Saturday, August 8, 2015

Memupuk Kesabaran di 10 Hari Terakhir Ramadan

Menemani anak-anak buka puasa di mall jam 12 siang


Assalamu’alaikum. Alhamdulillah, sudah lebih dari dua minggu yang lalu kita merayakan Idulfitri. Taqabbalallahu minna wa minkum, minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin. Semoga amal ibadah kita di bulan Ramadhan yang lalu diterima Allah Swt ya. Saya sendiri sudah pulang dari mudik di Garut. Mudiknya cukup panjang, berangkat hari Rabu H-2 lebaran, dan pulangnya juga hari Rabu, H+6 lebaran. Suami ambil cuti satu minggu dan anak-anak pun sedang liburan sekolah, jadi pas deh.


Ramadan tahun ini memiliki arti yang berbeda bagi saya, terutama sebagai seorang ibu yang sedang mengajarkan anak-anaknya untuk berpuasa pertama kalinya. Si sulung, Ismail (7 tahun), sudah mengenal puasa, karena di sekolahnya diajarkan puasa sunah setiap hari Kamis, sedangkan Sidiq (6 tahun), si tengah, baru belajar puasa. Sebenarnya banyak orang tua yang mengajarkan anak-anaknya berpuasa dari umur 5 tahun, bahkan ada yang dari umur 4 tahun, tapi saya memilih mengajarkan anak-anak saya berpuasa setelah berumur di atas 6 tahun. 

Pada hari pertama puasa, Ismail diperbolehkan berbuka jam 12 siang. Namanya juga anak-anak, belum jam 12 sudah merengek-rengek minta buka. Sebenarnya Ismail minta buka puasa bukan karena lapar, tapi karena melihat adiknya yang bungsu sedang makan jajanan. Jadi, godaan puasanya ada pada si bungsu ini yang umurnya memang baru 3 tahun, belum puasa dan belum bisa dikasihtahu kalau harus makan sembunyi-sembunyi dari kakak-kakaknya. Kalau di sekolah, Ismail lebih bisa menahan diri untuk makan sampai jam 12 siang, karena teman-teman di sekolahnya kan juga nggak makan. Berhubung puasa kali ini bertepatan dengan liburan sekolah, jadi deh Ismail lebih banyak puasa di rumah. Saking kesalnya karena nggak boleh makan, Ismail tanya, “Kenapa sih kita harus puasa? Ismail nggak suka puasa!” 

Nah lho! Anak saya nggak suka puasa! Apakah anak saya bukan anak yang soleh? 

Hm, justru anak-anak itu jujur. Mereka mengutarakan apa yang benar-benar ada di dalam hatinya tanpa manipulasi. Kalau orang dewasa ditanya, “Apa kamu suka puasa?” Supaya disebut “soleh,” mereka bisa saja menjawab, “Oh, suka dong. Puasa itu kan menunjukkan bahwa kita orang beriman.” Padahal, jujur saja, siapa sih yang suka berpuasa? Orang dewasa saja banyak yang berpura-pura puasa, tapi diam-diam berbuka sebelum waktunya. 

Saya ingat sewaktu kecil, saya juga nggak suka puasa. Puasa itu ibadah yang paliiiing berat. Setiap memasuki bulan Ramadan, saya sudah mengeluh duluan. Duh, nanti nggak bisa makan-minum lagi deh. Memang, yang paling berat itu menahan nafsu untuk makan dan minum, karena anak kecil kan belum punya nafsu lain, seperti yang dimiliki orang dewasa. Mengapa Allah mewajibkan kita berpuasa? Apakah Allah ingin menyiksa kita? 

Pertanyaan Ismail membuat saya berpikir. Dulu saya malah nggak punya pertanyaan semacam itu. Kenapa kita harus puasa? Paling-paling saya menemukan jawabannya di buku-buku agama bahwa puasa itu wajib, puasa itu untuk Allah, puasa itu menahan diri dari hawa nafsu, dan sebagainya. Saya tidak menemukan arti filosofis dari berpuasa, sampai Ismail bertanya.

