Saturday, October 1, 2011

Novel: TRUE LOVE (12)

DUA BELAS


Kegiatan di masjid biru hanyalah salah satu cara Hara untuk memperkenalkan Dita kepada Islam. Hara ingin, Dita mengkaji Islam bersamanya. Selain mengajak Dita mengikuti pengajian di masjid biru bersama remaja muslim di sana, ia juga mengajak Dita mengikuti acara-acara keislaman lainnya. Ia juga sering memberikan buku-buku Islam yang semakin membuka cakrawala berpikir Dita tentang Islam. Seperti Salwa yang mengajarkan banyak hal tentang Islam kepadanya, begitu juga ia kepada Dita. Ia ingin Dita pun merasakan manisnya Islam. Sejauh ini, Dita tidak protes diajak mengikuti kegiatan-kegiatan keislaman yang bagi sebagian besar orang membosankan. Hara pun merasakan betapa pentingnya dakwah dan tarbiyah untuk mengubah kepribadian seseorang. Tentunya mengubah  kepribadian orang itu ke arah yang positif. Dita berhak mengenal Islam yang sesungguhnya. Islam yang indah. Islam yang penuh segala hal yang positif. Hara ingin menjadi pribadi yang ikut berperan dalam penyebaran Islam melalui dakwah. Dita adalah sasaran dakwah pertamanya.
Selain Dita, sasaran dakwah Hara lainnya adalah anak-anak didiknya. Ia memang meintis karir sebagai pengajar. Awalnya ia mengajar di lembaga-lembaga bimbingan belajar yang berada tak jauh dari rumahnya. Lulusan fisika sepertinya, apalagi berasal dari perguruan tinggi negeri, tentu sangat dibutuhkan oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar seperti itu. Sambil mengajar, ia memasukkan nilai-nilai Islam yang diharapkannya dapat mengena ke dalam benak anak-anak didiknya. Betapa menyenangkan menjadi guru. Menjadi pembimbing yang mengarahkan banyak orang menjadi baik. Jalan itu juga yang diambil oleh Hasan Al-Bana pada awal dakwahnya dulu. Hara tak peduli meskipun uang yang dihasilkannya dengan menjadi guru hanya sedikit. Yang penting adalah amal yang ditanamkannya untuk akhirat nanti.
Kesibukannya bertambah saat ia menambah jam terbangnya dengan menjadi guru kontrak di sekolah-sekolah dan mengambil akta empat untuk mendapatkan lisensi menjadi guru sekolah. Yang paling membahagiakan adalah saat ia diterima di almamaternnya sendiri, SMA Mandala, sebagai guru bantu setahun kemudian. Kembali ke sekolah berarti  mengeksplorasi ingatannya kembali ke masa lalu. Masa ketika ia pertama kali bertemu Arya dalam sebuah tabrakan kecil di jalan menuju sekolahnya.
“Hei! Awas!”
“Aduuh…!”
“Maaf! Maaf! Saya kan tadi sudah bilang, awas!”
“Duh…kamu gimana, sih?! Lihat, lututku berdarah gara-gara kamu!!”
“Yah…saya kan sudah bilang maaf. Ayo, saya antar ke UKS!”
“Nggak! Nggak usah! Aduh…lagian kamu tuh aneh. Ke sekolah pake sepatu roda! Kalo nggak bisa pake sepatu roda, jangan pake sepatu roda! Norak amat, sih?!”
“Lho? Suka-suka saya, dong! Kok jadi sepatu roda saya yang disalahkan?”
“Ya iya! Kalau kamu nggak pakai sepatu roda, pasti nggak akan nabrak!”
“Kamunya aja yang nggak denger teriakan saya! Heh! UKS-nya di sana! Lukamu harus segera diobati, tuh! Woi! Nama kamu siapa?”
“Astagfirullah…!” Hara istigfar. Kenapa ia jadi teringat dengan Arya lagi? Gawat ini! Gara-gara datang ke SMA Mandala, memorinya tentang Arya terbuka kembali. Tidak! Ia harus mengenyahkan Arya dari ingatannya. Harus!
