Saturday, October 1, 2011

Novel: TRUE LOVE (11)

SEBELAS


Di Surabaya, Hara menceritakan semuanya kepada Salwa soal pikirannya yang masih terganggu gara-gara Arya. Salwa manggut-manggut mendengarnya.
“Memang susah ya, Ra. Ketika kita sedang berusaha untuk menjaga pergaulan, eh godaan datang. Apakah selama bertemu dia mulai mengarah ke sana?” 
“Maksudnya, dia naksir aku?” Hara balik tanya. Salwa mengangguk. Hara menggeleng. “Aku nggak tahu perasaannya. Selama ini kami dekat memang hanya berteman. Dan dia juga biasa saja. Tapi, yang aku takutkan adalah perasaanku. Aku takut, jatuh cinta lagi kepadanya.”
“Ya, aku tahu. Jadi, kamu memang harus menjauhinya, Ra. Hati manusia kan hanya Allah yang tahu.”
“Meskipun nanti dia marah?”
“Ya, kamu harus baik-baik. Menghindar baik-baik. Kecuali kalau kamu yakin tidak akan jatuh cinta kepadanya.”
Hara merenungkan semua perkataan Salwa. Untung ia masih sekitar dua tahun lagi di Surabaya, jadi ia bisa menghindar dari Arya.
***
            Kring…! Kring…!
“Ya, oh ya, sebentar. HARA...!”
Hara meletakkan buku yang tengah dibacanya.
“Aduh…siapa sih yang nelepon? Hari gini ngajakin rapat lagi?” keluhnya sambil melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Biasanya rapat Rohis  memang tidak melihat waktu.
“Assalamu’alaikum,” sapanya.
“Kumsalam. Ini Hara, ya?”
Kening Hara berkerut. Suara laki-laki! Siapa, ya? Setahunya di Rohis pun ia hanya berhubungan dengan yang akhwat saja. Jadi, jarang atau bahkan tak pernah ada ikhwan yang mencarinya.
“Iya. Ini siapa?”
“Masa kamu udah lupa sih, Ra?”
Hara terkejut. Tidak mungkin! Tidak mungkin ini…. “Em…maaf. Saya takut salah. Teman saya kan banyak.” Ia menggigit bibir. Semoga bukan dia.
“Ah, Hara. Kamu benar-benar sudah melupakanku.”
Hara memejamkan mata. Benar, kan?! “Arya…? Ini, Arya?”
“Iya lah! Siapa lagi? Atau jangan-jangan kamu punya banyak teman cowok?!”
“Em…maaf, Ya. Kamu…nelepon dari mana?”
Rasanya tidak mungkin Arya interlokal pada jam sibuk begini. Mungkin saja sih kalau dia sudah nekat.
“Aku lagi di Surabaya sekarang!” jawab Arya, mengejutkan.
Hara melotot. Arya di Surabaya?! Gawat!
“Tadi aku ke kampusmu. Aku pikir kamu ke kampus. Aku cari-cari nggak ada. Sampai capek aku nyarinya. Aku cari ke seluruh fakultas, soalnya aku lupa kamu kuliah di fakultas apa.” Arya terus berbicara, sementara Hara menghela napas lega. Untung tadi dia tidak ke kampus. “Kok kamu nggak ke kampus sih, Ra?”
“Iya…kan baru selesai ujian.”
“Oh…gitu. Yah, aku kan bukan anak kuliahan, jadi aku nggak tahu. Berarti alamatmu masih sama, kan?”
“Memangnya, kamu mau apa?”
“Kamu nggak keberatan kan kalau aku main ke kossanmu?”
***
Hening. Hara tidak berani menatap Arya yang duduk tak jauh di sebelahnya. Mereka hanya dipisahkan oleh meja tamu. Kenapa sih mereka harus bertemu lagi? Hara benar-benar menyesali pertemuan ini. Seharusnya tadi ia berbohong saja dengan mengatakan tidak ada di rumah malam ini.
“Kedatanganku pasti mengejutkanmu ya, Ra?” tanya Arya, memecah kesunyian.
“Iya, sebenarnya ada apa kamu ke sini?”
“Ya untuk menemuimu.”
“Tidak mungkin! Jakarta dengan Surabaya itu kan jauh?”
“Tapi tidak buatku. Aku rela datang jauh-jauh untuk menemuimu.”
Hara menggigit bibir. Apa maksud perkataan Arya? Datang jauh-jauh hanya untuk menemuinya?
