Thursday, July 28, 2011

Nonfiksi: Taaruf, Keren! (6)

Bab 6

Menilai Kriteria yang Kamu Inginkan dari Orang-orang Terdekatmu

Kamu mungkin bingung, sebenarnya calon pasangan seperti apa yang kamu inginkan. Nah, kalau bingung, coba deh tentukan kriteria yang kamu inginkan melalui orang-orang terdekatmu dan dirimu sendiri.
1.      Apa yang kamu sukai dari orang terdekatmu?
Di sekitar kita, banyak orang-orang terdekat dengan berbagai karakter dan kebiasaan. Ada yang menyenangkan, ada yang tidak. Terkadang, ketika kita merasa bahwa mereka sangat tidak menyenangkan, kita tidak ingin memiliki pendamping yang memiliki sifat seperti mereka. Begitu juga sebaliknya. Ketika kita bertemu dengan orang yang sangat menyenangkan, kita ingin pendamping kita juga memiliki sifat seperti itu.
Nah, kita bisa membuat daftar kriteria berdasarkan apa-apa yang kita sukai dari orang terdekat. Misalnya nih, beberapa poin yang kamu sukai dari orang terdekatmu:
1)   Rajin salat
1)      Tidak suka bohong
2)      Baik hati alias suka memberi hadiah, suka membantu, dll
3)      Penolong, ringan tangan
4)      Charming.

Novel: Cinta Buat Chira (10)

