Sunday, July 10, 2011

Cerpen: MINGGAT

MINGGAT
Leyla Imtichanah


Sedang apa aku di sini? Jauh dari rumah, dari tempat yang selalu membuatku tertekan. Minggat. Satu kata itu cukup untuk menjawab pertanyaan itu. Aku memang sedang minggat. Pergi dari rumah tanpa ijin. Ini sudah lama aku impikan. Sebelumnya, aku juga pernah minggat. Dua kali kulakukan, tapi tak pernah berhasil. Pertama waktu kelas dua SMP dan kedua waktu kelas satu SMA. Ternyata waktu itu aku belum siap minggat. Aku takut terjadi apa-apa di jalan. Aku takut bertemu orang jahat dan aku tak tahu harus ke mana. Akhirnya, saat hari belum terlalu malam, aku sudah pulang ke rumah. Papa memarahiku, Mama menasihatiku panjang lebar.
Kenapa aku minggat? Pertanyaan ini mudah saja kujawab. Aku hanya ingin mencari kebebasan. Kedua orang tuaku punya aturan-aturan yang sangat mengekang. Tak boleh begini, tak boleh begitu, tak boleh pakai ini, tak boleh pakai itu, tak boleh pacaran, tak boleh pulang malam, tak boleh telepon lama-lama, tak boleh menginap di rumah teman, tak boleh pergi jauh-jauh, dan tak boleh segalanya. Ugh! Aku tertekan. Benar-benar tertekan. Aku merasa tidak seperti anak-anak usia belasan lainnya. Teman-temanku di sekolah boleh melakukan apa yang sedang tren saat ini. Memakai rok mini, make up, pergi ke pesta teman yang selalu diadakan pada malam hari, jalan-jalan dengan pacar, telepon lama-lama, menginap di rumah teman, dan semuanya. Mereka diperbolehkan mencoba hal-hal baru sementara aku sebaliknya. Hidupku monoton, tak ada artinya. Satu-satunya kegiatan yang boleh kulakukan adalah BE… LA… JAR. Ya, belajar. Belajarlah agar nilai-nilaiku selalu bagus. Aku sudah melakukannya, tapi mereka tetap tak mengijinkanku melakukan yang lain. Aku tertekan. Sangat tertekan.
Hanya satu minggu saja. Ya, setidaknya hanya seminggu aku ingin melakukan semua yang dulu terlarang itu. Aku ingin bebas dan jauh dari rumah. Aku ingin pergi ke tempat di mana aku bebas melakukan apa saja. Pulang malam tidak ada yang memarahi, pergi ke mana saja tidak ada yang melarang, memakai apa saja, melakukan apa saja, dan semuanya, tidak ada yang mengomentari! Ah, senangnya. Aku pasti bahagia. Aku ingin bahagia. Sudah lama kuimpikan kebahagiaan itu. Ke… be… ba… san. Kebebasan.
Akhirnya, hari yang ditunggu pun tiba. Ternyata aku tidak sendirian di dunia ini. Ada yang senasib denganku. Teman sekolahku, Lia. Dia juga merasa tertekan dengan aturan-aturan yang dibuat ayahnya. Dia takut pulang ke rumah kalau hari sudah malam. Ayahnya pasti akan memarahinya panjang lebar sampai ia bergeming. Ayahnya juga akan memotong uang sakunya agar dia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi. Lalu mamanya juga akan menasihatinya panjang lebar yang tidak boleh diinterupsi sama sekali. Tidak sopan! Begitu katanya. Ternyata nasib kami sama. Kami pun merencanakan untuk minggat sekadar untuk meraih kebebasan dan menyadarkan orang tua agar tidak terlalu mengekang kami lagi.
Sekarang, aku sedang berada di dalam kereta yang akan membawa kami menuju Semarang. Kami memang harus minggat jauh dari rumah agar tidak mudah dicari. Percuma kalau minggat hanya di sekitar Jakarta saja. Tidak lupa kami tinggalkan surat yang menyatakan bahwa kami minggat, agar orang tua kami tidak melaporkan hilangnya kami ke polisi. Kalau sampai dilaporkan bisa gawat. Kami juga membawa uang tabungan yang kira-kira cukup untuk satu minggu, makan dan foya-foya. Soal penginapan, Lia yang tahu solusinya. Katanya ia punya teman di Semarang.
