Tuesday, April 10, 2012

Novel: Rara The Trouble Maker (3)


FALL IN LOVE

Ahad pagi, SMA 11 ramai oleh para siswa yang aktif di kegiatan ekstrakurikuler. Salah satunya adalah Rohani Islam. Masjid sekolah yang menjadi tempat bernaung aktivis Rohis kali ini juga dipenuhi oleh anak-anak Rohis yang sedang mengadakan syuro . Terdengar dari balik tirai, Taufik, ketua Rohis periode tahun ini, mengutarakan uraiannya.



“Syuro kita hari ini insya Allah untuk membicarakan bagaimana kegiatan Rohis ke depan. Yah, kita maklumi anggota kita sampai hari ini masih segini-segini saja, tapi bukan berarti jumlah yang minim menjegal langkah kita membuat pembaharuan. Hidayah memang milik Allah, tapi kita juga harus berusaha menjadi tangan Allah dalam memberikan hidayah kepada teman-teman kita itu. Oleh karena itu, jangan sampai kita berputus asa, karena yang dinilai Allah adalah proses bukan hasil. Sekarang, mari kita pikirkan kira-kira kegiatan apa yang bisa menarik teman-teman kita agar mau menerima kebaikan?”

“Ane punya usul. Gimana kalau lewat hiburan?” Imron mengajukan usul.

“Maksudnya?”

“Remaja kayak kita kan suka hiburan. Kajian-kajian keislaman bagi mereka pasti membosankan, makanya jarang yang datang. Gimana kalau kita mengadakan pentas seni?”

“Ane setuju! Nasyid atau teater pasti bagus! ” seru Norma.

“Ya… ya…itu usul yang bagus.” Taufik manggut-manggut.

Fitri teringat kata-kata kakaknya kemarin. Sekali-sekali bikin hiburan, dong. Ia tersenyum. Kak Doddy benar. Remaja tak suka jika disuruh berpikir yang berat-berat. Mereka lebih suka hiburan.

“Kayaknya bagus juga kalau kita memasukkan acara itu ke dalam salah satu kegiatan Ramadan,” katanya.

“Em… ya, insya Allah memang bagus. Tapi untuk Ramadan agaknya tidak bisa. Sudah terlalu banyak kegiatan,” kata Taufik.

“Yang penting kita punya lobi dulu. Dan yang pasti, kita punya SDM-nya, nggak?” tanya Imron.

“Selagi kita memikirkan itu, bagaimana kalau sekarang kita memulai dakwah fardiyah ?” tanya Taufik. “Mulailah untuk mencoba bergaul dengan orang-orang di luar kita. Berbaur tapi tidak lebur. Terutama yang akhwat. Saat ini kesannya akhwat itu ekslusif. Yang jilbaban gaulnya hanya dengan yang jilbaban. Asal kita tetap membentengi diri dengan iman, insya Allah kita bisa bergaul dengan mereka tanpa ikut terbawa. Justru kita yang membawa mereka ke kebaikan.”

Fitri tertunduk. Kejadian kemarin terlintas di benaknya.

BRUKK…! Jalan liat-liat, dong!

Fitri meringis. Bergaul dengan orang-orang seperti Rara? Bisakah?
***

DUG!

Rara memukul bola volinya yang kemudian ditangkis oleh Tina. Setiap hari Minggu, ia dan gengnya memang rajin menyambangi lapangan voli dan bermain di sana. Betty dan Wina juga datang, tapi tidak rutin. Mereka lebih senang melihat film kartun di rumah. Tapi hari ini, keduanya datang menemani Rara dan Tina.

“Wah! Nanti kalau udah mulai latihan PMR, nggak bisa ikut voli lagi ya?” tanya Wina.

“Latihannya sesudah PMR.” Tina menjawab.

“Lagian siapa yang mau ikut latihan PMR?” Rara bersungut-sungut.

“Ya… Rara. Serius, dong!”

“Iya! Iya! Bolanya, tuh!”

Betty berlari mengambil bola yang melambung jauh. Bola itu mendarat tepat di kaki siswa kelas dua, Tio.

Tio tersenyum sambil mengambil bola itu. “Wah! Asyik, nih! Dapet bola!” katanya.

Betty ikut tersenyum. Tio meringis. “Ngapain lu ikut senyum?. Udah, sana! Sekarang gantian senior yang main!”

