Wednesday, November 30, 2011

Buku Baru: Rahasia Pengantin Baru

Rahasia Pengantin Baru: Catatan Ringan Seputar Pengantin Baru

Alhamdulillah, buku ini terbit juga setelah dua tahun menanti. Diabaikan oleh dua penerbit kecil, eh malah diterbitkan oleh penerbit besar (Elex Media). Coba dari dulu dikirimkan ke Elex Media. Tapi, memang sudah jodohnya. Begitulah. Kita tak tahu kelak buku kita berjodoh dengan penerbit mana, begitu juga dengan jodoh kita. Dengan siapa kita menikah, hanya ketahuan setelah menikah. Iya, kan? Bagaimana kehidupan setelah menikah? Itupun hanya bisa diketahui setelah menikah.

Buku ini saya tulis saat masih hangat-hangatnya menjadi pengantin baru. Begitu banyak kejutan yang semula tak terbayangkan. Terlebih saya tidak pernah berinteraksi dekat dengan laki-laki yang bukan mahram, jadi banyak terkejut dengan sifat dan sikapnya (suami saya, maksudnya) yang berbeda 180 derajat dengan saya. Oh yaaa?

Duh, yang masih lajang pasti langsung kayak udang rebus nih pipinya. Waktu saya belum nikah dulu juga gitu. Setiap membaca buku-buku tentang pernikahan, eh tersenyum-senyum sendiri. Apalagi bila kisah-kisah yang dicontohkan teramat indah yang bikin mau (nikah). Masa kuliah dulu, masa-masa puber mengalami puncaknya. Sampai terpikir mau nikah pas masih di semester tiga kuliah. Hahai… tentu karena yang terbayang indahnya saja.

Laaaah… memangnya saya menderita setelah menikah? Oh, tidak. Alhamdulillah, cukup (menderita), wkwkwk…. Tentunya, saya bahagia sekali usai ijab kabul. Ketika saya sudah  boleh memandangi wajah suami saya yang tampan, ada yang bilang mirip Irfan Bachdim. Saya sampai tak percaya, kok bisa ya nikah? Kok bisa dapat dia (suami saya)? Takjub bin norak. Ya, wajar deh, namanya juga pengantin baru. Lama-lama saya temukan bahwa tak semuanya indah. Kerap kali ada persinggungan yang disebabkan oleh perbedaan karakter antara suami istri (saya yakin, suami istri siapa pun pasti memiliki perbedaaan. Anak kembar saja punya perbedaan), salah paham, terlalu sensitive, dan lain-lain.

Saya juga banyak bertukar cerita dengan teman-teman yang nikahannya berdekatan dengan saya. Ternyata sama saja kok. Semua mengalami kejutan-kejutan manis, asam, asin, sampai pahit. Pernikahan seperti hutan rimba, begitu kata istri Ustadz A’am Aminudin, yang pernah menjadi pembicara di dalam launching buku saya, Pranikah Handbook (ketahuan nih spesialis buku-buku pernikahan). Kita membayangkan sebuah hutan yang indah, ada pepohonan nan hijau permai, binatang-binatang lucu, buah-buahan manis, air terjun, dan sebagainya. Tapi, jangan lupa, bahwa sebuah hutan tetap medan juag, karena selain ada binatang jinak, juga banyak binatang buas. Selain ada buah-buahan yang bisa dimakan, juga ada buah-buahan beracun.

Buku ini berisi catatan-catatan ringan dari kasus-kasus yang saya temui di awal pernikahan, juga dari kasus teman-teman saya. Mencoba mengambil hikmah dari kisah-kisah itu, agar menjadi pelajaran sehingga pernikahan dapat mencapai tujuan; keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.



Motivasi Menulis: Menulis, Dapat Apa?

Beberapa waktu lalu, ada seorang calon penulis yang bertanya; apakah penghasilan dari menulis itu bisa dijadikan pegangan hidup? Dan kemarin, ketika dua orang mahasiswi Unpad mewawancarai saya untuk tugas kuliah jurnalistiknya, pertanyaan itu kembali terlontar: bisakah kita hidup dari menulis?

