Saturday, November 3, 2012

Catatan Menjelang Kelahiran Anak Ketigaku

Foto saat usia kandungan 7 bulan, yang disangka
sudah 8 bulan

















20 September 2012
Dini hari, jam 3.30, putra ketigaku, Muhammad Salim Lutfi terlahir ke dunia. Bertepatan dengan hari di mana rakyat Jakarta akan memilih calon pemimpin baru. Rasa syukur tak terhingga membuncah dariku dan suamiku. Inilah putra ketiga kami yang kelahirannya dinantikan sejak sepuluh hari sebelumnya.



Sepuluh hari sebelumnya?  Ya, karena proses kontraksi sudah berlangsung sejak sepuluh hari sebelumnya. Namun, rupanya bayi Salim tak ingin segera lahir ke dunia. Setelah dua kali bolak-balik ke klinik bersalin, ia baru mau lahir di kedatangan ketiga.

Hamil Ketiga, Anugerah yang Mengejutkan
Hamil lagi?!
Dua minggu setelah merasa pusing dan tak enak badan, akhirnya suamiku membelikan test  pack untuk mengetahui apakah aku sedang hamil atau tidak. Setelah dua kali hamil dan melahirkan, aku lebih mudah mengenali tanda-tanda kehamilan.

Aku masih berharap bahwa aku tidak hamil. Rasanya masih belum siap untuk hamil lagi, meskipun sudah berhenti memakai alat kontrasepsi sejak sembilan bulan sebelumnya.

Aku berharap Allah memberikan kesempatan untuk membesarkan kedua anakku terdahulu, setidaknya sampai mereka bisa mandi dan makan sendiri. Kedua putraku masing-masing baru berumur 4 dan 3 tahun. Rasanya masih terlalu cepat bila aku memiliki bayi lagi.

Tidak mudah  untuk menemukan alat kontrasepsi yang cocok untukku. Aku pernah memakai pil KB setelah melahirkan si sulung, hasilnya justru kehamilan anak kedua.

Lalu mencoba memakai KB Suntik dan bisa bertahan selama dua tahun lebih, tetapi kemudian menunjukkan tanda-tanda tak cocok berupa sakit kepala hebat. Ya sudahlah, toh suamiku menginginkan anak ketiga yang diharapkan terlahir perempuan. Sembilan bulan setelah lepas KB itulah, Allah kembali memberikan anugerah calon bayi kepada kami.
Bagaimanapun, aku harus menerima kehamilan itu, sebab bayiku harus merasakan aura penerimaan sejak dalam kandungan. Dia sudah ada di dalam rahimku, menolaknya sama saja dengan mengingkari nikmat.

Jika Allah mempercayakannya lagi kepadaku, berarti Allah menilaiku sanggup untuk menerima amanah itu. Insya Allah, akan kujalani kehamilan itu dan kusambut kelahirannya dengan sukacita.

Bed Rest Pertama
Namun, tidak mudah rupanya untuk menjalani kehamilan yang ketiga ini. Seperti dua kehamilan sebelumnya, aku kembali merasakan peristiwa “ngidam” yang cukup berat. Mual, muntah, sakit kepala, dan tubuh cepat lelah. Dalam kondisi seperti itu, aku masih harus melayani kedua putraku yang belum mandiri. Memandikan, menyuapi makan, membuatkan susu, melerai perkelahian, dan lain sebagainya. Tak mudah untuk beristirahat ketika kedua putraku sedang aktif-aktifnya.

Saat aku membaringkan tubuh di tempat tidur, mereka justru berlompatan di atas kasur busa, membuat tubuhku ikut melompat-lompat. Saat mataku baru memejam, mereka meminta ini itu; ingin buang air kecil/ besar, minta susu, minta makan, minta jajan, dan lain sebagainya.

Aku memang tak punya asisten penuh waktu. Asistenku hanya ada sampai jam sepuluh pagi, dan itupun hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sulit sekali mencari pengasuh anak.

