Sunday, July 10, 2011

Antologi: Miss Right Where R U?

NEXT YEAR, MAYBE
Leyla Imtichanah

Ini yang paling tidak saya inginkan kalau sedang berada di rumah:
Suara dering telepon!
Saya tidak mau mengangkat. Paling-paling untuk salah satu dari dua adik saya; Irma yang aktivis lembaga dakwah kampus (LDK), atau Tria yang punya banyak penggemar cowok. Karena sejak kuliah di Semarang, tidak ada lagi yang suka menelepon saya. Saya jadi malas mengangkat telepon. Kalau ada dering telepon, saya akan berteriak: “angkat, tuh!” dan kedua adik saya akan terbirit-birit mengangkat karena mereka tahu saya tidak akan mengangkat bahkan sampai suara dering telepon itu berhenti. (lumayan kejam, bukan?)
Tetapi sekarang, agaknya saya harus meninjau ulang kebijaksanaan tersebut. Sebab sejak saya kembali ke Jakarta, mulai  banyak  teman-teman yang menelepon. Saya tak keberatan kalau mereka teman-teman perempuan. Tapi kalau laki-laki? Oh, no...! Sebisa mungkin, saya yang mengangkat. Coz, sehabis menerima telepon dari teman laki-laki, saya pasti akan diinterviu seisi rumah!
“Siapa namanya?”
“Pekerjaannya apa?”
“Hubungan kalian sedekat apa?”
Dan saya akan menjawab sambil memasang wajah sangat meyakinkan, “dia cuma teman, kok. Teman penulis. Tadi telepon cuma nanya soal tulisan. Nggak ada hubungan apa-apa. Beneran, deh.”
Pertanyaan pun berhenti. Selanjutnya adalah, “Kalau sudah ada, langsung saja bawa ke sini. Kenalkan sama Ayah. Ayah sudah tidak sabar lihat kamu menikah,” kata Mama.
Saya pun melongo, dan baru menjawab beberapa menit kemudian. “Yah, nanti deh. Tahun depan. Insya Allah.”
“Tahun depan melulu.”
“Ya, kalau nggak tahun depan, tahun depannya lagi. Dua tahun lagi, tiga tahun lagi, dan seterusnya. Ela kan nggak tau kapan nikahnya.” Ngucapinnya dengan nada disabar-sabarin, padahal sih hati bagai teriris-iris, bo!
“Makanya cari, dong!” ini celetukan ayah saya.
Cari? Emangnya barang? Cari di mana? Kalaupun dapat, mau melamarkan duluan? ucap saya dalam hati.
Wawancara setiap habis menerima telepon dari laki-laki adalah duka pertama saya gara-gara masih men-jomblo. Duka kedua, simak percakapan berikut:
“Yah, Ela mau nerusin sekolah  ke S2,” kata saya sewaktu belum mendapatkan  pekerjaan.
“Tidak boleh!” jawab ayah saya, singkat dan tegas.
“Kenapa? Masa anaknya mau sekolah tinggi-tinggi nggak boleh?”
“Nanti saja kalau sudah nikah.”
Deg. Apa hubungannya nikah sama nerusin sekolah?
“Sekarang sekolah aja dulu, deh. Lagian kan nggak tahu kapan nikahnya.”
“Pokoknya tidak boleh. Kalau  kamu sekolah tinggi-tinggi, kamu akan lebih sulit dapat  jodoh. Kebanyakan laki-laki tidak mau pendidikan istrinya lebih tinggi. Ayah kan laki-laki, jadi Ayah tahu.”
Huh... lagi-lagi larinya ke sana. Susah memang jadi perempuan. Saat masih gadis, keputusan ada di tangan ayahnya. Saat sudah nikah, keputusan ada di  tangan suaminya. Belum tentu nanti suami saya mengizinkan sekolah lagi. Atau kalaupun mengizinkan, belum tentu saya bisa sekolah. Mungkin sudah tidak ada waktu karena habis buat ngurusin rumah tangga. Mungkin juga karena sudah kehilangan minat. Who knows?!
Pernah sih, saya sampai berdebat dalam hal ini dengan ayah saya.
