Sunday, May 11, 2014

Menjadi Penulis yang IKHLAS

Karikatur bikinan sendiri doong....

Minggu lalu saya jalan-jalan ke sebuah toko buku yang sebenarnya memang sudah saya rencanakan karena saya mau membeli buku-buku murah. Ternyata benar, ada banyak buku murah walaupun tidak semua yang saya cari ada di sana. Sebagai pembaca buku, saya sangat diuntungkan dengan obral besar-besaran itu. Sebagai penulis, saya miris. Ah, bahkan untuk buku yang sudah diobral pun belum tentu terjual semua. Padahal, berapa sih cetakan pertama buku itu? Paling-paling antara 2000-3000 eksemplar. Saya menghabiskan uang Rp 231.000 untuk buku-buku murah seharga Rp 10-25 ribu itu. Tergantung ketebalannya. Hari Seninnya, saya mendapatkan transferan royalty sebesar RP 250 ribu. Lumayan kan, jadinya uang royalty itu bisa menggantikan biaya membeli buku murah. Aaapppaah? Royalty selama 6 bulan hanya sebesar ittuuuh??


Saya jadi ingat dengan curhat seorang teman penulis yang royaltinya “hanya” sebesar Rp 1 juta rupiah selama 3 bulan. Sepertinya dia mengira bahwa royaltinya akan lebih besar dari itu. Maklum, dia baru pertama kali menerbitkan buku jadi memang terlihat syok. Apa sih yang ditawarkan para motivator menulis? Mereka sering mengatakan bahwa menulis bisa bikin kaya. Emang bener apah? Kalo nanyanya ke saya, ya… gimana ya…. maklum, saya belum sekaliber Andrea Hirata atau JK Rowling. Lumayanlah royalty menulis itu bisa dipake buat ngasih ortu dan jajan anak-anak, tapi kalo untuk beli tas branded ya belom mampu.

Menjadi penulis di era digital ini susah-susah gampang. Setelah kemunculan komunitas-komunitas menulis—termasuk Be a Writer—makin banyak aja orang yang mau jadi menulis. Sayangnya, perkembangan jumlah penulis tidak sebanyak minat membaca. Aneh tapi nyata, banyak penulis yang tidak sering membaca dengan alasan gak punya uang untuk beli buku. Saya sendiri termasuk penulis yang perhitungan juga untuk membeli buku baru, karena harga per buku sudah di atas 60 ribu. Tapi bukan berarti saya gak membaca. Saya banyak membeli buku obralan atau seken, sehingga harganya lebih miring.

Sebagai penulis, keikhlasan ini memang sangat diuji. Bayangin aja, setelah menanti enam bulan, ternyata saya baru tahu kalau royalty sebuah buku akan diberikan sekali dalam setahun. Artinya, saya harus menunggu enam bulan lagi. Kebijakan penerbit itu tidak sesuai dengan surat perjanjian, karena penerbit mengubahnya secara sepihak. Apa mau dikata? Saya gak mampu bayar pengacara untuk memperkarakannya, jadi ya pasrah aja. Semoga penerbit gak lupa membayar royalty setelah setahun. Saya pernah juga berbeda pendapat dengan seorang sahabat, yang juga seorang pemilik toko buku. Dia sangat memperjuangkan hak penulis, dalam hal ini royalty. Jadi, sedikit diskon aja untuk pembaca itu dianggapnya sudah menzalimi penulis. Dia juga cerewet menagih royalty ke penerbit, sedangkan saya gak begitu.

