Sunday, February 2, 2014

Giveaway Kolaborasi: My Dream, My Passion



Buku yang terbit di tahun 2013


“Aku nanti mau jadi wanita karir, ah, kalau sudah lulus sekolah,” ucapan temanku, belasan tahun lalu, tiba-tiba terlintas kembali dalam ingatan. Sementara dia bercita-cita ingin menjadi wanita karir, aku justru memancangkan niat dalam hati untuk menjadi ibu rumah tangga dan penulis. Entahlah mengapa bisa begitu. Aku ingin menjadi ibu rumah tangga karena membayangkan aktivitas di rumah, mengantar suami dan anak-anak  yang akan berangkat ke kantor dan sekolah sampai depan pintu rumah, memasak makanan untuk mereka, menunggu kepulangan mereka, bahkan hal-hal kecil semacam melepaskan dasi suami dan membantu menaruh tas kerjanya.


Untuk mengisi waktu luang, aku akan menulis. Ya, menulis. Aku sudah suka menulis sejak SD dan merasa yakin bahwa itu akan menjadi profesiku kelak. Bukankah menjadi ibu rumah tangga dan penulis itu adalah perpaduan yang tepat? Aku bisa menulis dari rumah, tak perlu berangkat ke kantor. Aku juga membayangkan buku-bukuku dibaca banyak orang dan namaku dikenang oleh mereka. Ah, betapa indahnya menjadi ibu rumah tangga yang penulis.

Impianku terus hidup dalam hatiku. Meskipun aku menempuh pendidikan di fakultas ekonomi, aku justru sering berkumpul dengan mahasiswa dari fakultas sastra. Aku semakin sering mengirimkan tulisan ke majalah dan dimuat. Honornya bisa untuk membeli buku kuliah atau sekadar fotokopi. Aku semakin menikmati dunia tulis-menulis. Dunia yang sangat menyenangkan. Aku juga mulai berani mengirimkan naskah ke penerbit. Ditolak? Kirim lagi, kirim terus, sampai akhirnya novel pertamaku terbit. Luar biasa! Betapa senang hatiku.

Bukan tanpa aral melintang untuk mewujudkan impianku. Orang tuaku sempat melarangku menjadi penulis. Kalaupun aku masih ingin tetap menulis, aku harus punya pekerjaan lain yang lebih tetap dan menjanjikan. Menulis itu hanya pekerjaan sampingan. Aku pun bekerja di tempat yang tidak jauh dari hobiku itu. Aku menjadi editor yunior di sebuah penerbit. Akan tetapi, aku masih memimpikan menjadi ibu rumah tangga sekaligus penulis. Aku tidak suka pekerjaan mengedit naskah walaupun masih berdekatan dengan profesi menulis. Aku lebih suka mengedit naskah sendiri daripada orang lain. Aku juga tidak suka diperintah-perintah orang lain atau menjalani deadline yang ketat. Aku ingin melakukan pekerjaan sesuai suasana hati.

Ketika mencari jodoh, aku berharap mendapatkan suami yang akan mendukungku menjadi ibu rumah tangga. Di dunia materialistis seperti sekarang ini, tak sedikit lelaki yang ingin istrinya kelak juga bekerja mencari nafkah. Aku pun sempat akan berjodoh dengan lelaki semacam itu. Ketika dia membaca keinginanku untuk menjadi ibu rumah tangga, dia  mengundurkan niatnya untuk menjajaki perjodohan kami. Aku tidak kecewa, karena kami belum bertemu muka. Siapa tahu dia jelek, kan? Jadi, buat apa menyesal telah mencantumkan keinginan itu? Aku mencoba peruntungan dengan calon yang lain.

Kali ini, aku beruntung. Calon suamiku ternyata juga ingin istrinya lebih mengutamakan pekerjaan rumah tangga dibandingkan berkarier. Alhamdulillah, kami berjodoh. Sebulan setelah menikah, aku berhenti bekerja kantoran dan menggapai impianku sebagai ibu rumah tangga yang penulis. Kenyataannya, setelah aku mulai hamil dan memiliki anak-anak, pekerjaan menulis tidak lagi memiliki waktu yang memadai. Aku harus mengasuh dua bayi karena usia kedua anakku hanya terpaut setahun. Bahkan aku menjadi berhenti menulis selama tiga tahun.

Ketika anak keduaku sudah berusia 2,5 tahun, aku coba memulai kembali karir menulisku meski terseok-seok. Aku curi-curi waktu menulis di tengah kegiatan mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Memang tidak mudah, terutama menata pikiran dan konsentrasi. Bayangkan saja, aku harus menulis sambil melayani kebutuhan anak-anak. Ketika sedang sangat berkonsentrasi menulis, tiba-tiba anak-anak menangis minta makan, susu, pup, buang air kecil, dan sebagainya. Aku harus bisa menahan emosi dan mengelola waktu.

Satu per satu bukuku pun kembali menghiasi toko buku. Walaupun demikian, sampai hari ini aku masih harus berkompromi antara pekerjaan mengasuh anak dan menulis. Sering kali aku tertinggal deadline karena anak-anak tiba-tiba sakit dan menuntut perhatian penuh. Aku tak berharap muluk-muluk, masih bisa menulis saja sudah bagus karena begitu terbatasnya waktu yang ada. Waktuku telah dikuasai oleh anak-anak, sehingga aku hanya bisa menulis kalau mereka benar-benar telah memberikanku kesempatan.

Aku masih menyimpan mimpi ketika buku-bukuku dibaca dan diapresiasi oleh banyak orang. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang penulis selain bukunya mendapatkan tanggapan positif di masyarakat. Aku masih memimpikan menjadi penulis yang konsisten berkarya. Aku berterimakasih kepada suamiku yang telah berperan dalam tercapainya sebagian mimpiku. Menjalani hobi menulis dengan santai sambil mengasuh anak-anak, tidak bergantung kepada royalti karena suamiku sudah memenuhi tanggungjawabnya memberikan nafkah. Masih ada mimpi yang lebih besar, yang masih terus kujajaki, salah satunya adalah membuat penerbitan sendiri. Semoga waktu memberiku kesempatan untuk menggapai mimpi-mimpi besarku itu. 






3 comments:

  1. akhirnya sekarang jadi penlis,semoga mimpi2 indahnya terwujud mbk..aminn^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdullillah, Mba Hanna... yuk, menggapai mimpi ^^

      Delete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....