10

“Cira dan Putty sekarang rajin banget ya ikut Rohis?” tanya Milly saat Cira dan Putty sedang asyik-asyiknya mengerjakan tugas bahasa Inggris. Putty menatap Milly, tak senang.
“Eh, Milly. Lu tuh suka banget sih ikut campur urusan orang!” katanya, ketus. Milly tersenyum.
“Ya enggak. Gue kan cuma nanya doang. Kok kalian pada rajin gitu ikut Rohis. Emangnya apa sih enaknya ikut Rohis? Mendingan ya Put, cewek kayak lu tuh ikut cheerleader.” Katanya. Cira dan Putty bertatapan.
“Iya bener, Put. Lu pasti bakal dapetin cowok basket yang keren-keren itu.” Fera mulai ikut-ikutan. Cira dan Putty bertatapan lagi.
“Heh, kalian tuh kalau ngomong mikir dulu, dong. Kalian nggak liat jilbab gue. Masa’ cheerleader pake jilbab. Gila kali, ya?” cetus Putty. Fera dan Milly bertatapan.
“Lho, Put. Bukannya elu make jilbab cuma kalo ke sekolah doang?” tanya keduanya. Putty tersenyum.
“Iya, sih.” Jawab Putty, ringan.
“Iya, Put?” tanya Cira, tak percaya. Putty mengangguk.
“Ya iyalah. Nggak modis dong kalo gue ke mall pake jilbab.” Jawabnya. Cira melongo mendengarnya.
“Nah, berarti kan lu bisa lepas jilbab lu pas lagi ikut cheerleader.” Kata Milly. Putty tersenyum.
“Masalahnya, gue kan harus jaga image. Yang ikut cheerleader itu kan juga teman-teman kita. Mereka tahunya gue di sekolah pake jilbab. Mereka pasti bakal kaget kalo ternyata gue di luar nggak pake jilbab. Kan gue juga yang nggak enak. Kalau gue ke mall kan kemungkinan ketemu teman-teman tuh kecil.” Jelasnya. Milly dan Fera manggut-manggut. Cira bengong sendiri.
“Put, sebenarnya lu tuh niat nggak sih pake jilbab?” tanyanya, bingung. Putty menghela napas.
“Gue kan lagi belajar, Cira. Nyantai aja, lah….” Jawabnya, ringan. Milly dan Fera manggut-manggut.
“Iya tuh, Cira. Ngapain sih elu nanyain Putty tuh niat apa enggak. Elu sendiri kan belum pakai jilbab.” Cibir Milly. Cira tersentak mendengarnya. Ia jadi malu sendiri.
“Eh, eh, Put. Tuh Derry tuh sama pacarnya. Wah, pacarnya dibawa ke kelas kita. Mau pamer dia.” Kata Milly sambil menunjuk ke arah Derry yang sedang berduaan dengan pacarnya. Putty hanya tersenyum menanggapinya.
“Biarin aja. Eh, si June kok tumben nggak gabung sama kalian?” tanyanya sambil melirik June yang sedang serius mengerjakan tugasnya. June hanya menggerakkan kepalanya sedikit mendengar namanya disebut.
“June lagi mau konsentrasi belajar katanya.” Bisik Milly.
“Bagus itu. Kalian mustinya seperti June, dong. Bukan bisanya gangguin orang terus. Udah sana! Gue mau belajar, nih!” usir Putty. Milly dan Fera mendengus kesal.
***
Gue jadi nggak enak kalo inget omongan Milly tadi. Iya, yah. Ngapain gue nanyain keseriusan Putty make jilbab sedangkan gue sendiri belum pake. Tapi…apakah kita memang harus pake jilbab? Kalo iya, kenapa di keluarga gue nggak ada yang pake jilbab? Kenapa nyokap gue nggak nyuruh gue pake jilbab? Dan kenapa lebih banyak yang nggak pake jilbab daripada pake jilbab? Jadi…sebenarnya jilbab itu harus atau enggak? Duh…gue bingung, nih. Sebenarnya kalo gue pikir-pikir, mustinya kita itu emang pake jilbab. Soalnya jilbab itu kan busana muslim dan gue muslimah. Mustinya gue juga pake jilbab. Tapi…gue aja sholatnya masih bolong-bolong. Ngaji aja nggak lancar. Masa’ gue pake jilbab? Bisa diketawain nanti.
BRUK!
“Eh, Farhan….” Cira tersipu malu. Gara-gara jalan sambil bengong, ia jadi menabrak Farhan. Kebiasaan, nih.
“Eh…Cira….” Farhan tertunduk.
“Angkotnya belum dateng, ya?” tanya Cira. Farhan mengangguk. Tak lama angkot yang ditunggu pun datang. Cira melangkahkan kakinya. Ia baru sadar kalau Farhan tak bergeming.
“Farhan…lu nggak pulang? Angkot lainnya kan masih lama?” tanyanya. Farhan menggeleng.
“Enggak, saya masih menunggu teman. Cira saja duluan.” Tolaknya, halus. Cira menghela napas.
“Ya udah.” Katanya sebelum masuk ke dalam angkot. Cira masih memandangi wajah Farhan saat angkot telah berjalan. Phiuh…sebenarnya ia nggak yakin kalau Farhan menyukainya. Paling ia cuma kegeeran. Sama seperti dulu. Selalu.
“Farhan…mungkin sukanya cuma yang pake jilbab.” Gumamnya, pelan.
***
Hari terus berlalu. Tanpa terasa sudah hari Jum’at. Cira mengeluarkan kerudung dari dalam tasnya. Malu juga kalau ikut mentoring nggak pake kerudung. Habis, yang lainnya pada pake, sih!
“Lu mau ke mana, Ra?” tanya Putty heran melihat Cira mengeluarkan kerudung. Cira ikutan heran mendengarnya.
“Lu gimana sih, Put? Sekarang kan hari Jum’at. Kita mentoring!” serunya, mengingatkan. Kening Putty berkerut.
“Mentoring?”
“Iya.  Masa’ lu lupa, sih?” tanya Cira. Putty garuk-garuk kepala.
“Wah! Kok nggak konfirmasi ke gue dulu, sih? Ntar sore kan gue ada les.” Katanya membuat Cira terbengong-bengong.
“Les?”
“Iya.”
“Lho? Gimana sih? Penentuan hari ini kan juga sepengetahuan elu?” Cira bingung. Putty sibuk berpikir.
“Oh, iya, ya? Kok gue lupa, ya?”
“Pikiran lu ke mana-mana, sih. Pokoknya sekarang kita mentoring. Ayo, buruan. Mbak Naila dan teman-teman yang lain udah nunggu di Musholla, tuh!” ajak Cira. Putty menggeleng.
“Nggak bisa, Ra. Ntar sore kan gue les.”
“Ya kan lesnya masih nanti sore. Paling juga kita jam satu pulang.”
“Yah…tetep aja nggak bisa. Kebiasaan gue sepulang sekolah tuh makan terus tidur. Kalau gue mentoring dulu, ntar gue nggak sempet tidur, ntar gue ngantuk di tempat les gimana? Les balet kan butuh tenaga ekstra.” Putty beralasan. Cira menghela napas.
“Ah, elu tuh emang udah males, deh.” Katanya, sebel. Putty tersenyum.
“Les itu kan bayar, mentoring enggak. Jadi lebih rugi nggak ikut les daripada nggak ikut mentoring. Ya udah. Gue duluan, ya, Put. Salam buat mbak Naila. Kalau bisa harinya diganti kalau gue mau hadir.” Kata Putty sambil menepuk-nepuk pipi cira sebelum meninggalkannya. Cira geleng-geleng kepala melihat tingkah temannya yang satu itu.
“Putty emang berbakat jadi pemain sinetron. Sikapnya yang kemarin dan sekarang bisa berbeda seratus delapan puluh derajat. Sebel!” gerutunya.
***
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.” Naila memberi salam.
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab adik-adik binaannya.
Alhamdulillah, atas hidayah dari Allah hari ini kita bisa berkumpul kembali dalang lingkaran kecil ini. Jika bukan karena Allah, maka langkah kaki kita ke sini pasti akan terasa berat karena memang berbuat baik itu selalu banyak godaannya. Semoga Allah selalu menetapkan hidayah ini di dalam hati kita. Amiin….” Kata Naila, membuka pertemuan siang ini. Cira serius memperhatikan calon kakak iparnya itu. Benar juga, ya. Kalau bukan karena petunjuk dari Allah, mungkin dia bakalan seperti Putty, deh. Banyak banget alasannya biar nggak ikut mentoring.
