Tuesday, December 10, 2019

Menjadi Perempuan Berdaya di Era Digital

Di balik perempuan yang sukses berkarir, ada air mata dan pengorbanan. Entah itu rela melajang sampai tua karena khawatir pernikahan dapat menghalangi karir, atau mengorbankan pernikahan karena suami tak rela diduakan dengan pekerjaan istrinya. Beberapa perempuan bisa berbahagia karena tetap bisa berdaya, rumah tangga pun aman sejahtera. Apa rahasianya? Baca terus artikel ini ya.

Perempuan Berdaya di Era Digital 


Menjadi perempuan memang dilematis, terlebih berada di dalam masyarakat patriarkis. Sejak lahir sudah ada pembagian peran antara lelaki dan perempuan. Lelaki wajib bekerja mencari nafkah, sehingga seharian berada di kantor atau tempat bekerja. Sedangkan, perempuan wajib mengurus rumah dan anak. 

Namun, kenyataannya, kondisi dilematis harus dihadapi sebagian besar perempuan. Mereka harus bekerja lebih berat. Tak hanya mengurus rumah dan anak tapi juga bekerja membantu mencari nafkah. Beberapa alasannya karena orangtua ingin anak perempuannya tetap berkarir (sudah sekolah tinggi kok hanya jadi ibu rumah tangga), penghasilan suami tidak cukup untuk menopang perekonomian keluarga, perempuan ingin memperlihatkan aktualisasi dan eksistensi diri, ingin mandiri secara finansial dan tidak bergantung sepenuhnya kepada suami, dan terakhir karena single mom atau sudah tidak bersuami akibat perceraian atau suami meninggal dunia. 


Namun, dualisme pekerjaan itu menimbulkan masalah baru. Sebagian perempuan kesulitan membagi waktu antara mengurus rumah dan anak dengan berkarir. Laki-laki bekerja bisa tenang, tak perlu memikirkan anak yang sakit, cucian baju, setrikaan, dsb. Perempuan bekerja tetap harus dipusingkan dengan urusan anak dan rumah karena berdasarkan kodrat, itu semua urusan ibu. Benarkah demikian?

Kalau urusan rumah, bisa dialihkan ke pembantu. Urusan anak ini yang menguras pikiran seorang ibu. Banyak kasus anak tertimpa kemalangan akibat dititipkan di daycare atau diasuh pembantu yang galak. Kalau sudah begitu, pasti ibu yang disalahkan. Ibunya sih sibuk bekerja, anak tak diurus. Akhirnya, ibu-ibu yang tadinya berkarir pun dengan berat hati melepas karirnya dan fokus mengurus anak dan rumah.

Apakah masalah selesai? Tidak. Ternyata setelah melepas pekerjaan, banyak ibu yang masih "tak rela." Itu karena mereka memiliki potensi untuk berkembang. Mereka punya ilmu, keahlian, dan kemampuan yang bisa diberdayakan di luar. Saya adalah satu dari ibu-ibu itu yang dulu sempat galau karena harus rela melepas pekerjaan di kantor. Saya tetap ingin memberdayakan diri saya, tak sekadar berada di dalam tumpukan cucian baju, piring, dan alat pel. 

Untungnya, saya punya keahlian menulis yang sudah diasah sejak kecil. Dari rumah, saya lanjutkan terus hobi menulis itu hingga akhirnya bisa mendapatkan penghasilan dari menulis. Kini, anak-anak sudah sekolah sampai sore, saya pun mendapatkan kesempatan untuk keluar rumah, menimba ilmu, dan mendapatkan penghasilan lebih banyak lagi. Era digital juga memberikan banyak kemudahan. Saya bisa bekerja dari rumah dengan fasilitas gadget dan internet. Hanya sesekali keluar rumah saat ingin mendapatkan bahan tulisan. 

Bekerja dari Rumah 

Di media sosial, saya bertemu dengan banyak ibu yang juga berusaha memberdayakan dirinya di era digital tanpa harus sering keluar rumah. Mereka berjualan online, membuka kursus online, memberikan jasa online (misal, desain grafis, illustrator, dsb), dan masih banyak pekerjaan lain yang via dilakukan via internet. Hanya sesekali saja ke luar rumah, itupun bisa membawa anak yang kecil. Intinya, di era digital ini, perempuan tetap bisa berdaya dari rumah. 

