Friday, July 8, 2011

Cerpen: JO

JO

Yosi berlari cepat menuju ruang B302, tempat kuliah Pengantar Manajemennya diadakan. Sudah liam belas menit yang lalu kuliah dimulai. Dasar mental ngaret! Walaupun kuliah dimulai pukul dua belas siang, tetap saja ia pasti telat. Yosi….
Yosi sebenarnya agak malas mengambil mata kuliah ini. Habis, perbaikan! Nilainya kemarin C. C, sodara-sodara! Padahal Pengantar Manajemen (Pengamen) katanya gampang. Gampang apaan? Buat seorang Yosi, mata kuliah hapalan adalah momok.
Yosi duduk di depan. Telat, sih! Pak Syaiful, dosen Pengamen telah datang. Untung doi pengertian. Asal telatnya nggak sejam aja! Ya sudah selesai dong kuliahnya!
“Yongki Kusuma!” Pak Syaiful mulai mengabsen. Inilah salah satu sebabnya Yosi bela-belain kuliah jam setengah tujuh pagi. Pak Syaiful Absen Minded, bo!
“Saya…, Pak….” Suara di belakangnya membuat Yosi terhenyak. Ia menoleh. Terkejut. Itukah Yongki?
“Kamu jarang masuk ya, Ki?” tanya Pak Sayiful. Yongki tersenyum genit. Yosi yang melihatnya melongo lagi.
“Panggil saya, Jo, Pak. Yach…saya maklum, lah. Bapak kan dosen baru. Jadi…agak-agak nggak ngerti, gitchu…!” kata Yongki membuat semua yang mendengarnya terpingkal-pingkal. Banci tulen? Dahi Yosi berkerut. Ada-ada saja!
Kuliah Pengamen telah usai. Pandangan Yosi tak mau beralih dari Yongki, eh, Jo. Ia tahu, ia akhwat jadi harus Ghodul Bashor. Soalnya, Jo kan laki-laki. Tapi seru juga memerhatikan “ikhwan” yang satu ini. Jalannya, gaya bicaranya, genit-genitnya, kedipan matanya, tak mencerminkan kalau ia laki-laki! Yosi tak habis pikir. Kok bisa ya di lingkungan intelektual begini ada makhluk yang persis sama dengan salah satu model klip grup band Naif yang terkenal itu?
***
“Oh itu, Yos. Iya, dia itu memang begitu. Dia seangkatan sama Mbak. Dia juga lagi skripsi. Makanya kamu nggak pernah melihatnya sebelumnya. Dulu waktu kita masih jadi mahasiswa baru, wih, hebohnya. Habis, ya begitu itu. Tapi meskipun begitu, dia rajin sholat, lho. Suka puasa sunah juga,” jelas Mbak Fina, senior Yosi di Undip, pas Yosi cerita tentang Yongki yang waria itu.
“Dia…bener-bener banci, Mbak?” Yosi masih tak percaya. Mbak Fina mengangguk.
“Memang berat mengatakan ini. Dia sendiri yang bilang.”
“Nggak cuma akting?”
“Tadinya temen-temen pikir begitu. Tapi beneran, kok.”
“Ya Allah. Jaman memang sudah gila. Bahkan di lingkungan intelektual begini…Mbak, buat apa dia sholat dan puasa? Bukannya ibadah itu hanya untuk orang yang…beneran laki-laki dan perempuan? Bukan gabungan keduanya.” Yosi tak habis pikir.
“Wallahu ‘alam, ya. Kita serahkan saja sama Allah.”
“Memangnya nggak ada tindakan dari Rohis?” Yosi menyelidik. Fina menghela napas.
“Ada. Kita udah berusaha menasehati dia, tapi dia selalu bilang bahwa apa yang dialaminya sekarang pun adalah karena takdir Allah.”
“Wah! Kalau gitu dia menyalahkan takdir dong! Paadahal kalau dia mau berusaha, pasti bisa deh. Yosi pernah denger ada waria yang akhirnya bisa menjadi laki-laki beneran. Malah dia sekarang udah nikah dan punya anak,” kata Yosi berapi-api. Fina tersenyum.
“Mbak juga pernah denger itu. Tapi semuanya memang tergantung pribadi orang tersebut,” gumamnya. Yosi manggut-manggut. Sebuah ide besar terancang di kepalanya.
“Hallow…!” teriakan Yongki menghentikan diskusi Yosi dan Fina. Wah, panjang umur Yongki! Baru diomongin, muncul. Yosi dan Fina termangu melihat Yongki dan teman perempuannya berpelukan dan cium pipi kiri kanan.
“Mbak…bagaimana pun kan mereka non muhrim…” Yosi tercekat. Fina pun hanya bisa nyengir.
“Yosi memang laki-laki, tapi dia kan selalu menganggap dirinya perempuan.”
“Memangnya dia benar-benar nggak ada hasrat sama perempuan?”
“Nggak. Katanya enggak sama sekali.” Fina menggeleng lemah. Yosi melongo. Ia benar-benar tak mengerti dunia yang satu ini.
“Ternyata benar kata guru biologiku dulu. Di dalam tubuh manusia ada dua sel, laki-laki dan perempuan. Sel yang lebih dominan itulah yang akan menentukan kepribadian manusia itu, laki-laki atau perempuan. Tetapi kasus seperti Yongki ini adalah pengecualian. Dia memang berfisik laki-laki, tapi sel yang dominan dalam dirinya adalah perempuan,” urainya.
“Pinter kamu.” Fina tersenyum.
