Saturday, May 11, 2013

Sepenggal Kisah Tentang Cinta Pertama


Tulisan ini disertakan dalam 8 Minggu Ngeblog yang diadakan oleh Anging Mammiri

Ketika masih duduk di bangku SD, aku ingin sekali menjadi anak SMP. Sepertinya menyenangkan menjadi anak SMP. Setelah duduk di bangku SMP, aku ingin jadi anak SMA. Sepertinya menjadi anak SMA lebih asyik. Dan sekarang adalah hari pertamaku menjadi anak SMA. Apakah benar menjadi anak SMA akan se-asyik yang kubayangkan?

“Ma! Camar berangkat dulu, ya!” Camar pamit usai memakai sepatunya.
“Makan dulu,  Sayang!” Suara mamanya terdengar dari dapur.
“Tidak sempat! Nanti kalau terlambat bisa dihukum. Assalamualaikum!” Camar meninggalkan rumahnya, terburu-buru.
Hari ini adalah hari pertama Camar masuk SMA. Sekolah masih dalam masa perkenalan atau Masa Orientasi Siswa. Biasanya dalam kegiatan itu, para siswa baru diperkenalkan dengan keadaan sekolahnya, baik itu guru-gurunya, sistem pembelajarannya, maupun organisasi-organisasi yang ada di sekolah tersebut. Katanya, MOS biasa digunakan oleh para senior untuk “mengerjai” adik-adik baru mereka. Meskipun pemerintah sudah melarang hal itu, siapa yang tahu para senior benar-benar menaatinya? Buktinya, masih saja ada kasus di mana kegiatan MOS menjadi ajang perploncoan bagi para siswa baru.
Rambut kemerah-merahan Camar yang pendek sebahu dan dipotong chaggy, bergoyang-goyang ditiup angin karena langkah kakinya yang cepat. Potongan rambut “berantakan”nya itu gunanya untuk menyiasati mukanya yang lebar. Pipi Camar memang agak tembem, meskipun tubuhnya proporsional.
Ah, sepertinya ia terlambat. Untung saja upacara pembukaan belum dimulai, dan tentunya MOS baru akan dimulai besok. Jadi, masih aman....
Bel berbunyi. Semua siswa baru segera berlarian ke lapangan.
Upacara pembukaan berlangsung cukup lama. Pada upacara tersebut, Kepala Sekolah memberitahu kegiatan apa saja yang akan diikuti semua siswa baru di MOS. Beliau juga memperkenalkan para senior yang akan membimbing siswa-siswa baru. Setelah itu, seorang guru membacakan nama-nama siswa yang akan masuk ke kelas yang ditunjuk.
Camar memasuki kelasnya. Tak berapa lama setelah duduk, beberapa orang senior memasuki kelas.
“Selamat pagi, Adik-adik!” ucap salah seorang dari mereka.
“Pagi…!”
“Nama saya Rani dan ini teman-teman saya. Di sebelah kiri saya ada Kak Mia dan Kak Rudi, dan di sebelah kanan saya ada Kak Beni. Kami akan memandu kalian untuk mengenal lebih jauh tentang sekolah kita ini. Masih ada satu orang lagi, tapi orangnya belum datang,” kata Rani, ramah.
“Eh, tunggu!” seseorang yang terburu-buru masuk ke dalam kelas, tiba-tiba menyela. “Sorry, ya telat. Nama saya Bayu!”
“Nah, ini Kakak kita yang satu lagi.” Rani menunjuk senior yang terlambat itu.
Semua siswa memperhatikan para senior di depan, termasuk Camar.
Camar terpaku oleh sorot mata Bayu. Sorot mata itu seperti kumparan yang menyeretnya ke dalam lautan. Ia tak mampu berpaling apalagi tersadar bahwa sorot mata itu telah menangkap basah matanya yang terlena. Ia tak pernah merasakan hal semacam itu sebelumnya. Aneh... ada apa dengan mata lelaki yang tepat berada di hadapannya itu...?
