Sunday, July 24, 2011

Novel: Cinta Buat Chira (9)

9

Hari ini Cira bisa melihat awan yang berarak dengan wajah ceria. Hari ini juga ia bisa melihat birunya langit dengan kedua mata berbinar. Dan hari ini juga ia bisa berangkat ke sekolah tanpa perlu memegangi perutnya yang kesakitan. Soalnya…hari ini juga ia sudah sembuh dari penyakit perutnya itu!
“BEBAS!!!” teriak Cira, kencang.
“Heh, Ra! Lu kayak orang gila aja, sih? Tumben sekarang berangkat pagi?” tegur Putty yang tahu-tahu sudah ada di belakang Cira. Cira tersipu. Untung Putty yang ada di belakangnya. Coba kalau kepala sekolah. Bisa mokal dia.
“Gue udah sembuh, Put!” seru Cira, senang. Tapi tanggapan Putty biasa aja, tuh.
“Iya, gue tahu. Kalo belum, lu pasti belum masuk sekolah, kan?” katanya. Cira cemberut.
“Lu kok kayak nggak bahagia sih gue sembuh?” tanyanya, sebel.
“Gue bahagia. Selama lu pergi, cowok-cowok pada iseng nempatin bangku lu. Gue yang repot!” gerutu Putty.
“Ye! Dasar nggak peka! Mereka tuh bukannya iseng, tapi emang kesempatan ngedeketin elu!” sungut Cira. Putty tersenyum.
“Sayang, gue nggak tertarik tuh dengan satu pun dari mereka. Eh, gimana perasaan lu setelah libur dua hari?” tanyanya sambil memasukkan tasnya ke dalam laci. Cira tersenyum.
“Ada enaknya, ada nggak enaknya. Enaknya, gue bisa nonton acara infotainment nggak lewat sedetik pun! Nggak enaknya, gue jadi nggak bisa ngeliat….” Omongan Cira terhenti saat yang mau diomongin lewat.
Assalamu’alaikum, Cira, Putty.” Sapa Farhan, ramah. Putty tersenyum.
Wa’alaikumsalam.” Jawabnya. Cira ikut-ikutan menjawab.
“Bagaimana, Cira? Kamu sudah baikan, kan?” tanya Farhan. Cira mengangguk cepat. Ia baaru sadar kalau Farhan nggak mungkin lihat anggukannya itu karena hobi menunduknya itu.
“Eh, iya. Gue udah sembuh kok.” Katanya, cepat.
Alhamdulillah. Kalau gitu kalian bisa kan ikut kajian Rohis lagi besok Ahad.” Kata Farhan.
“Oh iya! Iya! Gue sih pasti. Tapi nggak tau nih Cira!” seru Putty. Cira melotot ke arah Putty.
“Gue juga kok!” serunya, cepat. Farhan tersenyum.
“Ya sudah. Saya ke tempat duduk  saya dulu, ya.” Katanya sambil pergi. Putty menahan tawa melihat wajah Cira yang merah.
“Elu tuh! Bukannya elu yang kemaren bete dan nggak mau datang kajian lagi?” tanya Cira, sebal. Putty menghentikan tawanya.
“Itu kan waktu gue belum ketemu sama ketua Rohisnya.” Jawabnya. Kening Cira berkerut. Melihat ekspresi wajah Cira, Putty langsung meralat ucapannya.
“Eh, maksudnya, setelah gue ketemu ketua Rohis, gue jadi sadar kalau kajian itu penting. Soalnya doi nasehatin gue tentang itu.” Katanya. Cira manggut-manggut. 
“Oh…gitu. Eh, ketua Rohis kita kan ganteng ya, Put?” Cira mengerjapkan mata. Putty melotot.
“Lu naksir dia, ya?!” tanyanya, marah. Cira terkejut mendengarnya.
“Elu kok marah gitu sih, Put. Jangan-jangan malah elu yang naksir.”  Katanya, pelan. Putty melotot.
“Enggak! Cuma….”
“Cuma apa?” tanya Cira sambil menyikut lengan Putty.
