Sunday, July 10, 2011

Antologi Cerpen: Suami Impian

KISAH DUA PEREMPUAN
Leyla Imtichanah


Perempuan 1

Perempuan itu menyematkan bros bertahtakan berlian di tengah jilbab cokelat bercorak kembang-kembangnya. Ditatapnya cermin. Terlihat di sana seraut wajah persegi yang dipoles make  up  natural. Tak ada sedikit pun kerut karena ia rajin mengoleskan krim malam sebelum tidur. Tak ada juga gurat-gurat keletihan meskipun hari-harinya dipenuhi kesibukan, karena ia rajin fasial di salon setiap dua minggu sekali. Ketika sadar waktu telah menunjukkan pukul tujuh pagi, ia bergegas. Meraih tas kerjanya di meja, membenahi blusnya yang agak miring ke kiri, dan melangkahkan kakinya ke garasi rumahnya, tempat Hyundai ATOZ-nya disimpan. 
“Eksistensi perempuan, adalah saat seorang perempuan mendapatkan pengakuan dari orang-orang di sekitarnya,” suaranya renyah saat mengisi seminar berjudul “Eksistensi Perempuan” di sebuah universitas terkenal di negeri ini. Tak salah jika panitia memintanya menjadi salah satu pembicara, karena sebagai perempuan, ia memang telah berhasil menunjukkan eksistensinya.
Rianda Setyaningrum. Itu nama lengkapnya. Lulusan fakultas ISIP UI, jurusan komunikasi massa. Sempat bekerja di sebuah media massa terkenal selama dua tahun sebelum akhirnya meneruskan kuliahnya di Amerika, guna meraih gelar Magister of Bussiness Administration. Pulang ke Indonesia, melamar menjadi dosen sambil membuka usaha sendiri, sebuah restauran yang khusus menyajikan masakan Jawa. Sebagai dosen, ia cukup dikenal karena kecerdasannya dan sering diminta menjadi pembicara seminar. Sebagai pengusaha, ia cukup berhasil dengan omzet per bulan  yang mencapai ratusan juta rupiah. Sebuah rumah mewah beserta isinya di kawasan Bintaro, telah ia miliki. Ia mapan. Ia terkenal. Tapi ia tetap merasa hidupnya belum cukup.
“Maafkan Rianda, Ibu. Sampai hari ini Rianda belum bisa memenuhi keinginan Ibu,” ucapnya, sendu, di depan makam ibunya. Ia masih ingat ucapan ibunya bertahun silam. Sebelum meninggal, mendiang ibunya ingin sekali melihatnya menikah dan tak ingin ia kembali dilangkahi adik-adiknya. Tapi sampai sang ibu meninggal, ia belum juga menikah dan telah dilangkahi semua adiknya.
“Bukan saya tak ingin menikah, tapi memang Tuhan belum mempertemukan saya dengan jodoh saya,” katanya di sebuah seminar berjudul “Menikah di Mata Perempuan Mandiri.” “Kalaupun saya menikah,” katanya, melanjutkan, “saya hanya ingin menikah dengan laki-laki yang mau menerima saya apa adanya dan tidak menghalangi gerak saya. Seorang lelaki yang sadar bahwa perempuan diciptakan bukan untuk menjadi pembantu laki-laki, tapi pendamping laki-laki.”
Menikah, menikah, menikah. Kata itu pernah lekat dalam benaknya saat seorang lelaki datang dalam kehidupannya. Di usianya yang kedua puluh dua tahun. Ia menerima kedatangan lelaki itu dengan penuh cinta. Proses perkenalan pun dijalankan dengan niat suci; menikah untuk menggenapi setengah diennya. Namun ternyata proses itu kandas di  tengah jalan. Lelaki yang pernah ia sangka akan menjadi pangeran berkuda putihnya, memilih gadis lain yang lebih cantik darinya. Lebih cantik. Mungkin juga lebih cerdas, lebih mapan, dan lebih segala-galanya.
Rianda Setyaningrum, luruh. Ternyata semua lelaki sama. Bahkan lelaki yang ia  pikir salih itu. Seharusnya dengan kesalihannya, lelaki itu tak hanya melihat seorang perempuan dari fisiknya, atau kelebihan-kelebihan duniawi lainnya. Juga dengan kesalihannya, lelaki itu tak sedemikian mudahnya mengumbar kata-kata yang membuat semua wanita takluk dan berharap berlebihan. Namun ternyata lelaki salih itu sama saja dengan lelaki lainnya. Dia lelaki yang hanya melihat seorang  perempuan dari fisiknya dan atau kelebihan-kelebihan duniawi lainnya. Rianda sempat mencari tahu, seperti apa perempuan yang dipilih lelaki itu. Dan ia semakin luruh, karena jelas, perempuan itu jauh lebih baik darinya. Lebih cantik, lebih mapan, dan lebih-lebih-lebih lainnya. Seorang Rianda kehilangan rasa percaya diri. Hidupnya sempat stag selama beberapa bulan sampai akhirnya ia bangkit kembali. Lupakan sejenak soal pernikahan. Dari dulu pun ia sudah mandiri. Ia anak sulung yang terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Hidupnya akan tetap berjalan tanpa kehadiran laki-laki. Ia berkonsentrasi pada pekerjaan, mengambil kesempatan kuliah di Amerika, dan seperti inilah sekarang ia menjelma; tak ada yang tak mengenal  perempuan sukses bernama Rianda Setyaningrum.
Ia tetap ingin menikah. Ia tahu, bukan termasuk golongan Muhammad kalau tidak menikah. Tapi ia selalu takut memulai. Ia takut gagal lagi seperti dulu. Yang paling ia takutkan adalah kalau sudah jatuh cinta. Ia takut terpuruk dan luruh kembali kalau ternyata cinta itu tak menjadi miliknya. Dan ia tahu, sekarang ada banyak laki-laki yang ingin menikahinya. Tapi ia tak memilih satu pun di antara mereka, karena mereka menikahinya bukan karena kesalihahan yang ia pelihara selama ini, melainkan karena kesuksesan dan kemapanannya.
Ia tetap ingin menikah, apalagi ketika melihat ibu-ibu yang sedang mengendong anak-anak mereka yang lucu, atau melihat seorang istri yang sedang diboncengi suaminya naik motor. Ah, betapa indahnya....

