Sunday, July 10, 2011

Antologi: Gara-Gara Jilbabku

PEACE AJA, YAH!
Leyla Imtichanah

Pakai jilbab…? Aduh… nggak pernah kepikiran, deh. Soalnya waktu itu di keluarga saya tidak ada yang pakai jilbab. Jadi, saya memang tidak tahu dan tidak terbiasa dengan penutup kepala itu. Tapi, meskipun tidak berjilbab, setiap lebaran, ibu saya membiasakan anak-anaknya memakai busana muslimah yang menutup aurat, kecuali rambut. Koleksi busana muslimah saya lumayan banyak, minus jilbab tentunya.

Ngaji Saya Bagus? Cihuy!
Nah, waktu SMP kelas satu, saya diajar seorang guru berjilbab. Guru Bahasa Sunda yang ternyata tetangga saya sendiri. Karena tetanggaan itulah, dia dan saya jadi dekat. Suatu hari, beliau mendapati kenyataan bahwa anak-anak didiknya sedikit sekali yang salat lima waktu dan sangat sedikit sekali yang bisa mengaji!
Beliau memutuskan, selain mengajar Bahasa Sunda, juga akan mengajari anak-anak didiknya mengaji dan tertib dalam salat. Tugas sampingannya itu tidak dibayar, lho. Jadilah kami setiap hari belajar mengaji sebelum pelajaran sekolah yang sebenarnya dimulai. Tapi… ternyata beliau mengalami kesulitan. Mengajari anak sebanyak itu tidak mungkin sendirian. Beliau menunjuk saya untuk menjadi asistennya.
Lho… kok saya? Lah iya. Katanya sih, setiap Magrib beliau mendengar saya mengaji dan beliau bilang, ngaji saya udah lumayan baguslah. Setidaknya saya sudah lulus iqro enam. Terus-terang saja, saya sendiri malas banget ngaji. Ayah saya memang membiasakan anak-anaknya salat di musala dan mengaji. Jadi, setiap azan Magrib bergema, kami harus ngacir ke musala dan  baru boleh pulang kalau sudah selesai salat Isya.
Di musala itulah kami belajar ngaji. Kalau tidak ke musala, ya salat dan ngaji di rumah. Tapi tentu mengaji di rumah sangat menyeramkan dan menegangkan buat saya. Yang mengajari ngaji sudah tentu ayah saya. Dan setiap mengajari mengaji, beliau duduk di samping saya sambil minum teh. Kalau saya salah mengajinya, jadilah segelas teh itu mampir ke kepala saya. Artinya, kalau saya salah mengaji, kepala saya langsung diguyur air teh, gitu. Hu-hu. Agak kejam memang. Tapi, masih lebih baik daripada saya diguyur air panas (hiks!).    
Jadi, saya lebih sering mengaji di musala yang guru-gurunya tidak berani mengguyur saya. Tapi karena saya sangat malas mengaji, sehabis salat, saya langsung kabur. Main ke mana, kek, asal nggak pulang ke rumah. Kalau pulang, alamat ayah saya tambah marah. Saya baru pulang selepas Isya. Namanya bangkai, ditutup-tutupi baunya kecium juga. Pas saya lagi bersembunyi di bawah pohon kelapa, menunggu waktu Isya habis, ayah saya memergoki. Ketahuan deh kalau selama ini saya sering bolos mengaji di musala. Sejak itu, saya benar-benar hanya mengaji di rumah. Rupanya suara mengaji saya itu terdengar oleh guru Bahasa Sunda itu. Kalau mengaji, suara saya memang kencang banget.

Gara-Gara Ikut MTQ Sekolah
            Ternyata nggak cuma ditunjuk jadi asistennya, saya juga disuruh mengikuti lomba MTQ di sekolah. Waduh! Saya bener-bener nggak mau, tapi guru itu memaksa. Pas lomba, ternyata semua peserta harus memakai jilbab. Jadilah saya memakai jilbab. That’s my first jilbab.
            Guru Bahasa Sunda saya memuji habis-habisan meskipun akhirnya saya nggak menang. Katanya sih, saya makin cantik kalau pake jilbab. Makin teduh, makin alim, dan salihah. Dipuji gitu, siapa seeh yang nggak geer? Saking geernya, pas guru itu menyarankan agar saya memakai jilbab terus, saya main ngangguk aja. Padahal ternyata nggak semudah itu. Kata mama saya, saya masih kecil. Ntar aja makenya kalau udah SMA. Ya sudah, saya putuskan bahwa saya akan berjilbab kalau sudah SMA.  
Ternyata…  begitu saya masuk SMA, saya tidak langsung memakai  jilbab. Saya lupa dengan niat saya itu! Entah kenapa. Sampai suatu hari saya tersadarkan kembali.