Monday, November 28, 2011

Info Penerbit: Belabook Media

Belabook Media Group adalah Perusahaan yang bergerak di bidang Penerbitan Buku. Yang terbagi atas :

1. Belabook Media (Buku Umum)
2. Belanoor (Buku Kajian Agama Islam)
3. Belacilik (Buku Anak)
4. Belarasa (Buku Masakan)

Bagi Anda semua yang mempunyai tulisan dan ingin menerbitkannya, dapat menghubungi kami melalui emai: redaksi@belabookmedia.com atau belabookmedia@yahoo.com.

atau di alamat:
Bumi Sentosa Cluster Yupiter 4T, Blok D5 12 B
Cibinong, Bogor

Situs: www.belabookmedia.com

Motivasi Menulis: Penulis Harus Bermental Baja

Tadi pagi saya membaca status seorang teman penulis, yang mengatakan bahwa dia akan berhenti menulis. Yang kutangkap dari penjelasannya, dia frustasi karena naskah-naskahnya gagal terbit. Padahal, dia termasuk penulis yang sudah cukup berpengalaman, karena beberapa kali menembus majalah. Namanya juga sudah cukup dikenal, karena sering mengadakan audisi menulis.

Resensi Buku: Tarapuccino

Judul: Tarapuccino
Penulis: Riawani Elyta dan Rika Y. Sari
Penerbit: Indiva

Akhirnya kesampaian juga aku membaca novel berjudul manis ini. Judulnya mengingatkanku akan nama kopi yang membuatku kecanduan, Cappucino. Pertama kali membaca sinopsisnya di website penerbitnya. Penulisnya, Riawani Elyta dan Rika Y Sari. Nama yang kala itu terdengar asing di  telingaku. Maklum, beberapa tahun off dari dunia kepenulisan, membuatku tidak mengenal penulis-penulis yang muncul belakangn. Ups… belakangan?

Resensi Buku: Xie Xie Ni De Ai

Judul: Xie Xie Ni De Ai (Hongkong, Terima kasih atas cintamu)
Genre: Novel Islami
Penulis: Mells Shaliha
Penerbit Diva Press



Hong Kong was my dreamland. Ya, masa remaja saya diisi dengan film-film Mandarin yang membuat saya ngefans dengan para pemainnya. Layaknya remaja sekarang yang gemar film-film Korea dan ngefans artis-artis Korea. Dulu, saya suka mengkliping berita artis Mandarin, di antaranya Tony Leung, Andy Lau, Jacky Chan, Aaron Kwok, dan sebagainya. Saking ngefansnya, saya sampai mimpi terbang ke Hong Kong, dibawa angin puyuh, lalu jatuh di atas atap apartemen tempat tinggal Andy Lau, wkwkwkwk… ngacoooo…..

Seiring bertambah usia dan film-film Mandarin sudah jarang tayang di televisi, saya mulai melupakan impian ke Hongkong, meski tetap antusias bila ada yang pernah ke sana. Hingga kemudian novel-novel saya diterbitkan dan menghubungkan saya dengan salah seorang yang beruntung bisa menginjakkan kaki di tanah bekas jajahan Inggris itu. Ia menelepon langsung dari Hong Kong, mengatakan bahwa ia senang membaca novel-novel saya, dan kelak ingin menjadi penulis seperti saya. Namanya, Ermawati.
Dia mengirimkan sebuah buku catatan harian, yang ditulisnya selama berada di Hong Kong. 

Menceritakan perihal dirinya, mengapa berangkat ke Hong Kong, dan impiannya untuk menjadi penulis. Bertahun berlalu, seminggu yang lalu, saya menerima kiriman novel perdananya: Xie Xie Ni De Ai. Subhanallah, seorang Buruh Migran Indonesia, yang tujuh tahun lalu bercita-cita menjadi penulis, kini telah berhasil mewujudkan mimpinya. Terharu.

