Sunday, July 24, 2011

Novel: TRUE LOVE (4)

EMPAT


Arya berlari kencang menuju kelasnya. Ia harus bertemu Hara detik ini juga sebelum jarum jam menunjukkan pukul tujuh tepat. Sudah menjadi kebiasannya kalau ada kesulitan PR dia akan mencari Hara. Begitu juga teman-teman sekelasnya.  Namun yang dicari-cari tidak ada.
“Hari ini Hara nggak masuk. Dia sakit!” sahut Dita yang ikut panik mengetahui Arya belum menyelesaikan PR-nya juga.
“Sakit?!!” Arya terkejut bukan main.
Dita mengangguk. “Semalam dia meneleponku. Katanya dia nggak bisa masuk hari ini karena sakit. Pasti ini gara-gara Ariel. Kemarin Ariel mendorongnya sampai terjungkal!”
“Ariel! Kurang ajar dia!” Arya bergegas berjalan ke arah Ariel dengan muka merah padam. “Ariel! Lu memang pengecut! Beraninya sama cewek!” Arya mencengkeram kerah baju Ariel.
Ariel tak mengerti kenapa Arya tiba-tiba datang dan memarahinya. “Ada apa, Ya?”
“Ada apa! Lu kan yang bikin Hara sakit?!” Arya menonjok wajah Ariel sampai terjungkal.
“Gila lu, Ya! Lu kemasukan setan, ya?!” Ariel mulai marah.
Lu tuh yang kemasukan setan!”
Perkelahian tak dapat dielakkan. Keduanya sama-sama babak belur karena tak dapat menahan ego masing-masing.
“Assalamu’alaikum,” sapa Hara saat memasuki kelas.
Dita jelas saja terkejut melihatnya. “Hara…kamu….”
Di belakangnya, Arya memasuki kelas dengan wajah lebam. Hara bengong melihatnya, begitu juga Arya.
“Kamu?”
“Kamu kenapa, Ya? Habis berantem, ya?” tanya Hara, lugu.
“Katanya kamu sakit?” Arya balik bertanya.
“Enggak, kok. Aku baik-baik aja.”
“Katanya kamu nggak masuk?”
“Iya. Rencananya begitu. PR fisika kan susah banget. Aku takut disuruh maju ke depan lagi. Aku sudah minta bantuan kakakku, tapi dia nggak mau. Kutelepon Dita dan bilang kalau hari ini nggak masuk karena sakit. Sebenarnya sih enggak. Eh, ternyata kakakku mau mengajariku. Jadi, aku masuk, deh!”
“Jadi...cuma karena itu kamu mau nggak masuk?” 
Hara mengangguk. Arya menggigit bibirnya geram. Ditinggalkannya Hara yang tertegun kebingungan.
“Arya kenapa sih?” 
“Kamu sih…. Dia itu ngebelain kamu. Dipikirnya kamu sakit gara-gara Ariel, makanya dia langsung mencari Ariel, dan….”
“Jadi, dia habis berantem sama Ariel?!” potong Hara, cepat. Dita mengangguk. “Kalau gitu, aku harus….”
Nggak usah. Biar aku aja yang cari dia. Dia harus diobati!” Dita berlari meninggalkan Hara yang termangu. Arya….
***
Setelah Arya melarikan diri tadi pagi, satu hari itu Hara tak bertemu dengannya. Hara jadi tak enak. Ternyata gara-gara dia Arya berkelahi dengan Ariel. Kenapa ya Arya sangat peduli padanya?
“Arya dan Ariel diskors dua hari untuk memikirkan kesalahan mereka, Ra,” kata Dita sepulang sekolah.
Hara terkejut mendengarnya. “Kasihan, dong!”
“Iya. Padahal ini cuma karena salah paham. Baik banget ya dia? Perhatian banget sama kamu. Pas denger kamu sakit gara-gara Ariel, dia langsung mencari Ariel dan mengajarnya. Enak punya sepupu kayak dia, tapi lebih enak lagi kalau jadi pacar!”
“Ye! Dita! Arya lagi menderita juga.”
“Maaf, deh…. Eh, kita ke rumah Arya sekarang, yuk!” 
“Sekarang?”
“Iya. Kapan lagi? Dia butuh dukungan kita!”
“Aku nggak bisa,” geleng Hara. “Kakakku pasti marah-marah kalau tahu aku pulang terlambat.”