“Selain itu, adik-adik, sebaiknya kita selalu meluruskan niat kita setiap melakukan perbuatan baik. Hendaknya niat kita hanyalah untuk Allah semata. Contohnya ketika datang ke pertemuan ini. Dari sekarang kita belajar untuk berniat datang ke pertemuan ini ikhlas karena Allah, bukan karena siapapun, misalnya ingin ketemu saya.” Naila melanjutkan. DEG! Cira merasa tertohok. Kok mbak Naila bisa tahu, ya kalau ia datang mentoring nggak murni karena Allah?
“Menuntut ilmu itu wajib hukumnya, bahkan sampai ke liang kubur. Dan ilmu yang harus diprioritaskan adalah ilmu agama karena ilmu itulah yang akan menolong kita di dunia dan akhirat.” Kata Naila lagi. Cira manggut-manggut. Hem…mustinya Putty datang nih sekarang.
“Jadi saya minta dari sekarang kalian berusaha untuk memprioritaskan mentoring karena dalam mentoring kita akan banyak belajar tentang ilmu agama.” Kata Naila. Semua adik binaannya saling bertatapan.
“Mbak, kalau suatu hari misalnya nih, di hari Jum’at ini tiba-tiba saya nggak bisa ikut mentoring karena ada acara, gimana?” tanya Farah.
“Iya, Mbak. Siapa tahu, kan ada insiden mendadak.” Kata Dira. Naila tersenyum.
“Ya dilihat dulu, acara itu penting atau tidak. Kalau memang sangat penting, kita bisa mengganti waktu mentoringnya.” Jawabnya. Semua mengangguk-angguk mengerti. Naila menatap Cira yang dari tadi menunduk.
“Cira, Putty mana?” tanyanya. Cira tersentak. Yah, tuh, kan. Gue yang kena, Put. Gerutunya dalam hati.
“Putty…ada les, Mbak.” Jawabnya. Kening Naila berkerut. Yang lain juga ikut bertanya-tanya.
“Bukannya kemarin dia juga sudah tahu kalau sekarang ada mentoring. Dan dia juga sudah setuju, kan mentoringnya diadakan hari ini?” tanya Naila. Cira menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Iya, sih. Tadi juga saya sudah bilang sama dia. Tapi dia bilang kalau mau dia ikut mentoring, kita harus mengganti hari mentoringnya.” Jawabnya. Naila melongo mendengarnya. Yang lain juga geleng-geleng kepala.
“Ah, si Putty tuh belagu banget!” gerutu Lina.
“Hus! Lina! Nggak boleh ngatain orang begitu!” seru Naila.
“Yah, tapi emang bener, Mbak. Dia tuh emang belagu. Mentang-mentang anak orang kaya, mentang-mentang cantik. Dia pikir kita membutuhkan dia, apa? Nggak ada dia kita malah untung, kok!” sungut Lina. Semua ikut-ikutan mendukungnya, kecuali Cira tentunya.
“Iya. Tapi kamu tidak boleh memakinya begitu. Baiklah kalau Putty maunya begitu. Dia maunya hari apa?” tanya Naila pada Cira. Cira hanya bisa bengong.
“Dia nggak bilang, Mbak.” Katanya, polos.
“Huuu!” seru semuanya.
“Hus! Sudah! Sudah! Kalian kok jadi pada begitu, sih? Oke, deh, kalau begitu. Nanti Kakak yang ngomong sama dia. Kamu punya nomer telponnya kan, Ra?” tanya Naila pada Cira. Cira menggangguk. “Nanti Kakak akan telpon dia. Sekarang kita teruskan mentoringnya, ya.” Kata Naila.
***
“Baiklah adik-adik. Itu tadi yang bisa Kakak sampaikan. Silahkan kalau kalian ada pertanyaan. Kalau kalian punya pertanyaan yang tidak sesuai dengan apa yang tadi kita bicarakan juga tidak apa-apa.” Kata Naila, setelah ia menjelaskan panjang lebar tentang materi mentoring hari ini. Semua bertatapan. Naila tersenyum.
“Nggak ada pertanyaan, ya? Sudah Kakak duga. Kalau kalian malu mengatakannya di sini, kalian bisa telpon Kakak.” Katanya, lembut. Cira meremas-remas jari tangannya. Sebenarnya dari tadi ia punya pertanyaan, eh, bukan dari tadi deh, dari kemarin. Tapi….
“Em…demikian pertemuan kita hari ini….” Baru saja Naila akan menutup kajiannya, Cira mengacungkan tangan.
“Ya, ada apa, Cira?” tanya Naila. Cira menatap satu-persatu teman-temannya yang semuanya memakai jilbab.
“Mbak…sebenarnya jilbab itu bagaimana, sih? Maksudnya…kenapa ada yang pakai jilbab ada yang enggak?” tanyanya setelah memilih-milih kata yang tepat. Semua teman-temannya langsung memandangnya. Naila tersenyum mendengar pertanyaan barusan.
Alhamdulillah. Akhirnya kamu menanyakan itu juga, Cira. Mungkin maksud kamu perintah berjilbab itu hukumnya gimana, gitu?” tanyanya.
“Iya, Mbak. Gitu!” seru Cira. Naila mengangguk.
“Ada yang bawa Al-Qur’an terjemahan?” tanyanya. Semua menggeleng. Naila tersenyum lagi.
Alhamdulillah, saya bawa. Coba dong Cira cari Al-Qur’an surat An Nur: 31 dan Al-Ahzab: 59.” Pintanya. Cira menggeleng.
“Maaf, Mbak. Kalau Cira yang cari pasti lama. Habis, bingung sih sama halamannya.” Katanya, malu-malu. Sikapnya yang lucu itu membuat teman-temannya menahan tawa. Naila manggut-manggut.
“Kalau gitu, Farah deh yang cari.” Pintanya pada Farah. Farah mengangguk. Tak lama….
“Nih, Mbak!” katanya sambil menyodorkan Al-Qur’an itu kembali pada Naila.
“Tolong kasihkan ke Cira, ya. Cira, tolong dibaca artinya, dong.” Pinta Naila. Cira menerima Al-Qur’an itu dengan gugup. Ya Allah…sudah berapa lama ia tak memegang, apalagi membaca kitabMu yang suci ini. Gumamnya, dalam hati.
“Em…ini arti surat An-Nur: 31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya….”
“Cukup sampai situ aja, Ra. Sekarang Al-Ahzab: 59.” Potong Naila. Cira membuka halaman yang telah ditandai oleh Farah tadi.
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Kata Cira dengan suara bergetar. Entah kenapa rasanya ia ingin  menangis setelah membaca surat yang barusan. Naila tersenyum.
“Makasih, ya, Cira. Mbak rasa tanpa dijelasin pun Cira pasti sudah mengerti. Kedua ayat itu adalah perintah dari Allah untuk kita, para muslimah untuk memakai jilbab. Jika Allah yang memerintahkannya, berarti itu wajib. Iya, kan? Kalau Rasulullah yang memerintahkannya, baru sunah. Tapi ini Allah sendiri yang memerintahkannya. Kalau Cira tanya kenapa ada orang yang pake dan ada yang tidak. Itu karena mereka yang belum memakainya belum tahu kalau jilbab itu wajib. Seperti Cira. Bisa juga karena mereka belum siap memakainya. Ada juga orang yang sudah pake, tapi masih asal-asalan. Bisa jadi itu karena mereka memakainya tanpa landasan hukum yang kuat. Dan seorang muslim yang taat adalah apabila ia diperintah maka ia langsung menjalankannya.” Urainya. Cira tertegun mendengar kata-kata Naila barusan. Dan seorang muslim yang taat adalah apabila ia diperintah maka ia  langsung menjalankannya..
***
Sekarang gue baru tahu jawaban dari semua pertanyaan gue dulu. Ternyata jilbab itu wajib. Ah, salah gue sendiri sih yang kagak pernah baca Qur’an. Baca aja sebenarnya juga nggak cukup. Al-Qur’an kan pake bahasa Arab. Mana gue ngerti?! Jadi seharusnya gue juga baca terjemahannya. Gitu! Untung…untung gue ketemu mbak Naila. Ternyata ikut mentoring itu emang nggak rugi! Putty seharusnya tahu ini. Sekarang masalahnya, kapan gue pake jilbab?!!! Apakah gue siap?
Cira menatap wajah di cermin yang sedang memakai mukena. Diremas-remas pipinya yang gembul.
“Wah…gawat. Gue bakalan makin kelihatan gendut. Bagaimana ini?” tanyanya pada diri sendiri. Selanjutnya ia kembali terngiang kata-kata Naila tadi siang, Dan seorang muslim yang taat adalah  apabila ia diperintah maka ia langsung menjalankannya..
***
Klik di sini untuk baca kelanjutannya yaa