Betty melongo. “Tapi… Kak?”

“Nggak ada tapi-tapian!”

“Ada apa, Bet?” Rara datang menghampiri. Hati Wina kebat-kebit melihat Tio, salah satu senior yang ditaksirnya.

“Udah, ya, adik-adik. Kalian kan sudah terlalu lama bermain voli. Sekarang gantian kakak-kakak,” kata Tio yang juga dikerubuti teman-temannya.

Rara mencibir. Kakak? “Sejak kapan gue punya kakak?” tanyanya, sinis. Tio terkejut mendengarnya.

“Gila! Nih cewek berani banget, Yo!” kata salah satu temannya.

“Yang sopan ya, Dek. Saya ini kakak kelas kamu!” Tio melotot. Rara mencibir lagi. Raut wajah itu terlihat jelas di mata Tio. Gadis ini meremehkannya.

“Sorry ya. Gue sih ogah nganggap elu kakak. Meski cuma kakak kelas.”

“Yes, Rara! Berjuanglah terus! Mereka tak boleh seenaknya!” dukung Tina, tentu dengan berbisik.

“Rara… baiknya kita pergi aja deh. Mereka kan cowok semua.” Betty ketakutan.

“Ra… itu kecengen gue, Ra….” Wina ikutan bisik-bisik.

“Kita tidak boleh takut, Ra!” Tina keukeuh mendukung.

“Sudahlah. Mau tidak mau kalian tetap yunior yang harus mengalah,” kata Tio sambil berlalu. Tapi…. TAP! Rara merebut bola voli itu. Tio dan teman-temannya terkejut.
“Wah! Berani banget nih, anak!” seru mereka.

Rara nyengir. Tio melotot. “Dek!” Amarahnya memuncak. Tapi sebelum perkelahian itu terjadi, seseorang di belakangnya, muncul.

“Sudahlah, Yo. Menghadapi cewek itu harus lembut. Bukan dengan kekerasan,” kata cowok itu.

Rara terpesona melihat cowok yang berdiri di samping Tio. Ya, ampun! Cowok itu ganteng banget! Lembut lagi! Cowok itu… tersenyum padanya!

“Dek… boleh kan kita pinjam bolanya sebentar?” tanya cowok itu.

Deg! Jantung Rara berdebar kencang. Seperti inilah seharusnya sikap seorang cowok! Rara ingin tersenyum. Tapi… gengsi juga sih kalau tiba-tiba hatinya melunak. Makanya, ia tetap pasang wajah judes.

“Kebetulan. Berdebat sama kalian lama. Kita juga mau makan dulu. Nih!” Ia Rara menyerahkan bolanya pada cowok itu, kemudian pergi. Semua bengong melihatnya. Sementara para senior berteriak-teriak senang, Tina, Betty, dan Wina menyusul langkah Rara yang cepat. Rara berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang merah.

“Ra! Gimana, sih? Masak lu kasihin bola itu sama mereka?!” Tina tak terima.

“Udahlah, biar aja. Percuma melawan Tio!” Wina membela.

“Iya! Gue aja takut liat sorotan matanya. Sadis banget!” cetus Betty.

Rara menghentikan langkahnya. “Gue bukan takut sama mereka. Gue cuma udah capek!” katanya, memberi jawaban.

Tina, Wina, dan Betty saling bertatapan. Mereka tak tahu kalau sebenarnya alasan Rara memberikan bola itu adalah karena ia telah jatuh cinta pada cowok misterius itu!
***

Terik matahari memerahkan wajah Fitri. Jilbab putihnya agak kotor terkena debu kemarau. Tadi di ujung gang, Doddy tidak menjemputnya. Padahal perjalanan dari pintu gang menuju rumahnya lumayan jauh. Doddy tidak bisa menjemputnya karena ada urusan. Kalau hepatitisnya kambuh, Doddy yang harus disalahkan. Begitu sampai di rumah, ia agak terkejut melihat motor butut kakaknya itu terparkir di depan rumah. Katanya ada urusan?

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam! Eh, Fit….” Doddy yang sedang duduk di ruang tamu bersama teman perempuannya, terlihat gugup.

Fitri melirik gadis cantik yang sedari tadi tersenyum itu. “Katanya ada urusan?”

Wajah Doddy merah. “Iya. Itu... tadi... baru jemput Wita dari tempat les.”

“Jadi... dia lebih penting ya daripada Fitri?” Fitri berbisik.