“Baiklah, adik-adik. Kalian kan sudah tahu nama-nama kami, sekarang gantian kami yang tahu nama-nama kalian. Ayo, kalian maju ke depan satu per satu dan memperkenalkan nama kalian masing-masing. Dimulai dari sebelah kanan!” Rani menunjuk siswa baru yang duduk di pojok kanan. Anak itu maju ke depan kelas dan memperkenalkan dirinya. Begitu terus bergantian.
“Nama saya, Mentari,” kata seorang gadis yang sedang mendapat giliran. Seorang gadis yang cantik. Rambutnya ikal dan panjang, matanya lentik, kulitnya hitam-manis, dan hidungnya mancung. Tatapan matanya sehangat matahari. Wajar saja kalau banyak lelaki yang terpikat. Ya, beberapa anak laki-laki menyuitinya ketika Mentari memperkenalkan diri. Rasanya, Camar tidak pernah mendapatkan sambutan seperti itu, karena ia memang hanya gadis biasa-biasa saja.
Saat sampai gilirannya untuk memperkenalkan diri, Camar melangkahkan kaki ke depan. Perasaannya agak grogi. Semuanya masih baru. Lingkungan sekolahnya, teman-temannya. Meski kelu, dipaksakan juga lidahnya untuk berbicara.  
“Nama saya Camar,” Ia mulai memperkenalkan diri. Semua mata terpusat kepadanya, sehingga rasa groginya bertambah.
“Saya dari SMP….”
“Siapa namanya tadi?” tanya Bayu, tiba-tiba.
Camar terpaksa menyebutkan kembali namanya.
“Camar?” Bayu bertanya lagi. Hmm...apa maunya laki-laki itu? Mempermalukan Camar di depan umum?
Camar mengangguk.
Bayu tertawa. “Nama yang lucu. Dulu ibumu ngidam melihat burung Camar, ya?” candanya. Seisi kelas ikut tertawa. Tuh, kan benar. Bayu memang hanya ingin mempermalukan Camar, untung Camar dapat menguasai hatinya.  
“Ibu saya penggemar lagu Burung Camar, Vina Panduwinata.” Camar meralat.
“Terus?” Bayu menatap tajam mata Camar. Camar berusaha bersikap setenang mungkin. Aduh... sepertinya lelaki itu benar-benar telah masuk ke dalam hatinya.
“Saya dari SMP 3. Terima kasih,” katanya, menutup perkenalannya hari itu.
***
Bel istirahat berbunyi. Hampir semua anak meninggalkan kelas untuk makan. Beberapa yang lain masih sibuk mencari tanda tangan senior. Pada akhir MOS nanti, mereka sudah harus mendapatkan minimal dua puluh lima tanda tangan senior. Ya, itulah salah satu bagian dari perploncoan yang dilakukan para senior secara diam-diam. Asal tidak mengandung kekerasan, tidak akan mengundang kemarahan Kepala Sekolah. Biarpun demikian, rasanya letih juga melakukan hal aneh itu. Tentu saja aneh. Buat apa mengumpulkan tanda tangan para senior yang untuk mendapatkannya saja, anak baru harus melakukan hal-hal aneh yang diminta senior? Memangnya mereka artis?
Sekarang Camar asyik menikmati bekal makanannya.
 “Sini! Sini! Kamu mau minta tanda tanganku, kan? Nyanyi dulu, ya?” sebuah suara membuat Camar menoleh ke belakang. Di pojok kelas, terlihat Bayu sedang mengerjai salah seorang temannya. Ada keharusan anak baru untuk mendapatkan seluruh tanda tangan senior, dan tentu saja senior tidak akan memberikannya secara gratis. Mereka biasa mengerjai yunior, sebelum memberikan tanda tangannya.
Camar menghela napas. Apakah ia sanggup menghadapi Bayu? Andai saja ia tidak merasakan jantung berdebar tak karuan ketika pertama kali melihat sosok Bayu....
