Friday, May 17, 2013

Mengubah Kritik Menjadi Keripik


Tulisan ini disertakan dalam 8 Minggu Ngeblog Anging Mammiri Minggu Keenam. 

Suatu malam, saya membaca kultwit seorang penulis muda, yang usianya jauh lebih muda dari saya, mengenai emosi positif. Jadi ceritanya dia emosi dengan kejadian bertahun-tahun lalu ketika dia baru saja menerbitkan novel pertamanya. Ada seorang penulis yang memberikan komentar di resensi novelnya. Komentar yang masih membekas hingga sekarang. Sebuah komentar yang bisa disebut kritik. Intinya mah, teman penulis kita yang muda belia ini merasa tersinggung oleh komentar penulis lain terhadap dirinya. Nah, dia bertekad untuk membuktikan bahwa dia seorang penulis yang hebat. Dan menurut dia, sekarang dia sudah bisa membuktikannya dengan keberhasilan memenangkan sayembara menulis dan novel-novelnya diterbitkan oleh penerbit ternama.


Sebagai sesama penulis, saya juga pernah mendapatkan kritik. Saya akui, ketika menerima kritik, saya acap kali bersikap defensif. Tak membenarkan kritik tersebut karena merasa karya saya sempurna. Belakangan baru saya sadar, betapa pentingnya kritik bagi kemajuan karya saya. Tak peduli apakah kritik itu bersifat mendorong atau menjatuhkan. Kritik itu membuat kita mampu berjuang untuk membuktikan bahwa karya kita memang bagus, sebagaimana yang terjadi pada teman penulis kita yang masih muda belia itu. Coba kalau tidak ada yang mengkritik, belum tentu kita terdorong untuk memperbaiki karya kita. Apalagi kalau kita terus dihujani pujian yang tidak pada tempatnya.

Sebaliknya, pujian yang berlebihan, entah itu benar atau tidak, justru akan mematikan kita diam-diam. Terlalu hanyut dalam pujian membuat kita tak dapat melihat kekurangan dari karya kita. Biasanya, kita mendapatkan pujian dari pembaca yang notabene teman sendiri. Mereka merasa sungkan memberikan kritik karena sudah dikenal oleh penulisnya. Lain halnya jika pembaca itu tidak mengenal kita, mereka bisa memberikan komentar apa saja terhadap karya kita: baik atau buruk. Jadi, memang sebaiknya kita jangan terlena oleh komentar dari teman baik, terlebih bila isinya hanya pujian.

Sebagai penulis, kita memang semestinya sudah siap menerima kritik APA PUN, entah itu positif maupun negatif (kritik yang menjatuhkan). Kita tidak bisa memprotes mereka yang mengkritik, sebab kita tak bisa mengendalikan pikiran mereka. Ketika karya sudah dilempar ke pasar, berarti kita harus kuat mental bila ada yang mengkritik. Tak perlu membela diri, sebab semua itu percuma. Pengarang sudah mati, ketika karya telah dilempar ke pasaran. Membela diri hanya akan menunjukkan bahwa kita pengarang yang cemen, tak sanggup menerima kritik. Kalau tak berani menerima kritik, sembunyikan saja naskah kita, jangan dipublikasikan.

Dunia pembaca adalah dunia yang kejam, sebab mereka tak merasakan susahnya menulis. Lalu, kenapa? Ya, itulah gunanya komentator sepak bola, bisanya hanya komentar. Tapi, justru penglihatan mereka lebih tajam daripada pelaksana. Sebagai penulis, usaha yang kita lakukan hanyalah bagaimana mengubah kritik menjadi kripik yang enak, renyah, dan bikin nagih untuk dimakan.

Pertama, bersikap legawa saat menerima kritik. Tak perlu defensive. Anggap saja kita berjarak dengan pembaca, cukup dengarkan kritik mereka.

Kedua, mulai menata hati yang pasti lah ada sedikit dipenuhi amarah, contohnya teman penulis kita yang masih muda belia itu. Ada saja pembelaan bahwa karya kita sempurna. It’s okay. Memang kita kan berusaha menyajikan karya yang sempurna.

Ketiga, baca dan resapi pelan-pelan kritik itu. Pelan-pelan saja, tak usah terburu-buru. Fokus saja pada kritik yang disampaikan, tak usah mengulik-ulik alasan di balik kritik. Bisa saja kita beranggapan si pengkritik hanya ingin menjatuhkan kita. Tak perlu berpikir sampai ke sana.

Keempat, temukan kebenaran di balik kritik. Barangkali memang karya kita memiliki kekurangan yang pantas dikritik.

Kelima, berterimakasihlah kepada si pengkritik. Hey, dia itu sudah sangat perhatian lho. Seorang pengkritik tentunya telah membaca baik-baik karya kita sehingga dia menemukan celah untuk mengkritik. Coba saja ya, kalau kita membaca buku dengan sistem baca cepat, seringkali tak dapat menemukan kelemahan dari buku itu saking cepatnya dibaca. Lain kalau kita membacanya dengan penghayatan, pasti kita dapat menemukan kekurangan dari buku tersebut. Berarti orang yang mengkritik kita, telah membaca karya kita dengan telaten. Lebih baik karya kita dibaca daripada hanya teronggok di toko buku. Apalagi kalau pembaca yang mengkritik kita itu membeli sendiri (bukan gratis, ya), berarti dia telah menyumbangkan royalty untuk kita.