Sunday, July 24, 2011

Info Penerbit: Andi Publisher

Hubungan Antara Penulis dan Penerbit

Penulis dengan Penerbit memiliki kedudukan setara; secara umum Penulis memandang Penerbit bertindak sebagai intermediary karya-karya yang akan disampaikan kepada masyarakat, sedangkan Penerbit memandang Penulis sebagai aset penting perusahaan yang menyebabkan proses penerbitan tetap berlangsung.

Kepentingan apa di balik dorongan untuk menulis? Menulis dapat meningkatkan kredit point (bagi pengajar), meningkatkan kredibilitas, dan pemenuhan finansial. Hal tersebut yang memotivasi penulis untuk menghasilkan suatu karya yang berkualitas.

Apa kelebihan Penerbit ANDI dibanding penerbit lain?
· Buku ANDI telah memiliki Brand Name tersendiri di hati masyarakat.
· Memiliki jaringan distribusi yang luas.
· Memiliki mesin cetak sendiri sehingga hasil, kecepatan, dan kualitas dapat diatur dengan baik.
· Memiliki sistem royalti yang jelas, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan sinergi kerja sama antara Penulis dengan Penerbit akan diperoleh hasil berupa penerimaan masyarakat terhadap buku terbitan ANDI.  

Bentuk Royalti Penerbit ANDI

Penerbit ANDI memberikan royalti sebagai berikut:
Besar royalti standar adalah 10%, dengan perhitungan: 10% x harga jual x oplah (potong pajak)

Mengingat Penerbit ANDI memiliki bentuk kerja sama yang beragam pada saluran distribusi pemasaran, maka perhitungan royalti adalah berdasarkan buku yang benar-benar telah terbayar lunas, dengan demikian buku yang sifatnya konsinyasi atau kredit belum dianggap sebagai buku laku. Dalam hal ini Penerbit ANDI akan selalu menjaga kejujuran dan kepercayaan bagi semua relasinya, ini semua karena nama baik sangat penting bagi Penerbit ANDI.  

Bentuk Kerja Sama Penerbitan

Bentuk kerja sama penerbitan yang ditawarkan Penerbit ANDI mencakup:
Kerja sama Penerbit dengan Penulis; yaitu kerja sama antara Penerbit dengan Penulis secara individu untuk menerbitkan sebuah buku.
Kerja Sama Penerbit dengan Kelompok Penulis; yaitu kerja sama antara Penerbit dengan beberapa Penulis sekaligus untuk menerbitkan sebuah buku. Dalam kerja sama ini, Penulis wajib menunjuk satu orang dengan pemberian surat kuasa, untuk bertanggung jawab terhadap segala urusan administratif maupun non administratif yang berkaitan dengan penerbitan.
Kerja sama Penerbit dengan Lembaga; yaitu kerja sama antar Penerbit dengan sekelompok Penulis yang telah dikoordinasi oleh Lembaga/Institusi untuk menerbitkan sebuah buku. Dalam hal ini Penerbit hanya berhubungan dengan Lembaga/Institusi yang telah diberi kepercayaan oleh Penulis.

Kerja sama Umum
Kerja sama cetak. Penerbit hanya membantu dalam jasa percetakannya, seperti buku jurnal ilmiah dan ebagainya.
Kerja sama cetak dan penerbitan, Penerbit bekerja sama dengan Perorangan/Lembaga untuk menerbitkan sebuah buku dengan tanggungan biaya penerbitan bersama.

Prosedur Penerbitan Buku

Materi yang Harus Dikirim
Penulis harus mengirimkan ke Penerbit naskah final, bukan outline ataupun draft, yang disertai:
. Kata Pengantar
· Daftar Isi
· Daftar Gambar
· Daftar Tabel
· Daftar Lampiran
· Isi
· Daftar Pustaka
· Indeks
· Abstrak (sinopsis)
. Penjelasan perihal: pasar sasaran yang dituju, prospek pasar, manfaat buku ybs.
. Profil penulis, memberi keterangan singkat tentang penulis.


Penilaian Naskah
Penerbit menilai naskah dari berbagai aspek:

Aspek Ideologis
Apakah topik bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila, apakah topiknya akan meresahkan kondisi masyarakat seperti: politik, hankam, sara, sopan santun, harga diri, dll.

Aspek Keilmuan :
§ Apakah topik yang dibahas merupakan topik baru bagi masyarakat, dan apakah masyarakat sudah siap menerima topik tersebut?
§ Apakah naskah tersebut gagasan asli atau jiplakan?
§ Terkait dengan akurasi data maka diperlukan sumber daftar pustaka yang lengkap.

Aspek Penyajian:
§ Apakah sistematika kerangka pemikiran baik sehingga alur logika pemaparan mudah dipahami?
§ Bahasa yang digunakan apakah komunikatif sesuai dengan jenis naskah dan sasaran pembaca?
§ Apakah cara penulisannya sudah benar, yaitu menggunakan tata bahasa dan ejaan yang baku?
§ Kelengkapan naskah secara fisik seperti kata pengantar, daftar isi, pendahuluan, batang tubuh, daftar gambar, tabel, lampiran, index, daftar pustaka, sinposis, apakah sudah lengkap?
§ Pengetikan menggunakan media dan alat apa, apakah tulis tangan, diketik manual, ketik komputer menggunakan software tertentu?
§ Mutu gambar, tabel dan objek lain yang dipasang (capture) apakah layak atau masih harus diperbaiki lagi?
§ Apakah urusan perizinan penggunaan gambar tertentu, izin terjemahan, izin pengutipan dll. sudah diselesaikan?