Xie Xie Ni De Ai, mengingatkan saya akan lagu Andy Lau berjudul sama. Artinya, terima kasih atas cintamu. Kira-kira, isi novel ini pun bernada sama. Ketika mulai membacanya, saya jadi terbawa ke dalam adegan film F4 (versi Taiwan), Boys 2 Flowers (versi Korea). Disuguhi para pemain yang cantik dan ganteng: Chelsy, Aanon, Daniel, Selina, dan Zee. Nama Hong Kong, sebagaimana yang saya ketahui dari SMP, memang punya dua versi; versi Inggris dan versi Mandari. Begitu juga nama-nama di dalam novel ini, disebutkan dua versi. Tentu saja hanya pada pembukaan. Selanjutnya hanya disebut dengan nama  panggilan masing-masing.

Kelimanya bersahabat dan suka mengerjakan tugas kuliah bersama-sama. Lalu, siapakah pemeran utama dalam novel ini? Bukan salah satu dari kelimat orang itu, kok. Melainkan, Alenia Rahmawati, seorang Buruh Migran asal Indonesia, yang bekerja di rumah Chelsy. Seakan mengambil sebagian pengalaman hidup sang penulis, Alenia dikisahkan sebagai seorang BMI yang berbusana muslimah rapi, suka menulis, dan tergabung di sebuah forum kepenulisan di Hongkong. Tentu saja, sang penulis, Mell Shaliha, juga memiliki background yang sama dengan Alenia; BMI yang suka menulis dan pernah tergabung di Forum Lingkar Pena Hongkong :D

Ah, itu sudah biasa kok, jika penulis memasukkan sebagian pengalaman hidupnya ke dalam novelnya. Saya juga begitu. Justru dengan begitu, novelnya lebih hidup. Novel ini ditulis dengan bahasa yang ringan, mudah dicerna, mengalir, dan lincah. Layaknya novel teenlit, yang mudah diterima oleh para remaja. Meski demikian, novel ini tidak kehilangan kecerdasannya. Sehingga agak mengejutkan bila mengingat novel ini ditulis oleh seorang BMI dan termasuk novel perdana. Untuk sebuah novel perdana, novel ini cukup tebal.

Selain itu, kita bisa belajar bahasa Mandarin dan Jepang, sedikit-sedikit, yang tersaji di dalamnya. Mulanya memang saya mengerutkan kening. Katanya, si Ale ini tidak bisa bahasa Mandarin. Kalau berbicara dengan majikannya menggunakan bahasa Inggris. Tapi kok banyak dialog Ale yang menggunakan bahasa Mandarin cukup panjang? Ah, bisa saja sih Ale sedikit-sedikit menguasai bahasa Mandarin, kan sudah lama juga di Hong Kong.

Intinya, novel ini bercerita tentang kisah cinta Ale dan Aanon, salah satu sahabat Chelsy, yang sebenarnya Chelsy juga naksir Aanon. Aanon jatuh cinta kepada Ale, ketika tak sengaja melihat Ale tanpa jilbabnya. Bak novel teenlit lainnya, kisah bergulir tentang percintaan segiempat, Ale-Chelsy-Aanon-Maki. Maki, seorang gadis Jepang yang menumpang tinggal di rumah Chelsy, juga ikut-ikutan jatuh cinta kepada Aanon. Tentu saja Aanon memilih Ale, tapi  bagaimana mungkin? Yang satunya hanya seorang Buruh Migran, yang pekerjaannya sama dengan pembantu rumah tangga, yang satunya lagi pangeran tampan, sahabat majikannya.  Ale pun tak serius menanggapi cinta Aanon, karena perbedaan status dan agama. Jadi, bagaimana akhir kisah mereka? Baca kelanjutannya di novel ini saja ya.