“Lu kenapa sih, Ra? Gue kasih tahu, ya. Kak Adrian itu setipe sama Farhan. Gue kan nggak suka sama cowok kayak gitu. Suka ceramah!” seru Putty sambil berlalu meninggalkan Cira. Kening Cira berkerut. Suka ceramah? Emangnya kenapa? Dulu sih emang dia risih sama Farhan yang suka ceramah, tapi lama-lama asyik juga ngomong sama dia. Jadi ada orang yang nasehatin kalau dia berbuat salah, gitu! Makanya, cari teman yang kayak gitu!
***
“Jadi, ikhwah fillah. Pembentukan kelompok mengaji itu penting agar selain ikatan hati di antara kita jadi lebih erat, kita juga lebih mudah dalam menyampaikan materi karena langsung mengenai sasaran.” Jelas Adrian mengenai tujuannya membentuk kelompok mentoring. Cira menatap Putty yang terlihat serius mendengarkan uraian Adrian barusan.
“Put! Put!” bisiknya sambil menyikut lengan Putty.
“Ssst….” Putty menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Cira merengut.
“Put, emangnya elu paham sama yang diomongin kak Adrian barusan?” tanyanya.
“Ssst….” Lagi-lagi Putty menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Cira jadi sebal melihatnya.
“Baiklah, ikhwah fillah. Saya rasa cukup sekian yang dapat saya sampaikan. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Adrian menutup uraiannya.
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!” jawab semua. Cira mendengar suara Putty yang paling keras saat menjawab salam.
“Ayo, adik-adik. Kita kumpul.” Kata Naila. Semua berkumpul melingkarinya.
“Seperti yang tadi dikatakan kak Adrian, kita akan membentuk kelompok mentoring. Nah, karena akhwat pembimbingnya hanya ada tiga, jadi kita akan membentuk tiga kelompok. Dan karena jumlah akhwat yuniornya ada enam belas, jadi satu kelompok minimal lima orang. Setuju?” tanya Naila.
“SETUJU!!!” jawab para akhwat, ramai.
“Ssst…jangan kencang-kencang, kan malu kedengeran ikhwan.” Naila menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Ia dan dua temannya geleng-geleng kepala melihat tingkah adik-adik kelasnya.
Alhamdulillah, ya. Tahun ini jumlah akhwat yang ikut Rohis meningkat. Dulu tuh cuma ada sepuluh, trus pada mengundurkan diri, jadi tinggal kita bertiga ini.” Jelas Naila. Semua manggut-manggut.
“Emang kenapa, Kak? Kok pada mengundurkan diri?” tanya Putty. Naila tersenyum.
“Yah, alasannya macam-macam.” Jawabnya.
“Mungkin karena ikut Rohis itu banyak konsekuensinya?” tanya Dira.
“Iya, Kak. Emang bener kalo ikut Rohis itu harus pakai jilbab?” tanya Farah disertai anggukan teman-temannya. Cira langsung menunduk. Jadi nggak enak, nih. Nggak pakai jilbab. Naila tersenyum mendengarnya.
“Silahkan kakak-kakak yang lain ada yang mau menjawab, nggak?” tanyanya pada Alia dan Hana, dua akhwat senior lainnya.
“Memang sih menjadi anak Rohis itu banyak tuntutannya. Orang-orang menuntut kita untuk jadi lebih alim, lebih baik dalam bersikap dan lebih mentaati aturan agama setelah kita ikut Rohis. Tapi itu semua proses, tidak bisa langsung jadi dalam sekejap. Nanti kalau kalian sudah sering ikut Rohis, sudah sering ikut kajian dan sudah lebih paham dengan aturan agama kalian, maka kalian akan mengikuti aturan-aturan itu tanpa ada rasa terpaksa. Kalian akan mengikutinya karena kesadaran diri kalian akan perintah agama semakin besar. Tidak mungkin kan orang akan mengikuti sebuah perintah kalau tidak tahu bahwa itu diperintahkan. Termasuk juga memakai jilbab.” Jelas Alia. Semua manggut-manggut mendengarnya.
“Jadi…nggak harus memakai jilbab?” tanya Farah. Semua akhwat senior tersenyum.