Perempuan 2
Perempuan itu membuka lembaran tabloid wanita yang baru saja ia beli dari kios koran di depan rumahnya. Perhatiannya langsung tertuju pada artikel tentang seorang  perempuan sukses bernama Rianda Setyaningrum. Ia baca kisah sukses perempuan itu dan segera tebersit rasa iri dalam benaknya. “Seharusnya aku bisa seperti dia...,” gumamnya, lirih. Seorang anaknya datang dan langsung menggelendotinya. Ia berusaha mengusir sang anak dengan menyuruhnya bermain yang lain. Ia masih ingin membaca artikel tersebut. Tapi si anak tidak mau. Ia sedikit memaksa yang membuat si anak menangis. Ugh! Dientaknya si anak, kesal. Tangis si anak semakin keras. Ia berusaha meredam amarah dengan istigfar. Tapi tangisan anaknya yang lain memancing emosinya. Dua anak menangis. Dan anak satunya yang baru pulang dari sekolah, langsung membebaninya. “Ummi... makan...!”
“Kalau saja aku tidak menikah muda....” Ia menerawang. Seakan menyesali keputusannya menikah dahulu. Astagfirullah! Seharusnya tidak begitu. Ia tahu kenapa ia harus menikah. Bukankah menikah harus disegerakan? Tapi dulu sebenarnya ia belum mantap menikah. Ia belum lulus kuliah dan ingin merasakan dunia kerja. Calon suaminya menjanjikan bahwa ia bisa bekerja sesudah menikah nanti. Akhirnya ia menikah. Namun ternyata suaminya tak menepati janji. Suaminya melarangnya bekerja. Ia harus tetap di rumah. Mengurus anak dan suami. Sebagai seorang wanita yang memahami agama dengan baik, ia berusaha menerima, meskipun jiwa bebasnya memberontak. Tak pernah ada yang mengekangnya sedemikian rupa, bahkan orang tuanya sendiri. Sekarang, ia harus benar-benar patuh pada suaminya. Suami yang ternyata jauh dari apa yang pernah dipikirkannya.
Mungkin jika suaminya penuh cinta dan kasih, ia bisa bertahan dalam rumah tangga ini. Ia bisa tulus ikhlas melayani suaminya. Tetapi suaminya tidak begitu. Suaminya seorang penuntut. Perfeksionis. Suaminya menginginkan ia menjadi apa yang suaminya inginkan. Tidak ada yang benar di mata suaminya, padahal ia sudah berusaha melakukan apa yang suaminya perintahkan dengan sebaik-baiknya. Selalu saja ada yang kurang. Pekerjaan rumah, pekerjaan melayani anak-anak, dan terutama, pekerjaan melayani suaminya. Kurang ini, kurang itu, kurang begini, kurang begitu... ditambah lagi saat harus menghadapi kemarahan suaminya. Ya, suaminya begitu sinis dan pemarah.
Suaminya juga tidak pernah peduli dengan semua kerepotannya. Bagi suaminya, tugas suami adalah mencari nafkah dan tugas istri mengurus rumah. Jadi tatkala ada pekerjaan rumah yang  menumpuk, suaminya tak ambil pusing. Harus ia, ia sendiri yang kelimpungan menanganinya. Ia tak pernah menyangka bahwa ternyata begini bentuk rumah tangga yang harus ia jalani. Mengapa tak sesuai dengan konsep rumah tangga dakwah yang pernah ia terima di pengajian dulu? Memang ia tak pernah mengkompromikannya saat proses perkenalan dulu, tapi seharusnya lelaki yang telah menjadi suaminya itu tahu. Ia pusing! Pusing! Ia berusaha ikhlas, tapi ternyata memang benar adanya. Ikhlas itu tidak mudah. Apalagi setelah ia dengar suaminya ada affair dengan perempuan lain. Ia tak tahu sudah sejauh mana hubungan suaminya dengan perempuan itu. Ia hanya sering mendapati