Aspek Pemasaran:
§ Apakah tema naskah mempunyai pangsa pasar jelas dan luas sehingga buku akan dapat dan mudah diterima pasar?
§ Apakah naskah memiliki selling point atau potensi jual tertentu, seperti judul, keindahan, bahasa, kasus aktual, dsb?
§ Apakah ada buku sejenis yang beredar dan telah diterbitkan? Apa kelebihan naskah tersebut dibandingkan dengan buku lain?

Aspek Reputasi Penulis:
§ Apakah penulis adalah tokoh, praktisi, dosen yang sangat diakui kepakarannya oleh masyarakat luas?
§ Apakah buku-buku yang pernah diterbitkan mempunyai catatan keilmuan dan pemasaran yang baik?

Keputusan Menerima/Menolak Naskah

Untuk Apa dan Mengapa Penerbit Harus Menilai Naskah? Penerbit adalah suatu badan usaha yang bercita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk tujuan tersebut Penerbit mengusahakan, menyediakan, dan menyebarluaskan bagi khalayak umum, pengetahuan dan pengalaman hasil karya ilmiah para Penulis dalam bentuk sajian yang terpadu, rapi, indah, dan komunikatif, baik isi maupun kemasan fisik, melalui tata cara yang sesuai, dan bertanggung jawab atas segala risiko yang ditimbulkan oleh kegiatannya. Berdasarkan pengertian mengenai penerbitan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerbit tidak bermaksud untuk menghakimi hasil karya Penulis, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menghargai karya tersebut karena Penulis adalah “rekan sejawat” bagi Penerbit.

Penilaian naskah bukan untuk menjatuhkan vonis naskah baik atau buruk, layak terbit atau tidak. Langkah tersebut digunakan sebagai sarana untuk memperlancar proses penerbitan secara optimal.

Proses penilaian ini adalah proses standar penerbitan sehingga perlu ada komunikasi yang baik antara Penerbit dan Penulis. Dengan demikian tidak ada salah-pengertian bahwa Penerbit menganggap remeh Penulis atau Penulis merasa naskahnya sudah yang terbaik.  

Keputusan Naskah

Setelah Penulis menyerahkan naskah, Penerbit memberikan keputusan melalui surat resmi kepada Penulis, apakah buku diterbitkan atau tidak. Untuk naskah yang diterima, Penerbit akan mengirim surat pemberitahuan resmi. Penulis wajib melengkapi kelengkapan naskah - softcopy. Untuk naskah yang ditolak, naskah akan dikembalikan kepada Penulis bersama dengan surat pemberitahuan penolakan penerbitan.  

Pengiriman Softcopy: Disket atau CD

Softcopy naskah dikirim dapat dengan cara: Lewat pos/paket ditujukan ke:
Penerbit ANDI
Jl. Beo 38-40 Yogyakarta 55281
Telp (0274) 561881; Fax (0274) 588282

Datang langsung ke kantor Penerbit ANDI dan menemui bagian penerbitan ANDI.
Atau lewat email (Maksimal 1 Mb per kiriman):
penerbitan@andipublisher.com  

Format Naskah


Format Naskah Siap Cetak
Format pengaturan naskah dapat menggunakan Template yang disediakan oleh Penerbit Andi. Format ini merupakan Template standar yang dapat disesuaikan dengan naskah yang sedang ditulis. Anda dapat meminta Template tersebut melalui e-mail, atau datang langsung ke Penerbit ANDI.

Format naskah standar siap cetak, adalah sebagai berikut:
Jenis huruf untuk teks isi: Bookman Old Style, New Century School Book atau Times New Roman 10/11 point.
Judul bab (Heading 1): font sama dengan teks isi, ukurannya diatur sedemikian rupa agar tampak menonjol dan serasi dengan ukuran 20 pt.
Judul sub-bab (Heading 2): font sama dengan teks, 18 point, capital, bold.
Judul sub-sub-bab (Heading 3): font sama dengan teks, 10 point, capital underline
Header dan Footer: menggunakan font yang berbeda, dapat divariasikan dalam style huruf bold atau italic.
Footnote : Font sama, 8 point; dapat menggunakan font lain yang serasi.
Alignment : Justified
Spacing : Before – 0, After – 0,6
Line Spacing : Single
Gambar-gambar tangkapan (capture) layar sebaiknya menggunakan format jpg. Gambar sebaiknya dikirimkan dalam file tersendiri yang di kumpulkan dalam sebuah folder gambar dan dilakukan link terhadap naskah.

Catatan: Segala bentuk aturan layout di dalam template adalah layout standar di Penerbit Andi, Anda dapat memodifikasi perwajahan buku Anda dengan terlebih dahulu melakukan konfirmasi dengan Penerbit.

Contoh Penomoran Halaman:
Halaman judul : i
Halaman Copyright : ii
Halaman Persembahan : iii
Kata Pengantar : v
Daftar Isi : vii
Halaman Isi
Pendahuluan (Bab I) : 1
Bab II : 3, 5, 7, 9, dst. (selalu halaman ganjil).  

Ukuran Buku dan Area Cetak

Setelah Anda menentukan sistematika penulisan buku Anda, hal penting berikutnya adalah format buku yang akan Anda tulis. Format buku terdiri dari beberapa ukuran yaitu ukuran besar, standar, kecil, atau buku saku serta format spesial. Penentuan format ini akan berpengaruh terhadap ketebalan buku dan kedalaman materi yang Anda inginkan.

Format buku di Penerbit Andi:

Format Besar : 20 cm x 28 cm, 21,5 cm x 15,5 cm
Format Standar : 16 cm x 23 cm, 11,5 cm x 17,5 cm
Format Kecil : 14 cm x 21 cm, 10 cm x 16 cm
Buku Saku : 10 cm x 18 cm, 13,5 cm x 7,5 cm
Format Khusus

Banyak Penulis tidak memperhatikan format ini sehingga saat dilakukan pengaturan layout dan setting, beberapa bagian buku menjadi tidak sesuai dengan maksud Penulis. Ketidaksesuaian tersebut contohnya: proporsi gambar yang tidak benar, pemotongan kata yang tidak tepat (terutama pada listing program pada buku pemrograman), dan ketebalan buku yang tidak proporsional.