Guru dan Cowok Usil!
            Ceritanya begini (loh, bukannya dari tadi udah cerita?), di sekolah saya, cowok-cowok  lagi usil-usilnya. Bukan cuma para siswa, guru cowok juga ada yang usil dan jelalatan. Para siswa cowok suka ngintipin rok anak cewek yang lagi duduk. Yang biasa duduk sopan sih tenang-tenang saja. Lah, kalau yang tomboi kayak saya, yang kalau duduk nggak pernah bisa rapi, ya bahaya lah…. Bukan cuma laler yang bisa jelalatan, tapi juga mata cowok-cowok jahil itu. Hiy!
            Belum lagi ada guru cowok yang jelalatannya minta ampun. Pura-puranya ngajarin kita gitu, tapinya sih tu mata masuk ke dalam baju bagian atas cewek-cewek. Sejak itu, cewek-cewek pake baju yang serba rangkap. Pake kemeja sih tetep, tapi di dalamnya selain pake kaus dalam, juga pake tshirt. Ribet nggak, sih? Trus, di dalam rok ditambahin celana ketat selutut. Pakaian rangkap itu langsung jadi tren sejak terungkap skandal (bahasanya mulai berat, neh) bahwa para cowok di sekolah saya nggak ada yang waras. Sukanya ngintipin bagian atas dan bawah cewek-cewek.
Tapi… nggak semua cewek ikut tren itu. Ada satu cewek yang nyantai abis. Dia nggak pernah khawatir diintipin cowok-cowok meskipun gerakannya aktif sekali. Jumpalitan ke sana-kemari saking tomboinya. Lebih tomboi dari saya malah. Dia nggak ikut-ikutan pake tshirt yang memang bikin gerah, dan nggak ikut-ikutan pake celana ketat. Dia tetep dengan seragamnya yang berbeda dengan seragam para siswi kebanyakan, karena dia berjilbab!
Dia berjilbab, Sodari-sodari! Jadi, jilbab yang dipakainya sampai ke dada itu membuat guru cowok tidak bisa mengintip bagian atas kemejanya, dan rok panjangnya itu sudah tentu membuat cowok-cowok tidak bisa mengintip isi roknya. Mau posisi  kayak apa pun, tetep aja tuh rok nggak membuka. Kecuali kalau dia jungkir balik kali, yah? Untungnya sih dia nggak pernah jungkir balik meskipun tomboi.
Setiap melihat dia, saya jadi berpikir, betapa enaknya dia. Orang-orang mungkin melihat dia begitu  terkekang dengan jilbabnya, tapi saya melihat dia free! Dia bebas dari pandangan nakal cowok-cowok. Apalagi setelah cowok-cowok tidak bisa lagi melihat isi rok cewek-cewek, mereka mulai mengincar betis para cewek. Sampai-sampai di sekolah saya dulu muncul tren betis ramping en seksi. Cewek-cewek beramai-ramai mengecilkan betis dengan olahraga dan yang betisnya kayak tales bogor seperti saya, terpaksa mesti pakai kaus kaki panjang. Hehe.
Uh, saya sebal banget sama para cowok itu. Saya marah. Saya tahu, cewek memang indah, makanya jadi pusat perhatian (deu….), tapi jangan ngelecehin gitu, dong. Saya nggak terima! Nggak  terima…!