“Kira-kira… kita ngapain aja ya nanti?” tanyaku.
“Banyaklah! Yang pasti, senang-senang! Kalau uang sudah habis, baru kita pulang. Anggap saja kita tak tahan minggat. Kalau kita tidak pulang-pulang, orang serumah bisa pingsan. Ha-ha!” Lia tertawa, tanpa beban. Aku langsung teringat keluargaku. Papa, Mama, adik-adik. Yang terutama Mama. Mama pasti sedih sekali mengetahui aku minggat.
Jam empat sore, kereta yang kami tumpangi sampai di stasiun Tawang, Semarang. Supir Taksi dan tukang becak berebut ingin mengantar kami ke tujuan. Tentu dengan imbalan yang berlebih. Supir Taksi tidak mau dibayar sesuai argo dan tukang becak tidak mau dibayar di bawah nominal sepuluh ribu. Wuah! Mahal sekali. Kami sepakat naik mobil angkutan saja. Hanya seribu rupiah per orang, sudah sampai di tujuan. Tapi, tujuan yang mana?
“Gawat, Del! Alamat rumah temanku hilang!” Lia mengejutkan.
Aku melotot. Ya ampun! Kenapa bisa begitu?! Kami bertatapan cukup lama. “Sekarang kita ke mana?” tanyaku, cemas.
“Ah, tenang! Kita cari motel yang murah!” Lia berlalu dengan langkah ringan. Inilah perbedaanku dengannya. Aku mudah cemas, Lia sebaliknya.
Akhirnya, kami menginap di sebuah motel kecil yang suram. Wajahku cemberut melihat kamar motel yang tidak indah dipandang mata itu. Dindingnya penuh dengan coretan dan kaca jendelanya gelap dan suram.
“Della! Smile...! Kalo nggak, buat apa minggat?!” teriak Lia sambil menjatuhkan tubuhnya ke kasur. BRUK! “Ups! Keras!” Lia meringis. Aku tertawa dibuatnya.
***    
Malam ini, kami jalan-jalan ke pusat Kota Semarang, Simpang Lima. Wah, happy-nya. Makan bakso di pinggiran mall Citraland. Masuk ke mall dengan cueknya tanpa beli apa-apa. Jalan-jalan di sekitar Pandanaran, kemudian melihat kampus Universitas Diponegoro yang sepi. Rencananya besok pagi balik lagi. Waktu sudah menunjukkan  jam sepuluh malam. Kalau kedua orang tuaku tahu, mana boleh aku jam segini masih ada di luar rumah? Tapi sekarang aku kan bebas. BE… BAAAS...!
Aku mengajak Lia untuk mampir ke salah satu warung Poci yang tersebar di sekeliling Simpang Lima. Tetapi Lia melarang. Ia menunjuk ke arah para perempuan yang berpakaian minim di sekitar warung-warung teh itu.
“Itu WTS, Della,” bisiknya.
Aku terbelalak. Ya ampun! Jam segini sudah ada WTS. Jangan-jangan kami berdua juga disangka WTS?! Aku buru-buru mengajak Lia meninggalkan lokasi itu.
“Della! Tunggu, dong! Nyantai aja lagi!” seru Lia.
Aku tak peduli. Langkahku semakin cepat. Tatapan mata para lelaki hidung belang di sekitar kami membuatku semakin takut.
BRUK!
Aku mengempaskan tubuhku di kasur motel yang keras ini. Punggungku terasa sakit. Aku lupa kalau kasur ini keras. Kakiku juga pegal-pegal. Ternyata capai juga berjalan-jalan mengelilingi pusat Kota Semarang. Capainya baru terasa sekarang.