Catatan: Prosedur penerbitan ini sewaktu-waktu dapat berubah mengikuti perkembangan, situasi dan kondisi, untuk itu diharapkan Penulis dapat mengikuti informasi terbaru di Penerbit Andi.

Nonfiksi: Taaruf, Keren! (5)

Bab 5
Kriteria-Kriteria

Nah, ini dia yang mesti kamu persiapkan sebelum memulai taaruf. Kalau kamu berniat menikah murni untuk ibadah dan tidak terlalu mementingkan kriteria, kamu tidak perlu membuat daftar kriteria. Yang penting buatmu, si calon baik agama dan akhlaknya. Namun, tidak semua orang bisa seperti itu, juga mungkin kamu. Karena kita manusia, kita mempunyai kecenderungan manusiawi, yaitu menetapkan kriteria calon pasangan hidup.
Sebelum taaruf, buat daftar kriteria calon pasangan yang kamu inginkan. Pisahkan mana yang masih bisa dikompromikan, mana yang tidak. Berikut ini poin-poin kriteria yang mungkin bisa menjadi panduan:
1.      Aktif dalam dakwah.
2.      Hapal minimal 1 Juz Al Quran.
3.      Berakhlak baik.
4.      Sopan, lembut, baik hati, dan tidak sombong.
5.      Suku Jawa
6.      Kulit putih
7.      Tidak berkacamata
8.      Tinggi minimal 180 cm
9.      dll.
Kamu pasti masih punya banyak daftar kriteria. Kriteria-kriteria di atas sebenarnya wajar saja. Kamu berhak kok punya kriteria seperti itu. Tapi ingat, kamu harus realistis. Apalagi kalau kamu juga cuma biasa-biasa saja. Artinya, kalau hapalan Quranmu seadanya, jangan terlalu berharap mendapatkan calon yang hapal sepuluh juz. Belum tentu si calon mau denganmu J.

Novel: Cinta Buat Chira (9)

