Monday, September 11, 2017

Idul Adha, Makna Berkurban yang Sesungguhnya



Setiap hari ada hewan yang disembelih untuk dimakan dagingnya. Tapi mengapa saat Idul Adha di mana umat Islam menyembelih hewan kurban secara bersamaan, ada saja yang berkomentar bahwa orang Islam sangat kejam karena membantai hewan-hewan di hari raya?



Idul Adha sudah lewat lebih dari seminggu. Tadinya tulisan ini mau saya tulis saat Idul Adha. Berhubung lebaran di kampung dan tidak sempat menulis, hampir saja saya tidak jadi menuliskannya. Kalau bukan karena kemarin suami tanya, mengapa kami tidak punya stok hewan kurban? Saya pasti sudah benar-benar melupakan momen Idul Adha tahun ini. 

Di hari Idul Adha, seorang teman menulis status di Facebook tentang warga di kampungnya yang tidak merasakan kebahagiaan memakan daging kurban karena sedikitnya orang yang berkurban. Hari di mana sebagian besar umat Islam berpesta daging kurban, tidak berlaku untuk mereka. Teman saya berharap, ke depannya ada pemerataan pembagian hewan kurban. Kalau bisa, sebagian warga kota berkenan memotong hewan kurban di kampung agar orang kampung juga ikut makan daging kurban. 

Alhamdulillah, itulah mengapa suami sesekali berkurban di kampung. Memang tidak setiap tahun. Tahun lalu, kami berkurban di komplek perumahan tempat tinggal kami. Tahun ini, di kampung suami. Alasannya ya itu, karena di kampung hanya sedikit yang berkurban. Jadi, hewan kurban kami benar-benar menggembirakan penerimanya. Setiap kali berkurban di kampung, saya harus siap tidak memiliki stok daging kurban. 

Namanya juga ibu-ibu ya. Memiliki stok daging kurban yang bisa disimpan untuk dimasak di hari esok tentu menyenangkan. Bisa menghemat pengeluaran rumah tangga sekaligus menyajikan hidangan bergizi yang "mewah." Bagi kami,  daging sapi atau domba itu masih hidangan yang mewah karena harganya mahal. Kalau berkurban di rumah sendiri, saya bisa mendapatkan 5 kantung daging sapi karena banyak yang berkurban. Saya dan 6 tetangga bisa patungan membeli 1 ekor sapi. Daging sapi lebih banyak daripada daging kambing. Jadi kalau berkurban kambing, saya cuma mendapatkan 1 paha. Kalau sapi, saya bisa dapat 5 kg daging. 

Nah, kalau berkorban di kampung, saya hanya bisa membeli domba, karena tidak ada yang bisa diajak patungan beli sapi. Bagian saya itu nantinya dimasak bersama seluruh keluarga di kampung. Otomatis kan tidak ada yang bisa saya bawa pulang untuk stok daging. Agak nelangsa juga melihat teman-teman update status, bingung mau dimasak apa dagingnya karena banyak, sedangkan saya tidak punya daging sama sekali. Hiks. 

Justru di situlah keikhlasan diuji, dan sebenarnya hal ini membuat saya enggan menuliskannya. Tapi semoga saja tulisan ini bukan riya', dan bisa membuat saya ingat terus di setiap momen Idul Adha. Tentang makna berkurban yang sesungguhnya. Tentang keikhlasan memberikan hewan kurban seluruhnya. Aturannya, memang pemilik hewan kurban mendapatkan bagian daging. Kalau domba ya 1 paha itu. 

Domba Kurban

Saya hanya mengandaikan kasus saya seperti orang yang berkurban untuk daerah yang jauh dari tempat tinggalnya. Hanya mentransfer uang ke lembaga yang dipercaya, untuk kemudian disalurkan ke daerah-daerah yang minim hewan kurban. Mereka juga tidak mendapatkan bagian dari hewan kurban itu dan mereka ikhlas. Walaupun saya tidak berkurban di komplek perumahan, sebenarnya saya tetap mendapatkan bagian hewan kurban dari tetangga yang berkurban. 

Ini dia, cerita yang bisa saya kenang dan tertawakan besok. Saya menitipkan hewan kurban itu ke tetangga, karena saya masih di kampung. Ternyata kulkas tetangga saya itu tidak muat. Freezernya sudah penuh dengan jatah dagingnya juga. Dia menaruh daging kurban saya di kulkas bawah. Padahal hanya 1,5 hari, eh begitu sampai di tangan saya, dagingnya sudah busuk. Duh, kalau mengingat ini jadi ingin menangis lagi. 

