Thursday, May 22, 2014

Curhat Elegan di Sosial Media

Gerombolan ibu-ibu di grup curhat :D

Dalam obrolan tentang kepenulisan di radio MQ FM Bandung, beberapa waktu lalu, seorang rekan penulis, Aida MA mengatakan bahwa menulis bisa dijadikan sarana untuk curhat, melampiaskan kemarahan, kesedihan, kekesalan, dan sebagainya. Saya menambahkan, “boleh saja menuliskan kekesalan, asal tidak dibagikan ke orang lain.” Aida pun ikut menambahkan, “Iya, selesai ditulis, lalu buang kertasnya ke tong sampah.” Kalau nulisnya langsung di laptop, ya berarti segera hapus tulisannya. Itu yang disebut “menulis sebagai terapi jiwa.”


Saya sering mempraktekkan hal itu. Menulis uneg-uneg kekesalan saya dan memang kekesalan itu langsung hilang. Di dunia digital ini, keinginan untuk membagi kekesalan itu di media sosial begitu kuat. Saya juga merasakannya. Ingin dunia tahu bahwa saya sedang kesal, marah, sedih, dirugikan oleh orang lain, dan sebagainya. Akan tetapi, syukurlah hal-hal pahit itu masih hanya tersimpan di laptop hehe…. Masalahnya adalah, saya pernah mengalami juga ketika kelepasan melampiaskan kekesalan di media sosial atau di grup tertutup, bukannya mendapatkan simpati atau empati, malah dapat nasihat panjang kali lebar yang bikin kepala makin berasap.

Saya belajar untuk menuliskan kekesalan itu, tapi tidak menyebarluaskannya. Mulanya memang saya sangat ingin menyebarluaskannya, tapi setelah emosi reda dan membaca kembali tulisan itu, saya justru bersyukur tulisan itu tidak pernah tersebar luas. Terlihat sekali kebodohan saya saat melampiaskan uneg-uneg.

Itu juga yang terjadi kepada Adinda, seorang gadis yang kesal terhadap ibu hamil yang meminta tempat duduk kepadanya di kereta api. Kekesalannya diluapkan ke media sosial, yang langsung dibagikan oleh orang banyak, dan hasilnya? Dia mendapatkan cercaan dan makian dari orang-orang yang bersimpati kepada ibu hamil. Padahal, pasti maksud Adinda meluapkan kekesalannya itu untuk mendapatkan dukungan, bukan makian. Apa yang terjadi?

Tak ada seorang pun yang ingin menjadi tong sampahmu.

Ahaay! Siapa sih yang pingin jadi tong sampah? Siapa yang pingin mendengarkan makian, keluh kesal, kekesalan, dan segala yang buruk-buruk? Sejatinya, tidak ada. Menulis sebagai terapi jiwa  adalah menulis secara privat, untuk diri sendiri. Menulis dengan huruf kapital dan sebaran tanda seru, silakan saja, tapi cukup untuk konsumsi pribadi. Tahan diri untuk menyebarluaskannya ke media sosial dengan maksud untuk mendapatkan simpati dari orang lain, karena belum tentu semua orang akan bersimpati kepadamu.

Curhat secara elegan bisa dilakukan dengan cara, menulis kekesalanmu lalu renungkan apa hikmah di balik musibah yang menimpamu. Setelah mendapatkan hikmahnya, baru deh kamu tambahkan di tulisanmu itu. Pasti hasilnya jadi cerita inspirasi yang menarik dan sesuai untuk disebarkan.

Hfff… serem juga ya media sosial ini…. *_*

6 comments:

  1. betul juga ya, mbak.
    pernah saya bilang ke suami, saya termasuk orang yg jarang sekali cerita masalah saya. kenapa? karena nggak semua orang itu bisa ngerti apa yg saya alami dan nggak semuanya itu mau dikeluhkan sama saya. hihi..

    ReplyDelete
  2. setuju banget, sebisa mungkin ngga menyebar energi negatif ke sekeliling dengan menulis status mengeluh, maki2 dll...tfs mak...

    ReplyDelete
  3. setelah menulis rasa kesal biasanya hilang ya mbak

    ReplyDelete
  4. Huum mak saya setuju. Tak ada yg ingin jadi tong sampah kan?

    ReplyDelete
  5. Mba Leyla, kirim alamat lengkap ke emailku (aiyuchee[at]gmail.com) buat kirim hadiah Pay-It-Forward ya, terima kasih.

    ReplyDelete
  6. Saya mulai memakai menulis sebagai therapy semenjak sekolah dikarenakan saya dulunya introvert dan tidak punya teman cerita dan belum berani cerita ke Bunda, sudah berani pun tak semua diceritakan alhasil menulis tetap jadi sarana therapy

    Media masa bukan buat curhat sih....

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....