“Lho, Yah, kalau Ela S2, ntar kan suami Ela juga S2,” kata saya.
“Setahu Ayah, laki-laki yang sudah S2 itu rata-rata sudah menikah. Kamu mau jadi istri kedua?”
Dug. Istri kedua? Wah... itu perlu dipikirkan masak-masak. Meskipun saya pernah setuju  banget dengan pengusaha ayam bakar yang beristri empat, saya tetap tidak yakin bisa seperti dia. Maksudnya bukan bersuami empat, tapi menjadi salah satu istri dari lelaki yang beristri lebih dari satu. Sekarang sih bisa ngomong; “sebagai muslimah taat, gue akan terima aturan itu.” Padahal sih, kalau benar-benar terjadi... nggak tahu, deh. Nggak mau sok pinter, ah.  
Akhirnya saya mengalah untuk tidak jadi meneruskan sekolah. Soalnya kan biaya ditanggung orang tua. Kalau orang tua tidak mengizinkan,  ya tidak bisa. Pengennya sih keukeuh melanjutkan sekolah setelah dapat kerja. Eh, begitu sudah dapat, tidak ada waktu lagi. Sekarang aja waktu kayaknya terbatas banget. Jadi mikir lagi. Kalau udah nikah, pasti lebih nggak ada waktu lagi.
Duka saya yang ketiga, berhubungan dengan kondisi batin saya sendiri. Maunya sih easy going, tapi kalau ada berita teman menikah, langsung deh kebat-kebit.
“Aduh... gue kebalap, nih! Gue keduluan lagi! Gue kapan, ya...?”
Ditambah lagi kalau ada teman yang sms, “aku lagi hamil dua bulan, nih. Kamu kapan? Lagi  ta’aruf, ya?” 
Lagi ta’aruf? Over estimate banget, sih....
Belum komentar adik-adik saya yang usianya nggak gitu jauh dengan saya.
“Mbak Ela, udah nikah aja. Ntar kubalap, lho,” ancam yang satu.
“Lagian sih pake pilih-pilih. Ngaca, dong! Ngaca!” kata yang satu lagi dengan bibir maju lima senti.
Untung ayah saya ngomong, “nggak ada  balap-balapan dalam keluarga ini!”
Kalau nggak dibantuin Ayah, saya pasti udah down. Tapi kemudian ayah saya  ngomong, “makanya cepetan kamu nikah.” 
Lama-lama saya stres mikirin nikah. Padahal kalau ditanya sudah siap menikah atau belum, jawabannya masih: abu-abu. Artinya, saya sendiri belum yakin benar mau menikah atau enggak. Target saya menikah usia dua lima. Sekarang usia saya masih jalan dua empat. Masih ada waktu setahun lagi, kan?
Tapi, sebagai muslimah yang sudah banyak mendapatkan materi agama, saya tahu bahwa urusan jodoh benar-benar rahasia Allah. Tidak ada yang tahu kapan saya menikah, apakah di atas dua lima, atau malah di bawahnya. Jadi, kalau ada kesempatan datang, saya berusaha menjalaninya. Beberapa kali saya menjalani proses ta’aruf, satu proses menuju pernikahan yang lebih terjaga daripada pacaran, dan beberapa kali pula gagal. Tentu dengan beberapa alasan. Pertama ta’aruf waktu masih skripsi. Mama yang mengenalkan. Seorang prajurit TNI AL yang sedang menjalani pelatihan di Surabaya. Memang tidak satu fikrah, tapi dia lulusan pesantren dan di TNI AL pun bekerja di bagian Bimbingan Mental (urusan ruhani). Saya berusaha menjalani proses itu. Cuma lewat telepon dan SMS. Kira-kira ada kali setahun. Salat Istikharah, dan entah kenapa merasa tidak mantap. Semakin hari semakin tidak mantap. Apalagi setelah dia bilang akan ditempatkan di Riau. Saya sendiri bingung. Tidak mantapnya memang benar-benar datang dari Allah, atau karena saya tidak mau dibawa ke Riau? Yang pasti, awal tahun 2004, proses ta’aruf  itu tidak berlanjut.