“Terus, kamu mau di sini berapa hari?”
 “Tidak tahu. Besok, kamu ada acara, nggak? Antar aku jalan-jalan mengelilingi Surabaya.”
Hara terkejut. Yang benar saja? Masa seorang akhwat seperti dia mengantar jalan-jalan seorang cowok? Bagaimana nanti pandangan ikhwah di sini? Kalau di Jakarta masih mending. Tidak ada yang mengenalnya. Mereka hanya tahu Hara yang dulu.
“Aku…aku ada acara.” Hara terpaksa berbohong.
“Acara apa lagi? Kan sudah selesai ujian?”
“Iya, tapi aku kan punya banyak organisasi. Aku ikutan organisasi. Kami mau ngadain rapat buat penyambutan anak baru.”
“Oh ya? Kebetulan. Aku boleh ikutan, dong. Bilang aja aku temenmu dari Jakarta”
“Em…iya deh.” Hara terpaksa mengiyakan. Tidak tahu lah apa yang akan terjadi besok.
***
Gimana dong, Wa? Tolong bantuin aku! Aku nggak bisa menghindar dari dia…!” Hara uring-uringan sepeninggal Arya.
 Salwa berusaha menenangkan. “Aku tidak menyangka dia senekat itu. Datang dari Jakarta hanya untuk menemuimu?”
“Aku juga tidak sampai berpikiran begitu. Aku heran, apa sih maunya?” Hara menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Tiba-tiba, Salwa menjentikkan jari. “Aku tahu, Ra! Terpaksa kita harus berbohong demi kebaikan!”
“Kamu punya ide?” 
“Hara mendadak harus ke rumah neneknya di Magelang. Neneknya sakit,” ucap Salwa ketika keesokan harinya Arya datang mencari Hara.
“Kapan dia berangkat?!” tanya Arya, cepat.
“Tadi pagi. Tadi malam dia ditelepon.”
“Dia berangkat sendirian?”
“Iya.”
“Kenapa nggak minta aku nemenin? Kan kasihan dia berangkat sendirian!” Arya mendengus kesal. Salwa pun takut melihat ekspresi wajah Arya yang menyeramkan  itu. “Sampai kapan dia di sana?!”  tanya Arya, mengejutkan.
Salwa mengedikkan bahu. “Soalnya sekarang kan sudah liburan, mungkin sampai liburan selesai,” jawabnya. Arya terlihat semakin kesal. Ia menendang lantai tempatnya berpijak.
“Payah!!” gerutunya sebelum meninggalkan Salwa yang termangu.
“Masya Allah! Gawat sekali kalau Hara terus berhubungan dengan orang itu,” gumam Salwa, pelan. Sementara dari balik jendela kamarnya, Hara memperhatikan kepergian Arya dengan gamang.
“Kenapa Arya bisa berubah sedrastis itu, ya? Padahal dulu dia baik banget. Aku nggak nyangka kalau dulu pernah suka dengannya,” ucapnya, pelan.
***
 Liburan semester ini Hara tidak pulang ke Jakarta, ia takut bertemu Arya di sana. Demi menghindari Arya juga, ia pindah kos lagi. Habis, Arya sering telepon ke kosnya. Tidak peduli meskipun itu interlokal. Ia merasa tak enak dengan teman-teman kosnya yang semuanya akhwat itu. Ia sendiri sekarang merasa sudah jadi akhwat. Akhwat dalam arti muslimah berjilbab lebar yang aktif di dunia dakwah dan sangat menjaga pergaulan. Masa akhwat sering menerima telepon dari laki-laki yang tidak punya hubungan darah dengannya? Malu, kan?
Awalnya Hara kasihan karena terus menerus menjauhi Arya, tapi lama-lama ia merasa harus menjauh dari Arya. Ia takut. Sekarang, perasaannya kepada Arya sudah berubah. Ia tidak lagi simpati, tapi justru takut. Takut sekali. Ia bahkan berpikir, mungkin saja Arya bertindak lebih jauh kalau ia tidak segera melarikan diri.
Setelah pindah kos yang lumayan jauh dari kos yang lama dan dari kampus, Hara merasa lebih tenang. Ia bisa kuliah dan menyelesaikan skripsinya dengan tenang. Memang sekali-sekali ia masih memikirkan Arya, tapi ia berusaha membuang jauh-jauh sosok Arya dari hidupnya. Pokoknya ia tidak mau berhubungan lagi dengan Arya, meskipun itu hanya sekadar teman. Sampai akhirnya ia lulus kuliah dan diwisuda.