Daging sudah bau dan biru. Saya sempat mencoba merebusnya, siapa tahu masih bisa dimakan. Setelah sebagian saya masak jadi sop, yah rasanya memang sudah tidak enak. Saya pun mual menciumnya. Semua daging itu terpaksa saya berikan ke anjing tetangga. Saya masih berpikir positif. Allah melarang saya makan daging supaya kolesterol tidak naik. Lebih baik makan buah dan sayur saja yang harganya lebih murah dan menyehatkan. Eh, setelah seminggu berlalu, suami baru sadar kalau kami tidak memiliki stok daging. Yah, ke mana aja, Bang?
Dia baru sadar mungkin karena hari Sabtu lalu saya tinggalkan seharian untuk ikut event blogger. Di event blogger inilah saya bisa makan daging, hahaha....  Kalau sudah tidak ada istri   di rumah, baru deh dia  turun ke dapur, memasak makanan anak-anak, mencuci piring, dan melihat isi kulkas. Mungkin saat melihat kulkas, dia berpikir, "kok kulkasnya kosong ya?" Tahun lalu, karena berkurban di komplek, kulkas kami penuh daging. 

Jadi, suami tanya kok saya tidak membawa daging dari Garut?  Saya jelaskanlah, itu kan konsekuensi kalau berkurban di kampung. Dapat dagingnya sedikit. Semua sudah dimasak jadi sate dan gulai. Saya memang membawa sedikit sate, tapi kata suami sih seharusnya saya juga membawa daging mentahnya. Suami sudah pesan ke ibu mertua supaya menyisihkan daging mentah bagian saya. Lha.... Ada miskomunikasi nih. 

Sampai pulang, ibu mertua tidak mengingatkan soal bagian daging mentah itu. Saya pikir semuanya sudah dijadikan sate dan gulai. Ibu mertua juga tidak menyinggung soal daging mentah. Kalau memang ketinggalan kan pasti beliau tanya, kenapa dagingnya ditinggal. Nyatanya tidak. Ya sudah, mungkin dagingnya memang sudah dimasak semua. Toh, saya tetap mendapatkan banyak tentengan dari Ibu Mertua, seperti kerupuk, pisang, tomat, mentimun, dan lain-lain. Berarti jatahnya cuma sedikit sate domba itu. Risiko yang sudah saya siapkan dari rumah kalau berkurban di kampung. 

Idul Adha sudah lewat seminggu, semua yang terjadi biarlah berlalu. Toh, tidak bisa dikembalikan juga daging yang membusuk dan daging mentah bagian saya yang entah ada atau tidak. Semoga saya bisa menjaga keikhlasan ini, walaupun suami kembali mengingatkan akan momen yang tidak enak itu. Tetap berpikir bahwa kejadian itu yang terbaik untuk kami supaya kolesterol tidak naik. Jika orang lain masih menikmati sop iga, rendang, dan lain-lain, kami sudah makan ayam dan ikan lagi. 

Alhamdulillah, masih bisa makan daging. Daging ikan dan ayam. Kejadian ini juga ingin menjelaskan sebuah pertanyaan dari teman suami, yang barangkali juga ditanyakan oleh orang non muslim lainnya. Kenapa sih Idul Adha harus memotong daging? Kalau untuk berbagi dengan orang miskin, kenapa tidak dalam bentuk uang saja? Teman suami yang bertanya itu seorang non muslim. Sebuah pertanyaan yang bisa ditafsirkan dua hal: sekadar mengolok-olok atau memang ingin mencari kebenaran. Sebuah pertanyaan yang barangkali juga menjadi muara dari hujatan bahwa Umat Islam melakukan pembantaian besar-besaran terhadap sapi dan kambing di hari raya.

Mengajarkan berkurban pada anak-anak sejak dini

Yah, padahal setiap hari hewan-hewan itu juga dibantai ke tempat pemotongan hewan untuk dijadikan burger, steak, sate, rendang, dan lain-lain. Jadi, mengapa harus menyembelih hewan di hari Idul Adha? Suami sih jawabnya, "memang sudah ajaran Islam dari sananya." Jiyaah.... Itu jawaban dasar sih. Ya memang sudah ajarannya begitu. Berasal dari kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih anaknya, tapi kemudian Allah ganti sosok Ismail dengan seekor domba. 

Namun, maknanya lebih dari sekadar cerita yang sering dianggap dongeng belaka bagi orang-orang atheis. Maknanya banyak. Pertama, kesanggupan melaksanakan perintah Allah. Kedua, keikhlasan mengorbankan sesuatu yang disayangi untuk Allah. Ketiga, kesalehan sosial, yaitu saat membagikan hewan kurban itu ke orang-orang yang membutuhkan. Kalau di komplek saya, tetangga yang non-muslim  juga mendapatkan  bagian   hewan kurban yang  sama dengan muslim lho.Mengapa berkurban dengan hewan?  Mengapa bukan uang saja? Kalau uang kan bisa dibelikan apa saja sesuai kebutuhan penerima. 