“Pokoknya, hal yang seperti ini nggak boleh dibiarkan!” Yosi menguatkan tekad.
***
Kampus FE gempar. Sebuah artikel yang dipasang di mading Rohis seakan menyudutkan eksistensi banci eh waria. Semua mata tentu saja terpusat kepada Yongki karena dialah satu-satunya waria (yang kelihatan) di kampus FE ini. Yongki terkenal, Yosi juga. Jelas, dia kan yang menulis artikel itu.
“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempaun yang menyerupai laki-laki.” Begitu kalimat pembuka artikel tersebut yang dikutip dari sebuah hadis nabi.
“Seorang laki-laki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya tidak akan masuk surga. Bahkan mencium bau wanginya pun tidak.” Kalimat berikutnya semakin menohok. Apa lagi Yosi membumbuinya dengan kata-kata yang menambah panas.
“Sudah lupakah kita kepada kaum Nabi Luth yang homo dan lesbian? Yang laki-laki menyukai sesama laki-laki dan begitu juga yang perempuan. Allah menimpakan kepada mereka azab yang pedih karena mereka telah melampaui batas.” Begitu kata Yosi selanjutnya.
“Jika kita memiliki kecenderungan seperti itu sesungguhnya itu adalah ujian bagi Allah dan jalan untuk mencapai surgaNya. Jika kita bertahan dengan ujian itu serta tidak menyimpang dari ketentuan itu, maka Ia akan menganugerahi kita surga. Bukankah surga tidak kita dapat dengan cuma-cuma?”
Yongki tertegun membacanya. Seorang yuniornya, berani menasehatinya sedemikian rupa? Nggak tanggung-tanggung, langsung di depan umum! Kalau begini kan sama saja di depan umum karena isi artikel itu memang bikin heboh. Wajah Yongki merah padam. Baru kali ini ia merasakan malu. Biasanya ia selalu pede, seperti para waria yang tergabung dalam The Silver Boy itu. Tapi sekarang...?!
Ups! Yosi membuang wajah. Sejak artikel itu dimuat, entah kenapa ia selalu berpapasan dengan Jo, eh Yongki. Mereka sama-sama membuang muka. Untung Yosi nggak dituntut karena telah mencemarkan nama baik. Nama baik siapa yang dicemarkan? Ia tidak menyebut nama, kok!
“Wah, Mbak Fina nggak nyangka lho kamu bisa senekat itu, Yos! Padahal kita yang di Rohis udah patah arang.” Fina terkagum-kagum artikel yang ditulis Yosi. Yosi mesem-mesem.
“Dunia harus disadarkan, Mbak. Orang-orang berpikir bahwa waria juga punya hak asasi mengekspresikan diri. Ya, aku juga dukung asal itu sejalan dengan aturan Allah. Nyatanya, televisi menayangkan para waria yang berekspresi dengan menggunakan make-up wanita, pakaian wanita dan bertingkah seperti wanita. Semua seakan membenarkan perilaku para waria itu. Padahal, Allah murka!” seru Yosi. Fina tersenyum.
“Iya, Yos. Jaman memang sudah gila. Semoga kita bisa bertahan di jaman edan ini, ya? Jaman dimana yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar.”
“Iya, Mbak!”
“Hai, Jo!” teriakan seseorang membuat Yosi dan Fina barengan menoleh. Yosi melongo melihat gadis berjilbab yang mendatanginya itu. Dia kan….
“Jo! Nggak nyangka lu jadi begini sekarang!” seru Adel sambil memeluk Yosi yang tertegun. Berkali-kali ditatapnya Yosi yang anggun dengan jilbab lebar dan gamis biru mudanya.
“Adel? Bagaimana kamu bisa sampai di sini?” tanyanya, bingung. Jelas saja. Adel itu kan teman SMU-nya dulu di Jakarta yang sekarang kuliah di IPB!
“Payah luh, Jo! Masa’ elu nggak tau? Kita kan lagi ada studi banding di auditorium. Kesempatan, gue cari elu. Katanya kan elu di Ekonomi Undip. Sorry ya sebelumnya gue nggak ngasih tahu mau dateng. Niatnya emang mau bikin surprise. Subhanallah! Elu bener-bener berubah!” jerit Adel tertahan. Fina dan Yosi bertatapan.
“Jo?” tanya Fina tak mengerti. Setahunya, Jo adalah nama lain Yongki.
“Iya, Mbak. Dulu itu Yosi suka dipanggil “Jo”. Abis, dulu tuh Yosi tomboi banget. Rambutnya cepak, jalannya kayak ABRI, ngomongnya keras. Pokoknya kayak cowok banget deh! Saya aja sampai ketularan. Makanya tadi saya tuh bingung nyariin Jo eh, Yosi. Saya pikir dia bakalan pakai jeans belel dengan kalung preman di leher. Ternyata…pakai jilbab dan…gamis!”  jelas Adel membuat Yosi dan Fina saling bertatapan. Yosi melongo. Benarkah dulu dia seperti itu? Rasanya tak percaya.
***
Untuk banyak Jo di muka bumi ini: Bersabarlah dengan ketentuan Allah.
Dimuat di Annida No. 23 Th. XII 1-15 September 2003

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....