Dua minggu berselang, saya mendapat telepon dari akhwat di Semarang (waktu itu saya sudah  lulus dan kembali ke Jakarta). Saya diminta mengirim biodata dan foto. Mudah-mudahan rezeki Ela, kata akhwat itu. Berdebarlah hati saya. Ta’aruf lagi? Ya, sok atuh. Jalanin aja. Dua minggu berikutnya, saya dapat telepon dari guru mengaji ikhwannya. Ngajak ketemuan. Belum juga ditentukan waktunya, ikhwan dan guru mengajinya sudah datang ke rumah. Tiba-tiba. Tanpa pemberitahuan. Kebetulan saya tidak ada di rumah. Dikasih tahu lewat telepon oleh Mama. Saya bingung. Bertanya-tanya. Kok begitu? Memang begitu ya? Bukankah seharusnya saya menerima biodata dan foto ikhwan itu dulu? Tidak bisa begitu, dong. Masa cuma ikhwannya saja yang tahu siapa saya, sementara saya blank sama sekali. Kalau sudah begitu, feminisme saya keluar, deh. Kalau ikhwan bisa memilih dan menimbang-nimbang, akhwat juga dong. Ya nggak, sih...?
Akhirnya, saya teleponlah akhwat yang menjadi perantara saya itu dan dia juga terkejut. Seharusnya memang tidak begitu. Seharusnya saya menerima biodata dan foto ikhwan itu dulu, lalu salat Istikharah, kalau mantap dilanjutkan dengan pertemuan kedua belah pihak, lalu Istikharah lagi, kalau benar-benar mantap, baru khitbah.
Saya jadi nggak sreg. Apalagi di perjalanan memang banyak masalah yang timbul.  Entah saya menjadi tidak mantap setelah salat Istikharah, atau karena masalah-masalah itu. Yang pasti, ta’aruf itu juga putus begitu saja.
Hanya jeda tiga bulan saat ta’aruf ketiga. Kali ini seorang teman ikhwan yang menjadi perantara. Waktu itu dia bertanya (entah iseng, entah serius), saya mau suami yang seperti apa. Saya jawab saja (bercanda, tapi serius), kalau bisa sih dokter. Soalnya cita-cita saya memang bersuamikan dokter. Kalau bukan dokter, ya direkturlah. Kalau bukan lagi, ya minimal dosen. Soalnya tiga profesi itu selain memberikan kemapanan (bukan matre, cuma berpikir realistis aja, tapi emang sih saya agak matreJ), juga menjamin si pemiliknya orang yang cerdas. Kalau nggak cerdas, nggak mungkin bisa masuk kedokteran, atau jadi direktur, atau jadi dosen. Dan saya memang gampang jatuh hati dengan orang yang cerdas, tapi tetap low profile. But, cita-cita itu nggak mutlak. Kan cuma cita-cita. Saya lebih suka menyebutnya, mimpi. Soalnya kata Asy Syahid Imam Hasan Al Banna, mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari. Gitu!
Eh, ternyata teman saya itu serius. Dia menawarkan temannya yang akan menjadi dokter, satu tahun lagi. Lagi-lagi saya jalani proses itu. Dan saya benar-benar tidak tahu, sebenarnya ada apa dengan saya hingga proses itu pun terputus juga? Saya selalu dan selalu merasa tidak mantap usai salat Istikharah. Ini yang sampai sekarang menjadi pertanyaan saya; gimana sih cara mengetahui apakah kita mantap atau tidak setelah salat Istikharah? Tolong jawabannya dikirim ke alamat saya, ya?
Beberapa teman saya cukup bingung juga, mengapa saya yang termasuk ke dalam high quality jomblo (narsis banget, yah?!) ini belum juga menikah. Rupanya mereka terlalu over estimate terhadap saya. Dari sejak saya masih kuliah pun, mereka berpikir saya akan jadi angkatan pertama yang menikah (saking lakunya, gitu). Ternyata sampai mereka lebih dulu menikah, saya belum juga menikah. Akhirnya mereka berpikir bahwa saya pasti pilih-pilih, makanya ta’aruf gagal melulu. Padahal tidak, lho. Beberapa  bulan lalu, saya bahkan sudah memasrahkan segalanya kepada Allah. Saya pasrah disodorkan siapa saja oleh Allah jika itu memang yang terbaik untuk saya. Sebenarnya, sebelum-sebelumnya saya memang menetapkan standar tinggi (banget) untuk calon suami saya, tapi waktu itu tidak sama sekali. Berbagai perasaan tidak mantap yang hadir, berusaha saya tepis dengan harapan itu semua dari setan. Eh, dasar memang tidak jodoh, proses ta’aruf keempat itu yang sedianya ingin saya jadikan ta’aruf terakhir, gagal juga.   