Gara-Gara Jilbab, Sebutan Gak Enak Hilang.
Keputusan yang cepat. Tanpa perlu pikir panjang. Maklum, ABG. Kelas dua SMA, saya berjilbab. Sebenarnya mama saya sempat meragukan. Takutnya saya berjilbab hanya sementara. Tapi dasarnya saya emang keras. Saya  terus saja  berjilbab.     Entah kenapa, saat itu jilbab juga sedang menjadi tren. Mungkin karena melihat saya berjilbab, yang lain ikut-ikutan (apa, coba?). Teman-teman terkaget-kaget. Yah, meskipun saya rajin salat dan mengaji, tapi saya cukup bengal di kelas. Agak aneh juga kalau cewek seperti saya berjilbab. Malah ada yang meragukan. Bilangnya saya cuma ikut-ikutan tren. Padahal kan saya trensetternya (masih kekeuh aja, yah?!). Saya tetap berjilbab. Peduli apa  kata orang. Tapi saya mengakui. Saya berjilbab hanya sementara. Nanti kalau sudah lulus SMA, saya buka lagi. Begitu rencananya.
Berjilbab itu ternyata sangat menyenangkan. Seneng karena setelah berjilbab nggak ada lagi yang menyebut saya genit, centil, badung, atau yang paling parah: bigos! Alias, biang gosip. Saya memang suka ngegosip bareng temen-temen. Kadang-kadang orang yang nggak saya kenal, nggak luput dari mulut usil saya. Pernah saya dimarahi gara-gara rumpian saya yang nggak mutu itu. Makanya saya disebut biang gosip.
Tapi setelah berjilbab, sebutan itu hilang dengan sendirinya karena memang saya tentunya harus menjaga nama baik jilbab saya dengan tidak bergosip. Betul begitu, Sodari-sodari?

Gara-Gara Jilbab, Ditaksir Nih!
Gara-gara jilbab juga, saya ditaksir seorang cowok yang beken seantero sekolah. Maklumlah, anak basket, kiper sepakbola, ketua Paskibra, wakil MPK (Majelis Permusyawaratan Kelas), pokoknya TOP BNGT, deh. Siapa yang nggak geer, coba? Jadi kayak Cinderella ditaksir pangeran. Dan dia emang naksir saya karena jilbab saya (dia suka cewek berjilbab, getoh...). Tuh... siapa bilang cewek pake jilbab nggak laku? Akhirnya, kami jadian deh. Saya ikut beken, dong. Endingnya, tentu saja kami putus karena nggak berapa lama saya tahu kalau pacaran itu dilarang dalam Islam.   
Seperti rencana saya, selepas SMA, saya berniat melepas jilbab. Berjilbab memang belum mendarah daging dalam diri saya.
Tapi ternyata memang benar kata pepatah. Manusia merencanakan, Allah yang menentukan. Lulus SMA, jilbab masih nangkring di kepala saya. Penyebabnya karena sebelum lulus saya sempat baca buku agama yang menyebutkan bahwa berjilbab itu wajib. Wah… tentu yang wajib-wajib harus dilaksanakan, dong.
Sebenarnya meskipun tahu itu wajib, saya tetap ingin lepas. Saya ingin pake baju-baju yang lagi tren, yang serba terbuka. Saya sudah mengumpulkan beberapa tank top yang rencananya mau saya pakai waktu kuliah (untungnya di Undip pake tank top tidak diperbolehkan). Tapi setiap saya ingin keluar rumah tanpa jilbab, saya merasa ada yang hilang. Saya  tahu, sejak itu saya tidak bisa hidup tanpa jilbab.
Di Undip, untungnya lagi dan saya sangat bersyukur, saya bertemu dengan komunitas yang semua ceweknya berjilbab. Rohani Islam. Jilbab mereka panjang-panjang. Panjangnya sampai ke pantat. Belum lagi pakaian mereka yang panjang dan lebar (gamis).
Awalnya serem juga sih ngeliat akhwat-akhwat itu. Aliran mana, nih? Jangan-jangan…. Huh… udah deh. Prasangka buruk. Tapi akhwat-akhwat itu begitu baik, begitu lembut, begitu… dan saya  terpikat. Mereka tidak kenal saya dan saya cukup jutek (didukung oleh wajah saya yang kata orang emang judes, tapi aslinya enggak lhoenggak salah lagi!), tapi mereka baek banget sama saya.
Meskipun prasangka di hati semakin menjadi, tapi saya tetep deket sama mereka dan akhirnya saya tahu mereka bukan aliran mana-mana. Tetep ahlu sunnah wal jamaah yang berusaha menerapkan ajaran agama sebaik-baiknya. Salat mereka tetep sama dengan saya, ngaji juga tetep dari Al-Quran. Nggak ada deh yang aneh-aneh.
Jilbab panjang seperti yang dikenakan akhwat-akhwat itu pada akhirnya membuat saya ikut-ikutan juga. Saya mencoba memakai jilbab panjang. Berhubung jilbab saya pendek-pendek, jadi harus didobel biar lipatannya lebih kecil dan ukuran jilbab jadi panjang.