Arya menajamkan penglihatannya. Ia benar-benar tidak yakin dengan penglihatannya barusan. Benarkah sosok seperti guru yang berada tak jauh di depannya itu Hara…? Ha...ra…?! Astaga! Itu benar Hara! Dia yakin sekali. Seperti hari-hari kemarin, hari ini ia kembali datang ke SMA-nya dulu, SMA Mandala. Kenangan tentang Hara hanya bisa didapatnya di sini, di SMA ini. Kehilangan Hara selama tiga tahun ini membuatnya seperti orang gila. Ia masih belum bisa melupakan Hara. Setiap hari ia datang ke sekolah ini, memarkir motornya di depan sekolah ini, dan melihat sekolah ini dari luar. Orang asing sepertinya tentu saja tidak diperbolehkan berkeliaran di dalam lingkungan sekolah. Meskipun hanya dari luar, ia sudah merasa puas dapat memancing memorinya tentang Hara. Hara. Satu-satunya gadis yang dicintainya.
Bayangan Hara memang selalu datang setiap kali datang ke sekolah ini. Tetapi bayangan itu hanya semu. Tidak pernah menjadi kenyataan. Bayangan itu hanyalah ilusinya belaka. Namun sekarang, ia benar-benar melihat wujud Hara seakan nyata. Hara, di sana, di depannya, sedang berbicara dengan beberapa siswa SMA Mandala. Hara dengan jilbab lebarnya yang melambai-lambai ditiup angin serta pakaian dinasnya yang menampakkan jati dirinya sebagai seorang guru. Mungkinkah…? Mungkinkah itu memang Hara, gadis yang selama ini membuatnya gila? Arya harus mencari tahu. Kalau perlu mendatangi gadis itu. Sayang, ketika kesadarannya telah terkumpul, Hara berlalu meninggalkannya. Berlalu entah ke mana.
Akhirnya ia pun tahu bahwa gadis berjilbab lebar itu benar-benar Hara.
***
Hara tak pernah menyangka malam ini ia kedatangan tamu yang membuatnya terbelalak. Arya!! Arya datang ke rumahnya dengan sangat tiba-tiba. Hara beku. Ia terpaku cukup lama. Sekarang, ia tak dapat menyembunyikan diri lagi dari Arya. Arya sudah tahu kalau ia sudah lama lulus kuliah dan kembali ke Jakarta.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sudah lulus dan sudah kembali ke sini?” cecar Arya, tak memberi kesempatan bagi Hara untuk mengubah ekspresi wajahnya yang masih terpaku.
“Arya…,” Hara berkata, gamang, “maaf, aku….”
“Sudahlah. Aku senang kamu sudah kembali ke sini. Lupakan saja ucapanku tadi. Yang penting aku sudah bertemu denganmu sekarang. Boleh aku masuk?” tanya Arya. Hara meringis. Dari tadi Arya memang masih berada di depan pintu rumahnya. Ia ragu apakah mengijinkan Arya masuk atau tidak.
 “Masuk,” ajaknya, enggan. Arya tersenyum senang. Melihat Hara saja ia sudah senang bukan main. Harapannya yang semula kabur, menjadi terang.
Hara dapat merasakan degub jantungnya yang tak menentu. Pertemuan yang tak disangka-sangka ini benar-benar membuatnya gemetar dan berkeringat dingin. Ia tak mengharapkan pertemuan ini. Arya baginya sudah mati. Ia tak mau pertemuan ini membangkitkan kembali cerita cinta di antara mereka.
“Em, kapan kamu lulus, Ra?”
“Satu setengah tahun yang lalu.”
“Satu setengah tahun yang lalu?! Kok kamu nggak bilang-bilang sih kalau lulus?”
“Aku…aku kan tidak tahu berapa nomor teleponmu.”