***
“Kamu tahu kan di mana Hara? Jangan bohong sama aku, Dit!” Arya menatap Dita, tajam. Dita jadi tak enak.
“Aku juga sudah lama tidak berhubungan dengannya. Aku hanya berhubungan kalau dia pulang ke sini dan itu jarang banget.” Dita menjawab sejujurnya.
“Aku tahu, sepertinya dia sedang menjauhiku,” ucap Arya, yakin. Dita menggigit bibir. Kenyataannya memang begitu. “Orang sepertiku memang tidak pantas berdekatan dengannya.”
Dita diam saja.  
“Ya sudah. Aku pulang saja. Maaf, kalau aku sudah membuatmu takut, Dit.” Arya meninggalkan Dita yang termangu. Sebenarnya Dita juga prihatin dengan keadaan yang menimpa Arya. Ia sudah mendengar semuanya. Semua tentang Arya yang luput dari perhatiannya.
“Arya memang sempat kuliah setengah tahun di Australi, tapi kemudian dia pulang karena orang tuanya  bercerai. Perceraian itu sudah ia duga sebelum ia berangkat ke Australi. Saat itu hubungan kedua orang tuanya sudah tidak baik. Setelah kedua orang tuanya bercerai, ia ikut ibunya. Akhirnya, dia menjadi tulang punggung keluarga. Ia tak melanjutkan kuliahnya lagi. Ia sudah berusaha mencari kerja yang halal, tapi pekerjaan yang didapatnya tak memberikan imbalan yang memuaskan. Keperluannya sangat banyak karena ia bertanggung jawab terhadap adik-adiknya. Ditambah lagi ibunya terkena kanker dan harus segera dioperasi. Hal yang tidak diinginkan pun terjadi. Arya menjadi pengedar narkoba. Dia pernah tertangkap polisi dan dipenjara selama satu tahun.” Dita menceritakan semua tentang Arya yang sebenarnya kepada Hara.
Hara menggelengkan kepala. “Ya Allah, kasihan banget dia. Tapi kenapa dia nggak cerita semuanya ke aku?”
“Mungkin dia tidak mau kamu kecewa dan menjauhinya setelah mendengar semuanya. Sekarang, gimana, Ra? Dia sangat ingin ketemu kamu.”
“Tidak tahu deh.”
“Hara?”
“Aku tidak mau ketemu sama dia.”
“Meskipun dia hanya menganggapmu teman?”
Hara diam.
“Kenapa kamu seegois itu, Ra? Arya mungkin hanya menganggapmu teman. Kamu bisa menerimaku dan Ariel, tapi kenapa nggak bisa menerima Arya?”
“Seperti yang pernah kubilang, aku takut jatuh cinta lagi dengannya, padahal semua itu tidak mungkin.”
“Kenapa tidak mungkin? Karena dia tidak sederajat denganmu?  Karena dia bukan sarjana sepertimu? Kalau dia punya kesempatan untuk kuliah, aku yakin dia bisa melebihimu. Buktinya, dia pernah kuliah di Australi!” 
“Bukan, bukan itu.”
“Yah, karena dia pernah menjadi bandar narkoba? Siapa tahu dia juga pernah jadi pemakai!”
“Dita! Kamu jangan mendesakku seperti itu, dong?!” Hara memohon, “Aku bingung, nih! Sudahlah! Pokoknya aku nggak mau ketemu dia!!”
“Karena dia tidak sebaik kamu, kan? Kamu kan alim, taat, sholihah. Kamu hanya pantas mendapatkan pria yang juga alim, taat, dan salih,” Dita menyindir.
Hara bangkit dari duduknya. “Terserah kalau kamu mau bilang gitu!!” ia berlalu meninggalkan Dita masuk ke dalam kamarnya.
“Hara! Apa-apaan sih kamu?!” Dita berseru kencang. Setelah ditunggu Hara tak juga ke luar dari kamar, ia pun pergi meninggalkan rumah Hara dengan perasaan dongkol.