“Karena nggak semua keinginan Kakak bisa langsung dipenuhi saat itu juga. Kakak harus sabar menunggu waktunya berbuka puasa,” kata saya, ketika Ismail merengek lagi. Itulah arti “puasa” yang bisa saya jelaskan kepada Ismail, karena dia masih kecil, jadi harus dikasih penjelasan yang bisa masuk ke otak kecilnya. Memang, jawaban saya itu nggak langsung bisa “membujuk” Ismail, tapi hari demi hari Ismail makin bisa memahami arti puasa. 

Puasa mengajarkan kita untuk bersabar. Saya jadi merenung sendiri. Soal sabar, saya sendiri masih harus banyak sekali belajar. Sepuluh hari menjelang lebaran, uang THR dari kantor suami belum turun. Rekening tabungan saya pun belum terisi. Saya mengikuti beberapa lomba menulis, hasilnya nihil. Kalah melulu, sampai bosan. Royalti buku? Belum bulannya. Phiuuh…. Padahal, kebutuhan lebaran dan mudik harus cepat dibeli. Kalau belinya mepet lebaran, harga sudah melonjak tinggi. Sebenarnya, suami sudah dapat uang gaji, tapi langsung ludes untuk biaya masuk sekolah anak-anak. Dua anak saya sekolah di SD Islam Terpadu, biayanya lumayan juga. Jadi, kami memang harus sabar menunggu uang THR turun dan saya harus sabar siapa tahu menang lomba menulis. 

Sabar itu mudah diucapkan, tapi sulit dipraktekkan. Mumpung sudah masuk 10 hari terakhir Ramadan, saya memupuk kesabaran dengan memperbanyak ibadah. Toh, kemenangan Idulfitri itu artinya menang mengalahkan hawa nafsu selama bulan Ramadan, termasuk nafsu beli ini itu menjelang lebaran.  Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw biasa ketika memasuki 10 hari terakhir Ramadan, beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadist di atas menunjukkan keutamaan 10 hari terakhir Ramadan. Rasulullah semakin memperkuat ibadahnya pada 10 hari terakhir Ramadan, karena merupakan penutup bulan Ramadan yang diberkahi dan mengharapkan Lailatul Qadar (malam seribu bulan) yang muncul pada malam-malam terakhir Ramadan. Bagi mukmin yang bersungguh-sungguh beribadah di hari-hari terakhir Ramadan, akan mendapatkan maghfiroh (ampunan) Allah Swt. Sayangnya, kita memang sering kali melalaikan malam-malam terakhir Ramadan ini karena disibukkan dengan urusan lebaran, mudik, dan sebagainya. 

Kesabaran itu juga saya temukan pada wajah-wajah amil zakat yang menunggui stan pembayaran zakat, infak, dan sedekah di sebuah mall. Pada H-5 lebaran, akhirnya THR suami pun turun dan suami mengajak kami ke mall sambil ngabuburit, membeli beberapa keperluan lebaran. Ketika hendak menaiki eskalator, saya melihat beberapa pemuda yang sedang bersabar menunggui stan pembayaran ZIS (Zakat, Infak, Sedekah) dari sebuah lembaga yang terpercaya. Ratusan orang hilir mudik melewati stan tersebut, tapi tak ada seorang pun yang mampir. Saya memang sempat agak lama memperhatikan stan tersebut, sambil menunggu suami selesai memarkirkan mobil. Saya dan anak-anak turun duluan, sementara suami mencari tempat parkir, saking  penuh dan banyaknya kendaraan yang masuk ke dalam mall. Ironis. Begitu banyaknya orang yang berbelanja urusan dunia, tapi belum ada seorang pun yang mampir ke stan ZIS itu untuk berbelanja urusan akhirat. 

