Sunday, July 17, 2011

Novel: TRUE LOVE (3)

TIGA


“Hara! Hara!” Dita melambaikan tangan saat wajah Hara muncul dari balik pintu kelas.  “Kamu pasti udah ngerjain PR, kan? Kamu kan jago.” 
Hara geleng-geleng kepala. “Dita…Dita. Bener, deh, kata Arya. Kamu tuh nggak pernah usaha.”
“Ye! Aku kan emang nggak bisa pelajaran hitung-hitungan.”
Nggak bisa, bukan berarti nggak akan pernah bisa. Aku mau ngajarin kamu.”
“Ya deh. Tapi besok. Sekarang, aku nyontek dulu, ya…?”
“Sekali ini aja, ya?”
“Kamu kayak Arya aja, sih! Oh ya, kamu udah mulai pendekatan ke Arya, belum?”
Hara gagap. “Ee…aku ke toilet ya. Dari tadi nggak nahan!” katanya, buru-buru meninggalkan Dita yang mendengus kesal.
“Wah, Ariel! Kamu ngerjain PR?!” suara di belakang membuat Dita menoleh. Terlihat di sana Ariel sedang memamerkan PR-nya. Dita melengos. Entah malaikat mana yang masuk ke dalam diri Ariel sampai cowok itu berubah. Tapi maaf, ya. Ariel boleh berubah jadi baik, tapi bukan berarti ia pun akan berubah menyukainya.
***
“Hara!” panggil Arya saat Hara mau menaiki mobil angkutan yang akan membawanya pulang.
Hara menoleh. Ia terbengong-bengong melihat Arya terus mengikutinya. Biasanya Arya langsung meluncur dengan sepatu rodanya setelah jalan tak lagi menanjak.
“Hei, ayo naik cepat! Sopirnya nungguin, tuh!” Arya mengingatkan.
Hara buru-buru naik ke dalam mobil angkutan. Ia terkejut saat Arya ikut naik bersamanya. “Kamu naik mobil ini juga?”
“Iyalah. Kita kan searah.”
“Kok nggak pakai sepatu roda?”
“Yah, kan capek juga kalau setiap hari pakai sepatu roda.”
Hara manggut-manggut. Sebenarnya ini kesempatannya untuk membicarakan tentang Dita pada Arya. Tapi…dari mana mulainya, ya?
“Kalau capek kenapa  pake sepatu roda?”
Emang nggak boleh? Kan lebih irit. Lebih sehat lagi! Biasanya aku pegangan sama mobil yang ada di sampingku. Oh ya, Ra. Kamu turun di mana?”
“Em…masih jauh.”
“Oh…kalau gitu duluan aku, ya? Boleh nggak aku main ke rumahmu? Nengokin Pakde dan Bude.”
 Hara melotot. Arya? Main ke rumahnya? Kalau ketahuan Kak Hamidah, bisa mati dia! Kakaknya yang berjilbab itu sangat tidak suka dia menerima teman laki-laki sendirian ke rumahnya. Apalagi dia aktivis rohis di kampusnya. “Wah! Em…nggak boleh!” serunya, cepat.
 “Kenapa?”
Nggak pa-pa, kok. Lain kali aja, ya?”
“Oh, ya sudah. Eh, Ra, udah dulu, ya. Aku sudah sampai,” katanya sebelum menyuruh supir menghentikan mobil.
Hara masih sempat melihat bayangan Arya yang menghilang di balik perumahan. Dihelanya napas. Ia tak sempat membicarakan tentang Dita pada Arya.
***
Malam ini Arya kembali menelepon Hara hanya untuk membicarakan hal yang tidak penting. Meskipun begitu, Hara tidak merasa terganggu. Ia justru merasa beruntung. Untuk dapat mencomblangi Dita dengan Arya, ia harus bisa dekat dulu dengan Arya. Dan sekarang, tanpa susah-susah Arya sendiri yang selalu menghubunginya.
“Sudah nelponnya, Ra?” tanya Kak Hamidah, tiba-tiba.
Udah.”
“Dari siapa, sih? Kayaknya tadi cowok, ya?”
