Sunday, October 7, 2012

Tiga Proses Melahirkan: Tiga Pengalaman Menjadi Pahlawan

Dahulu, saya sendirian. Kini, tiga orang anak selalu mengikuti saya ke mana pun. Ketiganya terlahir dari rahim saya, melalui proses yang luar biasa. Ya, luar biasa, bagi saya. Juga bagi semua ibu yang telah mengalami proses melahirkan. Apa pun prosesnya, semua proses melahirkan adalah istimewa. Proses pertaruhan nyawa seorang ibu demi sebuah kelahiran baru, nyawa baru. 


Ketika belum menikah, saya merasa takut melahirkan (padahal  belum merasakan). Ketakutan yang didasari oleh cerita ibu-ibu yang sudah pernah melahirkan. Ketika akan menikah, saya meminta kepada calon suami, agar kelak tidak usah punya anak banyak-banyak. Penyebabnya tentu saja karena saya takut melahirkan. Kenyataannya, baru enam tahun menikah sudah punya tiga anak. Takut atau enak? :D 

Ternyata, meskipun keluar dari rahim yang sama, ketiganya melewati proses yang berbeda-beda. Berikut proses kelahiran masing-masing putra saya:

Ahmad Ismail Haniya
Putra pertama saya, yang lahir ketika saya masih terbatas pengetahuan. Hanya berdasarkan dari buku yang saya baca, dan cerita orang-orang. Kata mereka, melahirkan itu hanya seperti akan buang air besar. Tidak sakit, kok. Yah, berhubung belum tahu rasanya, percaya saja deh. Dua bulan sebelum melahirkan, saya sudah mengungsi ke rumah mertua. Terpaksa meninggalkan suami, karena khawatir melahirkan saat suami tidak ada di rumah. Kami hanya tinggal berdua di rumah mungil yang tanpa tetangga. Ada tetangga, tapi di depan gang. Belum terlalu kenal juga, karena baru pindah rumah. 

Agak tidak sabar menunggu kelahiran yang diprediksikan tanggal 3 Januari 2008. Maklum, anak pertama dan cucu pertama. Semua orang menunggu-nunggu. Saya pun sudah rindu pulang ke rumah suami. Kasihan suami saya, harus mengurus dirinya sendiri gara-gara ditinggal istri :D Dan mungkin karena pikiran itu, Ismail pun lahir lebih cepat. Maghrib, tanggal 11 Desember 2007, mulai terasa kontraksi. Ditemani ibu dan bapak mertua serta seorang adik ipar, naik mobil pick up, otomatis kami berempat duduk di depan semua. Ditambah penglihatan bapak mertua yang rabun senja, kami cemas bukan main. Padahal kontraksi yang saya rasakan masih ringan. Sampai di rumah bidan, baru pembukaan satu. Bidan menyuruh induksi. Waktu itu, saya menurut saja. 

Subhanallah... rasanya induksi benar-benar membuat trauma. Mulasnya luar biasa. Apalagi bidan memperkirakan induksi bisa berlangsung dua belas jam. Alhamdulillah, cuma tiga jam. Itupun saya sudah berpikir mau mati saja, saking tidak tahannya. Menyebut nama Allah dan almarhumah mama saya. Membayangkan penderitaan Mama dulu ketika melahirkan saya. Syukurlah, keputusan induksi itu tidak berdampak fatal. Belakangan saya tahu, kalau gagal, bisa operasi ceasar. Dan betapa Allah Mahabaik, karena induksi "hanya" berlangsung tiga jam. Sementara ibu-ibu lain, ada yang sampai berhari-hari. Itulah kali pertama saya menjadi pahlawan, "HERO", untuk anak saya. Melihatnya pertama kali, memang sekejab menghilangkan trauma melahirkan yang baru saja saya alami. Saya telah melahirkannya ke dunia. Menjadi perantara Allah, untuk memberikannya kehidupan. 

Ismail lahir melalui proses normal, induksi, 11 Desember 2007, jam 11 malam. 

Berat saat lahir 2, 62 kg, tinggi 50 cm. Wajahnya mirip kakek dari pihak saya. 


