Monday, May 6, 2013

Jajan Pinggir Jalan: Enak, Murah, tapi Harus Hati-Hati

Nasi uduk: salah satu makanan pinggir jalan
yang enak dan murah
foto: dok pribadi

Berbicara soal makanan pinggir jalanan, saya paling senang makan di pinggir jalan. Bukan apa-apa, harganya memang murah meriah. Di Indonesia ini, makanan pinggir jalan memang menjadi raja. Di kota-kota besar, sampai kota kecil, gerobak-gerobak makanan pinggir jalan pasti ada. Yang paling terkenal adalah Jalan Malioboro, Yogyakarta. Hei, siapa sangka ternyata keunikannya justru terletak pada deretan penjual makanan yang menawarkan makan sambil lesehan? Harganya pun sangaaat murah, sangat terjangkau untuk kantong siapa pun. Saya pernah makan di pinggir jalan Malioboro. Tidak lesehan, pedagangnya tidak menyediakan tempat untuk lesehan. Memang ada yang menyediakan tempat lesehan, ada juga yang tidak. Saya membeli satu porsi nasi, gudeg, dan  telur, harganya hanya Rp 5.000. Gudegnya enaak sekali. Suami saya bahkan sampai ingin ke Jogja lagi, hanya untuk memakan gudegnya.


Sewaktu saya masih kuliah di Semarang, setiap minggu pagi, saya berolahraga dan berjalan-jalan santai ke Simpang Lima. Di sana ada pasar kaget, tempat menjual berbagai macam barang dan… makanan! Biasanya saya sarapan bubur ayam dulu, sebelum mengitari Simpang Lima, sekadar cuci mata. Berhubung sudah lama banget (kuliah tahun 1999), saya sudah agak lupa makanan apa saja yang dijual di Simpang Lima. Sama saja sih dengan di kota-kota lain, bubur ayam, bubur kacang ijo. Makanan khasnya, tahu petis, lumpia, tahu genjrot, dan sebagainya. Kalau malam hari, Simpang Lima ini ramai dengan tenda-tenda teh poci yang konon juga menyediakan wanita-wanita penghibur. Berhubung saya belum pernah mampir ke tenda teh poci itu dan hanya mendengar dari cerita orang-orang, jadi tidak bisa dipastikan kebenarannya ya, soal wanita-wanita penghibur itu.

Selain di Simpang Lima, di dekat tempat kos saya, Jalan Raden Saleh, Semarang, juga ada warung tenda Tempe Penyet yang sambalnya maknyuuus. Katanya sih, tempe penyet itu asalnya dari Surabaya. Warung tenda yang letaknya bersebelahan dengan Perpustakaan Jawa Tengah, Raden Saleh itu, selalu penuh dengan pembeli. Mulai buka di sore hari,  antriannya sudah panjang. Perlu menghabiskan waktu sejam untuk mendapatkan pesanan. Ada tempe dan tahu penyet, ati ayam penyet, dan ayam penyet. Harganya sangat terjangkau. Dulu sih sekitar 7 tahun lalu saat masih kuliah, harga tempe penyetnya seporsi hanya Rp 2.000. Resep sambalnya itu yang bikin penasaran, benar-benar bikin ketagihan. Seorang teman saya sangat suka masakan itu, padahal dia punya gangguan pencernaan yang cukup mengkhawatirkan. Setiap memakan tempe penyet dengan sambalnya yang membakar itu, dia pasti bakal buang-buang air terus. Duh, kasihan. Ya, namanya juga tobat sambal. Kami pernah melirik apa saja bahan-bahan untuk membuat sambal itu, karena dibuat di depan mata kami. Penjualnya menguleknya langsung di depan mata kami. Hanya bawang putih, sambal jawa yang pueeedeeesnya mantap, terasi, tomat, gula, dan garam. Tapi kalau kami membuatnya sendiri, gak bisa benar-benar mirip dengan aslinya.

Tragisnya, pas hamil anak pertama, saya ngidam tempe penyet Raden Saleh. Wuaddduh… gak mungkin kan ke Semarang hanya untuk beli tempe penyet? Saya dan suami pun mencarinya di sekitar Depok (setelah menikah, saya tinggal di Citayam, Bogor), dan menemukan tempe penyet di sebuah rumah makan di Jalan Margonda. Sayang, sambalnya gak semantap tempe penyet Raden Saleh. Ngidam saya gak terpenuhi. Saya coba bikin sendiri di rumah, tetap saja gak bisa menggantikan kenikmatan tempe penyet Raden Saleh. Entah kapan saya bisa menikmatinya lagi. Belum ada kesempatan ke Semarang.