Aku harus terus menjalani keadaan itu sekuat tenaga. Hingga saat kandungan menginjak umur dua bulan, aku merasakan demam hebat. Terpaksa kutinggalkan rumah suamiku untuk mengungsi ke rumah orang tua bersama degan anak-anakku. Di rumah orang tuaku ada adik-adikku yang bisa membantu mengurus anak-anakku selama aku sakit.

Sehari setelah demam, pada kulit tubuhku timbul bercak-bercak merah. Aku semakin  khawatir. Kukirim pesan singkat kepada suamiku di kantor, dan dia menyuruhku untuk segera ke rumah sakit. Dia khawatir aku terkena rubella karena tanda-tandanya mengarah ke sana.

Kami diserang kecemasan, karena kabarnya Rubella bisa mengakibatkan keguguran atau bayi lahir cacat. Aku sampai membayangkan  bagaimana bila bayiku lahir cacat. Ya Allah… sangggupkah aku merawat bayi yang cacat? Tetapi, bila Allah memang mempercayakannya kepadaku, berarti aku sanggup di mata-Nya.

Saat memeriksakan diri ke dokter, aku diminta untuk periksa darah di laboratorium. Sebelumnya, aku menjalani USG. Dokter memperlihatkan gambar calon bayiku yang menurut USG berusia sepuluh minggu. Tubuhnya sudah terbentuk sesuai dengan umurnya. Denyut jantungnya bagus. Tapi, hasil diagnosa apakah aku terkena Rubella atau tidak hanya dapat diketahui dari hasil tes darah.

Aku terus berdoa semoga hasilnya negatif. Alhamdulillah, setelah hasil tes darahnya keluar, aku dinyatakan bebas dari Rubella. Entah penyakit apa yang menyerangku itu, sampai kini belum terjawab.

Selama satu minggu, aku menghabiskan waktu di tempat tidur, beristirahat. Inilah bed rest pertamaku di kehamilan ketiga. Anak-anakku diasuh oleh adikku. Mungkin Anda bertanya, mengapa adikku tidak ikut saja ke rumahku? Sayangnya, adikku masih kuliah dan masih harus mengurus ayahku yang sudah lama ditinggal meninggal oleh ibuku. Setelah keadaanku membaik, aku kembali ke rumah suamiku. Kasihan suamiku kalau ditinggal lama-lama.

Bed Rest Kedua
Alhamdulillah, kehamilanku berjalan lancar. Tidak ada lagi yang mengganggu, sampai usia kandungan menginjak tujuh bulan. Tadinya, aku mau menyekolahkan (TK) si kakak (anak sulungku) tahun depan setelah anak ketigaku lahir dan berusia setahun. Pikirku pasti repot dalam keadaan hamil tua begini mengantar jemput sekolah si kakak. Sekolahnya pun lumayan jauh kalau jalan kaki. Naik ojek, tanggung.
 
Ternyata, ada PAUD yang baru dibuka di dekat rumahku. PAUD itu sudah lama beroperasi, tapi dulu belum resmi. Tadinya hanya berbentuk TPA (Taman Pendidikan Al Quran). Pikir punya pikir, kusekolahkan saja si kakak di sana, toh dekat ini. Rencana berubah lagi.

Bukan hanya si kakak yang sekolah, adiknya juga. Si adik minta baju seragam juga, ya sudah sekalian saja. Rupanya kelas mereka dipisah. Kakak masuk kelas Ba, untuk anak 4-6 tahun, adiknya kelas Alif, untuk anak 1-3 tahun. Adik Sidiq sekolah hari Senin, Rabu, Jumat. Kakak Ismail sekolah hari Selasa, Kamis, Jumat.
Hari pertama Kakak dan Dede sekolah

Dua minggu setelah keduanya bersekolah (aku masih kuat mengantar mereka sekolah setiap hari bergantian), masuk bulan puasa Ramadan. Kuputuskan untuk berpuasa juga. Insya Allah bisa, mengingat saat hamil Kakak dan Adik pun aku berpuasa. Puasa plus mengantarjemput kakak-adik setiap hari rupanya membuat fisikku drop.

