Thursday, June 20, 2013

Bagaimana Menulis Setting Novel yang Belum Pernah Dikunjungi?

Beberapa hari lalu, ada kabar tak sedap yang menimpa seorang novelis muda, berinisial AE. Dia dituduh melakukan plagiat dengan mengcopas hingga nyaris dua halaman, dari tulisan di google, ke dalam novelnya yang bersetting Amsterdam. Bukti plagiat itu dibeberkan secara lengkap di sebuah blog yang sepertinya khusus dibuat untuk menyoroti novel AE. Sebagai sesama novelis, saya terkejut. Khawatir terprosok ke lubang yang sama, mengingat dua novel terakhir (yang satu sedang dalam proses terbit, satu lagi baru dikirim ke penerbit), juga mengambil setting di luar negeri dan belum pernah saya datangi. Referensi saya lebih banyak via google, meskipun saya juga bertanya ke teman yang pernah berkunjung ke tempat itu. Jujur saja, bertanya langsung ke orang yang sudah pernah berkunjung ternyata tidak menjawab semua rasa ingin tahu, karena mereka belum tentu bisa menceritakan apa saja yang ada di sana. Banyak pertanyaan saya yang tidak dijawab dan jawabannya malah melantur ke mana-mana. Rupanya tidak semua orang bisa menceritakan deskripsi tempat, meskipun dia sudah mengunjunginya.


Setting atau latar cerita adalah salah satu bagian di dalam novel. Mendeskripsikan tempat ternyata tidak mudah bagi sebagian besar pengarang, termasuk saya. Baru belakangan ini saya menggarap setting dengan maksimal, karena belasan novel terdahulu bersetting di sekolah, kampus, atau kantor jadi deskripsinya begitu-begitu saja. Nah, ceritanya kemarin saya coba menulis novel dengan latar tempat Kuala Lumpur-Palestina dan Brisbane. Terus terang, saya kesulitan mendeskripsikannya karena belum pernah berkunjung ke semua tempat itu. Untuk riset, saya bertanya ke teman-teman yang sudah berkunjung. Untunglah sekarang ini ada facebook, jadi kita bisa berteman dengan orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Saya bertanya ke teman yang tinggal di Kuala Lumpur. Jawabannya cukup membantu tapi belum memuaskan. Untuk setting Brisbane, saya bertanya ke teman yang pernah kuliah di sana. Cukup membantu juga, tapi banyak yang tak terjawab. 

Akhirnya, saya ikuti langkah teman-teman novelis lain yang sudah menulis novel dengan setting yang belum pernah dikunjungi. Google. Saya googling tempat-tempat yang menjadi setting novel itu. Dan semoga saya tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang sama, yaitu mengcopas mentah-mentah semua data ke dalam novel. Memang sulit lho untuk mengembangkan kembali informasi yang didapatkan dari google ke dalam bahasa novelis. Sewaktu kasus itu meledak, ada penulis lain yang mengatakan agar penulis yang mau mengambil setting di luar negeri, sebaiknya pergi ke tempat itu, lihat dengan mata kepala sendiri. Wow, tidak semua penulis mempunyai kemampuan untuk pergi ke luar negeri. Banyak juga penulis terkenal yang mengambil setting di tempat yang belum mereka kunjungi, tapi tidak ada masalah.  Kalaupun ada kesalahan realita (yang hanya diketahui oleh orang yang sudah berkunjung ke sana), hanya orang-orang yang sudah berkunjung saja yang tahu. Apakah kesalahan itu akan disebut sebagai "Pembohongan Massal?"

Anda salah jika Anda mengharapkan kebenaran di dalam sebuah novel, sebab sebuah karya fiksi sejak awalnya adalah kebohongan. Fiksi, artinya cerita rekaan, tidak berdasarkan kenyataan (www.artikata.com). Jadi, sejak awal membaca sebuah novel, kita harus sadar bahwa kita sedang membaca cerita khayalan pengarangnya. Jangan menganggap bahwa cerita itu benar, meskipun mungkin ada sebagian yang benar. Bahkan novel biografi pun, ada cerita-cerita yang tidak benarnya. Saya sudah beberapa kali membaca novel biografi orang terkenal, ada cerita rekaannya di sana. 

Intinya itu saja. Jadi, pengarang tidak harus sampai mengcopas mentah-mentah data yang tersedia hanya untuk menyajikan data yang akurat kepada pembaca, sebab novel itu bukan karya nonfiksi. Kenapa pula datanya harus akurat? Kalau orang mau menjadikan novel itu sebagai referensi travelling, beli saja buku travelling. Kenapa harus beli novel sih? Kekuatan sebuah novel ada pada konfliknya, bukan setting. Setting itu hanya sebagai pelengkap pendukung cerita. Itu sebatas pengetahuan saya sebagai novelis yang juga baru belajar. Dan bahkan setelah menulis 17 novel, baru di novel ke-18 ini saya serius menggarap setting hehe..... 

