan, maka setelah mengundurkan diri, aku hanya membeli baju saat lebaran. Tapi itu tidak masalah, yang penting makan anak-anak tercukupi.
Aku sempat beberapa kali ikut tes seleksi calon pegawai. Ya, aku sempat ingin bekerja lagi dan meninggalkan tugasku mengasuh anak, karena merasa tidak sanggup. Aku sempat berpikir tega, lebih baik menitipkan anak-anak kepada pengasuh daripada anak-anak diasuh oleh ibu yang stress. Aku merasa tidak sanggup menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Aku merasa bosan bersama dengan anak-anak terus. Terlebih saat belum punya penghasilan tambahan. Rasanya apa yang kulukan itu tidak ada artinya, karena tidak diimbali materi.
Namun, setiap kali melihat anak-anakku yang tumbuh sehat dan ceria, aku kembali mundur. Rasanya aku tidak ingin menukar kebahagiaan mereka dengan sejumput materi.  Tak kubayangkan meninggalkan mereka di tangan pengasuh atau ART yang akan memberikan bekas masa kecil yang pahit, seperti yang terjadi padaku. Memang, tak semua pengasuh dan ART itu jahat, tapi aku mengalami masa-masa dipukuli oleh ART ketika kecil. Itu membekas dalam benakku.
Toh, akhirnya memang aku tetap menyewa ART untuk membantu tugas-tugas rumah tanggaku, tapi anak-anak tetap ada dalam genggamanku. Aku bersyukur masih hidup sampai hari ini dan bisa melewati masa-masa sulit itu.  Saat ini pun aku masih direpotkan dengan mengurus anak-anak yang sering berantem, cakar-cakaran, rewel bersamaan. Mengatur keuangan rumah tangga. Haduuh… pusing… tanggal gajian suami masih lama, tapi uang belanja sudah habis. Menyiapkan menu makanan yang setiap hari berputar-putar itu-itu saja.
Dan aku yakin, banyak pula ibu rumah tangga sepertiku. Sayangnya, mereka tidak dikategorikan ke dalam wanita-wanita tangguh, karena tidak bisa menyopiri busway, truk gede, apalagi menjadi pembalap. Phiuh…..
Selamat Hari Kartini, ibu-ibu yang di rumah! Anda adalah para wanita tangguh terbaik di dunia sejak sebelum Kartini lahir, sampai hari ini!

1 comment:

  1. Menjadi Ibu Rumah Tangga nggak semudah yang aku kira...
    aku harus banyak belajar nih sebelum ke jenjang itu... :)

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....