Monday, May 1, 2017

[Bisik-bisik Blogger] Penulis Fiksi & Halusinasi



Assalamualaikum. Alhamdulillah, akhirnya bisa menyentuh dashboard blogger ini lagi. Akhir pekan dan liburan May Day, tapi pekerjaan jalan terus. Alhasil, baru bisa curcol lagi di sini.


Seharusnya postingan ini untuk bulan April, tapi karena kesibukan jadi baru sempat di awal Mei ini. Seperti biasa, komentar terbaik di postingan ini akan mendapatkan hadiah spesial dari saya dan Mbak Eni Martini. Sampai kapan kami akan memberikan hadiah? Ya sampai stoknya habis. Makanya doain dapat stok hadiah terus ya hehe....

Kalau mau jadi sponsor yang kasih hadiah untuk tulisan kolaborasi ini, boleh juga tinggal DM di Instagram @LeylaHana. Oya, jangan lupa untuk follow juga IG @LeylaHana & @DuniaEni supaya nantinya bisa kami mention kalau komentarmu menjadi yang terbaik dan mendapatkan hadiah dari kami.

Dunia blogger itu nggak ada habisnya diomongin ya. Banyak postingan viral tentang blogger. Nah, belakangan ini banyak penulis yang beralih menjadi blogger, termasuk saya. Tapi saya masih tetap nulis buku kok, meskipun lambat. Bisik-bisik blogger kali ini membisikkan tentang penulis plus blogger yang membuat cerita fantastis di Facebook sampai banyak orang menyangsikan ceritanya, sehingga muncullah istilah HALU, yang merupakan singkatan dari Halusinasi. Sekarang facebooknya nonaktif setelah ketahuan ceritanya hanya fiktif. 

Setelah saya telusuri, ternyata dia suka menulis fiksi juga. Ya, seperti saya deh. Awal nyebur ke dunia penulisan, saya menulis fiksi karena suka mengkhayal, nonton sinetron, dan film Mandarin. Yap, penulis fiksi itu memang identik dengan pengkhayal. Kalau nggak mengkhayal, mana mungkin bisa keluar ide-ide cerita bombastis? 

Imajinasi adalah modal utama seorang penulis fiksi. Saking suka mengkhayalnya, dulu saya sering bengong. Kalau diajak ngobrol orang, saya lambat menerima karena sedang bengong. Calon mertua saya sewaktu tahu kalau saya seorang penulis fiksi, dia bilang, "kerjaannya mengkhayal tiap hari ya?" Suami saya pun pas awal nikah, masih sering nggak percaya dengan cerita saya. "Itu ceritanya bener atau bohong?"

Ya ampun. Sampai segitunya ya citra seorang penulis fiksi. Semua ceritanya dianggap khayalan alias bohong. Saya pernah kerja di sebuah majalah remaja yang konten utamanya adalah cerita fiksi. Otomatis, pegawainya juga bisa menulis cerpen semua. Nah, bosnya itu pernah curhat karena salah satu pegawainya itu seorang penulis cerpen yang cerpennya bagus banget. Ternyata di dunia nyata, cerpenis yang cerpennya bagus banget itu nggak asyik diajak ngobrol apalagi rapat. 

"Itu anak kok bengong terus. Matanya seperti kosong. Diajak diskusi, lama nyambungnya. Nggak seperti cerpennya yang bagus-bagus," kata si bos yang padahal dia juga penulis fiksi. 

Saya ngalamin sendiri ketika masih aktif menulis fiksi. Ide-ide banyak memenuhi kepala saya, sampai saya itu terus mengkhayal sepanjang jalan. Mungkin itu yang disebut orang dengan "bengong." Saya mulai berpijak di dunia nyata setelah menikah. Kehadiran suami saya benar-benar mengembalikan saya ke dunia nyata. Apalagi setelah lebih banyak menulis non-fiksi daripada fiksi. Sekarang sudah jarang banget mengkhayal. 

Dunia fiksi itu bagi beberapa orang menjadi semacam obat dan pelarian dari kenyataan yang tak seindah harapan. Eh, cieee.... Contohnya, kamu naksir dengan seorang cowok yang ganteng banget. Di dunia nyata, kamu dan dia sama sekali nggak ada hubungan apa-apa karena dia jauh dari jangkauan. Tapi kamu bisa mewujudkan harapanmu jadian dengannya di dunia fiksi! Ya iyalah, tinggal mengkhayal, beres. 

Di dunia fiksi, kita bisa menjadi apa saja, siapa saja, berada di mana saja, yang kita inginkan. Seperti penulis fiksi yang mengkhayal menikah dengan orang bule, tinggal di Perancis, punya anak kembar yang murni bule. Sah-sah saja, namanya juga fiksi. Namun, akan menjadi heboh manakala kehidupan fiktif itu dibuat seolah nyata sehingga orang-orang sulit membedakan ceritanya itu fiksi atau nyata? 