“Ih, kakakmu proteksionis banget, sih. Lagian emangnya dia nggak punya kerjaan apa? Kok, ngawasin kamu terus?”
“Dia kan  ke kampusnya cuma kalau mau bimbingan aja. Dulu, sih waktu belum skripsi, dia sibuk di organisasi, tapi sekarang dia fokus ke skripsi. Makanya dia jadi punya banyak waktu buat ngawasin aku.”
“Wah, nggak enak ya punya kakak seperti itu?”
Enggak juga. Buktinya dia bantuin aku ngerjain PR. Aku kan adik satu-satunya, jadi dia merasa harus menjagaku.”
“Ya udah, deh. Jadi bener, kamu nggak mau ke rumah Arya?” 
Hara menggeleng. “Aku minta maaf aja sama dia. Gara-gara aku, dia jadi begini. Ntar kalau dia udah masuk aja baru aku nemuin dia, ya?”
“Ya udah deh. Lagian kalau ada kamu, ganggu. Aku kan lagi cari perhatian dia.”
***
Arya menghela napas melihat Dita yang hanya datang sendiri ke rumahnya. Padahal bukan Dita yang ia harapkan. Ia mengharapkan Hara yang datang. Nyatanya? Hara seperti tak memedulikannya. Padahal karena Hara ia jadi begini.
“Temanmu itu benar-benar nggak berperasaan, ya? Semua ini kan gara-gara dia,” gerutunya.
“Hara bilang sama aku kalau dia nggak bisa ke mana-mana sepulang sekolah.”
“Oh ya?”
“Hara bilang dia akan minta maaf sama kamu besok.”
“Minta maaf?”
“Iya. Gara-gara dia kamu jadi begini.”
“Oh….” Arya mendengus. “Besok? Besok kan aku masih diskors.”
“Maksudnya kalau kamu udah masuk lagi.”
Arya memalingkan wajah. Besok kalau aku sudah masuk sekolah lagi. Manisnya….
***
Cinta sama dengan derita. Untuk sementara begitulah kesimpulanku tentang cinta. Hara adalah gadis lugu yang buta. Atau dia memang bodoh? Perlu berapa derita lagi yang harus kujalani untuk mengatakan padanya bahwa aku mencintainya? Aku mencintaimu, Hara. Datanglah padaku. Paling tidak, izinkan aku mendengar suaramu malam ini.
Arya sungguh berharap hari ini Hara datang padanya dan menyatakan simpatinya.
Hara tak bisa berkonsentrasi menghapalkan buku biologinya. Besok ulangan Biologi, tapi tak satu pun materi yang masuk ke otaknya. Ia gelisah. Hanya ada satu yang membuatnya gelisah: Arya. Arya. Kasihan dia. Besok ulangan Biologi dan Arya tak bisa ikut. Semua ini gara-gara dia. Tapi kan semua ini tidak mutlak kesalahannya. Ia bahkan tak tahu apa-apa. Ditutupnya buku Biologi dan  dilangkahkan kakinya ke ruang tamu. Ia harus menelepon Arya. Harus.
Wa’alaikumsalam. Sebentar ya. Tante panggilkan Arya dulu,” kata Ibu Arya setelah menerima telepon dari Hara. “Arya…ada telpon dari Hara,”
Arya terkejut mendengarnya. Hara?! Ia tak percaya. “Ayo, mau diterima atau tidak? Kasihan dia sudah menunggu lama.”
Tanpa sempat mengangguk, Arya segera melesat menuju ke ruang tamu. Ibunya hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
“Halo!” seru Arya, cepat. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Ada apa, Ra?”
Enggak. Cuma mau tahu kabarmu aja. Gimana luka-lukamu? Udah sembuh?”
Udah.”
“Oh iya? Cepat sekali? Padahal kan kamu tadi babak belur.”
“Iya. Tadi juga belum sembuh, tapi setelah menerima telpon darimu, aku langsung sembuh.”
“Oh ya?” kening Hara berkerut. Memangnya aku dokter? “Maafkan aku ya, Ya.”
“Untuk apa?”
“Karena aku sama sekali tidak berterima kasih sewaktu kamu membelaku.”