Keenam, dan kita memang harus berterimakasih kepada si pengkritik karena dia telah mendorong kita untuk maju. Lihatlah teman penulis kita yang muda belia itu, yang akhirnya berhasil menunjukkan kemampuannya karena ingin membuktikan kepada si pengkritik bahwa dia bisa.

Ketujuh, percuma membenci si pengkritik. Ketika kita terus memikirkan kritikannya, dia pasti sudah lupa pernah mengatakan itu. Skak mat.

Nah, di lain hari, saya membaca curhatan seorang penerbit yang enggan menerima naskah seorang penulis besar karena naskah itu jauh standarnya di bawah naskah penulis-penulis muda. Meskipun penulis yang sudah punya nama dan banyak penggemar  itu telah bertahun-tahun melanglang buana di dunia kepenulisan, karyanya sama sekali tak mengalami peningkatan.

Hmmm…. Coba pikirkan, mengapa penulis besar itu tak mengalami peningkatan dalam berkarya?

Barangkali selama ini dia hanya mendengar pujian….
Barangkali selama ini dia menutup mata dan telinganya dari kritik….
Barangkali selama ini tak ada seorang pembaca pun yang mau membuka matanya bahwa karyanya sarat kritik….

Abu Bakar Ash Siddiq berkata, “pujian itu ibarat pedang yang memenggal leherku.”

Begitulah, kritik dan pujian memiliki dua sisi baik dan buruk yang saling berlawanan. Kritik, di satu sisi sangat tidak mengenakkan tapi bisa membangkitkan semangat. Pujian, di satu sisi sangat menyenangkan, tapi bisa membuat kita terlena. Akan lebih enak jika kita berusaha mengubah kritik menjadi keripik, enak dimaem, krik... krik... eh, kress... kress....

Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri. 




13 comments:

  1. "kalau tak mau dikritik, sembunyikan saja naskah kita" bener ya, kalau tulisan sdh di tangan pembaca, hak pembaca u menilai. Semakin pedas kripik semakin pingin lagi hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Keren komen mbak Vanda ... setuju. Bahkan blogger saja yang tidak menerbitkan buku tidak sepi dari kritik. Mbak Leyla pun sudah merasakannya di Kompasiana :D

      Delete
  2. Kritik itu memang gurih, meski ada pedasnya, bukankah keripik juga terjadi hal yang sama, pedas, asam, manis hingga renyah dikunyah....tak mau berhenti.
    dan
    salah satu syarat majunya suatu bangsa atau individu adalah kritik, ketika Rasulullah membawa Risalah, lihatlah bagaimana kritikan-kritikan tajam hingga dengan tindakan keras terjadi pada Rasulullah namun dibalik semua itu, kini manusia bisa mencerahkan diri dengan konsep2 kebenaran yang dibawa Rasulullah..,
    Subuhanallah..., luar biasa.., InsanKamil... manusia sempurna..

    Haerul
    http://pingplangplong.blogdetik.com/2013/05/16/antara-aminah-dan-farah/

    ReplyDelete
  3. mbaa elaa aku mau mengkritik tampilan blog mu. Gimana kalo warna tulisannya diubah. soale hampir sama warna tulisan dengan latar jadi remang2 gitu bacanya. Betewe tips menerima kritiknya oke punya. bakal dipraktekin #eh kayak yg udah punya buku ajah hahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih kritiknya windiiii... tapi ngubah-ubah latar, susah je... inetnya lagi gak bersahabat :-(

      Delete
  4. memang kadang-kadang kritik itu pedas, namun dengan kritiklah sesuatu itu menjadi lebih baik dan sempurna

    ReplyDelete
  5. Keripik itu emang keritik-keritik, kok [eh]

    kalo kritik bikin kenyang bahkan eneg @_@ maka keripik itu bikin kurang dan pengen lagi dan lagi.. jadi nambah lemak nggak berasa
    #_#

    ReplyDelete
  6. Saya dulu sering menerima kritik dari teman-teman (walau kasusnya bukan dunia menulis) sakit memang apalagi ketika kita merasa "benar". Namun ketika mau mencoba membuka mata, maka kritik terdengar sebagai ungkapan rasa sayang seorang saudara yang tak ingin sudaranya jatuh pada kubangan kesalahan.

    Tips menerima kritik dari Mba Leyla patut dicoba.

    Namun tentu memberi kritik ada seninya. harus dengan cara yang baik dan santun. Spiritnya pun tidak untuk memojokkan atau mencari kesalahan namun memberi masukan untuk hasil yang lebih baik. :-)

    ReplyDelete
  7. tulisannya juara, mak. Ada kalanya intropeksi itu sangat perlu untuk kita. Tfs ya, tulisannya keren :D

    ReplyDelete
  8. Mba Vanda, Mba Mugniar, Windi, Haerul, uni Lisa, Yun W, Aisyah, Mak Mira, makasih ya sudah mampir :-) Insya Allah, saya juga terus memacu diri untuk legawa menerima kritik, apalagi yg puedeeesnya bikin sakit perut, xixixixixi....

    ReplyDelete
  9. kayak kerupuk sanjai mbak, pedas tapi tetap enak,,,
    ***
    tulisannya memberi gambaran dan menghimbau agar mempersiapkan diri untuk menerima kritikan apa pun
    jazakillah ya mbak..

    ReplyDelete
  10. harus diterima ya mbak kritik yang positif maupun negatif

    ReplyDelete
  11. Betul ya, kalo ingin disebut sebagai penulis, harus bisa berbesar hati dalam menerima kritik, bukan hanya pujian

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....