Di Garut, makanan pinggir jalan juga membludak, terutama di trotoar di Kota Garut. Pas sekali rumah mertua masih masuk Kota Garut, jadi saya sering jalan-jalan ke Kota Garut dengan angkot atau delman. Makanan pinggir jalan yang biasa saya temui di sana adalah nasi kuning, bubur ayam, bakso, mie ayam, es goyobod, lotek, gorengan, banyak lagi. Nasi kuning dan bubur ayam itu banyak sekali, mungkin setiap 100 meter, ada penjualnya. Suami saya suka sekali nasi kuningnya. Kalau sudah  pulang ke Bogor, pasti minta dibuatkan.

Kalau di Citayam sini, makanan pinggir jalan yang favorit adalah nasi uduk, lontong sayur, lontong padang, nasi goreng, bakmi goreng, gado-gado, ketoprak, dan banyak lagi. Semuanya saya suka, asalkan enak. Dan tentu saja makanan pinggir jalan itu harganya terjangkau dibandingkan makanan-makanan di restoran yang bukan saja mahal, tapi juga kena pajak.

para pecinta makanan pinggir jalan
foto dari sini

Memang, kita harus berhati-hati dalam memilih makanan pinggir jalan, soalnya gak semuanya higinis dan sehat. Belakangan saya mendengar ada bubur ayam dan lontong sayur yang pakai boraks dan pengawet. Cirinya adalah bubur dan lontongnya kenyal dan gak cepat basi. Wah, padahal saya suka banget bubur ayam dan lontongnya, hiks. Sebelumnya juga marak terdengar bakso daging babi di sekitar Depok dan Jakarta. Berhubung saya muslim dan gak makan babi, tentu saja itu amat mengganggu.

Selain itu, kehadiran penjual makanan pinggir jalan di trotoar-trotoar sangat mengganggu pejalan kaki. Saya sering kebingungan mau jalan lewat mana, karena trotoar dipakai oleh pedagang makanan dengan mendirikan tenda dan meletakkan bangku-bangku konsumen. Sering kali memang diperlukan ketegasan petugas Tramtib untuk mengatur keberadaan mereka. Bukannya tega, tapi memang keberadaan mereka di trotoar itu bisa sangat mengganggu para pejalan kaki. Jika arus lalu lintas sangat padat, akan menyulitkan para pejalan kaki untuk berjalan di trotoar bila ditambah dengan keberadaan pedagang kaki lima yang tak beraturan. 

Namun, jangan lupa bahwa bisnis makanan pinggir jalan ini sangat baik untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia dan mengasah mental wirausaha. Daripada jadi pengangguran kan lebih baik menjual makanan. Apalagi di kota-kota besar, prospeknya sangat bagus. Asalkan jangan karena bisnis, lalu “meracuni” pembeli dengan kandungan makanan yang gak baik. Baiklah, mari kita dukung perkembangan bisnis makanan pinggir jalan ini sebagai salah satu pilar ekonomi Indonesia. Bayangkan apa yang ada di belakang koki-koki jalanan itu? Anak-anak mereka, tentu saja. Bagaimana makanan-makanan pinggir jalan yang dihasilkan melalui tangan telaten mereka, dapat menghidupi dan menyekolahkan anak-anak itu. 

9 comments:

  1. bener banget mba harus hati2 beli makanan yg murah dan dipinggir jalan untuk waspada juga, walaupun ngak semua penjual jajanan di pinggir jalan itu curang..sukses ya mba contesnya :)

    ReplyDelete
  2. aku juga seneng makan pinggir jalan, mbak. murah, ramai, enak, tapi masih terasa hangat. soalnya makannya duduknya mepet-mepet. kalau di resto, kudu duduk sendiri2 di meja masing2 :)

    ReplyDelete
  3. Aku suka pecel yg di simpang lima itu mba ela, yu apa ya namanya, enaaaaaak, jd pengen lg ke semarang :D

    ReplyDelete
  4. Waah.. kalo nanti ke jalan-jalan ke Semarang, mau ke Simpang Lima aahh.. :D *Backpacker sejati*

    ReplyDelete
  5. Rasa makanan pinggir jalan kadang ga kalah dg resto, cuma kalah tempat aja. klo jalan2 atau sepedaan Minggu pagi jajan pinggir jalan ga pernah terlewatkan :D

    ReplyDelete
  6. sarapan nasi uduk hampir tiap hari mbak aku disini :)

    ReplyDelete
  7. di simpang lima emang banyak banget makanan enak :D dulu sama temen sering ke sana, hehe. tapi ya memang jajanan pinggir jalan kadang bikin kolesterol naik, bun :D

    ReplyDelete
  8. Bahan sama, tapi beda orang hasilnya memang bisa beda ya mbak. Jadi pingin nyoba sambal itu ... :)

    ReplyDelete
  9. ayoook mbak maen lagi ke semarang :D ketemu aku #eh hehehe :D

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....