Setting Kuala Lumpur dalam Novel "Surga yang Terlarang." Entah diedit atau tidak oleh Editor :-)

Jalan raya pada jam makan siang cukup padat, tetapi tertib dan teratur. Berbeda dengan Indonesia yang dipenuhi kendaraan bermotor roda dua atau motor, warga Malaysia lebih memilih naik transportasi massal, seperti monorail, kereta listrik bawah tanah, bus, taksi, dan lain-lain. Sebab, kendaraan-kendaraan itu mudah didapatkan dan tidak berdesak-desakan seperti di Jakarta. Untuk menuju ke kantornya saja, dari apartemennya, Faisal memilih menaiki kereta api bawah tanah yang cepat dan nyaman.

Tak lama mereka telah sampai di Masjid Negara Kuala Lumpur. Azan Zuhur telah berkumandang dari menara masjid yang berbentuk payung tertutup. Jika dibandingkan dengan Masjid Istiqlal di Jakarta, tentu masih lebih besar Masjid Istiqlal. Meskipun demikian, turis-turis yang datang ke Malaysia, tidak melewatkan kunjungannya ke Masjid Negara.

Di ujung jalan masjid, ada beberapa bus turis yang sedang merapat dan kemudian menurunkan para penumpangnya, turis-turis Arab. Mereka berbondong-bondong memasuki halaman masjid, lalu sibuk mengambil gambar, seakan-akan masjid itu adalah tempat wisata yang menarik. Malaysia cukup piawai juga mengolah obyek wisata mereka, sehingga hal yang biasa menjadi menarik. Bahkan, di masjid itu juga ada jadwal kunjungan khusus untuk turis nonmuslim.

Suasana masjid yang tenang dan teduh, membuat Faisal sedikit mengantuk. Terlebih melihat air mancur di tengah halaman masjid yang menyegarkan. Itulah mengapa salat Zuhur diletakkan di tengah-tengah waktu siang, sebagai isyarat untuk beristirahat dari pekerjaan, sekaligus menghadap ke Pencipta. Salat dalam suasana yang damai dan tenang membuat Faisal ingin terus rukuk dan sujud. Andai bisa beribadah terus menerus, tetapi tidak. Bekerja untuk akhirat dan dunia harus seimbang, maka Faisal harus menampikkan keinginannya berlama-lama di dalam masjid, untuk kembali meneruskan rutinitasnya. Mengisi perut, lalu bekerja kembali.

Lima belas menit kemudian, Faisal dan Mr Ridwan telah masuk kembali ke dalam mobil dan meneruskan perjalanan mereka menuju ke Kuala Lumpur City Centre, mall terbesar di Kuala Lumpur yang terletak di bawah gedung Menara Kembar Petronas. Sejak WTC dibom, menara kembar ini menjadi satu-satunya menara kembar dan pusat bisnis tertinggi di dunia. Menuju salah satu food court di sana, dan memesan menu yang tersedia, sambil menunggu kedatangan rekan Mr. Ridwan yang berniat meminjam dana dari bank syariah tempat mereka bekerja.  

Alhamdulillah… Faisal mengucap syukur atas segala kemudahan hidup yang ia terima. Dua tahun lalu ia berada di Australia untuk menimba ilmu, dan kini di Kuala Lumpur. Entah kapan berada di Jakarta, menikmati keruwetan lalu lintasnya dan anugerah banjirnya di setiap musim penghujan. Monorail yang pernah sempat dibangun, kabarnya belum selesai juga. Busway masih mendapatkan banyak keluhan, karena jumlah armadanya tidak seimbang dengan jumlah penumpangnya. Jalan-jalan dipenuhi kendaraan bermotor roda dua yang harganya semakin terjangkau. Bahkan tukang ojek yang tidak berpenghasilan tetap pun dapat mengambil kredit motor dengan system leasing. 

Novel "Surga yang Terlarang'
Insya Allah akan terbit. 


19 comments:

  1. Wah, makasih mbak atas ilmunya. Pasti butuh riset mendalam jika membuat setting yang detail ya mbak :)

    ReplyDelete
  2. Sangat mengherankan kalau ada seorang novelis sampai mengcopas mentah-mentah tulisan dari sumber lain. Apa dia sudah terlampau putus asa dan kehabisan nafas ya mbak? :) Padahal setahu saya, novelis itu biasanya orang yang gigih dan "panjang nafasnya".