Membaca novel ini, kita bagai diajak mengunjungi Hong Kong, ke beberapa tempat yang menjadi setting novel ini: pantai Hong Kong (lupa namanya), pasar Wanchai, dll. Juga mempelajari beberapa kalimat dalam bahasa Mandarin.  Novel ini hanya sekilas mengupas penderitaan BMI, tidak seperti beberapa novel yang ditulis BMI lainnya. Sebab, ini novel percintaan Cinderella, tetapi si Cinderella tidak berada di bawah tekanan si majikan. Malahan, Chelsy sebagai majikan, menganggap Ale sebagai sahabat baik dan tempat curhatnya.

Pesan yang dapat ditangkap, bagaimana memperjuangkan cinta, meski terhalang perbedaan status dan agama. Juga tetap berprestasi, meskipun cita-cita terhalang tembok beton. Ale yang seorang BMI ini, dapat menunjukkan  bahwa dia aslinya cerdas (jago berdebat dalam bahasa Inggris), serta jago main basket. 

Friday, November 25, 2011

[RESENSI FILM] SECRET

Directed by
Jay Chou
Produced by
William Kong
Written by

Jay Chou
To Chi-long
Starring

Jay Chou
Kwai Lun-mei
Anthony Wong
Alice Tzeng

Monday, November 21, 2011

Tips Menulis: Mari Bicara Soal Setting

Novel ini mengambil setting di Semarang

Setting atau latar sebuah novel, adalah salah satu unsur intrinsic novel yang penting, dan memberikan nilai tambah bagi novel tersebut. Saya pribadi masih belajar mengolah setting agar bisa lebih detil dan menarik, sehingga pembaca merasa seakan-akan sedang berada di tempat tokoh-tokoh novel saya berada. Salah satu novel yang mempunyai kekuatan dalam setting adalah novel Ayat-Ayat Cinta, yang bersetting di Mesir.  Sayangnya, saya tidak memegang novel itu, jadi tidak bisa memberikan contoh-contohnya. Berhubung sekarang saya sedang membaca novel Nur Jahan: the Queen of Mughal, yang bercerita tentang sejarah kesultanan Mughal (pendiri Taj Mahal) di India, bolehlah kita mengambil contoh setting dari sana.

Wednesday, November 16, 2011

Tips Menulis: Apa Nama Penamu?

Novel pertama saya, menggunakan nama asli sebagai nama pena
Saya masih ingat ketika pertama kali masuk FLP (Forum Lingkar Pena) Semarang, Mbak Yeni (Afifah Afra) bertanya, “Nama penanya apa, La?” Saya tersenyum, lalu menggeleng. Nama pena? Nggak perlulah. Saya cukup pede dengan nama saya, dan lagipula saya ingin dikenal dengan nama asli saya. Tapi, Mbak Yeni mengerutkan kening, kemudian memberi saran agar saya menggunakan nama pena yang mudah diingat. Jiwa muda saya memberontak. Terserah saya dong... mau pakai nama apa pun.... cieee..... So, saya tetap pakai nama asli. Memang, pernah terlintas ingin pakai nama pena. Beberapa calon nama pena di antaranya; Hana Syahidah, Alia Syahidah, sampai Pingkan Hana, ta elaah.... qiqiqiqi..... Semuanya gatot. Belum sempat aku luncurkan nama Hana Syahidah,  sudah muncul duluan Novia Syahidah. Nanti disangkanya saya mengekor dia atau menebeng popularitasnya.

Tips Menulis: Kekuatan Sebuah Judul

Novel Jean Sofia, judulnya diubah oleh penerbit. 
Sebenarnya, saya sendiri juga tidak pandai membuat judul. Lebih seringnya, saya baru mendapatkan judul kalau naskah sudah selesai. Ada yang judulnya saya dapatkan di awal, lah kok naskahnya malah tidak selesai-selesai. Sepenting apakah  judul dalam membuat naskah kita lebih menarik?