Misalnya begini. Di dalam novel, saya menulis tokoh utamanya itu (yaitu saya), tinggal di Perancis, menikah dengan orang bule, dan punya anak kembar. Itu kan fiktif, hanya ada di dalam novel saya. Kenyataannya, orang-orang tahu bahwa saya menikah dengan orang lokal asli Garut, punya anak 3 tapi bukan kembar, dan tinggal di Bogor. Orang bisa membedakan bahwa cerita di novel itu fiksi, karena mereka tahu bahwa kehidupan nyata saya tidak begitu. 

Lain halnya kalau, kita bercerita ke orang lain bahwa kita menikah dengan bule, tinggal di Perancis, dan punya anak kembar seolah-olah itu benar. Bagaimana orang bisa percaya dengan cerita itu? Karena kita menceritakannya di media sosial di mana kita sulit membedakan mana cerita asli atau palsu, kecuali kita datangi rumahnya dan buktikan kebenaran ucapannya. Saat ketahuan cerita itu bohong, kita tinggal nonaktif media sosial. Toh, nggak ada orang yang mau repot mendatangi rumah kita. 

Namun, kecenderungan mencampurkan khayalan ke dalam kenyataan itu harus diwaspadai karena bisa jadi pertanda kita mengalami halusinasi atau skizophrenia. Peringatan: banyak penulis fiksi yang bunuh diri karena gangguan psikologis ini, salah satunya Virginia Woolf, seorang penulis novel legendaris dengan karyanya Mrs.  Daloway yang sudah difilmkan. Dia didiagnosis menderita Bipolar Disorder yaitu pecah kepribadian dan perubahan emosi secara cepat. Tetapi dia juga mengaku sering mendengar suara-suara halusinasi yang merupakan ciri dari penderita Skizophrenia.


Membaca sejarahnya, kita tahu bahwa beliau meninggal karena bunuh diri di laut dengan cara memasukkan banyak batu ke dalam jaketnya sehingga tenggelam. Itu adalah percobaan bunuh diri ke sekian yang akhirnya berhasil menewaskannya. 

Konon, kisah-kisah di dalam novel yang beliau tulis adalah pergulatan pemikirannya yang ingin lepas dari tekanan di dunia nyata. Jika harapan dan keinginan itu diwujudkan di dalamnya karya fiksi, sah-sah saja. Orang tahu itu fiktif karena kita membuat tokoh fiktif yang bukan kita, dengan nama yang berbeda atau hanya mendekati serupa dengan nama kita.

Btw, tokoh-tokoh di dalam novel saya juga nama-namanya mendekati nama saya sampai teman saya dulu nebak begitu. Ada tokoh novel saya yang namanya Lila, sengaja memang mirip nama saya. Akan menjadi masalah kalau cerita fiksi itu kita bawa ke dunia nyata seolah-oleh itu benar. Orang pun sulit mempercayai kita karena kita suka bohong. Dan yang lebih parah adalah saat kita menjadi sulit membedakan mana fiksi dan mana nyata.

Saking seringnya berkhayal, kita jadi bingung sendiri. Bahkan bisa jadi, saat orang menyampaikan sesuatu ke kita, kita menambahi ceritanya itu dengan khayalan kita. Lalu kita ceritakan ke orang lain dengan cerita yang sudah kita tambahkan. Jatuhnya adalah fitnah kan. Contoh gampangnya, teman kita bercerita ke kita bahwa si X makan buah apel.

Berhubung kita sudah dalam fase kesulitan membedakan khayalan dan kenyataan, kita menambahi ceritanya dengan khayalan itu. Si X makan buah apel yang dikasih oleh si Y di Belanda, ternyata mereka diam-diam liburan ke Belanda berdua, padahal si Y sudah nikah. Jangan-jangan mereka selingkuh. 

Parahnya, cerita khayalan kita itu disebarkan ke orang lain yang jatuhnya fitnah. Nah lhooo. Waspada. Saat sudah dalam fase itu, lebih baik datangi psikolog. Bahasan soal skizophrenia, hanya psikolog yang bisa menjelaskan dan memberikan terapi. Beberapa gejalanya yaitu tidak dapat membedakan dunia nyata dan apa yang hanya ada di dalam pikirannya (khayalan), menarik diri dalam pergaulan, tidak dapat membedakan emosi (mau sedih atau gembira, ekspresinya sama saja), dan lain lain yang bisa dibaca di sumber terpercaya. 

Intinya, banyak penulis fiksi yang ternyata mengidap skizophrenia atau halusinasi parah, selain Virginia Woolf juga ada Jack Kerouac, novelis asal Amerika yang meninggal di usia muda, 47 tahun. Selain Skizophrenia, beberapa jenis gangguan mental lain juga perlu diwaspadai oleh para penulis fiksi. Ernest Hemingway, Edgar Allan Poe, dan Silvia Plath adalah beberapa penulis legendaris yang bunuh diri karena gangguan mental.