Sampai sekarang, saya belum berani menjadikan profesi penulis sebagai satu-satunya sarana mencari uang. Bayangkan saja, royalty satu juta baru bisa didapat setelah tiga bulan, gimane mau hidup? Hahaha…. Penghasilan utama saya ya masih dari nodong suami, namanya juga ibu rumah tangga wkwkwk…. Bahkan, menulis untuk ikut lomba blog saja lebih banyak kalahnya daripada menangnya. Selama 4 bulan ini, saya sudah gak pernah menangin lomba blog apa pun itu, biarpun hanya sekelas giveaway. Bayangin kalau saya gak nodong suami, mau belanja pake apa? Memang banyak blogger yang sudah berhasil menjadikan blognya sebagai sarana  mencari uang, mereka itu adalah blogger yang sudah dipercaya brand-brand tertentu untuk menulis review produk mereka atau menjadi buzzer di twitter tanpa harus mengikuti lomba blog. Masalahnya, saya  baru sekali dapat proyek kayak gitu, yaitu dari Zalora dengan imbalan satu buah gamis. Jadi, blog ini belum bisa diandalkan buat meraup penghasilan, biarpun pengunjungnya udah 200  ribuan.

Seorang teman pernah berkata, “jumlah statistik pengunjung blog itu mah bisa diakalin. Bisa diklik sendiri oleh si empunya blog, ntar juga nambah tuh statistiknya.” Jiyaaah… yang bener aja dong. Ngapain saya iseng ngeklik postingan sendiri sampe sejumlah 200 ribuan, hahahaha….. Kebangetan isengnya. Yang terutama sih, saya rajin membagikan postingan di blog ini supaya banyak pembacanya, tapi tetep aja agensi iklan blogger gak ngelirik, huhuhu…..

Satu-satunya apresiasi yang menambah suplemen untuk menulis dan ngeblog itu datang dari pembaca. Kalau dari pembaca blog ini, beberapa kali saya mendapatkan komentar di blog, yang merasa terbantu oleh tulisan di blog ini. Lucunya, banyak yang berkomentar di postingan untuk lomba blog. Misalnya, di postingan untuk lomba blog kosmetik halal. Baru-baru ini ada ibu hamil yang komen, “terima kasih sekali atas tulisannya. Saya memang sedang mencari kosmetik yang baik digunakan untuk ibu hamil. Sepertinya kosmetik ini cocok untuk saya.” Nah, kan, padahal saya gak menang di lomba blog kosmetik halal itu, tapi tetep aja saya udah membantu penjualan tuh kosmetik. Bayar dong, bayaaaar…..!

Ikhlas, satu kata ini memang gak ada gampangnya untuk diterapin itu. Ikhlas itu berarti melakukan sesuatu hanya untuk Allah semata, gak ada imbalan uang maupun pujian. Katanya, kalau gak ikhlas, amalan yang kita lakukan itu bakal hangus. Baru aja kemarin guru ngaji saya memaparkan soal ikhlas. Menjadi orang ikhlas itu benar-benar susah. Begitu juga dengan menjadi penulis yang ikhlas. Apalagi kalau kegiatan menulis sudah menjadi profesi. Ada penulis yang sangat getol mencari materi dari menulis. Ada pula yang getol mencari pujian. Barangkali saya juga sering melakukannya.

Bila motivasi menulis hanya untuk materi, segala jalan akan ditempuh, walaupun itu melanggar etika dan hati nurani. Melanggar etika misalnya dengan melakukan plagiasi. Beberapa waktu lalu, ada dua kasus plagiasi di dunia tulis menulis. Yang pertama, mengutip sumber tanpa izin dan tanpa menyebutkan nama sumbernya. Yang kedua, menuliskan kembali cerita orang nyaris sama dengan aslinya. Dan ternyata, si pelaku memang sudah membaca cerita yang diplagiatnya itu. Nah, kan, kalau motivasinya hanya untuk uang, maka nulis plagiat pun akan ditempuh. Karya yang diplagiat itu biasanya karya yang memang sudah terbukti bagus.