RESENSI FILM: A Longesth Night in Shanghai

Adegan dibuka dengan penampilan seorang lelaki Jepang , Mitzusiwa, yang bekerja sebagai penata rias, sedang berada di Shanghai, Cina. Syukurlah, ternyata penata rias  yang satu ini tidak gay atau homo, malahan terlihat gagah dengan jas hitam yang membalut tubuhnya. Dia sedang bertugas menata rias para penyanyi Jepang yang diundang menghadiri Anugerah Musik Asia, di Shanghai. Naasnya, dia tertinggal rombongan dan tersasar di belantara kota Shanghai.

Saat sedang bingung, tanpa sadar dia berada di tengah jalan, dan ditabrak sebuah taksi yang dikendarai seorang supir wanita, Lin Xi (diperankan oleh Vicky Zhao). Untung tidak terluka, meskipun pingsan. Karena merasa bersalah, Lin Xi memberikan tumpangan kepada Mitzusiwa. Sayangnya, Mitzusiwa tidak bisa berbahasa Mandarin, dan Lin Xi tidak bisa berbahasa Inggris. Kacau, kan? Mereka ngobrol, yang satu pakai bahasa Jepang, yang satu lagi Mandarin. Memang tidak nyambung, yang penting hepi.  Mitzusiwa tidak tahu harus ke mana, ia berusaha mengingat nama hotel tempatnya transit, tapi tidak bisa karena menggunakan bahasa Mandarin.

Di tengah jalan, Lin Xi mendapat telepon dari sahabatnya, Tong Tong, yang mengabarkan bahwa Tong Tong akan menikah besok. Lin Xi terpukul, karena sebenarnya ia jatuh cinta kepada Tong Tong. Lin Xi, yang berpenampilan seperti seorang laki-laki, memutuskan untuk pulang ke rumah dan memindahkan Mitzusiwa ke taksi lain. Ternyata Mitzu tidak punya uang. Tas dan handphonenya hilang entah di mana. Lin Xi pun mengantar Mitzu ke sebuah hotel. Berhubung tidak punya uang, hotel itu pun menolak menerima Mitzu. Semula, Lin Xi bersikap cuek, ia pergi meninggalkan Mitzu. Di tengah jalan, rasa kemanusiaannya tergugah. Ia pun kembali lagi untuk menjemput Lin Xi.

Sebagaimana judulnya, adegan di film ini memang kebanyakan bersetting malam hari. Setelah menginap semalam di rumah Lin Xi, esok malamnya, Mitzu diantar ke kantor polisi. Lagi-lagi Mitzu kembali kepada Lin Xi dan Lin Xi terpaksa menerima Mitzu. Lin Xi sebenarnya sedang gamang karena Tong Tong akan menikah dengan gadis lain. Seharusnya sedari dulu dia mengungkapkan isi hatinya kepada Tong Tong. Mitzu sendiri juga punya masalah terhadap kisah cintanya dengan gadis Jepang yang adalah rekan kerjanya. Percintaan mereka terasa hambar. Sepanjang malam itu di dalam taksi, Mitzu dan Lin Zi mengobrol dengan dua bahasa, sampai keduanya sedikit-sedikit memahami bahasa masing-masing.  Lin Xi minta diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, apa artinya, “Apakah kau mencintaiku? Dan, Aku mencintaimu.” Mereka lalu berhenti di sebuah jalan yang sepi, turun dari taksi, dan Lin Xi belajar menulis dalam bahasa Jepang, kata-kata yang diajarkan Mitzu.

Apakah kau mencintaiku? Aku mencintaimu.

Kemudian, Lin Xi menabrakkan taksinya ke tiang listrik, dan menelepon Tong Tong, minta diperbaiki. Tong Tong memang seorang montir. Ternyata itu hanya trik Lin Xi agar Tong Tong datang, dan Lin Xi pun mengucapkan dua kalimat di atas dalam bahasa Jepang. Tentu saja Tong Tong tak mengerti, tetapi Lin Xi sudah merasa lega. Setidaknya ia sudah mengucapkan isi hatinya kepada Tong Tong. Sayangnya, hanya Mitzu yang mengerti.