9

Hari ini Cira bisa melihat awan yang berarak dengan wajah ceria. Hari ini juga ia bisa melihat birunya langit dengan kedua mata berbinar. Dan hari ini juga ia bisa berangkat ke sekolah tanpa perlu memegangi perutnya yang kesakitan. Soalnya…hari ini juga ia sudah sembuh dari penyakit perutnya itu!
“BEBAS!!!” teriak Cira, kencang.
“Heh, Ra! Lu kayak orang gila aja, sih? Tumben sekarang berangkat pagi?” tegur Putty yang tahu-tahu sudah ada di belakang Cira. Cira tersipu. Untung Putty yang ada di belakangnya. Coba kalau kepala sekolah. Bisa mokal dia.
“Gue udah sembuh, Put!” seru Cira, senang. Tapi tanggapan Putty biasa aja, tuh.
“Iya, gue tahu. Kalo belum, lu pasti belum masuk sekolah, kan?” katanya. Cira cemberut.
“Lu kok kayak nggak bahagia sih gue sembuh?” tanyanya, sebel.
“Gue bahagia. Selama lu pergi, cowok-cowok pada iseng nempatin bangku lu. Gue yang repot!” gerutu Putty.
“Ye! Dasar nggak peka! Mereka tuh bukannya iseng, tapi emang kesempatan ngedeketin elu!” sungut Cira. Putty tersenyum.
“Sayang, gue nggak tertarik tuh dengan satu pun dari mereka. Eh, gimana perasaan lu setelah libur dua hari?” tanyanya sambil memasukkan tasnya ke dalam laci. Cira tersenyum.
“Ada enaknya, ada nggak enaknya. Enaknya, gue bisa nonton acara infotainment nggak lewat sedetik pun! Nggak enaknya, gue jadi nggak bisa ngeliat….” Omongan Cira terhenti saat yang mau diomongin lewat.
Assalamu’alaikum, Cira, Putty.” Sapa Farhan, ramah. Putty tersenyum.
Wa’alaikumsalam.” Jawabnya. Cira ikut-ikutan menjawab.
“Bagaimana, Cira? Kamu sudah baikan, kan?” tanya Farhan. Cira mengangguk cepat. Ia baaru sadar kalau Farhan nggak mungkin lihat anggukannya itu karena hobi menunduknya itu.
“Eh, iya. Gue udah sembuh kok.” Katanya, cepat.
Alhamdulillah. Kalau gitu kalian bisa kan ikut kajian Rohis lagi besok Ahad.” Kata Farhan.
“Oh iya! Iya! Gue sih pasti. Tapi nggak tau nih Cira!” seru Putty. Cira melotot ke arah Putty.
“Gue juga kok!” serunya, cepat. Farhan tersenyum.
“Ya sudah. Saya ke tempat duduk  saya dulu, ya.” Katanya sambil pergi. Putty menahan tawa melihat wajah Cira yang merah.
“Elu tuh! Bukannya elu yang kemaren bete dan nggak mau datang kajian lagi?” tanya Cira, sebal. Putty menghentikan tawanya.
“Itu kan waktu gue belum ketemu sama ketua Rohisnya.” Jawabnya. Kening Cira berkerut. Melihat ekspresi wajah Cira, Putty langsung meralat ucapannya.
“Eh, maksudnya, setelah gue ketemu ketua Rohis, gue jadi sadar kalau kajian itu penting. Soalnya doi nasehatin gue tentang itu.” Katanya. Cira manggut-manggut. 
“Oh…gitu. Eh, ketua Rohis kita kan ganteng ya, Put?” Cira mengerjapkan mata. Putty melotot.
“Lu naksir dia, ya?!” tanyanya, marah. Cira terkejut mendengarnya.
“Elu kok marah gitu sih, Put. Jangan-jangan malah elu yang naksir.”  Katanya, pelan. Putty melotot.
“Enggak! Cuma….”
“Cuma apa?” tanya Cira sambil menyikut lengan Putty.
“Lu kenapa sih, Ra? Gue kasih tahu, ya. Kak Adrian itu setipe sama Farhan. Gue kan nggak suka sama cowok kayak gitu. Suka ceramah!” seru Putty sambil berlalu meninggalkan Cira. Kening Cira berkerut. Suka ceramah? Emangnya kenapa? Dulu sih emang dia risih sama Farhan yang suka ceramah, tapi lama-lama asyik juga ngomong sama dia. Jadi ada orang yang nasehatin kalau dia berbuat salah, gitu! Makanya, cari teman yang kayak gitu!
***
“Jadi, ikhwah fillah. Pembentukan kelompok mengaji itu penting agar selain ikatan hati di antara kita jadi lebih erat, kita juga lebih mudah dalam menyampaikan materi karena langsung mengenai sasaran.” Jelas Adrian mengenai tujuannya membentuk kelompok mentoring. Cira menatap Putty yang terlihat serius mendengarkan uraian Adrian barusan.
“Put! Put!” bisiknya sambil menyikut lengan Putty.
“Ssst….” Putty menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Cira merengut.
“Put, emangnya elu paham sama yang diomongin kak Adrian barusan?” tanyanya.
“Ssst….” Lagi-lagi Putty menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Cira jadi sebal melihatnya.
“Baiklah, ikhwah fillah. Saya rasa cukup sekian yang dapat saya sampaikan. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Adrian menutup uraiannya.
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!” jawab semua. Cira mendengar suara Putty yang paling keras saat menjawab salam.
“Ayo, adik-adik. Kita kumpul.” Kata Naila. Semua berkumpul melingkarinya.
“Seperti yang tadi dikatakan kak Adrian, kita akan membentuk kelompok mentoring. Nah, karena akhwat pembimbingnya hanya ada tiga, jadi kita akan membentuk tiga kelompok. Dan karena jumlah akhwat yuniornya ada enam belas, jadi satu kelompok minimal lima orang. Setuju?” tanya Naila.
“SETUJU!!!” jawab para akhwat, ramai.
“Ssst…jangan kencang-kencang, kan malu kedengeran ikhwan.” Naila menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Ia dan dua temannya geleng-geleng kepala melihat tingkah adik-adik kelasnya.
Alhamdulillah, ya. Tahun ini jumlah akhwat yang ikut Rohis meningkat. Dulu tuh cuma ada sepuluh, trus pada mengundurkan diri, jadi tinggal kita bertiga ini.” Jelas Naila. Semua manggut-manggut.
“Emang kenapa, Kak? Kok pada mengundurkan diri?” tanya Putty. Naila tersenyum.
“Yah, alasannya macam-macam.” Jawabnya.
“Mungkin karena ikut Rohis itu banyak konsekuensinya?” tanya Dira.
“Iya, Kak. Emang bener kalo ikut Rohis itu harus pakai jilbab?” tanya Farah disertai anggukan teman-temannya. Cira langsung menunduk. Jadi nggak enak, nih. Nggak pakai jilbab. Naila tersenyum mendengarnya.
“Silahkan kakak-kakak yang lain ada yang mau menjawab, nggak?” tanyanya pada Alia dan Hana, dua akhwat senior lainnya.
“Memang sih menjadi anak Rohis itu banyak tuntutannya. Orang-orang menuntut kita untuk jadi lebih alim, lebih baik dalam bersikap dan lebih mentaati aturan agama setelah kita ikut Rohis. Tapi itu semua proses, tidak bisa langsung jadi dalam sekejap. Nanti kalau kalian sudah sering ikut Rohis, sudah sering ikut kajian dan sudah lebih paham dengan aturan agama kalian, maka kalian akan mengikuti aturan-aturan itu tanpa ada rasa terpaksa. Kalian akan mengikutinya karena kesadaran diri kalian akan perintah agama semakin besar. Tidak mungkin kan orang akan mengikuti sebuah perintah kalau tidak tahu bahwa itu diperintahkan. Termasuk juga memakai jilbab.” Jelas Alia. Semua manggut-manggut mendengarnya.