Di hari ke delapan belas bulan Ramadan, keluar darah dari rahimku. Aku terkejut sekali. Saat itu kukira aku sudah hamil 9 bulan, karena perkiraan usia kehamilan tidak pasti mengingat aku lupa tanggal terakhir menstruasi. Diagnosa dokter pun berbeda-beda.

Aku pikir akan segera melahirkan, maka (karena aku pikir usia kandungan sudah aman untuk melahirkan) aku justru memperbanyak kerja, sebelum berangkat ke rumah sakit. Kontraksi mulai muncul. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, terjadi tiga kali kontraksi. Antara siap dan tidak siap untuk melahirkan. Jujur saja, aku belum siap. Meskipun sudah dua kali melahirkan, aku tetap takut mengalaminya lagi.  

Ternyata, dokter justru melarangku untuk melahirkan saat itu juga. Usia kandunganku baru 32 minggu atau 8 bulan! Wah, rupanya selama itu aku salah menghitung. Dokter menjelaskan bahayanya melahirkan bayi prematur. Aku pun googling tentang bayi prematur dan jadi cemas. Dokter menyuruhku dirawat. Selama dua hari aku dirawat di rumah sakit Sari Asih, Ciputat, dekat rumah orang tuaku. Anak-anakku kembali kutitipkan ke adik-adikku. Aku diberikan obat untuk meredam kontraksi (agar tidak melahirkan) dan pematangan paru untuk bayiku (jika terpaksa lahir).

Saat dirawat di RS Sari Asih, Ciputat
Alhamdulillah, dua hari dirawat, kontraksi menghilang dan bayiku tidak jadi lahir. Aku harus bed rest lagi, sampai lebaran pun tidak bisa ke mana-mana. Tidak bisa pulang ke kampung mertua di Garut karena dilarang dokter bepergian jauh. Aku juga harus banyak makan untuk meningkatkan BB janin. Setiap hari kujaga dengan baik kandunganku, menghitung hari sampai usianya matang untuk dilahirkan. Rasanya lama sekali. Aku merasa takut bila dia lahir sebelum waktunya.

Seorang temanku juga melahirkan bayinya di usia 34 minggu. Mulanya si bayi kelihatan sehat, hingga di usia 5 bulan, Allah mengambilnya kembali. Bayi prematur membutuhkan perawatan lebih dan daya tahan tubuhnya pun lemah sekali, sehingga diusahakan agar tidak jatuh sakit. Itulah mengapa kujaga betul calon anak ketigaku agar tidak lahir prematur. Apabila dirawat di rumah sakit pun,  biayanya pasti besar sekali.

Dan Dia Pun Lahir….
Lagi-lagi aku salah diagnosa. Entahlah, aku jadi bingung. Kalau menurut hitungan dokter di rumah sakit, kehamilanku baru menginjak 37 minggu. Tapi, ketika kuperiksakan di klinik, katanya sudah 39 minggu. Sudah harus lahir. Aku kembali dibuat cemas. Kulakukan saran bidan untuk sering jalan kaki, olahraga jongkok, mengepel, dan lain sebagainya.

Padahal, berat badanku cukup berat, 72 kg. Sudah susah untuk berjalan dan banyak aktivitas. Waktu gadis, beratku 47 kg, dan membengkak jadi 72 kg. Aku pun kesulitan menyesuaikan diri dengan berat badanku.

Setelah semua yang kulakukan, kontraksinya hanya sedikit-sedikit saja. Duh, bayi ini… dulu minta lahir cepat-cepat, sekarang malah tidak mau lahir. Memang sebaiknya periksa kehamilan itu dengan satu dokter saja, jangan pindah-pindah. Kalau berbeda-beda pemeriksaan jadi bingung.