Arya menepuk jidat. “Oh ya! Aku lupa! Kan aku yang selalu meneleponmu, ya?! Ya sudahlah. Yang itu juga lupakan saja. Yang penting sekarang aku sudah bertemu denganmu.”
Hara ingin pembicaraan ini berakhir. Ia tak mau bicara panjang lebar dengan pria yang memungkinkan penyakit hatinya kambuh.
“Ya, aku melihatmu di sekolah. Makanya aku datang ke sini,” kata Arya.
“Jadi…kamu melihatku di sekolah?” Hara terkejut.
“Iya, anak-anak memanggilmu ‘Bu Sarah’, kan? Kenapa nama panggilanmu di sekolah jadi ‘Sarah’?”
“Rasanya aneh kalau aku dipanggil Bu Hara.”
Arya manggut-manggut. “Padahal, aku lebih senang kamu dipanggil ‘Hara’. Dalam pelajaran Biologi dulu dijelaskan bahwa tumbuhan memerlukan unsur hara untuk hidup. Kamu masih ingat, kan?”
“Apa hubungannya unsur hara dengan namaku?”
“Aku juga memerlukan unsur hara untuk hidup.”
Hara terkesiap. Ia mengerti sekarang. Arya mulai bicara yang tidak-tidak. “Aku…aku mau ambil makanan dulu, ya? Nggak enak. Masa tamu cuma dikasih air minum,” Hara bangkit dari duduknya.
“Eh, Ra! Nggak usah! Duduk aja sini!” Arya mencegahnya pergi. Hara manyun. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Semoga Arya tahu diri untuk pergi. Sayang, Ayah sedang menginap di rumah Hamidah. Jadi tidak bisa menemani Arya mengobrol. Biasanya para lelaki mempunyai topik obrolan yang sama.
“Kan nggak enak, Ya….”
Udah, nggak pa-pa. Hari minggu besok, kamu ada acara, nggak? Aku mau mengajakmu nonton film,” Arya menyebut judul sebuah film remaja yang sedang tenar saat ini. Hara melongo mendengarnya. Masa ia menonton film ABG yang isinya cinta-cintaan  yang tidak jelas itu ?
“Aku…aku tidak mau. Itu kan film untuk ABG.”
“Oh, jadi sekarang kamu sudah bukan ABG lagi, ya?”
“Iyalah. Kita kan sudah dua puluh empat tahun. Iya, kan?”
“Heh, Non. Kamu lihat deh di bioskop. Yang ngantri film itu nggak hanya ABG. Banyak kok seumuran kita yang nonton!”
“Iya, tapi aku nggak suka. Aku nggak suka nonton film seperti itu.”
“Oke deh. Terus, film jenis apa  yang kamu suka? Harry Potter?  Boleh!”
“Aku tidak suka nonton film!” Hara kehilangan kesabaran.
Arya terperanjat. Terus terang baru kali ini Hara membentaknya. “Oke, deh. Aku ngerti sekarang. Mana mungkin ibu guru sepertimu suka nonton film? Em…kalau gitu kita jalan-jalan aja, ya?”
“Sebenarnya, aku tidak punya waktu, Ya. Hari minggu itu aku ada acara pengajian sama teman-temanku.” 
“Pengajian? Oh, iya! Cewek alim seperti kamu pasti aktif di pengajian, ya?”
Kayaknya sudah malam deh, Ya. Tidak enak kalau seorang laki-laki bertamu ke rumah seorang perempuan sampai malam-malam begini. Apalagi di kompleks perumahanku ini, masyarakatnya masih saklek. Aku takut kita nanti difitnah,” Hara mengusir dengan halus. 
Arya melihat jam di dinding. Jarum jam memang sudah menunjukkan  pukul sembilan malam. “Seharusnya aku datang sore-sore, ya? Aku pikir, kamu pasti sibuk bekerja.” Arya bangkit dari duduknya. Hara  menghela napas lega. Akhirnya ia bisa mengenyahkan Arya dari rumahnya. “Makasih ya, Ra. Sorry kalau kamu terganggu. Assalamu’alaikum.”