Ahmad Sidiq Aghniya
Putra kedua saya, yang lahir hanya setahun setelah kakaknya lahir. Katanya kapok, eh hamil lagi saat Ismail baru berumur tiga bulan. Itulah kuasa Allah. Sejak awal, bidan sudah mengatakan bahwa proses kelahirannya nanti akan lebih mudah, karena rahimnya masih longgar. Ah, saya jalani saja. Konsekuensinya memang lebih berat, karena harus mengasuh bayi dalam keadaan hamil. Ismail pun kehilangan ASI Eksklusif. 

Satu bulan menjelang kelahiran, kali ini saya mengungsi ke rumah orang tua sendiri, yang minus Mama. Biarlah hanya ada Ayah dan adik-adik saya. Saya merasa lebih nyaman di rumah orang tua sendiri, dan lagipula tidak terlalu jauh jaraknya dengan rumah suami saya. Ismail dititipkan ke rumah neneknya. Ini yang membuat saya sedih. Meskipun hanya terpisah dua bulan, Ismail sempat lupa dengan saya ketika bertemu lagi. 

Hari Perkiraan Lahir tanggal 28 Desember 2008, tapi di hari itu, Sidiq belum mau lahir meskipun sudah terasa kontraksi sejak tiga hari sebelumnya. Bidan menyuruh saya untuk banyak mengepel jongkok, mencuci jongkok. Tante saya pun menganjurkan untuk olahraga berdiri jongkok. Gunanya untuk memancing kontraksi dan membuka jalan lahir. 

Alhamdulillah, setelah tiga hari melakukannya, malam itu tanggal 30 Desember 2008, jam sembilan, saya mulai merasakan kontraksi teratur. Tiap 15 menit, kontraksi datang dan rasanya sakit sampai saya tidak bisa tidur. Pagi hari, jam setengah enam, kontraksi mulai pendek-pendek, dan saya merasa tidak bisa duduk maupun berjalan. Hanya sempat memakan satu potong pisang goreng, saya minta diantarkan ke bidan. Adik saya minta waktu untuk mandi dulu, tapi saya sudah tidak tahan. 

Sampai di rumah bidan, langsung masuk ke ruang bersalin. Subhanallah... bidan mengatakan bahwa sebentar lagi saya akan melahirkan. Paling cepat 10 menit, paling lama 30 menit. Adik saya tak menyangka, dipikirnya saya hanya mau periksa hamil. Dan benar saja, dalam waktu 30 menit, Sidiq lahir, melalui proses yang --benar kata bidan--mudah. Kontraksi alami memang lebih enak daripada induksi. Sidiq agak biru, karena ternyata dia sungsang dengan posisi bokong di bawah (maklum, tidak USG lagi.)  Hari itu, tanggal 31 Desember 2008, saya kembali menjadi pahlawan "HERO" untuk putra kedua saya. 

Sidiq lahir dengan proses kilat, 30 menit. Malam harinya disemarakkan dgn petasan tahun baru. 

Berat lahir 3,1 kg, tinggi 49 cm. Wajahnya mirip ayahnya. 


Muhammad Salim Luthfi
Inilah bayi yang baru tiga minggu lalu saya lahirkan. Di kala kakak-kakaknya masih balita. Terasa sekali kerepotannya, mengasuh dua balita sambil hamil. Di usia dua bulan, sempat bedrest karena demam dan ruam merah. Dan di usia 7 bulan, bedrest lagi di rumah sakit, karena nyaris lahir prematur. Alhamdulillah, lahir tepat waktu dan cukup bulan.

HPL tanggal 19 September 2012. Satu minggu sebelumnya, Senin, tanggal 10 September, sudah terasa kontraksi. Begitu diperiksa di bidan, kontraksi hilang dan baru bukaan 1. Balik lagi ke rumah. Bahkan saya masih sempat melayani tukang-tukang yang sedang merenovasi rumah dan mengantar kakak-kakaknya sekolah. Hari Sabtu, kontraksi lagi, diperiksa sudah bukaan 3. Sudah menginap di klinik selama dua hari. Bahkan, neneknya pun sudah datang dari Garut. Eh, kontraksi tidak maju-maju. Kembali pulang ke rumah. 