“Semua akan berproses dengan sendirinya. Kalau kalian masih berat memakainya, ya tidak apa-apa.” Jawab Hana.
“Pokoknya, ikut aja Rohis dulu. Insya Allah organisasi ini juga menyenangkan seperti yang lain.” Janji Naila. Semua tersenyum mendengarnya. Cira menyikut Putty yang pandangannya ngelantur ke mana-mana.
“Put, lu kok ngeliat ke luar mulu, sih?” bisiknya. Putty melengos.
“Iya, nih. Gue udah bete di dalam sini.” Jawabnya, ketus. Cira geleng-geleng kepala mendengarnya.
“Baiklah, adik-adik. Sekarang saya akan membacakan pembagian kelompoknya, ya. Tadi kan Kak Alia sudah membagi-bagi kelompoknya. Kelompok satu bersama kak Alia antara lain….” Naila mulai membacakan nama-nama kelompoknya.
“Put, elu jangan gitu, dong. Kemarin kan elu yang antusias pengen ikut.” Bisik Cira.
“Iya, tapi gue males kalo cuma bareng-bareng sama yang cewek. Gue maunya juga bareng-bareng sama yang cowok.” Kata Putty.
“Ih! Dasar! Jangan-jangan bener elu naksir anak Rohis. Hayo, siapa?” desak Cira.
“Hus! Dengerin, tuh!” seru Putty. Cira melengos. Dasar, Putty!
“Putty, Cira, Dira, Farah dan Lina, kalian berlima sama kak Naila, ya.” Kata Naila sambil tersenyum. Cira tersenyum mendengarnya. Sama mbak Naila? Asyik! Berarti dia bisa semakin dekat sama kakaknya Farhan ini. Cihui!
 “Baiklah. Sekarang kita berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Ayo yang termasuk dalam kelompok Kakak, kumpul di pojok.” Kata Naila. Cira dan kawan-kawan mengikuti Naila ke tempat yang ditunjuk.
“Ra, ngapain lagi, sih? Gue udah bete, nih.” Gerutu Putty. Cira menggeleng.
“Lu mau pulang ya, Put?” tanyanya.
“Iya, lah. Lama bener!” keluh Putty.
“Sebentar kok, adik-adik. Kita cuma mau nentuin jadwal kapan kita kumpul lagi.” Naila tersenyum manis kepada Putty dan Cira. Cira menyikut Putty.
“Dasar nggak malu!” serunya. Putty cemberut.
“Biarin!”
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Kata Naila, sebelum memulai kajian.
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”
“Baiklah, adik-adik. Karena di antara kalian mungkin ada yang sudah capek, acaranya kita percepat aja, ya. Seperti yang sudah dijelaskan oleh kak Adrian tadi,  kita membentuk kelompok mentoring supaya materi yang diberikan bisa lebih dimengerti. Soalnya kan kalau kelompoknya cuma sedikit, penyampaian materi bisa lebih mudah. Selain itu supaya kita semua bisa berbagi. Jadi kalau ada masalah bisa kita bicarakan bareng-bareng. Kita cari solusinya. Kalau kita sudah saling berbagi satu sama lain kan kita bisa lebih dekat.” Jelas Naila. Semua manggut-manggut mendengarnya.
“Kita nggak usah kenalan lagi, ya? Ahad kemarin kan kita sudah saling mengenal.” Tanya Naila.
“Nggak usah!!!” jawab Putty, kencang. Semua menatapnya. Putty tersenyum. “Em…soalnya saya udah ccapek nih, Kak. Kan kita udah dari tadi pagi.” Katanya, beralasan. Naila mengangguk.
“Yah…memang. Karena itu sekarang kita cepat saja ya menentukan kapan kita ketemu lagi. Silahkan adik-adik yang menentukan, kapan bisanya.” Katanya, menyilahkan. Semua bertatapan satu sama lain.
“Hari Ahad aja lagi, Kak.” Usul Dira.
“Apa nggak capek? Ntar habis kajian bareng-bereng, kalian capek lagi ikut mentoring.” Tanya Naila.
