Friday, July 8, 2011

Cerpen: BIDADARI TELAH DATANG

BIDADARI TELAH DATANG
 BIDADARI TELAH DATANG

“Dengarlah…kicau burung-burung bernyanyi…menyambut mentari pagi…indah dan berseri!” suara Iwan yang sedang menyenandungkan Pagi Ramadhan-nya Snada di kamar mandi terdengar memekakkan telinga. Meski sudah berkali-kali dinasehati agar jangan  bernasyid di dalam kamar mandi, tetap saja ia membandel. Maklum, baru jadi ikhwan. Untung nasyidnya bukan shalawatan. Sementara itu, di sudut wisma Mujahid lainnya, Fikri dan Firman sedang mendiskusikan tentang Ekonomi Islam. Keduanya memang pengurus Kelompok Studi Ekonomi Islam di Fakultas Ekonomi Undip. Meskipun diskusinya hanya berdua, tapi kedengarannya seperti  10 orang atau lebih. Habis bicaranya saling berebut dan sama-sama keras. Bikin pusing!
“Woi! Woi! Ikhwan-ikhwan! Ane cabut dulu ya!!!” seru Imron, tiba-tiba yang melesat ke luar sambil meraih sepeda jengkinya. Ikhwan yang satu itu memang tergolong pede memarkirkan sepedanya di antara deretan sepeda motor keren (kadang jadi bahan tertawaan para akhwat dan non akhwat juga!) di kampus. Kalau kata Imron, sih, zuhud!
“Yah. Pergi sana!” suruh Fikri dan Firman berbarengan. Di tengah ramainya suasana pagi ini, telpon di meja berdering.
“Sebentar!!!” seru Dayat, kencang. Bikin tertawa siapa pun yang mendengar.
Assalamu’alaikum!” ucap Dayat dengan suara diwibawakan. Dipikirnya yang menelpon itu Nadia, ketua Annisa di Fakultas Hukum tempatnya bernaung. Soalnya dari tadi ia memang sedang menunggu telpon itu.
“Adriannya ada?” tanya si penelpon, perempuan tapi bukan Nadia. Suaranya membuat bulu kuduk Dayat merinding. Merdu, bow! Atau dimerdu-merdukan?
“Ad…rian?” Ia malah balik bertanya.
“Iya. Adriannya ada, Sayang?” tanya si penelpon. Dayat melotot mendengarnya. Serasa mau pingsan. Baru sekali ini ia dipanggil “sayang”!
“Ee…ini dari siapa ya?” tanyanya terbata-bata.
“Bilang saja dari Valeri,” jawab gadis itu, lembut. Dayat sibuk berpikir. Valeri? Gadis yang mana lagi, nih?!
“Adrian!!!” panggilnya, kencang. Ia kecewa tak jadi ditelpon Nadia. Adrian yang merasa namanya disebut segera menghampiri. Dayat menyerahkan gagang telpon kepadanya.
“Penggemar!” sungutnya. Adrian tersenyum malu-malu. Dayat mencibir. Sambil menyingkir, ia mencuri pandang ke arah Adrian. Adrian memang keren. Tinggi, berkulit putih dan tegap. Baru tiga bulan  lalu ditarik ikut Rohis dan dipaksa masuk wisma.  Selama di wisma, tak terhitung lagi telpon masuk dari gadis yang berbeda mencarinya. Adrian hanya tersenyum sambil minta maaf. Memang bukan kesalahannya menjadi idola para gadis. Sudah syukur ia tak menanggapi godaan para gadis itu.
“Gagal ngomong sama Nadia, ya?” goda Iwan yang baru keluar dari kamar mandi. Dayat melotot melihat penampilan Iwan yang sangar. Hanya berbalut handuk!
“Masuk sana!!!” teriaknya. Iwan lari terbirit-birit masuk kamar. Siapa yang sangka kalau Dayat di kampus terkenal lembut dan berwibawa!
“A...pa?!!!” teriak Adrian, tiba-tiba. Teriakannya mengalahkan teriakan-teriakan sebelumnya. Sampai-sampai Fikri dan Firman yang sedang berdebat pun menghentikan aktivitas mereka.
“Ada apa? Ada apa?” tanya keduanya, bareng sambil berlarian menghampiri Adrian. Mereka bersungut-sungut mendapati Adrian hanya tersenyum. Kirain kenapa!
“Nggak pa-pa kok, Akh!”
“Ye! Jangan teriak-teriak begitu dong! Malu kan kalau kedengeran wisma sebelah.” Fikri bersungut-sungut.
“Malu atau pengen? Nggak bakal kedengeran tau! Wisma sebelah itu sepuluh rumah dari sini!” seru Dayat. Fikri dan Firman cengar-cengir. Wisma yang dimaksud adalah wisma Bidadari, wisma akhwat.