Jika merasa sudah sampai tahap gejala, sebaiknya langsung ke psikolog untuk berkonsultasi dan mendapatkan solusi yang lebih baik. Cerita tentang Halu lainnya, bisa dibaca di tulisan Mbak Eni Martini ini ya. Benarkah Berkhayal itu Berbahaya? 

Sumber: 
Virginia Woolf
http://mural.uv.es/ralolo/wwprolog.html Jack Kerouac 
http://www.schizophrenia.com/sznews/archives/001937.html



7 comments:

  1. Kasus schizophrenia memang menarik saat kuliah dlu saya mendapat materi ttg ini dan saya hanya pernah menemui orang gangguan schizophreia dengan kategori katatonik yang bisa diam tanpa gerakan untuk jangka waktu yang lama di RSJ.
    untuk kategori paranoid dg halusinasi seperti yang mba bahas saya blm bisa bedakan dy normal apa abnormal dari sisi fisik namun jika sdh hapal kebiasaannya saya baru tahu ia menderita schizophrenia.
    saya mengenal salah satu anggota keluarga dekat dmn ia mengidap schizophrenia n skrg blio sdh meninggal, blio berpendidikan bahkan menyabet S3 dan kebiasaan dirumah adalah menulis. seluruh pemikirannya ia tuangkan dalam tulisan. saya rasa pemikiran yang jauh berbeda justru mampu ia tuliskan dg baik meskipun sifatnya hanya fiktif krn mereka waham.

    ReplyDelete
  2. Menurut saya sih berkhahal itu sah-sah dan boleh" saja, karena berkhayal itu adalah anugerah tuhan yg bisa kita nikmati kapan pun dan dimana pun dan itu gratis haha. Tapi setelah tahu cerita mbak leyla hana bahwa berkhayal itu bisa sampai mengidap skizophrenia itu sih berbahaya juga ya ternyata, tapi yaa menurut saya lagi sih masalah seperti ini nih kembali lagi ke diri masing masing, bagaimana kita menyikapi diri kita dalam hal berkhayal jngan sampai mengidap skizophrenia. Hehehe

    ReplyDelete
  3. Klo fiksi sy brdsrkn curhatannya nyata dan kjadian2 yg d alami,,, mdh2an gk smp tahap yg ekstrim 😑

    ReplyDelete
  4. Saya bingung untuk membedakan antara fiktif dan hyperbola, apakah sama? Atau penulis fiktif memang tergolong memiliki sifat hyperbola?.
    Sering bengong, tidak fokus pada pembicaraan, terlihat tak peduli pada sekitar, sering saya alami dan banyak teman saya yang membenarkan kalau sifat saya seburuk itu. Padahal setiap kumpul sama teman atau sama keluarga, saya selalu membayangkan hal hal fiktif dari pembicaraan mereka.
    Misalnya, teman-teman saya membicarakan si A selingkuh, tanpa sadar saya langsung membayangkan dan membuat cerita dikepala tentang kejadian A selingkuh, walau kenyataan ceritanya tidak seperti yang saya bayangkan. Tapi seolah saya punya dunia sendiri didalam imajinasi saya. Tulisan ini membuka pikiran saya, terima kasih mba. Saya jadi mengerti diposisi mana diri saya, dan saya bisa mengontrol sejauh mana pikiran fiktif dan imajinasi saya, agar tidak merugikan diri saya kedepan.

    ReplyDelete
  5. buat aku penulis fiksi itu keren mbak, cerdas, susah lho mikirin cerita dan plotnya, asal jangan kebawa sama ceritanya aja ya hehe

    ReplyDelete
  6. Imagination is about art, I often imagine something when I am listen music or writings hehehehe

    ReplyDelete
  7. Menulis fiksi itu memang lebih cenderung kearah mengembangkan daya khayal menjadi sebuah kisah yang menarik untuk dibaca namun tidak semua karya fiksi berasal.dari khayalan saja. Ada beberapa penulis yang menulis cerita fiksi berdasarkan inspirasi mengenai kisah hidup orang lain. Seorang penulis fiksi harus mampu membedakan antara kenyataan dan tulisan. Sama saja seperti seorang penulis film atau skenario. Menurut saya,apapun dapat dijadikan tulisan asal tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Mau tulisan berdasarkan daya khayal ataupun tidak,sebatas tidak merugikan diri sendiri ataupun orang lain ya tak masalah. Saya yakin lambat laun, orang orang akan dpt membedakan mana kisah tulisannya dan yg mana kenyataan hidup penulisnya. Si penulis selalu dituntut utk tetap sehat jiwanya supaya tidak terseret oleh tulisannya sendiri.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...