Mengapa perempuan harus berdaya? Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan survei penduduk antar sensus 2015, diprediksikan pas tahun 2019 berjumlah 266,91 juta Jiwa di mana sebanyak 134 Jiwa adalah laki-laki dan 132,89 juta Jiwa adalah perempuan. Jumlah penduduk perempuan hampir setengah dari jumlah penduduk laki-laki. Itu artinya, kaum perempuan juga memegang peran penting bagi kemajuan bangsa dengan ikut memberdayakan dirinya. 

Bukan berarti ibu-ibu yang fokus mengurus rumah dan anak itu tidak berdaya ya. Akan tetapi, bayangkan jika perempuan juga bisa membagikan ilmu dan kebermanfaatannya untuk masyarakat luas. Dari segi ekonomi, peran serta perempuan juga dapat meningkatkan perekonomian bangsa. Era digital telah memudahkan perempuan untuk tetap berdaya demi Indonesia Maju.

Bagaimana cara menjadi Perempuan yang berdaya di era digital? Dalam rangka Hari Ibu, VivaTalk dan KPPPA menghadirkan talkshow berjudul, "VivaTalk, Perempuan Berdaya Indonesia Maju. Perempuan di Era Digital." Acara ini diselenggarakan tanggal 3 Desember 2019 di Jakarta. Menghadirkan narasumber-narasumber yang mumpuni di bidangnya.

Acara dibuka oleh Henky Hendranantha, Chief Operating Officers at Viva Networks yang dalam sambutannya sangat antusias dengan terselenggaranya talkshow kerjasama VivaTalk dan KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Acara ini mestinya juga diberikan sambutan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Sayangnya, beliau ada acara lain sehingga tidak dapat hadir.

Henky Hendranantha

Viva News ke depannya akan memberikan ruang untuk artikel khusus perempuan dan anak. Sehingga para perempuan mendapatkan informasi dan sekaligus wadah aktualisasi yang sesuai dengan dunianya. Wah, tentunya ini menjadi kabar menarik untuk kita ya, semoga saja makin banyak artikel yang mendukung perlindungan perempuan dan anak.

Ketidakhadiran Ibu Menteri digantikan oleh Indra Gunawan dari KPPPA yang berharap VivaTalk dapat membantu mempublikasikan kegiatan-kegiatan di Hari Ibu sebagai sarana edukasi para perempuan agar dapat mewujudkan Perempuan Berdaya. Perempuan dapat berdaya tanpa harus mengorbankan kodratnya sebagai ibu karena di era digital ini memudahkan perempuan bekerja dari rumah dengan sarana internet. Sebab, di Indonesia ini masih tinggi isu kekerasan pada ibu dan anak, salah satunya akibat kondisi ekonomi yang kurang.

Indra Gunawan

Meskipun demikian, jangan sampai saking asyiknya bekerja dengan gawainya, anak-anak terbengkalai. Paling tidak, sehari hanya sekitar 4 jam fokus dengan gawai. Jika bisnis daringnya sudah besar, lebih baik mengambil karyawan. Sehingga perhatian ke anak-anak tidak teralihkan. Nah, ini saya setuju sekali. Bekerja dari rumah tujuannya supaya bisa tetap dekat dengan anak. Akan tetapi, kalau perhatian lebih banyak ke gawai, sama saja tidak ada pengaruhnya kehadiran ibu untuk anaknya.

Selanjutnya, kedua narasumber yang ahli di bidang gender dan pemberdayaan perempuan pun hadir memberikan bahasan yang membuka wawasan. Narasumber pertama adalah Eko Bambang Subiantoro, Chief of Research at Polmark dan Aliansi Laki-laki Baru yang membuka mata mengenai budaya patriarki di negara kita.

Eko Bambang Subiantoro 

Berdasarkan Dinamika Sosial Gender, memang ada perbedaan antara laki-laki dari segi fisik, emosi, dan produktivitas sehingga terdapat perbedaan pula dari segi gaji. Laki-laki sebagai pencari nafkah utama mendapatkan gaji lebih besar daripada perempuan karena perempuan mencari nafkah hanya sebagai tambahan.