“Cuma temen, kok. Nanyain PR.”
“Nanyain PR? Hati-hati lho, Ra. Cowok kan punya segala macam cara untuk mendekati cewek.”
“Ah, Kakak nggak usah mikir gitu, deh. Arya itu cuma temen. Dia pinter, lho, Kak. Dia juara satu di kelas,” Hara mencomot kue bolu di meja. “Enak, nih. Pasti buatan Kakak, kan?” 
“Kakak sih mau ngingetin aja. Semua ini kan demi kebaikanmu juga,”
“Hara sudah inget. Nggak boleh pacaran, kan? Oke…. Lagian mana mungkin aku ngelangkahin kakakku ini yang sampai sekarang belum punya pacar?”
“Kakak memang nggak akan pernah pacaran, Ra. Tanpa pacaran pun kita bisa kok punya suami,” Hamidah meninggalkan Hara yang termangu.
Ah, tau, deh. Ntar kalau sudah saatnya tiba aku juga ngerti, gumam Hara dalam hati. Sebenarnya ia risih juga dengan perhatian kakaknya yang berlebihan itu. Hamidah punya banyak aturan untuknya yang harus ditaati. Padahal ayahnya yang berprofesi sebagai tentara ABRI saja tidak seketat itu. Hara berusaha menaati peraturan kakaknya dan tidak membantah. Habis, ia malas mendengar ceramah panjang-lebar kakaknya itu. Membosankan untuk anak seusianya!
***
Dita jengah. Ariel yang naksir dia sudah bertingkah keterlaluan. Kemarin, sepulang sekolah Ariel mengikutinya sampai rumah. Dita sangat risih dengan ulah Ariel sepanjang perjalanan. Makanya sekarang Dita tidak langsung pulang ke rumah, tapi  ikut Hara. Rencananya setelah main sebentar di rumah Hara, ia akan pulang untuk menghindari Ariel.
“Dita!” panggil Ariel yang melihat Dita berjalan ke arah berlawanan. Dita dan Hara berbarengan menoleh. Dita segera mengamit lengan Hara.
Tuh, kan, Ra…!” bisiknya.
Ariel tersenyum. Lu, mau ke mana, Dit?”
Dita melotot. “Apa urusanmu? Emangnya kamu baby sitterku?”  
Gue kan cuma tanya aja.”
“Iya, tapi apa urusanmu tanya-tanya?!”
“Dita! Apa sih salah gue sampai lu nggak mau berteman sama gue?” 
Hara menyikut lengan Dita. “Udah yuk, Dit. Kamu jangan bikin masalah,” bisiknya.
“Siapa yang bikin masalah? Dia tuh yang bikin masalah! Ariel, kamu tuh kayak detektif yang lagi nguntit penjahat. Emangnya aku penjahat sampe kamu kuntit terus!”
Lu benar-benar sombong, Dit!” Ariel menarik tangan Dita.
Dita terkejut. Hara juga.
“Lepasin gue, Ril!” Dita berteriak, tapi pegangan tangan Ariel malah semakin kencang. Hara berusaha membantu Dita. Ia berusaha melepaskan pegangan tangan Ariel.
“Ariel! Lepaskan!” 
Ariel yang marah langsung mendorong tubuh Hara hingga terjungkal. “Lu nggak usah ikut campur!”
“Aah....!!!” Hara menjerit. Melihat Hara terjatuh, pegangan tangan Ariel terlepas. Dita buru-buru menghampiri Hara.
“Hara! Kamu nggak pa-pa, kan?” 
Hara meringis sambil mengusap-usap pantatnya yang sakit. “Sakiit…,” rintihnya.
Dita melotot. “Ini semua gara-gara kamu, Ril!”
Ariel menggelengkan kepala.
“Aku benci kamu...!” maki Dita sebelum membantu Hara bangun dan meninggalkan Ariel yang tertegun
***
Bersambung.....
klik di sini untuk baca lanjutannya yaa

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....