Lalu, bagaimanakah akhir kisah Lin Xi dan Mitzu?

Ini film komedi romantic yang bisa memberikan inspirasi bagi teman-teman yan ingin menulis novel bergenre serupa. Kelucuan terjadi saat Lin Xi dan Mitzu saling berbicara dalam bahasa yang berbeda. Meski romantic, nyaris tidak ada adegan vulgar, seperti hot kiss, dan sebagainya di dalam film ini, sebab film ditutup dengan Mitzu memermak penampilan Lin Xi yang semula tomboy menjadi feminin. Sayangnya, kisah cewek tomboy yang berubah feminine, agak klise ya. Banyak film dan novel yang mengangkatnya. Karakter Lin Xi sudah banyak yang mengangkat. Tapi, karakter Mitzu, bolehlah. Sebagai lelaki penata rias yang tampan dan kalem. Meski, agak aneh juga, karena biasanya lelaki penata rias itu gay dan bersikap seperti wanita. Tadinya saya pikir Mitzu  ini seorang penyanyi atau artis yang diundang dalam Anugerah Musik Asia itu. Apa pun, film ini lumayan juga buat hiburan saat mood untuk menulis sedang menguap. 

RESENSI FILM: The Confession of Shopaholic

Oke, memang saya telat nonton film ini. Saya baru menontonnya kemarin bersama suami, dan kami tertawa bersama-sama. Tapi kalau novelnya sudah saya baca sejak baru terbit. Memang lucu dan seru. Pantaslah jika tertawa.

Mengapa tertawa? Aaah… film dan novelnya memang mencerminkan kebodohan kita, dengan pengkhususan, WANITA. Siapa wanita di dunia ini yang tidak suka belanja? Belanja itu seperti salah satu sifat wanita. Semua wanita PASTI suka belanja. Seandainya punya uang sebanyak Paman Gober, mesti tidak bakal punya gudangnya, karena uangnya habis dibelanjakan, hehehe….

Nah. Ini dia kelemahan saya. Saya lupa siapa nama tokoh utamanya, tapi ingat nama cowoknya dan nama penulis novelnya, qiqiqi…. Akhirnya, googling dulu deh. Oya, Rebecca Bloomwood, si gila belanja itu. Ampun, deeeh… betapa mudahnya tergiur oleh promo belanja, diskon, sale…. Meski sebenarnya pakaian, sepatu, tas, dan barang-barang brandednya sudah menumpuk di kamarnya. Bahkan ia lupa kapan membeli barang-barang itu dan ada barang yang belum pernah dipakainya sama sekali. Bencana terjadi ketika kantornya bangkrut, dia di PHK, sementara dia punya tagihan kartu kredit yang menyentuh angka 160 juta rupiah (setelah dikurskan dari dolar ke rupiah). Bagaimana dia bisa membayar hutang kartu kreditnya dengan status jobless??? Itu dia… aku juga ikut bingung. Masalahnya, jumlah sebanyak itu ternyata Cuma dibelanjakan barang-barang kebutuhan wanita, seperti sepatu, tas, dan baju, yang tidak punya nilai investasi. Beda kalau dibelikan rumah atau mobil, bisa dijual lagi, bahkan bisa dapat keuntungan.

Secara pribadi, aku sendiri juga suka belanja. Satu-satunya hambatan adalah tidak punya uang. Mungkin, jika aku punya pekerjaan tetap dan kartu kredit, aku pun akan memuaskan nafsu belanjaku seperti Becki (Rebecca). Dulu, waktu masih ngantor, setiap gajian aku pasti ke ITC Depok (berhubung kantornya di Depok). Beli baju, perawatan kecantikan, dan lain-lain. Aku juga beli buku untuk mengupgrade otak. Kan kita butuh beauty, brain, and behavior….