Dalam hidup perempuan memang dilematis. Kalau perempuan bekerja, pasti banyak orang bertanya. Bagaimana pengasuhan anaknya? Apakah rumahnya terurus? Lain halnya kalau lelaki yang bekerja, tidak perlu memikirkan soal anak dan rumah. Perempuan juga yang pertama disalahkan jika terjadi sesuatu pada anak karena ibunya bekerja.

Dalam bekerja, perempuan juga banyak mendapatkan batasan-batasan misalnya tidak pulang terlalu malam. Laki-laki bisa pulang jam berapa saja, tapi tidak demikian dengan perempuan. Kalau perempuan pulang malam, bisa mendapatkan stigma negatif. Faktor keamanan juga berpengaruh. Ya begitulah, perempuan tak sebebas lelaki.

Bagaimana seorang perempuan bisa berdaya? Harus ada dukungan dari tiga faktor ini:

Pasangan (Suami): apakah suami ingin menjadi bagian dalam pemberdayaan perempuan?
Lingkungan Sosial: lingkungan yang memberikan kenyamanan bagi perempuan untuk mengembangkan kreativitas di dunia digital.
Kebijakan pemerintah: kebijakan yang mendukung pengembangan kreativitas perempuan di Era digital.

Sekarang berbicara mengenai suami, para suami harus mengurangi sedikit privelegenya untuk mendekung pemberdayaan perempuan. Apa sih privelegenya itu?

Sejak kecil, laki-laki mendapatkan privelege untuk tidak terlibat dalam urusan rumah. Laki-laki tak perlu membantu pekerjaan rumah tangga. Privelege itu harus dikurangi karena sebenarnya pekerjaan rumah tangga itu tanggung jawab suami istri. Harus ada pembagian pekerjaan rumah tangga sehingga istri tidak bekerja berat sendiri.

Talkshow Perempuan Berdaya Indonesia Maju

Nah, siap nggak nih bapak-bapak berbagi pekerjaan rumah tangga dengan istrinya? Era digital memberikan banyak kesempatan bagi perempuan untuk berdaya karena perempuan dapat berbisnis secara online atau mendapatkan penghasilan via internet. Yang penting ada kerjasama yang baik dengan pasangan, yaitu suami yang mendukung kreativitas istrinya.

Selanjutnya, Dr Sri Darwanti Anwar, Pakar Gender memberikan paparannya mengenai kesetaraan gender mengungkapkan pentingnya literasi digital pada perempuan agar bisa berdaya di era digital. Tanpa keahlian di bidang literasi digital, tentu sulit bagi perempuan untuk memberdayakan dirinya.

Terakhir, talkshow ini menghadirkan Diajeng Lestari, founder Hijup yaitu e-commerce khusus busana Muslim. Kebetulan, saya sering berbelanja di Hijup. Diajeng menyebutkan bahwa di dalam Al Quran, perempuan dan lelaki itu setara. Sama-sama berhak untuk mengembangkan diri dan mmemakmurkan bumi.

Diajeng Lestari 

Diajeng pun aktif berbisnis melalui internet yaitu dengan mendidikan e-commerce Hijup. Awalnya hanya memiliki 2 karyawan. Jam kerjanya fleksibel karena sambil mengurus anak. Hijup hanya memasarkan busana karya anak bangsa yang berkualitas.

Diajeng menyebutkan bahwa Indonesia menjadi pasar fashion Muslim terbesar karena mayoritas penduduk beragama Islam, tetapi China-lah yang menjadi produsen busana Muslim terbesar. Jadi, masih banyak kesempatan untuk para perempuan yang ingin berbisnis busana muslimah.

Media sosial dan kanal digital dapat menjadi sarana penasaran yang efektif untuk menjual barang produksi kita. Tak hanya busana muslimah ya. Produk apa pun bisa kita jual, asalkan pelajari dulu kebutuhan costumer melalui data untuk menciptakan kampanye yang strategis.

Akhir kata, saya sendiri sudah hampir 10 tahun ini bergiat di media sosial dan menjadi berdaya di era digital dengan memanfaatkan gawai serta sarana internet pemberian suami. Memang benar, suami itu faktor pendukung utama. Dukungan suami membuat saya bisa bebas berkreativitas. Hasilnya tentu saja dinikmati bersama-sama pula. Dan yang paling utama, tetap tidak mengabaikan hak anak untuk mendapatkan perhatian dari kedua orangtuanya.

Dukungan suami itu penting

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....