Bukannya mau riya' atau takabur. Umat Islam juga punya aturan untuk berbagi dalam bentuk uang, yaitu zakat, infak, dan sedekah. Ketiganya dilakukan tanpa menunggu hari raya. Zakat penghasilan misalnya, berasal dari 2,5% penghasilan yang sudah mencapai kewajiban berzakat (penghasilan di atas 5 juta/ bulan). Kalau belum wajib berzakat, bisa berbagi dalam bentuk infak dan sedekah. Melakukan ketiganya juga sangat dianjurkan. 

Lalu, mengapa kita disunnahkan menyembelih hewan sapi atau kambing di hari Idul Adha? Itu adalah bentuk berbagi dalam hal lain, yaitu daging. Mengapa daging? Karena makanan ini ada di urutan tertinggi. Makanan mewah yang tidak semua orang bisa memakannya setiap hari karena harganya yang mahal. Apalagi orang miskin, jangankan beli daging sapi, beli ikan saja mereka hanya sanggup ikan cue. Tahu kan ikan cue? Ikan yang dikeringkan. 

Saya sendiri walaupun tidak miskin, tapi jarang makan daging sapi atau kambing karena uangnya lebih banyak untuk membayar SPP anak-anak hahaha..... Setiap Idul Adha itu rasanya bahagia kalau punya stok daging. Akhirnya bisa masak sop iga, randang, semur, dll. Lain ya kalau sudah sering makan daging, bahkan hampir setiap hari. Momen Idul Adha ya terasa biasa. Jadi, Idul Adha itu adalah hari kebahagiaan untuk semua umat Islam, bukan hanya yang kaya tapi juga yang miskin. Semuanya bisa makan daging. 

Berkurban memang sunah, tetapi sebaiknya diusahakan paling tidak sekali seumur hidup. Warga di komplek perumahan saya sebagian besar juga bukan orang yang kaya dan hidup mewah. Mereka banyak yang bekerja sebagai PNS. Tapi Alhamdulillah, kesadaran untuk berkurban lumayan tinggi, setiap tahun minimal ada 4 sapi dan 2-3 kambing yang dikurbankan. Untuk sapi, per ekornya dibeli oleh 7 orang secara patungan. Kalau kambing untuk orang yang ingin berkurban sendirian (tidak patungan). 

Dagingnya selain bisa dibagikan ke semua warga komplek, juga disebar ke kampung-kampung di dekat perumahan yang warganya kebanyakan bekerja serabutan sebagai tukang kebun dan pembantu rumah tangga. Mereka yang berkurban itu setahu saya memiliki tabungan kurban yang dikoordinir oleh satu orang dan ditagih setiap bulan. Jumlahnya sesuai harga sapi atau kambing saat ini. Saya pernah ikut sekali, saat harga kambing masih murah, sekitar 1,5 juta per ekor. Setiap bulan saya menabung Rp 100.000. Kalau sekarang harganya sudah Rp 3 jutaan ya.

Jadi insya Allah, buat yang masih bisa menabung per bulan Rp 300.000, masih bisa ikut berkurban. Dengan berkurban, kita mendidik hati dan jiwa untuk tidak kikir, bergantung pada harta dunia, dan berani melepaskan sebagian harta yang kita miliki untuk orang lain. Sifat kikir sangat dibenci oleh Allah SWT. Semoga kita selalu diberi kelapangan hati untuk ikhlas berbagi, karena berbagi juga bisa mendatangnya kebahagiaan.

Baca Juga: Mencari Kebahagiaan? Ini Dia Caranya! 


22 comments:

  1. Semoga niat ikhlas berkurban untuk mereka yang lebih membutuhkan dibalas oleh Allah, mb

    ReplyDelete
  2. Melihat adanya fenomena tidak meratanya orang yg berkurban dan daging kurban yg tidak merata pembagiannya juga, saya lebih senang bekurban di daerah yg jarang org bekurban. Memang konsekuensinya adalah saya tdk mendapat jatah bekurban tp semua itu terbayar dengan wajah-wajah sumringah si penerima daging kurban. Tahun ini pun sy menjalani Idul Adha bersama program Tebar Hewan Kurban Dompet Dhuafa dan melaksanakan pemotongan hewan kurban di pelosok Lombok. Sungguh kebahagiaan yg luar biasa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya betul mbak. Itu dia kenapa berkurban di kampung, karena di kota sudah melimpah ruah dagingnya.

      Delete
  3. Hahaha.. jarang makan daging kambing n sapi karena buat spp anak. Toss ah..
    Ga perlu 300rb per bulan mba. Setengahnya aja, insya Allah masih bs berkurban kok. ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa juga mba. Takutnya kan tahun depan naik lagi harganya hehehe...