    ReplyDelete
  3. wah...covernya cetarrr... iya mbak ela.jgn ampe copas mentah. maybe dengan foto2 juga bisa dipelajari untuk mendeskripsikan sebuah setting.

    ReplyDelete
  4. makasih banyak sharingnya, so far aku masih belum PD nulis seting yang belum dikunjungi, hihihi padahal pengin sih.

    ReplyDelete
  5. untuk bahan referensi sih gak apa-apa baca di google ya mbak tapi hasil akhir sebaiknya ditulis dengan gaya bahasa masing-masing

    ReplyDelete
  6. kereen Mbak.. novel terbarunya..
    Sukses yaa..
    Mantav.. settingnya merambah ke mancanegara.. :)

    ReplyDelete
  7. jd pelajaran banget.. kalau mau garap seting.
    kamsiya mbak.. :)
    novelnya bikin penasaran..

    ReplyDelete
  8. Sukses untuk karya-karya selanjutnya ya mbak...mendeskripsikan setting tempat yang terlihat nyata memang nggak mudah ya mbak.

    ReplyDelete
  9. tulisan ini sangat membantu, tq mbak. ;)

    ReplyDelete
  10. Mba Mayya, sama-sama Mba. Memang penulisannya jadi lebih lama, bukan hanya riset, tapi bagaimana supaya gak keliatan klo kita belum pernah ke sana :-)

    Mba Elka, mungkin penulisannya terburu-buru karena dikejar deadline. Setahu saya, novelnya memang cepat sekali terbitnya.

    Mba Anik, iya, dengan mendeskripsikan foto. Aku juga mengoleksi foto-foto dari sana, terus kuceritain sendiri dg bahasaku.

    Mba Wuri, berproses saja mba nulisnya. Insya Allah kapan2 bisa menjelajahi dunia melalui imajinasi hehe..

    Mba Linda, aamiin....

    Mba Binta, sama-sama mba, aku juga penasaran belum terbit juga :-)

    Haya, aamiiin.... bahkan yg sudah berkunjung pun belum tentu bisa menceritakannya, mba.

    Uwien, sama-sama mba, makasih :-)

    ReplyDelete
  11. Judul novelnya mengundang selera mba....sukses ya mba...

    ReplyDelete
  12. makasi ilmu nya ya mba... mohon bimbingannya.. jadi ragu nulis buku pelajaran jika sumber hanya baca buku2 dan via google. Ya Allah maju mundur bgt. semoga niat baik mengamalkan ilmu ini terlaksana.

    ReplyDelete
  13. wah ilmu yang sangat bermanfaat, syukron mbak..
    oh iya mbak, saya baru belajar nulis nih, mau sharing, sebenarnya dalam novel itu boleh menuliskan nama lembaga (nama universitas) gitu ga mbak? misalnya ceritanya dapet beasiswa di universitas luar negeri, nah baiknya ga pake nama univ yang nyata ada atau gapapa ya? terimakasih

    ReplyDelete
  14. Mba Dwi, smoga berselera :D

    Neng Lisojung, terus menulis. Cantumkan sumber data supaya tdk dianggap copas.

    Resnasuci, boleh koq. Boleh nyata, boleh tidak.

    ReplyDelete
  15. Numpang tanya, novel2x yang udah terbit apa aja? n awalnya gmn bisa nerbitin novel perdana? ke pernerbit mana mbak mengirim novelnya? please sharingx, klo bs email me!

    ReplyDelete
  16. suka -suka tulisan mbak leyla hana

    ReplyDelete
  17. Mbak, saya pengen nanya nih. Saya juga baru baru ini suka cerpen & novel. Sama, awalnya saya ngambil setting di tempat yang biasa; sekolah, kantor, terus di cerpen sebelumnya, saya cuma nyebutin 'sekolah' atau 'kantor' aja. Gak dikasih keterangan, nama sekolah atau kantornya.

    Sekarang saya lagi bikin cerpen lagi. Cerpen yang agak panjang, mungkin?

    Aku pengen ngambil latar yang lebih spesifik lagi, Misalnya, dijelasin nama sekolahnya; ". . . University", atau nama daerah, atau nama jalan, tapi bingung, takut salah.

    Apa aku harus ngambil latar yang udah ada? Misalnya Al-Azhar University, Kairo atau boleh ngarang latarnya?

    Sebelumnya, terimakasih^^

    ReplyDelete
  18. Sebaiknya mengarang saja latarnya supaya bebas dari tanggung jawab yang menyangkut nama baik sekolah dan universitas yang bersangkutan. Kalau nama daerah boleh pakai yang sebenarnya.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....