sms-sms perempuan itu di inbox suaminya. Ia sering mendapati suaminya senyum-senyum sendiri saat sedang menerima sms. Dan ia terkejut setelah mendengar cerita dari perempuan yang pernah dekat dengan suaminya, bahwa ternyata suaminya dari sebelum menikah memang sudah begitu. Suka menebar cinta di mana-mana. Ia pasrah. Memang sudah begini adanya. Tapi ia jadi berpikir untuk punya ruang sendiri. Untuk menyepi sementara dari suami dan anak-anaknya. Anak-anak yang semuanya memiliki wajah suaminya.
Lalu tatkala membaca artikel tentang wanita lajang yang sukses bernama Rianda Setyaningrum, ia jadi berpikir, sepertinya lebih enak menjadi lajang....
***
Dan di sinilah aku berada.
Ujung-ujung dedaunan melambai-lambai membentuk bayangan teduh yang menghalau sinar matahari. Aku berada di antara bayangan-bayangan itu. Mendapati diriku dengan pakaian training dan jilbab kaus. Beberapa hari yang lalu ada tawaran outbond training dari komunitas pengajian yang kuikuti. Kupikir-pikir, boleh juga. Lagipula beberapa hari ini kepalaku terasa pusing. Beban pekerjaan yang menumpuk dan keinginan untuk  terus berkarya agar eksistensiku diakui, membuat pusing di kepalaku semakin jadi. Aku sempat merenung. Sebenarnya apa yang sedang kucari? Sebuah eksistensi? Agar diakui? Oleh siapa? Oleh dia? Dia yang telah menghancurkan kepercayaan diriku? Dia yang membuatku melakukan ini semua agar dia tahu bahwa aku, Rianda Setyaningrum, masih bertahan bahkan hidup jauh lebih baik meskipun dia tinggalkan.
“Ibu-ibu, sebelum outbond-nya kita mulai, saya ingin tahu dulu. Apakah Ibu-ibu punya masalah atau beban pikiran yang sedang memenuhi kepala Ibu-ibu? Saya beri waktu satu menit untuk memikirkan masalah-masalah apa yang sekarang sedang membebani Ibu-ibu,” trainer berwajah riang itu mengedarkan pandangan ke seluruh  peserta outbond yang semuanya perempuan.
Aku berpikir keras. Masalah. Tentu saja ada, tapi apakah harus dikemukakan di hadapan semua orang yang baru kukenal? Dan bagaimana kalau masalahku adalah....
“Sekarang, siapa yang punya masalah antara satu sampai tiga?”
Beberapa Ibu mengacungkan tangan. Hei! Masalahku berapa, ya?
“Empat sampai lima?”
“Lebih dari sepuluh?”
“Tidak punya masalah?”
Tidak punya masalah? Tidak mungkin. Semua orang punya masalah,  termasuk aku. Tapi aku tidak mengacungkan tangan.
“Ibu yang berjilbab biru!” Trainer itu memandangku. Ohmigod. Aku, nih? Kena, deh. Padahal aku tidak mengacungkan tangan.
“Apa masalah yang saat ini sedang ada di kepala Ibu?” tanya trainer itu.
Aku ragu menjawab. Ibu-ibu ini mengenalku tidak, ya? Aku, Rianda Setyaningrum, punya masalah yang....
“Em, masalah saya berkaitan dengan jodoh. Saya belum menikah.” Astaga! Bagaimana bisa aku punya keberanian mengungkapkan hal ini?
Suara dengungan terdengar. Pasti mengomentari ucapanku tadi.
“Itu saja?” si trainer bertanya lagi. Aku mengangguk. Sebenarnya banyak. Bagaimana menghilangkan trauma masa lalu? Aku tidak bisa menikah karena takut bertemu lelaki yang setipe dengan lelaki itu, lalu mengalami kejadian yang sama. Lelaki itu menyakiti hatiku. Mengubah cinta yang ada di hatiku menjadi benci; cinta yang tersakiti. Lalu benci itu menumpuk menjadi dendam. Dan dendam yang tak terbalaskan itu membuat kepalaku senantiasa berdenyut. Pusing....