 “Ehem!”
 “Enak sekali makannya?” Tiba-tiba Bayu tersenyum dan duduk di bangku di depan meja Camar.  
Camar langsung terserang grogi akut, tapi masih bisa menawarkan makanannya. Salah satu sikap yunior yang harus ditunjukkan kepada senior; sopan santun.
 “Cuma tinggal sesendok. Mau?” Camar menawarkan.
Bayu tertawa. “Untung aku bukan senior yang suka menghukum. Aku hanya jahil sedikit. Camar, maafkan atas kata-kataku tadi, ya?”
Camar tertegun. Bayu menyodorkan tangannya. Ragu-ragu Camar menerima uluran tangan itu.
“Maafkan aku, Camar,” kata Bayu sambil menjabat tangan Camar, hangat.
Camar seperti terkena setrum. Ia bahkan tak sadar kalau Bayu telah pergi. Ia juga tak tahu kalau Sasa menatap sinis ke arahnya. Itulah pertama kalinya ia berinteraksi lebih dekat dengan Bayu, dan perasaan indah itu semakin menancap dalam di hatinya. Sebenarnya, Bayu tidaklah tampan. Wajahnya biasa-biasa saja, tapi ada daya tarik yang mampu membuat para gadis bertekuk lutut. Daya tarik itu terletak pada matanya yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Tatapannya begitu menusuk hati para gadis, meskipun matanya tidaklah tajam, melainkan teduh. Mata itu juga yang terus membuat Camar terbayang-bayang. Mulanya biasa saja, tetapi semakin dipikirkan, semakin tak mau pergi dari dalam hati.
***
Kehangatan itu masih terasa. Kadang tanpa sadar Camar membelai tangannya sendiri. Mencoba merasakan kembali kehangatan tangan Bayu. Setelah itu, ia merasa bahagia sekali, terlebih jika melihat Bayu di hadapannya. Tertawa dengan gayanya yang khas atau hanya tersenyum yang membuatnya terlena. Matanya tak pernah mau lepas melihat Bayu. Tak pernah. Itulah sebabnya ia tahu kalau Bayu dekat sekali dengan Mentari, gadis sehangat matahari itu. Bayu dan Mentari.
Camar masih saja tak bisa melupakan Bayu. Mungkin ia memang menaruh hati kepada Bayu. Aneh juga, ya? Sejujurnya, ia bukan baru sekali ini saja mengagumi lawan jenis. Waktu SMP, ia juga pernah menyukai seorang teman lelaki. Tetapi, sepertinya kali ini lebih hebat. Ia tidak bisa berhenti memikirkan Bayu. Mungkin ini yang dinamakan cinta....
“Duh... baru juga masuk SMA, sudah jatuh cinta kepada seseorang....” Camar memukuli kepalanya. Masa orientasi tinggal sehari lagi. Gara-gara perasaannya itu, ia belum berani meminta tanda tangan Bayu. Keraguan meliputi dirinya. Sanggupkah ia mendatangi Bayu? Dalam satu hari ia sudah menaruh hati, dan hari-hari berikutnya perasaan itu semakin dalam. Bayu adalah cinta pertamanya pada pandangan pertama. Entah apakah ia bisa mendapatkan cinta itu.
Namun, hari ini adalah kesempatannya yang terakhir. Hari ini juga ia harus mendapatkan tanda tangan Bayu. Kalau tidak, ia akan kena sangsi. Camar melangkah perlahan mendekati Bayu. Semakin dekat… semakin dekat… tapi tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Ia ragu. Ia tak bisa. Debaran ombak di hatinya tak tertahan lagi. Ia hanya bisa berlari meninggalkan Bayu.