 “Udah dong, buruan. Jangan hari Minggu. Saya  capek.” Kata Putty, tak sabar. Naila tersenyum. Menghadap binaan seperti Putty ia sudah biasa.
“Kakak usul, gimana kalau sepulang sekolah saja sehabis sholat Dzuhur. Mentoringnya nggak lama, kok. Paling cuma satu setengah jam.” Katanya. Semua bertatapan.
“Boleh deh, Kak.” Kata mereka, bareng.
“Ya sudah. Hari apa?” tanya Naila. Semua berembug satu sama lain.
“Senin.” Farah usul.
“Nggak bisa. Paginya kan upacara. Capek.” Lina tak setuju.
“Gimana kalau Kamis?” tanya Dira.
“Saya ada les.” Keluh Farah.
“Wah…kapan, ya?” Dira garuk-garuk kepala. Cira menyikut lengan Putty.
“Lu maunya hari apa, Put?” tanyanya, berbisik.
“Terserah deh.” Jawab Putty, malas.
“Hari Jum’at aja. Kan pulangnya cepet.” Usul Lina. Semua bertatapan. Selanjutnya mereka mengangguk setuju.
Alhamdulillah. Kalau begitu, insya Allah kita ketemu lagi hari Jum’at depan setelah pulang sekolah. Baiklah adik-adik, karena kita sudah berhasil menentukan harinya, kita tutup sekarang, ya?” tanya Naila.
“Ya!!!” seru Putty, kencang. Semua menatapnya, lalu geleng-geleng kepala. Cira jadi ikutan malu. Naila tersenyum.
Alhaqqu mirrabbik falatakunanna minal mumtarin. Kebenaran itu datangnya dari Allah dan janganlah kita menjadi orang-orang yang ragu. Amiin. Ini doa kafaratul majelis. Tolong dicatat. Minggu depan akan kita baca bareng-bareng setelah mentoring selesai, ya.” Katanya sambil menyerahkan selembar kertas kepada Farah.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”
***
“Phiuh…! Gila, Ra. Gue tersiksa banget tadi.” Gerutu Putty sambil berjalan menuju tempat parkir. Cira geleng-geleng kepala.
“Gue heran sama elu, Put. Padahal kan elu yang antusias pengen ikut kajian.”
“Iya. Kajian. Bukan…apa tadi namanya ya?”
“Mentoring.”
“Iya, mentoring. Ngapain sih pake ditambahin mentoring segala. Gue kan capek.” Gerutu Putty.
“Trus, elu nggak mau dateng lagi besok Jum’at?” tanya Cira. Putty angkat bahu.
“Nggak tahu deh.”
“Ya…Putty. Lu jangan gitu. Kan dulu elu yang nyuruh gue ikut, masa’ sekarang elu malas?”
“Yah, elu kalau mau ikut, ikut aja. Kan ada kak Naila. Elu bisa sekalian pedekate. Lu jangan sampe bolos tuh mentoring. Entar lu nggak dapet si Farhan, lho.” Kata Putty, enteng. Cira cemberut.
“Gue rasa…elu niatnya juga kagak bener deh, Put.” Katanya. Putty melotot.
“Apa maksud elu?”
“Yah…kalo emang elu serius pengen ikut Rohis, mustinya lu ikut semua kegiatannya.” Kata Cira, menyindir. Putty manyun.
“Gue mau ikut, tapi kegiatannya jangan ngaji terus, dong. Bosen!”
“Terus apa? Namanya juga Rohis. RO…HIS. Paling isinya ya pengajian.”
“Ah, nggak juga kalau orang-orangnya kreatif.” Sungut Putty. Cira angkat bahu.
“Terserah lu deh. Eh, itu mbak Naila. Gue bareng sama dia aja, ya.” Katanya, Putty cemberut.
“Ya udah sana. Gue juga untung nggak usah nganterin elu!” sungutnya. Cira tersenyum sebelum meninggalkan Putty.
“Gue nggak yakin elu bisa ngedapetin Farhan.” Gumam Putty, dalam hati.
***
Klik di sini untuk baca kelanjutannya ya...

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....