Hari itu, Senin, 10 september 2012, aku merasakan kontraksi teratur pada malam sampai dini hari. Hem, rasanya seperti mau melahirkan. Berhubung rumahku jauh dari klinik, aku minta diantar suamiku ke klinik meskipun kontraksinya belum kuat. Antara yakin dan tidak yakin mau melahirkan, tapi suamiku memaksa untuk segera ke klinik. Akhirnya, berangkatlah kami ke klinik. Ternyata benar! Kontraksinya hilang!

Aku jadi tidak enak saat mengatakan kepada petugas jaga bahwa aku mau melahirkan tapi tidak ada tanda-tanda mau melahirkan. Aku tetap diperiksa pembukaan, dan hasilnya baru pembukaan satu. Aku tidak tahu berapa lama jarak antara pembukaan satu ke sepuluh (lengkap).

Waktu lahiran anak pertama, baru pembukaan satu sudah diinduksi dan tiga jam kemudian lahir anak pertamaku. Waktu lahiran anak kedua, datang ke bidan sudah pembukaan tujuh. Jadi, ini pengalaman yang baru lagi buatku.

Hari-hari kembali berjalan seperti biasa, tapi disertai perasaan was-was kalau-kalau akan melahirkan. Aku berharap tanda-tanda melahirkan itu muncul saat suamiku di rumah. Khawatir melahirkan sendiri, mengingat rumah tetanggaku jauh-jauh.

Sabtu, 15 September 2012, lagi-lagi kami diuji oleh calon anak ketiga ini. Malam hari, aku merasakan kejadian yang sama seperti malam Senin lalu. Kontraksi teratur. Dini hari, kami ke klinik yang sama. Hasilnya? Sampai di klinik, kontraksi kembali menghilang. Saat diperiksa bidan, sudah pembukaan 3. Aku tidak boleh pulang. Perkiraan lahir jam 10 pagi. Tapi, kok, kontraksinya hilang?

Aku tidak yakin akan segera melahirkan. Bagaimanapun, aku tetap menginap di klinik, mengambil kamar kelas dua. Lumayan, ada AC dan TV-nya. Seharusnya ada dua pasien, tapi berhubung hanya aku yang sedang menginap, kamar itu pun jadi kamar kelas satu.

Ya Allah, dua hari dirawat, pembukaan tidak bertambah. Padahal, setiap empat jam aku diperiksa pembukaan yang rasanya tidak enak. Malah pembukaan berkurang jadi 2,5. Kalau aku selesai berolahraga, naik lagi jadi 4. Tapi kontraksinya biasa-biasa saja. Aneh. Oh ya, anak-anakku diasuh oleh neneknya yang datang dari Garut setelah dikabarkan bahwa aku akan melahirkan. 

Malam Minggu, aku diperiksa oleh Dokter Kandungan. Diagnosanya menakutkan. Kemungkinan bayiku besar kepala, kepala belum masuk panggul, harus diinduksi. Kalau gagal induksi, ceasar. Astaghfirullah… sejujurnya saat itu suamiku belum siap dana untuk ceasar. Memang biaya persalinan akan diganti kantor, tapi tetap saja kami harus membayar dulu dengan dana simpanan, karena baru akan diganti bulan berikutnya.

Setelah perundingan cukup lama antara aku dan suamiku, kami memutuskan untuk pulang. Aku membaca-baca artikel mengenai gentle birth, khususnya tentang melahirkan dengan mengikuti keinginan bayi. Bayi punya waktu sendiri untuk dilahirkan. Induksi tidak diperlukan bila kondisi janin masih bagus. Kondisi janinku bagus.

Tak ada masalah dengan plasenta. Denyut jantung bagus. Posisi kepala bayi sudah di bawah. Masih bisa menunggu kalau mau lahir secara alami. Lagipula, Hari Perkiraan Lahir-nya masih tiga hari lagi; 19 september 2012. Masih ada toleransi 2 minggu untuk bisa dibilang bayi telat lahir.