Sebenarnya capek juga menjalani proses ta’aruf itu. Apalagi kalau gagal lagi-gagal lagi. Bete. Coz, pada saat ta’aruf ada berbagai jenis perasaan yang muncul. Harapan, was-was, tanda-tanya, dan sebagainya. Bayangkan kalau empat kali ta’aruf, berarti empat kali pula saya merasakan berbagai perasaan itu. Makanya sekarang saya hati-hati banget menerima tawaran ta’aruf dari orang-orang yang berbaik hati mencarikan saya jodoh. Ikhwannya bener, nggak? Serius, nggak? Kalo nggak gitu jelas, mendingan nggak usah aja, deh. Daripada pikiran penuh dengan berbagai perasaan itu, salat Istikharah bener-bener, eh ternyata ikhwannya cuma main-main.
Tapi meskipun selalu gagal, saya anggap saja proses ta’aruf itu sebagai proses seleksi. Saya juga mengevaluasi diri sendiri. Sebenarnya apa yang saya mau? Apakah saya benar-benar sudah siap menikah, atau masih menunggu sampai waktu yang saya tetapkan (dua lima)? Coz, saya tahu keragu-raguan saya selama inilah yang menjegal langkah saya untuk menikah. Masih banyak yang ingin saya selesaikan. Masih banyak yang ingin saya capai. Dan agaknya Allah mengerti, saya memang belum siap menikah.
Jadi, sekarang yang ada adalah pasrah; menyerahkan semuanya kepada Allah, ikhtiar; memperbaiki diri agar mendapat jodoh yang juga baik, dan berdoa; agar Allah memberikan pendamping yang salih, yang baik, yang sabar, yang dicintai Allah, yang mencintai Allah, dan yang bisa membimbing saya untuk selalu mencintai Allah. Meluruskan niat dan berusaha untuk rida menerima siapa pun yang dipilihkan Allah. Nanti kalau menurut Allah saya sudah siap menikah, pasti akan datang jugalah jodoh  itu. Kalau tidak datang-datang juga, berarti jodoh saya ada di akhirat. Kan setiap orang ada jodohnya masing-masing. Kalau tidak di dunia, ya di akhirat. Kehidupan ini tidak cuma sekali. Ada kehidupan lain yang menunggu kita nanti yang justru lebih kekal.
Baru-baru ini saya juga mendapat nasihat dari teman agar tidak terlalu memikirkan sesuatu yang sudah pasti akan terjadi, tapi tidak tahu kapan terjadinya. Sebab cuma akan buang-buang waktu dan membuat kita jadi tidak produktif. Benar juga, sih. Stres memikirkan pernikahan membuat mood menulis saya, turun. Padahal ada banyak proyek tulisan yang harus dikerjakan. Begitu juga dengan amanah dakwah saya di tempat lain. Semua terbengkalai. Emang sulit sih jadi jomblo. Apalagi kalau sudah mendengar desakan dari keluarga dan orang-orang terdekat. Tapi sekarang saya cuek aja. Seperti jawaban-jawaban saya kepada orang tua kalau sudah ditanya hal itu lagi,
“Yah, nanti deh. Tahun depan. Insya Allah.”
Meski tahu di hati mereka barangkali bergema juga komentar yang sama, seperti mama saya,
“Tahun depan melulu!”
***
Rumah Cahaya, 12 Juli 2005. 
Buat Mbak Nanik Susanti, salah satu penasihat spiritualku.
Dimuat di dalam buku antologi Miss Right Where R U? (Lingkar Pena, 2005), bersama Asma Nadia, dkk

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....