Kutatap langit-langit kamar motel yang penuh debu. Lia sudah tertidur sejak tadi. Sepertinya ia lebih capai dibandingkan aku.  Entahlah. Aku tak bisa tidur. Aku ingat rumah. Aku rindu semuanya, terutama… Mama. Mama. Mama. Sosok yang seharusnya tak kutinggalkan. Mama yang selalu melindungiku dari omelan Papa. Mama yang selalu menyuruhku diam setiap kali aku membantah omongan Papa. Mama menyuruhku demikian agar amarah Papa tak semakin menjadi-jadi. Mama yang selalu repot mencariku setiap kali aku minggat. Mama yang pernah memohonku agar jangan minggat lagi. Terakhir, Mama yang memarahiku kala aku mengancam akan minggat sehabis dimarahi Papa,
“Minggat! Minggat saja sana! Kamu suka kan menyusahkan Mama?!”
Aku menggigit bibir. Benarkah aku menyusahkan Mama? Baru kali itu aku melihat Mama marah. Sekarang, bagaimana keadaannya ketika aku benar-benar minggat?
***
Pagi yang cerah. Aku dan Lia sudah bersiap-siap dengan pakaian training kami. Kami memang akan berlari-lari pagi mengelilingi Simpang Lima. Katanya kalau hari Minggu pagi begini, di Simpang Lima ada pasar kaget. Banyak barang murah dijual di sana. Lumayan, sambil olahraga, sambil belanja.
Aku dan Lia berlari-lari penuh kegembiraan. Jerawat-jerawat stres berloncatan. Ketika memasuki lapangan Simpang Lima yang dikelilingi para pedagang, kami berjalan perlahan. Kami melihat-lihat barang-barang yang dijual, sesekali kami bertanya berapa harga barang tersebut, tapi kami tak membeli. Kami benar-benar harus menghemat uang. Kami hanya membeli semangkuk bubur ayam yang maniiis… sekali dan gantungan bertuliskan nama kami berdua. Della dan Lia. Bisa buat kenang-kenangan, nih! Aku juga sempat memikirkan untuk membelikan sesuatu untuk adik-adikku, tapi Lia melarang. Kami benar-benar harus menghemat uang!
“Aku mau menjadi apa pun, itu terserah aku! Aku mau melakukan apa pun, itu terserah aku...!” teriak Lia, kencang di tengah lapangan. Aku menyikut lengan Lia. Orang-orang memperhatikan kami, tapi Lia malah tertawa keras. Dasar Lia gila! Ia benar-benar tertekan. Agaknya orang tuanya lebih otoriter dibandingkan orang tuaku. Padahal aku sudah menganggap orang tuaku lebih strict dibandingkan orang tua siapa pun di dunia ini.
***
Sudah malam hari lagi. Seperti tiada letihnya, kami berjalan-jalan lagi ke tempat yang sama. Lama-lama aku bosan juga. Selain itu, aku kangen Mama. Kangen semuanya. Aku ingin pulang. Aku sudah tak tahan tinggal jauh dari mereka. Apalagi makanan Semarang tidak cocok dengan lidahku. Rasanya manis semua. Padahal aku suka pedas. Aku ingin pulang, tapi sepertinya Lia masih betah di sini.
“Ayo dong, Del! Kamu kok cemberut aja kayak gitu, sih?! Nikmatilah hari ini! Kalau kita sudah pulang ke rumah, nggak mungkin kita bisa senang-senang kayak gini!!” Lia seakan tak memahami perasaanku.
“Kamu nggak kangen sama keluargamu, Ya?” 
“Ah, kamu nih! Baru juga beberapa hari di sini udah pengen pulang! Santai aja lagi! Ntar juga kita pulang. Dan kalau kita pulang nanti, sikap orang tua kita pasti udah berubah. Mereka pasti akan baik-baikin kita supaya kita nggak minggat lagi. Aku ingin tahu apa reaksi mereka kalau tahu kita minggat.” Lia tersenyum sendiri. Aku geleng-geleng kepala. Jadi ingin tahu seperti apa sikap orang tuanya sampai dia nggak kangen sedikit pun sama mereka.
