Friday, May 31, 2013

Usia 23 Tahun, Sudah Harus Mandiri

“Mulai sekarang kamu gak dapat uang saku lagi ya. Kamu harus cari sendiri, kan sudah lulus kuliah.”

Ucapan mamaku itu membuat lantai tempatku berpijak terasa membelah dan siap menerkam tubuhku serta menguburku hidup-hidup. Usiaku baru menjelang 23 tahun, ketika aku lulus kuliah dari S1 Ekonomi Pembangunan di Undip, Semarang. Aku sudah belajar mandiri sejak kuliah di tempat yang jauh dari orang tua, harus kos, dan cari makan sendiri. Tapi, mandiri dalam arti sebenarnya, tanpa sokongan orang tua lagi? *tepok jidat.


Ancaman mamaku itu serius. Aku benar-benar tak mendapatkan sepeser uang pun untuk jajan, biaya transportasi, dan sebagainya. Yang gratis hanya biaya makan dan menginap di rumah orang tuaku. Syukurlah, kedua biaya itu tidak harus kubayar. Aku harus putar otak agar bisa segera mendapatkan pekerjaan. Untunglah saat kuliah, aku sudah sering mendapatkan uang sendiri dari menulis cerpen di majalah. Menjelang lulus, satu novelku tembus penerbit besar karena menang lomba. Tapi jangan ditanya uangnya, aku hanya mendapatkan uang Rp 100.000, untuk jajan. Sisanya yang nominal jutaan, masuk kantung mamaku. Yah, ibu-ibu memang sudah dari sananya ya suka “menyita” harta suami dan anak-anak, xixixixixi…..

Nah, sekarang coba, sudah disita, tak dikasih uang jajan pula. Padahal, aku punya agenda pengajian mingguan yang tempatnya jauh, naik ojek dan angkot. Bolak-balik kurang lebih butuh Rp 20.000. Di rumah ada motor, tapi aku tak bisa menaikinya. Motor itu juga sudah dikuasai adikku. Dipikir-pikir, menjadi anak pertama itu memang enaknya hanya saat kecil ya. Setelah dewasa dan punya adik-adik, harus banyak berkorban. Jadilah aku sering tidak datang pengajian.

Aku sempat bekerja magang menggantikan karyawan yang cuti hamil selama tiga bulan di sebuah majalah islami, Majalah Annida. Setiap hari naik bus bergelantungan bersama penumpang lain, bahkan sering bergelantungan di pintu bus. Penumpang lain mana peduli, sama-sama menderita. Aku memakai gamis dan jilbab lebar, lagaknya kayak kondektur. Aku tidak nyaman, lalu memutuskan kos. Habislah honor yang hanya Rp 750.000 untuk biaya kos dan makan. Tak ada sisa untuk bersenang-senang. Setelah magang, aku tak ditarik lagi untuk bekerja di sana karena syaratnya harus aktif berbahasa Inggris.

Kemudian, aku mengirimkan berbagai lamaran pekerjaan ke semua lapangan pekerjaan yang kira-kira cocok untukku. Berhubung aku lulusan Ekonomi, jadi aku mengirim ke Bank-Bank. Huff.. rupanya bukan jodohku bekerja di Perbankan, tapi kuucapkan hamdalah karena tak perlu berhubungan dengan angka-angka. Aku sudah menyadari passionku di bidang tulis-menulis. Aku beranikan diri melamar ke penerbit-penerbit juga. Sempat wawancara di sebuah penerbit besar, mana jauh tempatnya. Hasilnya? DITOLAK.

Di situ, kesabaranku benar-benar diuji. Ada kurang lebih sembilan bulan aku menganggur. Saat itu rasanya lamaaa sekali. Iya, lama, karena aku sudah tak mendapatkan uang jajan dari orang tuaku. Saat lebaran, aku juga sudah tidak kebagian angpau. Salah sendiri ya lulus cepat-cepat, eheheheh… soalnya adik-adikku lulusnya lama-lama, usia 25 tahun baru lulus, dan mereka masih mendapatkan angpau. Jadi kalau mau dibandingkan sama adik-adik, bawaannya ngiri. Tentu saja lebih baik lulus cepat, jadi bisa cepat kerja.

Alhamdulillah, akhirnya aku diterima juga di sebuah penerbit yang baru berdiri. Memang gajinya kecil, tapi lumayan daripada gak ada. Sebenarnya ini sebuah ironi, mengingat aku lulusan kampus ternama di Jawa Tengah dan mendapatkan cumlaude. Aku bukannya mau menyombongkan diri dengan predikat cumlaude, hanya mau mengatakan bahwa predikat itu bukan jaminan bisa cepat dapat kerja. Dan kalau aku selalu melihat ke atas, jadi tidak bersyukur. Soalnya kalau mau membandingkan dengan teman-temanku yang mendapatkan pekerjaan bergengsi di bank, beasiswa S2 ke luar negeri, dan sebagainya, ya rasanya memelas sekali diriku ini. Bekerja dengan gaji di bawah UMR, xixixixixi….. tapi, pekerjaan itu sesuai dengan passionku. Aku bekerja sebagai editor, yang masih berkaitan dengan hobi menulisku.