Wa’alaikumsalam.” Hara menutup pintu rumahnya rapat-rapat, berharap agar Arya tidak datang kembali ke rumahnya.
***
Hara memandang hampa wajahnya sendiri di foto. Foto wisudanya kemarin memang ia gantung di dinding kamarnya. Di sana, ada dia dengan pakaian wisudanya. Ia sungguh beruntung bisa lulus kuliah dalam waktu empat setengah tahun. Waktu yang relatif singkat bagi mahasiswa jurusan fisika sepertinya. Teman-temannya bahkan banyak yang belum lulus. Salah satunya adalah Santi. Kasihan sekali. Santi yang dulu berbangga-bangga dengan pacarnya, sekarang harus menuai buah dari pergaulan bebasnya itu. Di saat mahasiswa-mahasiswa lain sibuk mengerjakan skripsi, Santi sibuk mengurus bayinya yang lahir di luar nikah. Ia cuti kuliah untuk waktu yang tak ditentukan. Ia juga tak pernah muncul lagi di kampus. Padahal dulu ia lumayan aktif di BEM fakultas. Mungkin ia malu karena hamil di luar nikah. Semua mahasiswa tahu ia menikah karena hamil lebih dulu.
Hara bersyukur dijauhkan Allah dari hubungan bebas seperti itu sehingga tak perlu menuai akibatnya. Ia semakin yakin bahwa pacaran sebelum menikah lebih banyak buruknya daripada baiknya. Ia tidak membagi waktunya untuk pacaran. Ia membagi waktunya untuk kegiatan yang bermanfaat. Belajar dengan benar dan bermanfaat bagi orang lain dengan mengabdi di Rohani Islam. Ia lulus dengan cepat dan sekarang pun ia sudah bekerja. Ia juga telah memenuhi harapan kakaknya dengan memakai jilbab.  Hidupnya bisa dibilang lurus-lurus saja. Konflik yang terjadi hanya bagaikan kerikil-kerikil kecil yang tak membuat langkahnya terhenti. Ia memang belum menikah, tapi itu bukan masalah baginya. Usia dua puluh empat baginya bukanlah usia rawan yang mengharuskannya untuk segera menikah. Namun, itu bukan berarti ia menunda pernikahan. Ia pun ingin menikah, tapi jodohnya belum datang.
Jantung Hara berdebar kencang. Bagaimana kalau Arya-lah jodohnya? Oh, tidak! Hara tak ingin munafik. Sejujurnya, Arya sekarang bukanlah tipe pria idamannya. Ia ingin pria yang satu pikiran, satu pemahaman, dan satu ide dengannya. Sementara Arya? Masa lalu Arya yang kelam membuatnya berpikir ribuan kali. Apalagi, Arya bukan seorang sarjana sepertinya. Ah, tidak! Seharusnya bukan itu yang dijadikan ukuran oleh Hara dalam memilih calon suami. Tapi, itu benar-benar datang dari hatinya. Okelah. Ia tidak menerima Arya karena Arya bukan calon suami yang baik untuknya. Arya pernah dipenjara karena mengedarkan narkoba dan sangat emosional. Sifat Arya itu masih jelas terlihat sampai sekarang. Ia tidak mau menikah dengan pria seperti itu. Suami adalah kepala rumah tangga. Suami harus bisa memimpin keluarga dengan baik. Apakah Arya bisa seperti itu? Lagi pula…apa benar Arya ingin serius dengannya? Bagaimana kalau di luar sana Arya punya banyak wanita lain? Hara kan tidak tahu benar kehidupan Arya sekarang.
Pokoknya, Hara tidak mau berjodoh dengan Arya. Ia merasa dirinya jauh lebih baik daripada Arya. Ia harus menjauh dari Arya bagaimana pun caranya.
***
Bersambung....
klik di sini untuk baca lanjutannya yaaa

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...