Akhirnya bisa pakai baju baru yang dibeli di mall itu :D
Saya pun masih berpikir-pikir, apakah saya bayar zakat di situ atau tidak? Alhamdulillah, akhirnya saya dapat rezeki juga, alias transferan uang, tambahan penghasilan dari menulis. Memang belum dizakatkan. Satu hal yang membuat saya pikir-pikir adalah, perasaan tidak enak membayar zakat di tempat umum di mana orang-orang hilir mudik. Apa yang terjadi kemudian? Saya menjadi sama saja dengan orang-orang lain yang hanya melewati stan tersebut dengan berjuta perasaan bersalah.

Duh, pelit banget, sih? Paling bayar zakat berapa, sih?

Sambil memilih-milih barang keperluan lebaran, saya tanya ke suami, boleh nggak kalau nanti saya bayar zakat di stan itu? Suami jawab, terserah. Setelah puas belanja, beberapa jam kemudian, saya turun kembali ke tempat parkir dan lagi-lagi bertemu dengan stan tersebut yang masih belum dihampiri seorang pun. Mungkin saja selama saya berbelanja, ada orang yang sudah bayar zakat di sana. Mudah-mudahan begitu. Ekspresi wajah para amil (pengumpul) zakat itu terlihat begitu sabar menunggu pembayar zakat, sambil sesekali menawari pengunjung untuk membayar zakat. Baiklah. Ini tidak bisa dibiarkan. Saya harus bisa mengalahkan hawa nafsu. Dengan langkah perlahan—saking gugupnya—saya hampiri stan ZIS tersebut dan menunaikan kewajiban membayar zakat.

“Jazakumullah, semoga Ibu dan keluarga senantiasa diberikan kesehatan,” itu ucapan amil zakat yang saya ingat, setelah saya membayarkan zakat tersebut. Saya lega sudah bisa mengalahkan hawa nafsu untuk menguasai sendiri rezeki dari Allah Swt, sekaligus malu karena jumlah yang saya berikan itu sebenarnya tidak banyak. Saya pulang sambil masih mengingat-ingat kejadian itu. Satu hal yang memotivasi saya membayar zakat melalui lembaga itu, karena zakatnya akan disalurkan untuk pembangunan pesantren penghafal Al Quran. Saya berharap bisa kecipratan pahala hafalan Al Qurannya itu, walaupun sedikit. Aamiin….

Tak disangka, ternyata janji Allah itu benar, bahwa zakat itu seperti pohon yang buahnya lebat. Hanya sehari berselang setelah saya membayar zakat, nama saya disebut seorang teman di facebook sebagai salah satu pemenang lomba blog! Masya Allah! Kesabaran saya telah menemukan muaranya. Sabar menunggu rezeki Allah Swt di hari-hari terakhir Ramadan. Subhanallah walhamdulillah…. Saya yakin rezeki itu juga karena kesabaran menahan hawa nafsu, termasuk nafsu menghabiskan seluruh rezeki untuk diri sendiri, melainkan sebagian disalurkan dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah. 

Hadiah Lebaran untuk Anak-anak
Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menang di hari raya Idulfitri yang lalu dan senantiasa memupuk kesabaran tak hanya di bulan Ramadan melainkan juga di bulan-bulan selanjutnya.





5 comments:

  1. wah... Alhamdulillah ya...
    betul memang puasa adalah ibadah yg berat. Jangankan anak2, org dewasa saja berat menjlnkannya kalo bukan karena perintah Allah

    ReplyDelete
  2. Ibarat kalau kita berladang...semakin banyak menyemai benih maka akan semakin banyak hasil penennya.. Apalagi kalau dirawat dan dipupuk.. Demikian juga amal dan perbuatan baik kita..semakin banyak berbagi kepada orang lain..semakin banyak pula rejeki datang..mengalir baik air..

    ReplyDelete
  3. Ramadhan bulan latihan sabar. setelah Ramadhan, sabarnya harusnya diterusin ya...

    ReplyDelete
  4. Wah selamat akhirnya jd pemenang jg n dpt thr :)

    ReplyDelete
  5. Memang nggak mudah ya, memberikan pengertian puasa pada anak-anak usia dini ^_^

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....