Menulis dengan melanggar hati nurani, misalnya menulis sesuatu yang tidak sesuai  prinsip hidup. Dulu pernah ada seorang teman blogger, yang gak mau lagi ikut-ikutan lomba review produk. Apalagi kalau dia gak pernah pake produknya. “Berasa lagi bohongin pembaca,” gitu katanya. Kalau memang hal itu sudah melanggar hati nuraninya, ya memang lebih baik ditinggalin. Ada juga penulis yang menulis novel di mana isinya mengajak orang melakukan maksiat. Memang sih, novelnya laris manis, tapi kan hanya laris di dunia. Gak tahu deh di akhirat nanti gimana.

Seorang teman penulis berkata, “kalau mau mencari uang, jangan dari menulis. Dari hasil usaha lain saja. Menulis itu untuk menyampaikan kebaikan dan ilmu yang bermanfaat.” Terserah Anda mau sepakat atau tidak, tapi omongannya itu mengingatkan saya akan niat awal ketika mulai terjun ke dunia tulis menulis ini. Ini pengalaman pribadi juga. Ketika saya lagi getol-getolnya ikut lomba blog dan mulai sering menang, orientasi saya mulai berubah. Yup, saya ketagihan berburu hadiah. Akibatnya apa? Saya kan gak selalu menang. Begitu gak menang-menang, saya jadi sedih dan merasa sengsara. Udah nulis capek-capek, gak menang-menang. Saya juga jadi iri sama orang yang menang terus. “Idiih.. kok dia lagi sih yang menang.” Saya ngerasain banget hidup gak tenang dengan perasaan-perasaan seperti itu. Beda kalau saya menulis karena memang ingin berbagi, ikut lomba pun tidak fokus ke hadiahnya, tapi juga mengasah kualitas tulisan. Saya mulai merasakan ketenangan. Gak menang pun gak apa-apa. Jadi, rasa ikhlas itu memang sungguh-sungguh memberikan ketenangan dalam hidup kita.

Semoga saja Allah Swt tidak mencabut rasa ikhlas dari kegiatan menulis yang saya tekuni ini. Aamiin….










11 comments:

  1. hehehe... ikhlas memang sulit tapi tetep berusaha buat ikhlas walaupun itu sulit

    ReplyDelete
  2. hihi, aku jadi inget ditanya2 mulu juga sama orang tentang produk yang aku review buat ikutan GA, padahal udah lewat dari setahun juga :D

    memang nulis harus ikhlas ya, bun. mungkin rezeki datang dari tempat lain, tapi kitanya berusaha di tempat sebelumnya.

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, Saya selalu ikhlas membaca tulisan di blognya mba Leyla

    ReplyDelete
  4. yang penting nulis aja dulu ya mbak, dapat hadiah merupakan bonus

    ReplyDelete
  5. Wah, mbak ela, karikaturnya keren. pakai program apa tuh mbak?

    ReplyDelete
  6. dari segi apapun kita harus ikhlas ya mak...
    saya setuju bahwa menulis itu memang utk menebar manfaat

    ReplyDelete
  7. Nice post mbak Leyla... mungkin kita memang harus kembali ke alasan awal mula kenapa kita menulis. Kalau karena cinta & ingin share hal2 yg bermanfaat, maka ngga perlu sedih bila blog/tulisan belum bisa memberi imbalan yg setimpal dg jerih payah... ^.^

    ReplyDelete
  8. Nice post mbak Leyla... mungkin kita memang harus kembali ke alasan awal mula kenapa kita menulis. Kalau karena cinta & ingin share hal2 yg bermanfaat, maka ngga perlu sedih bila blog/tulisan belum bisa memberi imbalan yg setimpal dg jerih payah... ^.^

    ReplyDelete
  9. Saya juga pernah Mbak ketagihan berburu hadiah dari kegiatan menulis. Iya, rasanya sedih banget kalau tahu lagi-lagi dia yang menang. Dan sekarang ini saya belum menemukan semangat lagi untuk memulai menulis. Gimana ini Mbak? Hehe.

    ReplyDelete
  10. hehehe. kalimat sisipan yang terakhir itu.. bisa aja deh si layla mah... makasih sudah ikut give awayku ya... ayo deh beli novelku...

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....