“Bagaimana dengan Ibu yang berjilbab cokelat?” kali ini si trainer mengarahkan pandangannya ke seorang ibu beberapa baris di sisi kiriku yang mengenakan jilbab kaus berwarna cokelat.
Aku terenyak. Aku seperti pernah melihat wajah itu. Sungguh-sungguh pernah melihat wajah itu. Beberapa kali dalam sehari hanya untuk memastikan bahwa... dia lebih cantik dariku....
“Em....” Ibu itu seperti ragu, “saya... punya masalah dengan suami. Saat ini sebenarnya saya sedang melarikan diri dari suami saya. Saya sudah izin, tapi seperti biasa, tidak diperbolehkan. Saya benar-benar harus pergi sementara dari rumah. Kalau tidak, kepala saya akan pecah. Saya sudah tidak pikirkan lagi konsekuensinya. Mungkin suami saya marah.” Ibu itu tertunduk. Beberapa tetes air bening mengalir di  pipinya. Suara dengungan terdengar. Lebih ramai daripada yang terdengar setelah aku yang berbicara tadi.
“Oke, Ibu-ibu. Setiap kita pasti punya masalah. Tapi di sini, kita harus melupakan masalah-masalah itu barang sejenak. Jangan sampai saat  kita memanjat pohon nanti, pikiran kita ada di mana-mana dan akhirnya kita terjatuh,” trainer itu mencoba mencairkan suasana. Sebagian besar Ibu-ibu tertawa, tapi aku tidak. Entah kenapa perhatianku  terus tertuju kepada ibu yang masih sibuk menghapus air matanya itu. Entah kenapa aku bisa merasakan rasa tertekannya. Dan entah kenapa aku merasa dekat dengannya. Padahal... hei! Aku baru mengenalnya hari ini. Aku pun bahkan belum tahu namanya.
Lalu saat outbond dimulai, perhatianku masih juga tertuju pada ibu itu. Dan kusadari, sepertinya ibu itu pun juga mencuri pandang ke arahku.  Aku  jadi tak enak, dan dia pun begitu. Lalu saat kami sedang menunggu giliran latihan pentagon—memanjat jaring laba-laba—ibu itu menghampiriku. Aku terkejut!
“Kalau tidak salah... Mbak kan... Mbak Rianda Setyaningrum?” tanyanya, langsung. Mata elipsku membulat.
“Kok... tahu...?”
Ibu itu tersenyum, membentuk lancipan di dagunya. Dan aku semakin yakin pernah melihatnya.
“Kenalkan, saya Andini. Saya suka baca artikel Mbak. Mbak  hebat,  ya....”
Andini! Segera saja memori itu terkuak. Ya, Andini... perempuan cantik yang membuatku terpuruk karena kehilangan kepercayaan diri. Andini, perempuan yang dipilih lelaki itu....
***
Rumah Cahaya, Selasa, 5 Juli 2005. Setelah latihan outbond yang membuat badanku pegal-pegal....

Dimuat di antologi cerpen Suami Impian (Lingkar Pena, 2006)

6 comments:

  1. keren... dua sisi perempuan dengan status yang berbeda, amsing2 cemburu dengan status perempuan yang lain yang ternyata apapun statusnya tetep aja bisa menjadi masalah tersendiri. dan yang paling keren endingnya itu lho, ternyataaaa... asik abnget, mengalir dan makin lama makin pengen cepet baca sampai akhir. akhir yang merefleksi semua kegelisahan hohohoooo

    ReplyDelete
  2. trims komennya ya, mbak... dari kemarin mau balas, susah bener.

    ReplyDelete
  3. bagus banget mbak....kisah perempuan pertama hampir "mirip" dengan kisah saya 3 bulan yg lalu :)

    ReplyDelete
  4. subhanallah...kisah perempuan 1 juga mirip dengan kisahku hehehe...jadi semangat nih ^^

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....