“Ada apa sih, Dri? Buruan dong nelponnya! Ane juga lagi tunggu telpon nih! Penting!” omel Dayat. Adrian menghela napas.
“Iya, sebentar lagi juga selesai. Maaf! Maaf!” jawabnya, takut-takut. Dayat, Fikri dan Firman meninggalkan Adrian dengan kesal. Mengganggu saja! Adrian kembali meneruskan menerima telponnya. Wajahnya pucat dan suaranya terdenga rmemelas. Usai ia menutup telpon, telpon berdering lagi.
“Tuh, bidadarimu!” seru Iwan sambil menyemprotlkan parfum ketubuhnya. Ya ampun nih ikhwan dandy amat sih!!!
Assalamu’alaikum…oh…Nadia. Gimana rencana seminar itu? Pembicaranya sudah fix?” tanya Dayat, dan bla bla lagi. Kehidupan di wisma ikhwan dan setengah ikhwan ini terus berjalan.
***
Adrian terlihat murung. Kelihatannya ia murung sejak menerima telpon itu. Penasaran ya ia mendapat telpon dari siapa…? Ya, ia mendapat telpon dari valeri. Valeri. Tapi…siapa Valeri???
Subhanallah! Subhanallah! Maha Suci Allah yang tidak tidur ketika menciptakan makhluk itu!” kata Imron sepulangnya dari kampus.
Ente kenapa sih? Masuk rumah itu ngucap “Assalamu’alaikum”. Bukan Subhanallah!” cetus Fikri yang tidak ke kampus hari ini.
“Bidadari telah datang!” seru Imron, cepat. Karuan saja yang mendengarnya jadi heran.
“Bidadari apa?”
“Bidadari! Bidadari berkulit bening, berambut merah, dengan mata jeli! Subhanallah!!!”
“Heh! Ente tadi nggak ghodul bashar ya?!”
Afwan! Afwan! Astaghfirullah! Ane udah ghodul bashor, tapi bayangan itu terus menghantui. Padahal ane lihatnya sekilas!”
“Siapa sih?” Fikri penasaran.
“Makanya ente ke kampus dong! Ngerjain skripsi mulu sih! Bidadari telah datang. Baru kali ini ane ngeliat hawa secantik itu.” Ucapan Imron makin tidak benar.
“Sekarang ane ngerti kenapa Iman Syafii sampai kehilangan sebagian hafalannya setelah melihat betis wanita.” Fikri geleng-geleng kepala.
“Bukan cuma betis. Dasar Hawa! Kapan mereka bisa mengerti kalau mereka memiliki keindahan yang bisa membuat para cowok bergelimpangan?” Imron bersungut-sungut.
“Iya, Ron. Gue juga liat!” kata Iwan, tiba-tiba dengan logat Jakarta-nya yang kental. Ia juga baru pulang dari kampus.
“Lihat apa, sih?!” Fikri geregetan.
“Bidadari, Fik! Wah! Rugi deh nggak liat!” sahut Iwan.
Masya Allah!!!” seru Fikri, terkejut mendengar ucapan calon ikhwan yang satu itu. Iwan menutup mulutnya.
“Sorry! Eh, afwan!” sahutnya, cepat.
“Ceritain dong apa yang terjadi. Yang jelas gitu!” omel Fikri. Dan cerita itu pun mengalir. Tadi di kampus, para ikhwan dan para cowok dikejutkan dengan hadirnya seorang gadis yang berpenampilan seperti artis. Roknya satu jengkal di atas lutut, bajunya terbuka di bagian punggung. Dandanannya menor dan parfumnya tercium dari jarak 300 meter. Penampilannya? Subhanallah! Begitu kata para ikhwan yang tak sempat ghadul bashar. Seperti kata Imron tadi, seperti bidadari yang turun dari langit. Kulitnya putih bening, rambut dicat merah (atau memang merah?) dan matanya bulat indah. Ia bukan dosen baru, apalagi mahasiswa baru. Ia hanya terlihat mondar-mandir di kampus. Wah…siapa ya dia?
“Ck, ck, ck. Ane kok malah kasihan ya sama tuh akhwat.” Firman bergumam. Obrolan ini memang terus berlanjut sampai malam harinya.
“Kasihan kenapa?” semua bertanya-tanya. Kecuali Adrian yang tak ikut nimburung. Ikhwan yang satu itu masih mengurung diri di kamar.
“Dia sudah dilebihkan oleh Allah atas nikmat fisik, seharusnya ia mensyukuri nikmat itu dengan mentaati perintah Allah.”
“Menutup aurat?” tanya Iwan.
“Iya, lah!”
“Kalau bukan muslim?” Dayat bertanya.
“Yah seharusnya dia memakai pakaian yang sopan. Apa lagi ini masuk ke kampus. Kok tidak menghargai lingkungan intelektual.” Firman geleng-geleng kepala.
“Sudahlah. Tapi kalian bersyukur kan bisa melihatnya?” cibir Iwan.