“Ah, tidak apa-apa.”
Bener nggak pa-pa? Tapi kamu kan jadi kena skors.”
Enggak, nggak pa-pa. Ariel itu memang keterlaluan.”
“Iya, tapi kamu juga keterlaluan. Masa cuma segitu aja kalian sampai harus berkelahi?”
“Lho, kamu ini gimana sih, Ra? Aku kan belain kamu!” 
“Eh, maaf, Ya. Aku cuma ingin besok-besok kamu mikir dulu kalau mau melakukan sesuatu. Oke, Ya?”
“Iya, deh. Aku emang cepat emosi.”
Yah, itu wajar. Tapi kata kakakku, orang yang menang adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya.”
Oke, deh….” Arya manggut-manggut.
 “Maaf ya, Ya. Aku udah dulu. Assalamu’alaikum.” Hara menutup telepon.
 Arya merasakan jiwanya hilang seketika saat telepon itu terputus. Dia diam untuk waktu yang agak lama sampai ibunya menyadarkannya.
 “Nelpon siapa, Ra?” Hamidah bertanya saat Hara baru saja akan masuk ke kamarnya.
Hara melengos. Pasti mau menginterogasi lagi. Lama-lama ia tertekan, hidup dengan kakaknya yang selalu mau tahu ini.
Temen,” jawabnya, singkat.
Cowok?”
Emangnya kenapa kalau Hara punya temen cowok?” 
“Ya, nggak pa-pa. Asal kamu tahu batasannya. Bukan pacarmu, kan?”
“Kakak nggak usah khawatir. Cuma temen aja, kok.”
Hamidah menatap wajah adiknya yang masih lugu itu. “Kamu nggak bohong kan, Ra?”
Ck! Enggak! Ngapain sih aku bohong? Bohong kan dosa!”
“Baguslah kalau kamu tahu. Berbohong itu salah satu ciri orang munafik. Dan orang munafik itu lebih buruk daripada orang kafir.”
Hara menelan ludah. Aduh...! Padahal ia sering sekali berbohong. Terutama pada Dita.
 “Ra, kamu tahu nggak apa itu cinta?”
“Cinta?”
“Iya. Kamu pernah jatuh cinta, nggak?”
Hara angkat bahu. “Memangnya...jatuh cinta itu gimana?” 
“Kalau kamu jatuh cinta, kamu akan merasa ingin selalu berdekatan dengan orang yang kamu cintai itu. Kalau kamu berjauhan dengannya, kamu akan merasa kangen dan tersiksa dengan rasa kangenmu itu.”
Kayaknya...Hara belum pernah ngerasain hal itu, deh.”
“Belum, Ra?!” Hamidah terbelalak.
Kayaknya sih begitu.”
“Bagus, deh. Kalau kamu udah merasakan hal itu, kamu akan merasa tersiksa. Soalnya, kamu kan nggak mungkin berduaan terus sama orang yang kamu cintai. Kamu kan belum siap untuk menikah, sedangkan berduaan terus dengan lelaki yang kamu cintai cuma boleh kalau sudah menikah. Kalau kamu tersiksa, kamu akan sulit konsentrasi belajar atau melakukan kegiatan lainnya. Akhirnya, kamu sendiri kan yang rugi.”
“Jadi,  itu alasannya Hara nggak boleh pacaran?”
Pinter! Selain juga karena Allah melarang.”
“Iya deh, Kak. Hara ngerti. Udah ya, Kak. Hara mau nerusin belajarnya.” Hara masuk ke kamar.
Malam ini Hara dan Arya saling memikirkan. Arya senang doanya terkabul, sedangkan Hara merasakan ada yang lain di hatinya. Ya Allah! Ia tak mau yang lain itu. Akan sulit jalannya mencintai Arya. Dita, sahabat dekatnya juga menyukai Arya dan Hamidah, kakaknya juga tidak akan memperbolehkannya pacaran. Hara menghela napas lagi.
Cinta sama dengan derita
Cinta datang hanya untuk membuat hati menangis
Kenapa ada cinta jika tak berakhir bahagia?
Enyahlah, cinta
Aku tak membutuhkanmu
***

Bersambung....
klik di sini untuk baca lanjutannya yaa

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....