Bertengkar dengan Ayah!
Model jilbab saya yang seperti itu, ditambah lagi dengan gamis yang longgar banget, rupanya bikin ayah saya tak suka. Gara-gara jilbab panjang itu, Ayah berpikir saya telah ikut aliran macam-macam. Masih muda, tapi penampilan sudah seperti ibu-ibu. Setiap saya pulang liburan, pasti selalu bertengkar dengan Ayah. Ayah saya keras, saya juga. Bayangkan kalau dua orang keras bertengkar. Saya sampai menangis diam-diam, bukan karena kalah bertengkar dengan Ayah, tapi karena ngerasa saya sudah durhaka padanya. Tapi, sisi hati saya yang lain membenarkan kekerasan hati saya itu. Toh, saya keras untuk kebenaran.
Kadang saya bingung dengan ayah saya. Dulu sewaktu SMA, sewaktu saya masih suka pakai tank top, celana pendek, dan pacaran, beliau murkanya bukan main. Saya dilarang pakai baju terbuka seperti itu. Setiap pacar saya menelepon, kabel teleponnya langsung diputus. Sampai pacar saya nggak berani ngapel ke rumah tiap malam Minggu karena tahu ayah saya galak (nggak gentle amat, yah?). Intinya, ayah saya strict banget deh. Tapi sekarang, setelah saya menutup aurat dan say no for pacaran, ayah saya malah bersikap sebaliknya. Pakai jilbab boleh, tapi nggak usahlah serapat itu. Pacaran juga katanya udah boleh. Kan udah kuliah.
Aduh... saya bingung, deh. Akhirnya saya tetap pada pendirian saya.
Kekerasan pendirian saya itu rupanya menular pada seorang mahasiswi fakultas hukum yang curhat di acara khusus muslimah di kampus saya. Dia punya masalah yang persis sama dengan saya. Kalau tetap pakai jilbab, uang sakunya akan distop dan tidak boleh melanjutkan kuliah lagi. Saya gatel banget pengen jawab pertanyaannya. Makanya saya beraniin diri maju ke depan dan menjawab pertanyaannya. Nggak disangka, saat bercerita tentang pertengkaran saya dengan ayah saya, saya menangis. Aduh... malu banget. Sampai nggak bisa ngelanjutin ucapan saya.
Tapi lihat, alhamdulillah, keesokan harinya, mahasiswi fakultas hukum itu langsung berjilbab dan dia ucap makasih banget karena saya udah memberinya kekuatan untuk hijrah.   