Aku bisa bertemu dengan penulis-penulis terkenal. Bosku adalah Asma Nadia. Aku bisa belajar bagaimana menjadi penulis yang hebat darinya. Aku juga berkenalan dengan Pipiet Senja, Helvy Tiana Rosa, ikut rapat dengan Kang Abik, ikut roadshow dengan Boim Lebon, Gola Gong, dan banyak lagi. Walaupun gajiku kecil, aku banyak mendapatkan pengalaman, dan bukankah memang itu yang kumau? Allah SWT sudah menunjukkan jalan, bahwa aku memang cocoknya di dunia tulis menulis.

Bekerja di Lingkar Pena Publishing House
Bersama Mba Asma Nadia

Aku senang sekali di usia 23 tahun itu, aku bisa menjadi penulis sekaligus editor. Saat itu adalah masa keemasanku yang  pertama. Novelku terbit berturut-turut, menjadi editor dengan bos Asma Nadia, dan bertemu dengan penulis-penulis beken. Aku juga sudah memikirkan pernikahan dan sempat dijodohkan dua kali, pertama oleh mamahku, kedua oleh guru ngajiku. Tapi waktu itu aku masih fokus ke karir. Rasanya baru sebentar aku berkarir. Aku memang bukan penganut nikah dini sih, hehehe…. Pengennya pas saja, di usia 25 tahun. Ketika menolak perjodohan-perjodohan itu, ada rasa takut gak dapat jodoh, apalagi kebetulan aku berteman dengan rekan-rekan yang agak terlambat jodohnya (rata-rata sudah berusia di atas 30 tahun dan belum menikah). Aku yakin Allah SWT akan berikan yang terbaik, yang penting sebelum menolak, aku salat Istikharah dulu. 
 
Menjadi Pembicara tentang Kepenulisan
Bersama Boim Lebon, Asma Nadia, dan Taufan E. Prast

Eit, itu maksudnya bukan nyuruh adik-adik untuk menolak jodoh lho. Sebagai manusia dewasa, tentu kita sudah dapat mempertimbangkan keputusan kita. Aku memutuskan untuk menikah di usia minimal 25 tahun, jadi sebelum usia itu datang, aku belum mantap untuk menikah. Syukurlah, Allah mengabulkan keinginanku. Aku memang menikah di usia 25 tahun, jadi keputusanku untuk fokus di karir pada usia 23 tahun itu tidak salah.

Usia 23 tahun, bagiku adalah pencapaian kesuksesan dalam akademis dan karir. Normalnya, di usia 23 tahun itu, seseorang sudah mulai berkarir (bukan masih kuliah), karena banyak sekali lowongan pekerjaan yang memberikan batas maksimal usia 24 tahun untuk fresh graduate. Bayangkan, kalau baru lulus kuliah di usia 26 tahun, lalu mencari pekerjaan tanpa pengalaman sama sekali, relatif lebih sulit, kecuali ada “orang dalam.” Bukan berarti tidak bisa, tapi lebih sulit.


Ah, menuliskan tentang ini membuatku ingin sekejap kembali ke usia 23 tahun, momen yang sangat menyenangkan. Kangen dengan rekan kerjaku, rekan-rekan penulis yang setiap hari bertatap muka, dan tentu saja gaji bulanan. Saat itulah kebebasan berada di tanganku. Aku sudah bebas menentukan jalan hidupku (asal bertanggungjawab) dan tidak dikekang oleh siapa pun. 



3 comments:

  1. weh niar usia 23 ntar sepertinya masih kuliah lho bu, wah bener2 keterlaluan yaa kalau diitung2 lulus baru 24 lha wong kuliah nya telat lebih konsen kerja dulu kemarin2 sekarang dua2nya jalan :D

    keren yaa bu bisa kerja sesuai passion dan dapet jodoh juga sesuai harapan :D

    ReplyDelete
  2. Senengnya bisa berkarir sesuai dengan hobi. Ini yang dimanakan hobi mendatangkan rejeki.. :)

    Terima kasih sudah ikut berbagi dalam 23 tahun giveaway..
    ditunggu pengumumannya.. :)

    ReplyDelete
  3. emang lain rasanya mbak......... ana baru lulus juga alias masih nanggur.......
    bingung juga mau ngapain??? ada usul mbak?????????????

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....