      Delete
  4. Alhamdulillah mbak, saya qurban d kampungnya, to d kampungnya banyak yg kurban juga, jd banyak kebagian daging nih... Semoga kurban Kita diterima,. Amiiin

    ReplyDelete
  5. Keikhlasan mengorbankan sesuatu yang disayangi untuk Allah, ini jleb banget menurutku. Kuncinya ikhlas insha Allah hati jadi adem dan tenang :)

    Sebenarnya kejadian yang Mamak Salim alami mengenai busuknya daging kurban yang ditinggal mudik dan dititipkan ke tetangga, sama dengan yang ku alami. Pas kami sudah sampai rumah, tetangga mengantarkan daging kurban untuk kami. terlihat baru dikeluarin dari frozen, tapi begitu diterima bau busuknya itu udah tercium :( Saya sih nda ikutan nyium, takut muntah yang ada. Menyayangkan saja, daging kurban harus berkahir di tong sampah..jadi mubazir kan hikhik.

    ReplyDelete
  6. Siniiii mbak el, di rumahku masih ada daging nii. Bingung mau dimasak apa. Kemarin juga aku sempet buang daging kambing hiks, nyesel kalau inget. Pasalnya dagingnya bau, karena pas dibagikan dicampur sama jeroan2, huuuh aku jadi BT, tapi ya udah lah gimana lagi dari pada sakit makan daging bau/busuk.

    ReplyDelete
  7. Iya, agak dilematis juga ya urusan distribusi daging kurban. Saya tahun ini alhamdulillah dapat kurleb setengah kilo dari masjid, dan lumayan banyak limpahan dari tetangga yang lagi malas masak dan makan daging, mikirnya pasti kemakan kali yaa, secara anak saya banyak sedang dalam masa pertumbuhan semua ihiy..

    ReplyDelete
  8. Aku juga suka miris, distribusi suka gak merata. Ada yang terkesan jadi "maruk" kalau musim kurban begini. Sedih. Sedangkan ada orang yang bisa jadi setahun sekali makan daging. Hh

    ReplyDelete
  9. 5 taun ini aku gak pernah ngambil jatah kurban, aku kasih ke tetanggaku yg anaknya banyak, karena mertua + ortu sama2 kurban jadi berlimpah

    sedih aku baca tentang distribusi kurban yg gak merata, padahal di Jakarta orang rela rebutan antri sampe pingsan2 demi sekantong daging kurban

    ReplyDelete
  10. Kalau idul adha suka aja liat proses pemotongan dan juga kegembiraan bakar2 daging kambing kambing. Pun nggak suka tapi moment ini selalu aku tonton tiap tahun. Ada satu tempat yang happy banget bisa dapat daging kurban sementara ada juga yang dengan segenap tenaga untuk dapat daging kurban, fenomena juga yang tetap jadi tontonan.

    ReplyDelete
  11. Idul adha, adalah kegembiraan. Bagi yang berkurban atau menerima. Pun sayang masih aja ada cerita dari pendistribusian daging kurban yang belum merata.

    ReplyDelete
  12. Mulai ngajarin anak2 ttg pengorbanan karena udah cukup ngerti nih si kakak.
    Kebersamaan juga terasa banget, gimana sama2 membungkus daging dan mendistribusikan kpd orang2 yg berhak..

    ReplyDelete
  13. Iya mba Leyla, distribusi hewan kurban memang belum merata.. Tahun ini juga suami kurban di kampung dan gak kebagian hewan kurban.. Jadi memang mesti ikhlas ya, gakpapa ada yang lebih berhak buat menikmati dagingnya.. :)

    ReplyDelete
  14. Sekarang udah banyak lembaga2 macam DD yg lebih memperhatikan pemerataan hewab qurban terutama untuk pelosok2. Aku pun tahun ini ga nyetok daging qurban mba karena qurban nya di Palembang. Kalau kata suami udah kita beli sate aja tinggal makan 😂😅

    ReplyDelete
  15. Idul Adha di daerah rumah saya cukup meriah. sekitar 4 sapi dan 10 kambing. Semua warga sekitar mendapatkan kupon yang ditukar denga sebungkus daging sapi atau kambing.

    ReplyDelete
  16. Aku kdg di kampung Ibu hihihi. Semoga banyak yg berkurban dari Tahun ke tahun

    ReplyDelete
  17. Aku kdg di kampung Ibu hihihi. Semoga banyak yg berkurban dari Tahun ke tahun

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah tahun ini saya juga berkurban mba ^^, bisa nabung senengnya yah

    ReplyDelete
  19. domba qurban.. masuk surga gak ya?
    apakah nanti kalo di surga kita bisa ketemu sama domba qurban kita dulu?

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....