Masya Allah!” seru semuanya, bareng. Iwan tutup mulut. Salah lagi dia!
“Bukankah bidadari surga itu lebih baik?” tanya Firman, bijak.
“Yap! Betul! Ini ujian buat kita! Bagaimana kita bisa tahan dengan bidadari dunia ini. Balasannya, bidadari surga,” kata Dayat, optimis. Iwan mencibir. Tadi pagi ribut soal Nadia? Bukannya Nadia juga  bidadari dunia?
“Itu artinya dakwah kita masih panjang. Pornografi ternyata tak hanya kita lihat di TV, tapi juga di sekitar kita. Makanya kita harus terus berjuang di jalan dakwah ini. Tolak pornografi!” seru Firman, semangat. Pornografi memang sedang menjadi momok bagi sebagian orang yang masih waras, sedangkan sebagian besar yang lain menikmati tanpa merasa berdosa.
Hei, Adrian mana?” tanya Firman, baru menyadari kalau kelompoknya ada yang kurang.
“Tau tuh! Ngurung diri di kamar aja!” jawab Iwan, cuek.
“Wah! Kalian gimana sih? Dia itukan baru di wisma kita. Harusnya diperhatikan dong! Apa lagi dia selalu mendapat godaaan!” kata Firman sambil berjalan menghampiri kamar Adrian. Godaan apa lagi kalau bukan dari para bidadari surga yang kerap mengejar-ngejar Adrian? Tak perduli Adrian sedang berproses menjadi ikhwan.
Adrian tertunduk. Ia malu menghadapi sorot mata Firman yang bijak. Firman mengusap-usap bahunya.
“Kalau ada masalah, tolong ceritakan pada kami,” pintanya, lembut. Adrian diam. Ia tak tahu harus mulai dari mana.
“Ada yang mengejar kamu lagi?” tanya Firman. Adrian menggeleng.
“Terus?”
“Mama saya mau datang,” jawab Adrian, hampir tak terdengar.
“Ma…ma?” Adrian mengangguk.
Subhanallah! Bagus itu! Kenapa ente jadi murung?” Firman tak mengerti. Adrian diam lagi. Memang harus sabar menghadapi anak ini!
“Bingung mencari penginapan? Titipkan saja di wisma Bidadari.” Adrian menggeleng.
“Saya malu.”
“Malu kenapa? Kok sama ibu sendiri malu? Beliau pasti sangat menridukan ente sampai bela-belain datang kesini. Padahal beliau single parents, kan?” tanya Firman. Adrina mengangguk. Orangtuanya memang sudah lama bercerai. Kini hanya ibunya yang mengasuhnya.
“Mamaku….”
TEEEEETTT!!!! Obrolan mereka terganggu dengan suara bel di luar.
Akh, Firman! There’s someone looking for you!” teriak Imron, cempreng. Firman meninggalkan Adrian menuju ruang tamu.
“Ada apa?” tanya Firman. Imron menunjuk keluar. Bayangan seorang akhwat membuat Firman menundukkan kepala.
Assalamua’alaikum!” ucap Nadia yang tinggal di wisma Bidadari.
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa ya, Ukh?” tanya Firman.
“Em…sebenarnya saya mencari Adrian,” jawab Nadia. Wajah Firman langsung merah. Ia berbalik ke belakang.
“Nyari Adrian juga!” omelnya, tertahan pada Imron. Imron dan yang lain tertawa-tawa. Firman memanggil Adrian. Adrian segera keluar menemui Nadia. Pintu yang sedikit terbuka menyebabkan yang di dalam bisa sedikit mendengar.
Afwan, akh. Ini Ummi antum tadi pagi seharian mencari antum, tapi antum nggak keampus. Beliau bingung mencari alamat antum…,” kalimat Nadia terpotong dengan teriakan orang di belakangnya yang tadi bersembunyi dalam kegelapan.
“Rian!!! Kamu gimana  sih?! Mama capek nyari alamat kamu! Kamu kok nggak jemput Mama siiih?” kata orang itu sambil memeluk Adrian, erat. Adrian kaget. Malu campur kaget. Semua ikhwan yang mendengar teriakan itu berhamburan keluar. Semua terkejut melihat bidadari surga yang jadi pembicaraan barusan memeluk Adrian. Kontras dengan Nadia yang berjilbab lebar.
“Halo!!! Teman-temannya Adrian, ya? Kenalkan saya Valeri. Mamanya Adrian!!” kata Bidadari itu dengan suara merdunya.
***

Dimuat di Annida No. 14/ XIII/ 16-30 April 2004

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....