“Ini Fitri, ya? Kenalkan, saya Wita.” Gadis itu memotong percakapan Fitri dengan Doddy.

Fitri memasang wajah manisnya. “Iya. Pacar baru Kak Doddy?”

Doddy menyikut Fitri. “Hus!”

Wita tersipu.

“Saya masuk ke dalam dulu, ya?” Tanpa menunggu jawaban, Fitri bergegas masuk ke dalam kamar. Doddy dan Wita terlongo-longo. Fitri mengempaskan tubuhnya di kasur dengan kasar. Air matanya jatuh.

“Kak Doddy gimana, sih? Udah bagus putus sama Lina, eh, sekarang sama Wita. Kapan insafnya...?” gerutunya, sebal. Fitri berdiri dan menatap cermin. Ia menatap kembarannya itu. Tulang persegi yang dibalut dengan kulit putih kemerahan. Hidung mancung dan sepasang mata indah. Begitu pun Kak Doddy. Fitri cantik, Doddy ganteng. Jelas, cewek mana yang nggak takluk di kaki cowok playboy itu. Dan si playboy itu... kakaknya.... Ya Allah... tolong beri hidayah-Mu pada Kak Doddy....
***

Rara sedang asyik menyontek PR milik Gilang ketika Wina berlari menghampirinya.

“Rara! Buruan ngumpul!” teriak Wina.
“Ngumpul apa?”

“Kumpul PMR! Ada penjelasan dari senior! Buruan kalo mau ketemu Doddy!”
“Yang mau ketemu tuh gue apa elu?”

“Ayo dong, Ra... kita kan udah daftar, jadi kita harus dateng!”
“Gue belum ngerjain PR!”

“Kita kan dapet dispensasi!”

Seketika Rara menghentikan kegiatannya. “Maksudnya?”

“Kalo kita ikut rapat organisasi, kita boleh nggak ikut pelajaran.”

“Apa? Yang bener, nih?! Asyik! Yuk!” Rara langsung semangat.

Wina mencibir. “Huh! Giliran tau dapet dispensasi aja....”

Rara menarik tangan Wina. “Ayo, buruan!” suruhnya.

“Sekarang kok jadi elo sih yang nggak sabaran?”

“Yah, daripada dengerin omongan Bu Rani yang sadis, mendingan ikut PMR.”
***

Wajah Wina berlipat-lipat usai mengikuti pertemuan PMR. Ia berharap dapat bertemu Doddy di sana, eh ternyata yang ditunggu tidak datang.

“Sebel! Dia tuh males banget sih ikut rapat PMR!”

“Kasihaaan deh yang nggak ketemu...!” ejek Citra. Rara melotot. Citra tak berani berkomentar lagi.

“Sst... Wina! Doddy tuh!” seru Tina, tiba-tiba.

Wina langsung semangat. Tak berkedip matanya melihat Doddy yang tiba-tiba saja lewat di depannya bersama seorang temannya. Rara ikut terpesona. Bukan karena melihat Doddy, tapi melihat cowok yang berjalan di samping Doddy.

“Wih! Ganteng banget, ya!” pujinya.

“Bener kan, Ra?” Wina merasa bangga.

“Butterfly itu yang mana?”

“Itu, yang pake topi biru.”

Rara lega. Berarti cowok yang di samping Doddy itu bukan Butterfly. Aman…. Jelas saja, soalnya yang di sebelah Doddy adalah cowok yang tempo hari ditaksirnya itu!
***

“Hah! Elo malah naksir temennya?!” Wina tak percaya setelah pada jam istirahat Rara membuka rahasianya. Rara mengangguk. “Ih! Kirain lu naksir Butterfly juga! Padahal kan gantengan dia!”

“Yee! Terserah gue, dong! Selera orang kan beda-beda.”

“Iya. Tapi si Aditya itu kan orangnya sombong banget.”

“Jadi, namanya Aditya?” tanya Rara. Wina mengangguk. “Kok elu bisa tau sih namanya Aditya?”

“Cuma orang yang rajin bolos aja yang nggak tau Aditya. Dia tuh orang penting di OSIS!”

“Berarti gue nggak salah jatuh cinta!” Rara senang banget. Wina mencibir. “Heh! Mestinya elu seneng dong gue nggak naksir Doddy. Jadi kan kita nggak saingan!”
***

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...