“Oke, Adik-adik. Silakan kalian kumpulkan tanda tangan senior-senior kalian. Kami akan mengecek siapa yang tanda tangannya kurang lengkap, terutama dari senior pembimbing kelas ini. Seharusnya kalian mendapatkan tanda tangan kami semua karena itu wajib,” urai Beni, sebelum MOS hari ini selesai. Semua siswa segera mengerjakan perintah itu, begitu juga Camar. Sambil mengumpulkan tugasnya, dia terus menatap Bayu. Dadanya berdetak kencang. Dia belum mendapatkan tanda tangan Bayu…!
“Camar?” panggil Rani. Camar hampir saja mati duduk. Sasa tersenyum melihat ekspresi Camar yang ketakutan.
“Kenapa kamu belum mendapatkan tanda tangan Kak Bayu?” tanya Rani. Camar menelan ludah. Dia harus jawab apa?
“Aku….”
“Apa? Camar belum dapat tanda tanganku?” tanya Bayu, tiba-tiba.
Camar melotot. Bayu!
“Iya. Bagaimana ini? Mau dihukum apa?” tanya Beni.
“Biar aku yang urus sendiri. Ayo, Camar! Kita ke luar!” Bayu mengerlingkan mata ke arah Camar.
Camar terbelalak. Apa kata Bayu? Dia….
“Silakan, Camar. Hati-hati, ya. Kak Bayu suka kejam kalau menghukum!” kata Beni disertai gelak tawa teman-teman Camar yang lain. Camar menundukkan wajah. Dia malu sekali, terutama saat nanti harus berhadapan dengan… Bayu.
“Kenapa kamu tidak meminta tanda tanganku, Camar?” Bayu menatap Camar, yang tak mampu menghadang tatapan mata itu. “Kamu jangan ketakutan begitu, dong. Aku tidak akan menggigitmu, kok!”
Camar tersenyum tipis. Sungguh, debaran ombak di hatinya semakin kencang.
“Aku…”
“Kamu masih marah kepadaku, ya?”
“Tidak.... Em… aku….”
“Camar… aku minta maaf kalau kamu masih marah sama aku.”
“Bukan itu! Aku… aku lupa.”
“Lupa?”
“Terlalu banyak senior yang harus aku mintai tanda tangan. Aku lupa….”
“Kamu lupa sama aku?” Bayu menepuk jidat.
Camar memejamkan mata. Tidak, Bayu. Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? Aku bahkan selalu memikirkanmu.
“Ya, sudah. Tidak apa-apa. Tapi… aku minta maaf sekali lagi, ya. Please…!” Bayu menyedekapkan kedua tangannya ke dada.
Camar mengangguk cepat. “Tentu saja”
“Ayo kita masuk lagi, Camar!”  
 “Kakak tidak menghukumku?”
“Kan aku yang salah sama kamu. Ayo!” kali ini Bayu menyentuh bahu Camar, membuat debaran ombak di hati Camar semakin kencang.

Kiranya Tuhan tahu
serpih-serpih malam mengabu doa
Pasir abjad dirimu
mengapung mengangkasa
di putih sayap Jibril
Meski terlalu muskil bagiku
merengkuh dirimu
di setiap lampiran detik.
Kiranya kau mengerti
Galau menampar relung hati
Lindu mengecup kening malamku
Hingga aku terkapar tak berdaya

(puisi oleh Cucun Naizari)


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita di atas adalah penggalan kisahku saat berjumpa dengannya, cinta pertama yang sudah larut oleh waktu. Anda bisa menebak kan, mana saya dan mana dia?

Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri. 

4 comments:

  1. Mbak Ley, so sweet banget. Ruh anak barunya berasa. Debar-deburnya hingga ke hati hehe... pengen tau kelanjutannya :D Jadiankah?

    ReplyDelete
  2. huaaa mbak leyla hebat banget bikin cerpennya. teenager spiritnya dapet banget

    ReplyDelete
  3. hampir sama kisahnya sama waktu aku MOS SMA dulu tante. hihihi...

    ReplyDelete
  4. Ehm ...
    Saya masih ingat lagu Burung Camar. Waktu itu saya masih SD, duh tua banget diriku ya
    *ilang fokus*
    :D

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....