Kompromi Jilbab? Sebatas Apa?
Sebenarnya, jauh dari lubuk hati saya, saya kurang suka memakai gamis dan jilbab lebar. Nggak modis. Dari SMA, saya memang suka pakai baju yang modis-modis, mengikuti tren, gaul, gaya, dll. Saya suka pakai baju warna cerah, berenda-renda, bertali-tali, pokoknya girly abis, deh. Kadang-kadang saya suka aneh sendiri. Tomboi, tapi suka yang girly-girly. Aneh, kan?
Setelah jadi akhwat, otomatis saya harus membuang baju-baju itu. Pernah saya pakai gamis warna biru laut yang terang banget. Di kampus, habis deh saya jadi bahan sindiran para akhwat. Gitu juga pas pake jilbab warna pink. Saya dibilang akhwat yang nggak militan. Akhwat itu harusnya menjauhi pakaian berwarna cerah dan sebaliknya, akrab dengan pakaian berwarna gelap, tidak telalu banyak model, konvensional banget deh.
Ini sempat jadi beban pikiran saya. Saya merasa tidak sedang menjadi diri saya sendiri saat memakai gamis dan jilbab lebar berwarna gelap itu. Belum lagi gara-gara itu saya harus bertengkar dengan ayah saya.
Mengenai jilbab lebar, sebenarnya saya juga merasa terbebani. Kepala saya memang jadi pusing ketika memakai jilbab panjang. Mungkin karena didobel, jadi berat di kepala. Sudah begitu, setiap duduk, tuh jilbab pasti tertarik ke belakang karena terduduki yang jadinya malah acak-acakkan.
Trus, ditambah lagi saya merasa nggak enak karena dengan jilbab panjang itu orang-orang menganggap ilmu agama saya sudah tinggi. Padahal kalau ditanya ini-itu, saya masih gelagapan. Sering juga saya terpikir untuk lepas jilbab. Saya pikir-pikir, kok saya jadi nggak ikhlas ya. Saya selalu mengeluh. Kalau merasa terkekang begitu, berarti saya belum merdeka, dong. Berarti jilbab belum memerdekakan saya, dong. Tapi kalau dipendekin lagi, ntar saya dibilang sedang futur (lagi turun iman, tak semangat melakukan kebaikan, dll). Waah… buah simalakama, nih! Saya pun mencari literatur tentang bagaimana sih sebenarnya memakai jilbab itu. Dan saya mendapatkannya!
Ternyata, memakai jilbab itu yang penting menutupi dada, pakaian tidak ketat, tidak transparan, dan tidak menyerupai laki-laki. Jadi, memakai jilbab bukan berarti harus berpanjang-panjang ria sampai sepantat. Tentu yang ingin begitu, silakan saja. Tetapi yang memang tidak terbiasa seperti saya, tidak perlu dipaksakan. Yang penting pemakaian jilbab itu benar secara syariat. Islam itu mudah, lho.
Sejak itu, jilbab saya biasa-biasa saja. Tidak terlalu panjang, tapi tetap menutupi dada. Bajunya juga nggak transparan, nggak menyerupai laki-laki, dan nggak ketat. Soal baju, sampai hari ini saya masih suka pakai baju yang modis dan berwarna cerah. Gamis-gamis tetap saya pakai kalau lagi pengen praktisnya aja atau mau pergi mengaji. Setelah bekerja di Lingkar Pena Publishing, saya senang banget karena udah nemuin akhwat-akhwat yang satu selera dengan saya. Mbak Asma dan Mbak Nanik ternyata juga suka pake baju modis dan berwarna cerah. Pernah suatu hari kami barengan pake baju warna pink. Kompak abis....
Yang paling membuat saya senang adalah ayah saya sekarang sudah tidak terlalu banyak berkomentar mengenai jilbab dan pakaian saya. Mungkin karena melihat saya sudah tidak sekaku dulu lagi. Sebenarnya wajar saja ayah saya tidak suka saya berpakaian seperti itu. Takut saya nggak dapet jodoh karena sudah dikira ibu-ibu. Akhwat bergamis dan berjilbab lebar kan sering dipanggil “ibu-ibu”, padahal belum menikah. Saya salah satunya.
Saya sih tidak terpengaruh akan hal itu. Jodoh akan datang dengan sendirinya kalau sudah waktunya, kok. Malah kalau kita baik, jodoh kita pun akan baik. Itu sudah dijanjikan Allah dalam Al Quran. Tapi saya senang ayah saya sudah tidak marah-marah seperti dulu lagi, sehingga saya tidak khawatir telah berbuat durhaka. Dan tentunya, saya jadi lebih mudah mendakwahi keluarga.
Dakwah itu kan harus baik-baik. Kalau sama-sama keras, ya kagak sampe. Apalagi ayah saya itu kan keras banget. Debat sama beliau pasti kalah deh, meskipun kita yang benar. He-he. Jadi sekarang, peace aja deh, Yah...!  Demikianlah cerita tentang perjalanan saya memakai jilbab. Mudah-mudahan saya bisa istiqomah berjilbab karena kita tak pernah tahu apa yang terjadi besok. Bisa saja besok saya lepas jilbab… (kalau sedang di dalam rumah bersama suami, hihihi).

Rumah Cahaya, 16 Maret 2005.   
Dimuat di Antologi Gara-Gara Jilbabku (Lingkar Pena, 2006), bersama Asma Nadia, Dkk

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....