“Jadi…nggak harus memakai jilbab?” tanya Farah. Semua akhwat senior tersenyum.
“Semua akan berproses dengan sendirinya. Kalau kalian masih berat memakainya, ya tidak apa-apa.” Jawab Hana.
“Pokoknya, ikut aja Rohis dulu. Insya Allah organisasi ini juga menyenangkan seperti yang lain.” Janji Naila. Semua tersenyum mendengarnya. Cira menyikut Putty yang pandangannya ngelantur ke mana-mana.
“Put, lu kok ngeliat ke luar mulu, sih?” bisiknya. Putty melengos.
“Iya, nih. Gue udah bete di dalam sini.” Jawabnya, ketus. Cira geleng-geleng kepala mendengarnya.
“Baiklah, adik-adik. Sekarang saya akan membacakan pembagian kelompoknya, ya. Tadi kan Kak Alia sudah membagi-bagi kelompoknya. Kelompok satu bersama kak Alia antara lain….” Naila mulai membacakan nama-nama kelompoknya.
“Put, elu jangan gitu, dong. Kemarin kan elu yang antusias pengen ikut.” Bisik Cira.
“Iya, tapi gue males kalo cuma bareng-bareng sama yang cewek. Gue maunya juga bareng-bareng sama yang cowok.” Kata Putty.
“Ih! Dasar! Jangan-jangan bener elu naksir anak Rohis. Hayo, siapa?” desak Cira.
“Hus! Dengerin, tuh!” seru Putty. Cira melengos. Dasar, Putty!
“Putty, Cira, Dira, Farah dan Lina, kalian berlima sama kak Naila, ya.” Kata Naila sambil tersenyum. Cira tersenyum mendengarnya. Sama mbak Naila? Asyik! Berarti dia bisa semakin dekat sama kakaknya Farhan ini. Cihui!
 “Baiklah. Sekarang kita berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Ayo yang termasuk dalam kelompok Kakak, kumpul di pojok.” Kata Naila. Cira dan kawan-kawan mengikuti Naila ke tempat yang ditunjuk.
“Ra, ngapain lagi, sih? Gue udah bete, nih.” Gerutu Putty. Cira menggeleng.
“Lu mau pulang ya, Put?” tanyanya.
“Iya, lah. Lama bener!” keluh Putty.
“Sebentar kok, adik-adik. Kita cuma mau nentuin jadwal kapan kita kumpul lagi.” Naila tersenyum manis kepada Putty dan Cira. Cira menyikut Putty.
“Dasar nggak malu!” serunya. Putty cemberut.
“Biarin!”
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Kata Naila, sebelum memulai kajian.
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”
“Baiklah, adik-adik. Karena di antara kalian mungkin ada yang sudah capek, acaranya kita percepat aja, ya. Seperti yang sudah dijelaskan oleh kak Adrian tadi,  kita membentuk kelompok mentoring supaya materi yang diberikan bisa lebih dimengerti. Soalnya kan kalau kelompoknya cuma sedikit, penyampaian materi bisa lebih mudah. Selain itu supaya kita semua bisa berbagi. Jadi kalau ada masalah bisa kita bicarakan bareng-bareng. Kita cari solusinya. Kalau kita sudah saling berbagi satu sama lain kan kita bisa lebih dekat.” Jelas Naila. Semua manggut-manggut mendengarnya.
“Kita nggak usah kenalan lagi, ya? Ahad kemarin kan kita sudah saling mengenal.” Tanya Naila.
“Nggak usah!!!” jawab Putty, kencang. Semua menatapnya. Putty tersenyum. “Em…soalnya saya udah ccapek nih, Kak. Kan kita udah dari tadi pagi.” Katanya, beralasan. Naila mengangguk.
“Yah…memang. Karena itu sekarang kita cepat saja ya menentukan kapan kita ketemu lagi. Silahkan adik-adik yang menentukan, kapan bisanya.” Katanya, menyilahkan. Semua bertatapan satu sama lain.
“Hari Ahad aja lagi, Kak.” Usul Dira.
“Apa nggak capek? Ntar habis kajian bareng-bereng, kalian capek lagi ikut mentoring.” Tanya Naila.
 “Udah dong, buruan. Jangan hari Minggu. Saya  capek.” Kata Putty, tak sabar. Naila tersenyum. Menghadap binaan seperti Putty ia sudah biasa.
“Kakak usul, gimana kalau sepulang sekolah saja sehabis sholat Dzuhur. Mentoringnya nggak lama, kok. Paling cuma satu setengah jam.” Katanya. Semua bertatapan.
“Boleh deh, Kak.” Kata mereka, bareng.
“Ya sudah. Hari apa?” tanya Naila. Semua berembug satu sama lain.
“Senin.” Farah usul.
“Nggak bisa. Paginya kan upacara. Capek.” Lina tak setuju.
“Gimana kalau Kamis?” tanya Dira.
“Saya ada les.” Keluh Farah.
“Wah…kapan, ya?” Dira garuk-garuk kepala. Cira menyikut lengan Putty.
“Lu maunya hari apa, Put?” tanyanya, berbisik.
“Terserah deh.” Jawab Putty, malas.
“Hari Jum’at aja. Kan pulangnya cepet.” Usul Lina. Semua bertatapan. Selanjutnya mereka mengangguk setuju.
Alhamdulillah. Kalau begitu, insya Allah kita ketemu lagi hari Jum’at depan setelah pulang sekolah. Baiklah adik-adik, karena kita sudah berhasil menentukan harinya, kita tutup sekarang, ya?” tanya Naila.
“Ya!!!” seru Putty, kencang. Semua menatapnya, lalu geleng-geleng kepala. Cira jadi ikutan malu. Naila tersenyum.
Alhaqqu mirrabbik falatakunanna minal mumtarin. Kebenaran itu datangnya dari Allah dan janganlah kita menjadi orang-orang yang ragu. Amiin. Ini doa kafaratul majelis. Tolong dicatat. Minggu depan akan kita baca bareng-bareng setelah mentoring selesai, ya.” Katanya sambil menyerahkan selembar kertas kepada Farah.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”
***
“Phiuh…! Gila, Ra. Gue tersiksa banget tadi.” Gerutu Putty sambil berjalan menuju tempat parkir. Cira geleng-geleng kepala.
“Gue heran sama elu, Put. Padahal kan elu yang antusias pengen ikut kajian.”
“Iya. Kajian. Bukan…apa tadi namanya ya?”
“Mentoring.”
“Iya, mentoring. Ngapain sih pake ditambahin mentoring segala. Gue kan capek.” Gerutu Putty.
“Trus, elu nggak mau dateng lagi besok Jum’at?” tanya Cira. Putty angkat bahu.
“Nggak tahu deh.”
“Ya…Putty. Lu jangan gitu. Kan dulu elu yang nyuruh gue ikut, masa’ sekarang elu malas?”
“Yah, elu kalau mau ikut, ikut aja. Kan ada kak Naila. Elu bisa sekalian pedekate. Lu jangan sampe bolos tuh mentoring. Entar lu nggak dapet si Farhan, lho.” Kata Putty, enteng. Cira cemberut.
“Gue rasa…elu niatnya juga kagak bener deh, Put.” Katanya. Putty melotot.
“Apa maksud elu?”
“Yah…kalo emang elu serius pengen ikut Rohis, mustinya lu ikut semua kegiatannya.” Kata Cira, menyindir. Putty manyun.
“Gue mau ikut, tapi kegiatannya jangan ngaji terus, dong. Bosen!”
“Terus apa? Namanya juga Rohis. RO…HIS. Paling isinya ya pengajian.”
“Ah, nggak juga kalau orang-orangnya kreatif.” Sungut Putty. Cira angkat bahu.
“Terserah lu deh. Eh, itu mbak Naila. Gue bareng sama dia aja, ya.” Katanya, Putty cemberut.
“Ya udah sana. Gue juga untung nggak usah nganterin elu!” sungutnya. Cira tersenyum sebelum meninggalkan Putty.
“Gue nggak yakin elu bisa ngedapetin Farhan.” Gumam Putty, dalam hati.
***
Klik di sini untuk baca kelanjutannya ya...