Aku menatap alrojiku. Sudah jam sepuluh malam. Ya ampun! Aku cemas juga. Masalahnya, aku jarang atau bahkan tidak pernah ke luar malam-malam. Jadi, aku merasa takut malam-malam begini masih ada di luar. Semakin takut saat beberapa orang laki-laki menghampiri kami.
“Hai, cewek-cewek! Kayaknya orang baru, ya? Berapa tarifnya semalam?” tanya salah seorang dari mereka sambil cengengesan. Kulihat Lia juga cengengesan. Kutarik tangan Lia.
“Ayo, Lia! Kita pergi aja, deh!”
“Tarif kita nggak mahal, kok! Cuma satu milyar semalam! Berani, nggak?! Ha-ha-ha…!” Lia tertawa. Ih! Nih anak emang gendeng! Kutarik tangan Lia dengan paksa.
“Hei! Mau ke mana?! Semilyar kita juga sanggup, kok!” seru laki-laki itu saat aku dan Lia berlari meninggalkan mereka.
“Della! Jangan tarik aku kayak gitu, dong! Santai aja lagi!” Lia berusaha melepaskan tangannya dari cekalanku.
“Kamu tuh nggak takut banget sih, Ya?! Kalau mereka  ngapa-ngapain kita gimana?!”
“Tenang aja, deh.”
Tiba-tiba, seseorang menepuk bahu Lia. Seorang laki-laki. Lia dan laki-laki itu berbicara seakan-akan sudah saling mengenal satu sama lain. Padahal aku yakin, Lia tak mengenal laki-laki itu sebelumnya. Aku curiga.  Tapi Lia santai saja, tuh! Mungkin itu teman Lia yang ada di Semarang. Tapi… lho, kok Lia melepas anting-antingnya dan….
“Heh, Lia! Jangan!” Aku menarik tangan Lia dan membawanya kabur dari tempat itu. Laki-laki itu berteriak memanggil dan berusaha mengejar kami. Lia tersaruk-saruk karena kubawa berlari. Kulihat ia seperti orang yang tak sadar.
“Pak! Tolong, Pak! Orang itu…!” Aku meminta tolong pada beberapa orang tukang becak yang sedang mangkal.
“Mana, Mbak?” tanya Abang becak itu. Aku menoleh. Laki-laki itu sudah hilang! Syukurlah. Kutatap Lia yang terlihat seperti orang bengong. Ya ampun! Kenapa lagi nih anak?! Kutepuk pipinya, ia masih tak sadar. Kupinta salah seorang tukang becak untuk mengantarkan kami pulang. Aku menangis. Bingung.
“Lia! Lia sadar, dong!”
PLAK! PLAK! PLAK!
Kutampar wajah Lia berkali-kali setelah kami sampai di motel. Saat tamparan keempat,  Lia mencengkeram tanganku.
“Apa-apaan sih kamu, Del? Sakit, tau?!” Lia bersungut-sungut. Kuceritakan apa yang terjadi barusan. Tak kusangka, Lia tertawa-tawa.
“Gimana sih kamu, Ya? Hampir aja kamu dikerjain! Kalau aku nggak tanggap, sudah habis perhiasanmu itu!” omelku, sebal.
***
Akhirnya aku pulang. Lia setuju kami pulang lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Katanya, dia juga sudah kangen rumah. Ah, aku tak percaya. Anak cuek begitu! Bagus sih, jadi Lia. Pemberani, tapi tetap harus hati-hati dan waspada kalau tidak mau dilecehkan. Yah, setidaknya aku belajar banyak hal dari Lia. Sifat pemberani dan mandirinya.
Aku sudah sampai di rumah. Kurasa Lia juga sudah sampai di rumahnya. Aku pikir semua akan menyambutku gembira seperti keluarga yang baru saja menemukan anak mereka yang hilang. Ternyata tidak, tuh! Papa bergeming saat aku mencium tangannya. Mama juga diam saja. Saat aku mau masuk ke kamarku, barulah Mama berbicara.
“Besok minggat saja lagi, Del! Kamu suka kan membuat orang tua khawatir?”
***
Dimuat di Majalah Aneka, 2005

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....