***
Hara pusing. Ia tak tahu bagaimana cara menjelaskan kepada Dita bahwa ia tidak akan pacaran sebelum menikah. Ia berhak memegang prinsip itu dan harus konsisten memegangnya. Beberapa waktu lalu ia hampir tergelincir akibat godaan yang tidak seberapa. Godaan itu masih ada sampai sekarang dan ia harus tetap bertahan agar tidak tergoda. Sejujurnya, ia tak punya cinta lagi untuk Arya. Cinta itu sudah menguap entah ke mana. Seleranya terhadap orang yang berhak dicintainya telah berubah. Dulu mungkin ia bisa menerima apa dan siapa pun Arya asalkan dia ganteng dan pintar. Tapi sekarang, seleranya sudah lebih dari itu. Orang yang bisa menjadi pendamping hidupnya adalah orang baik dan salih yang bisa membimbing hidupnya menjadi lebih baik lagi. Sementara Arya? Arya sama sekali tidak seperti itu. Arya mungkin pernah menjadi orang baik, tapi sekarang tidak lagi. Arya sudah berubah. Arya pernah menjadi pengedar narkoba dan dipenjara! Dipenjara! Seperti itukah pria yang baik untuknya?!
***
Hidup Arya menjadi goncang sejak kehilangan Hara. Sudah lebih dua tahun ia kehilangan komunikasi dengan Hara. Ia sudah sering menelepon ke rumah kos Hara, tapi teman-teman Hara bilang, Hara sudah pindah. Mereka tak mau memberitahu alamat Hara yang baru. Begitu juga ketika ia menelepon ke rumah Hara di Jakarta. Orang tua Hara bilang, Hara masih di Surabaya. Arya benar-benar putus asa. Ia merasa ditinggalkan begitu saja oleh Hara. 
Sementara itu, Hara berusaha sebisa mungkin menghindar dari Arya. Ia selalu berpesan agar orang tuanya tidak menyampaikan telepon dari Arya. Ia tak mau bicara dengan Arya dan memberinya kesempatan sedikit pun. Baginya, Arya sudah mati. Ia sudah melupakan pria itu dan tak akan mengingat-ingatnya lagi. Ia juga sudah tak mau mendengar apa pun tentang Arya dari siapa pun, termasuk dari Dita. Ia sudah minta maaf kepada Dita dan berharap Dita mengerti alasannya menjauhi Arya.
“Ya, ya. Aku mengerti, Ra. Aku mengerti  alasanmu. Mungkin, kalau aku jadi kau, aku bisa memahami jalan pikiranmu. Kamu bukanlah Hara yang dulu lagi. Kamu sudah menjadi Hara yang lain,” ujar Dita saat Hara berbicara dengannya di rumahnya. Siang ini Hara memang sengaja datang ke rumah Dita untuk mencairkan ketegangan di antara mereka akibat peristiwa lalu.
“Makasih, Dit, kalau kamu sudah mau mengerti. Aku jadi nggak enak hubungan kita jadi renggang gara-gara Arya.”
Udahlah, nggak pa-pa, tapi sekarang aku jadi tukang bohong, nih!”
“Tukang bohong?”
“Iya. Arya masih sering nanyain kamu. Karena aku nggak ingin kamu merasa terganggu, aku bilang saja kamu masih ada di Surabaya. Kamu kan ngambil jurusan fisika yang susahnya minta ampun. Jadi wajar aja kalau kamu belum lulus. Padahal sih, kamu sudah lulus dari kapan tau!”
Makasih, Dit. Aku jadi nggak enak nih ngerepotin kamu.”
“Aku udah nasehatin Arya agar berubah. Dia sekarang sudah berubah sedikit demi sedikit. Tapi aku nggak tahu apakah dia memenuhi harapanmu atau tidak.”
“Ah, sudahlah.”
“Arya pasti sudah benar-benar nggak ada di hatimu ya, Ra?”
“Aku rasa begitu. Kami kan sudah lama  nggak bertemu.”
“Kamu benar-benar sudah berubah.”
“Oh ya, hari Ahad besok aku ada acara di masjid biru. Mau ikut, nggak?”
“Acara apa?”
“Ada, deh. Pokoknya kamu ikut aja. Aku kan di sini belum terlalu punya banyak teman. Maklum, teman-temanku kan banyak di Surabaya.”
“Tau-tau! Masjid biru itu, masjid Pondok Indah, kan?” Dita memastikan. Hara mengangguk. “Boleh, deh. Nanti aku bilang Ariel ya biar dia ikut juga.” Dita tersenyum.
Hara melongo. Ariel?! Aduh…padahal ia tak mau ada makhluk bernama “lelaki” di antara mereka. Yah, apa boleh buat.
***
Bersambung....
klik di sini untuk baca lanjutannya yaa

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...