Setelah berhenti kerja, baru deh aku merasa menderita. Uang yang dititipi oleh suami hanya cukup buat belanja kebutuhan rumah tangga. Kalaupun ada sisanya, kan harus minta ijin dulu sama suami. Boleh gak beli ini, itu, dan lain-lain? Berhubung kami sedang membangun rumah, banyak kebutuhan lain yang harus dikorbankan, termasuk kebutuhan wanitaku. Aku pernah tidak beli baju baru saat lebaran idul fitri (itu artinya, setahun itu aku gak punya baju baru), karena THR suamiku habis untuk membayar THR tukang bangunan.

Kegemaran belanja Becki sebenarnya berpulang dari kondisi psikis dia yang baru bisa gembira jika berbelanja. Intinya, kalau sedang sedih, obatnya adalah belanja. Padahal, kesedihannya itu diakibatkan oleh kejaran debt collector. Jadi ingat sama kasus terbunuhnya nasabah Citi Bank oleh debt collector.
Alhamdulillah, aku gak punya kartu kredit. Suamiku yang punya, tapi hanya dia yang bisa pakai. Itupun untuk kebutuhan pokok. So, aku merasakan yang namanya sedih, kesal, kecewa, dan sebagainya, karena hanya bisa cuci mata di ITC atau melihat barang dagangan yang terpampang di internet. Of course… bukan pedagangnya yang salah. Berdagang adalah warisan nabi, bahkan jenis pekerjaan yang utama. Aku sendiri sebagai calon customer yang harus bisa memilah-milah. Bagaimana supaya tidak jadi gila belanja seperti Becki yang membuatnya dikejar-kejar debt collector?

Sejujurnya, aku selalu merasakan perasaan ini. Setiap habis membeli barang, entah baju, tas, sepatu, pasti aku merasa menyesal. Mengapa barang ini jadi jelek ya setelah sampai di rumah? Perasaan tadi di toko kelihatan bagus? Ibu-ibu pernah merasakan itu juga?

Aku pernah membeli barang-barang dari garage sale yang diadakan seseorang. Ternyata dia punya kegemaran belanja yang cukup over juga seperti Becki. Ada barang-barang yang sebenarnya tidak dia butuhkan, tapi dibeli juga. Toh, akhirnya tidak terpakai dan dijual obral. Nah, menurut ibu-ibu, itu sama saja dengan mubajir, kan? Barang itu tidak pernah dia pakai, karena ternyata tidak cocok dengannya, dan akhirnya dijual murah. Berarti dia telah rugi sejumlah nominal tertentu.

Padahal, orang yang berlaku mubajir itu temannya setan. Ada ayatnya di dalam Al Quran, tapi cari sendiri ya, Bu…. Naudzubillahimindzalik…. Intinya, semua uang yang kita belanjakan, terlebih uang suami, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak. Uang itu buat beli apa? Apakah barangnya kemudian berguna?

Mengapa Sophie Kinsella (penulis novelnya) menokohkan karakter gila belanja itu kepada Becki yang seorang wanita? Karena memang lebih banyak wanita yang suka belanja hal-hal yang tidak penting, daripada laki-laki.

Belanja tidak salah, tapi tetap harus lihat prioritas. Cengkaraman materialistis dan konsumerisme sudah begitu kuat. Kalau beli majalah wanita modern, isinya baju-baju mewah, sepatu, tas, aksesoris melulu. Boleh saja punya dan beli, tapi lihat kebutuhan. Jangan sampai kita membeli barang yang nantinya tidak terpakai.

Kosmetik atau make up juga begitu. Allah menyukai keindahan, jadi jika niatnya untuk menjadi indah, tentu termasuk ibadah. Tapi, kalau sudah menjadi tabarruj, berhias yang berlebihan, akan jatuh ke dalam dosa. Pernah lihat perempuan yang make upnya kayak Geisha Jepang, kan?
So, kita lihat lagi prioritas sebelum berbelanja ya, Bu….