Monday, February 3, 2014

Kegagalan adalah Temanku


Ketika sedang memberesi buku-buku di rak buku miniku, mataku tertumbuk pada sebuah buku berjudul “Personality Plus.” Ah, ya, buku itu sudah pernah kubaca beberapa tahun lalu, sangat bermanfaat untuk mengukur kepribadianku. Apa hasilnya? Ternyata aku didominasi oleh kepribadian koleris! Hasil perhitungannya memang mendekati sifat-sifatku selama ini: suka berkompetisi, ada kecenderungan ingin menjadi pemimpin, selalu ingin melakukan perubahan, tidak bisa diam dari aktivitas, kadang kala menginginkan orang lain juga sama kuat dan tangguhnya sepertiku, dan sebagainya.

Aku memang suka berkompetisi. Sampai hari ini, aku masih ada kecenderungan “tidak mau kalah” dari orang lain. Aku tahu bahwa berkompetisi itu hasilnya kadang kalah kadang menang. Aku sudah merasakan beberapa kali kemenangan dari berbagai jenis lomba yang kuikuti, tetapi jumlah kekalahannya lebih banyak lagi. Apa yang kurasakan setiap kali kalah? Ada rasa panas di dada, jantung berpacu lebih cepat, dan wajah mengkerut hebat. Ajaibnya, emosi sedemikian rupa tak menghalangiku untuk terus berkompetisi. Sebab, efek dari kemenangannya amat membahagiakan.
Di antara semua kegagalan yang kudapatkan, ada satu kegagalan yang masih terus ada di dalam alam bawah sadarku. Dan itu justru kegagalan pertamaku dalam kompetisi. Usiaku mungkin baru 6 atau 7 tahun ketika mengikuti lomba tujuh belasan di komplek perumahan tempatku tinggal semasa kecil. Aku hanya menjadi penonton, tetapi panitia mendorong-dorongku untuk maju. Aku mengikuti lomba membawa kelereng di atas sendok  yang dimasukkan ke mulut, lomba balap karung, dan lomba membaca puisi. Aku senang sekali mengikuti perlombaan-perlombaan itu. Agaknya, sifat kolerisku sudah bekerja.
Aku tertawa dan bergembira selama mengikuti perlombaan. Tetapi, masih kuingat rasa gugup yang menyerang ketika membaca puisi. Aku tidak tahu apakah cara membacaku itu sudah bagus. Sama seperti peserta lomba lainnya, aku pun menunggu namaku disebut dalam acara pengumuman pemenang. Acara pengumumannya baru akan diadakan pada acara puncak tujuh belasan, malam Minggu, bersamaan dengan acara tari-tarian dan joget-jogetan.
Acara puncak tujuh belasan pun tiba. Aku telah berdiri di seputaran depan panggung, menanti saat-saat pengumuman. Aku harus mendengarkan pembacaan Al Quran, Pidato Pembuka dari Ketua RT, Sambutan dari Panitia, dan sebagainya. Lalu, sampailah pada pengumuman lomba. Jantungku berdetak lebih keras. Satu per satu nama pemenang diumumkan, satu per satu temanku pun maju ke atas panggung. Tetapi….
Di antara sekian banyak lomba yang kuikuti, tak ada satu pun yang memenangkanku! Aku lupa apakah waktu itu aku menangis, tapi aku butuh waktu cukup lama untuk kembali berkompetisi. Yang pasti, aku tidak pernah lagi mengikuti lomba tujuh belasan. Namun, aku belum kapok mengikuti kompetisi lainnya. Kegagalanku itu memecutku untuk meraih kemenangan, suatu hari nanti. Aku masih rajin mengikuti kompetisi, terutama yang sesuai dengan minat dan bakatku. Hingga kurasakan kemenangan mulai menyapa. Aku semakin yakin bahwa di balik kegagalan ada kemenangan.
Aku bersyukur pernah disajikan kegagalan, sebab waktu itu aku berjanji, “Lihat saja, nanti aku juga menang di tempat lain.” Kegagalan memecutku untuk bersemangat meraih kemenangan. Kegagalan memecutku untuk menjadi orang yang tidak pantang menyerah. Kegagalan memecutku untuk terus melakukan sesuatu. Aku, dalam perjalanan mengalahkan waktu, akhirnya dapat membuktikan bahwa tak selamanya orang yang kalah itu akan terus kalah. Selama masih terus berusaha, kemenangan itu pasti datang.

 ****

5 comments:

  1. Kegagalan dijadikan pemacu agar lebih semangat lagi kedepannya ya mbak. Asal jangan menjadikan kegagalan diri kita menjadi down :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju, Mba Lidya. Setiap gagal, harus bangkit lagi :-)

      Delete
  2. biasanya kan yang kalah terus endingnya juga kan menang ya mbk hehe..
    sukses bt GAnya mbk^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau terus mencoba ya insya Allah endingnya menang, Mba Hanna :-)

      Delete
  3. Soal kalah dan menang aku sudah mulai terbiasa. Setiap lomba pasti ada jurinya dan mau tak mau selera juri pasti mempengaruhi penilaian. Jadi aku selalu berhasil menghibur diri jika kalah... hehehe walau terkadang saat kekalahan datang bertubi2 ada rasa yang memintaku untuk rehat sejenak sebelum mulai utk berlari lagi.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....