Saya merasakan ini proses melahirkan yang lebih berat dari sebelumnya. Dengan kontraksi yang lama, bahkan meskipun saya sudah melakukan semua cara induksi alami, dari berjongkok-jongkok, makan nanas muda, dll. Hingga saya usapkan air zamzam ke  perut, lalu meminumnya sambil membaca doa Nabi Yunus saat masuk ke perut ikan paus. Berkata kepada bayi, "ayo keluar Dek, jangan lewat HPL lama-lama nanti kamu diceasar." Soalnya, bidan juga mengatakan kemungkinan ceasar. Dokter menyarankan induksi, tapi saya kapok pas lahiran Ismail. 

Syukurlah, tanggal 19 September (benar-benar tepat HPL), jam 11 malam, ketuban pecah. Kontraksi terasa sakit. Sampai di klinik, kontraksi makin kuat. Bahagia, karena kali ini suami menemani melahirkan. Di dua kelahiran sebelumnya, tidak pernah ditemani karena masih di kantor. Ah, saya tidak seperti istri lain yang katanya mencakar-cakar suaminya saat kesakitan melahirkan. Saya malah ingin memeluk suami saya, hehe.... 

Akhirnya, harus diinduksi juga. Di bukaan enam, kontraksi induksi benar-benar menyakitkan. Hingga sampailah pada puncak perjuangan, Salim lahir dan langsung menangis keras. Saya kembali menjadi pahlawan "HERO" untuk anak ketiga ini. Ternyata saya bisa. Padahal, saya sempat ingin menyerah dan mau diceasar saja. Pengalaman melahirkan dua kali, tidak membuat saya kuat hati untuk maju ke "medan perang." Namun, Allah menakdirkan saya untuk tetap menjadi pahlawan bagi putra ketiga. 

Salim lahir ke dunia, dengan berat 3,2 kg dan tinggi 48 cm, wajahnya mirip Sidiq

Semua ibu adalah pahlawan bagi putra-putrinya. Dan meskipun anak-anak tak lahir dari rahimnya, ibu tetaplah pahlawan manakala mengasuh dan merawat putra-putrinya hingga mandiri. Saya dulu sendirian "ZERO", lalu menikah, menjadi dua bersama suami, dan kini menjadi pahlawan "HERO" untuk anak-anak saya. 




10 comments:

  1. Salam kenal kembali...
    Selamat ya mbak atas kelahiran anak ke3 nya. Semoga menjadi anak sholeh.

    Trima kasih atas partisipasinya Leyla Hana...Tercatat sebagai peserta Lovely Little Garden's First Give Away.

    ReplyDelete
  2. sama-sama, makasih, Bunda Niken...

    ReplyDelete
  3. seorang ibu emang pantas bgt jd Hero ya mbak.. Proses melahirkan apapun caranya itu suka bikin perasaan jd campur aduk ^^

    ReplyDelete
  4. Iya, mba Myra... semuanya menegangkan

    ReplyDelete
  5. Selamat yaa Mba Hana...wah putra lagi nich?? maaf nih baru mampir lagi...

    ReplyDelete
  6. makasih, mba indri..
    iya, laki-laki lagi :)

    ReplyDelete
  7. Subhanallah,diberkahi putra-putra yang tampan. selamat yaa mbaak.

    Sekali saya lihat blog mbak, langsung suka, dan banyak yang didapat dari sini.

    mbak benar-benar produktif dengan segala kesibukan masih aktif menulis dan menginspirasi. sekali lagi selamat atas kelahiran putranya mbak, salam kenal takzim :)

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, makasih Aya...
    ayo semangat menulis apa saja asal baik dan bermanfaat :)

    ReplyDelete
  9. Untuk membantu masyarakat Indonesia mendapatkan air penuh berkah ini, saya menyediakan air zamzam asli kemasan haji, harga 450.000/ 5 liter (silahkan kontak untuk update harga),, Bisa COD Surabaya ,085726947346
    www(dot)jualairzamzam(dot)com

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...