Lucu sekali setelah pulang ke rumah. Anak-anakku bertanya, "mana dede bayinya?" Apalagi setelah esok harinya aku kembali mengantar anak-anak ke sekolah. Guru anakku juga bertanya, "Lho, katanya sudah melahirkan?" Ya, dua kali ke klinik untuk melahirkan, ternyata tidak jadi. 

Selama menunggu itu, kuteruskan lagi olahraga merangsang kontraksi dari mulai goyang Inul, jongkok-berdiri, ngepel, makan nanas muda, dan yang terutama percaya kepada Allah bahwa bayiku akan lahir tepat waktu dan baik-baik saja. Kuusapkan air zam-zam ke perut, sebagian kuminum sambil membaca doa Nabi Yunus saat berada di dalam perut ikan Paus; “Laa ilaha illa anta inni kuntu minadzalimiin….”

Aku berdoa kepada Allah, dan juga memohon kepada bayiku, “Dek, ayo lahir ya, jangan menyusahkan Mama lagi….” Aku berbicara kepada bayiku, sebagaimana yang disarankan oleh praktisi gentle birth. Yakin, bahwa bayi mendengar permohonan kita. Seorang ibu tetangga juga mengusap perutku sambil membacakan doa.

Subhanallah… malam harinya, 19 September 2012 jam 11 malam, aku mengalami pecah ketuban. Aku yakin itu pecah ketuban meskipun  baru keluar air sedikit. Setelahnya, kontraksi mulai datang dan benar-benar itulah kontraksi karena menyakitkan. Untunglah bayiku memilih waktu malam hari, jadi kami bisa ke klinik dengan lancar, tidak terkena macet. Kalau pagi hari pasti macet sekali karena kliniknya dekat stasiun kereta dan pasar.

Ternyata sudah bukaan 5. Kontraksi semakin kuat, sakit sekali. Untuk pertama kalinya, suamiku berada di sampingku menjelang melahirkan. Berhubung sudah pecah ketuban, terpaksa aku dinduksi (akhirnya benar-benar diinduksi). Aku diinduksi pada bukaan 6. Setelah itu, rasa sakitnya semakin menjadi.

Rasanya tak tahan, ingin segera mengeluarkan bayinya. Beberapa kali aku minta mengejan, tapi katanya belum lengkap bukaannya. Hingga tiba waktunya mengejan, aku mengejan dua kali lalu tak kuat lagi. Tapi bayiku terus mendorong, sampai aku mengejan pelan, dia keluar. Masya Allah!

Rasa sakitnya memang belum berakhir, tetapi lega rasanya dia sudah keluar. Tangisnya kencang sekali. Alhamdulillah, dia sehat dan sempurna. Suamiku (untuk pertama kalinya juga) mengazankan dan mengiqamahkan. Kami memberinya nama: Muhammad Salim Luthfi.
Hari pertama M. Salim Luthfi menatap dunia

Kini aku punya tiga anak. Kepada semuanya, aku memiliki harapan agar menjadi anak yang salih dan berbakti kepada orang tua. Sebuah harapan yang kelihatan sederhana tetapi berat untuk mewujudkannya. Seberat saat aku mengandung dan melahirkannya, maka tak semestinya aku menyia-nyiakan masa tumbuh kembang mereka yang harus kugunakan seoptimal mungkin agar mereka kelak dapat mewujudkan harapanku.

Baca Juga: 5 Potensi Prestasi Anak Generasi Maju 

Tentu saja anak salih dan berbakti itu tergantung orang tuanya juga. Apabila orang tua dapat mendidik anak dengan baik dan terus mendoakannya, insya Allah harapan orang tua terwujud. Itulah tugas berat yang menanti di depanku.

Kalau ingat ini, aku jadi ingin memeluk dan mencium ketiga anakku sebab apa yang kulakukan kepada mereka masih jauh dari sempurna. Banyak sekali kesalahanku kepada mereka. Ah, maafkan Mama ya, anak-anakku... 

------------

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....