Thursday, October 6, 2011

Novel: TRUE LOVE (16)

ENAM BELAS




Usai salat Istikharah, Hara semakin mantap untuk membatalkan pernikahannya dengan Bimo. Ia yakin dengan keputusannya ini. Ia tahu, memutuskan masalah seperti ini sangat berat dan membutuhkan pertimbangan yang matang. Semua pernak-pernik pernikahan telah siap dan semua orang yang berhubungan dekat dengannya juga sudah tahu bahwa ia akan menikah. Tidak mudah membatalkan rencana pernikahan yang tinggal di depan mata. Namun, kalau dibandingkan dengan prinsip yang harus dikorbankan jika pernikahan tetap dilangsungkan, tentu semua itu tak berarti. Apalagi setelah mendengar bahwa Bimo pun memiliki keputusan yang sama terhadap masalah ini. Bimo juga merasa ragu untuk melanjutkan rencana pernikahannya dengannya.
“Berdasarkan primbon, ternyata tanggal pernikahan kita yang paling baik adalah lima bulan lagi, ukhti Hara,” ujar Bimo pagi hari ini di telepon. Hara menghela napas. Ia terdiam cukup lama. Di seberang sana, Bimo juga terdiam. Ia tahu, menunda pernikahan dalam waktu yang cukup lama tidaklah baik.
Ana tahu, ukhti pasti keberatan. Afwan, ukhti. Mungkin ini jawaban dari salat istikhoroh kita. Kalau ana boleh jujur, sebenarnya sejak awal ana sudah ragu. Tapi ana tidak mau menurutkan perasaan ana. Siapa tahu itu cuma godaan setan. Ana berusaha untuk memantapkan niat ana menikah dengan ukhti. Siapa sangka jadinya begini? Ana tidak kuasa untuk menolak permintaan ibu ana. Ibu ana adalah orang yang keras. Kalau dia bilang tidak merestui pernikahan kita, selamanya dia tidak akan merestuinya. Pernikahan tanpa restu orang tua itu tidak baik, bukan?” Bimo menguraikan panjang lebar. Hara hanya tertunduk mendengarnya. Air matanya menetes satu-satu.
“Iya. Saya juga mengerti. Mungkin kesalahan juga ada pada saya sendiri. Ya sudah kalau memang harus terjadi, terjadilah. Mungkin Allah belum menilai saya cukup dewasa untuk menikah,” ujarnya pasrah.
Afwan, ukhti. Semoga hubungan kita di masa mendatang tetap baik.”
“Saya juga minta maaf, Akh. Terutama atas apa yang dilakukan teman saya kepada akhi waktu itu.”
“Oh, tidak apa-apa. Semua ada hikmahnya. Assalamu’alaikum.
Wa’alaikumsalam.”
***
Hara termangu di kamarnya sendiri. Ia merenungkan apa kesalahan yang telah dibuatnya sehingga Allah membalasnya sedemikian rupa. Mungkin karena angannya yang melambung tinggi tentang pernikahan itu sehingga tiba-tiba Allah mencabutnya kembali. Ia ingat betapa bahagianya ia saat pertama kali ta’aruf dengan Bimo. Di matanya, Bimo adalah sosok ikhwan yang sempurna. Kriteria suami idamannya ada pada Bimo. Tanpa sadar ia bahkan berbangga hati bahwa memang Bimo-lah pria sepadan yang cocok berdampingan dengannya. Tingkat pendidikan, latar belakang keluarga dan tingkat religiusitas mereka sama. Memang seharusnya pria seperti Bimo-lah yang menjadi pendamping hidupnya.
Astagfirullah...! Hara istigfar. Tidak seharusnya ia berpikir demikian. Mungkin Bimo memang pendamping yang pantas untuknya, tapi apakah dia pendamping yang pantas untuk Bimo? Ia begitu sombong dan angkuh. Ia merasa dirinya baik sehingga mengecilkan sosok Arya yang bukan seorang sarjana sepertinya dan bekas narapidana. Ia sangat sombong! Sombong. Sesuatu yang sangat dibenci Allah. Hanya Allah yang berhak sombong. Sedangkan ia? Ia hanya manusia yang diciptakan dari air yang kotor dan setiap hari membawa kotoran dalam perutnya. Dia tidak pantas untuk sombong! Sangat tidak pantas. Hanya Allah yang tahu siapa hamba-Nya yang terbaik.
Arya. Ia tahu Arya sungguh-sungguh mencintainya. Tapi bukan cinta itu yang ia inginkan. Ia ingin cinta yang bersih dan tulus. Cinta yang dapat menjadi jalan untuk menggapai cinta sesungguhnya. Bukan cinta yang tergesa-gesa dan emosional. Andai Arya telah memahami arti cinta yang sebenarnya. Sekarang Hara berada dalam kegalauan. Bagaimanakah caranya menanggapi cinta Arya? Haruskah ia menanggapinya? Atau membiarkan Arya terpasung oleh cintanya?
***
Arya tersenyum melihat Ariel masih setia menemaninya. Di saat-saat seperti ini, seorang teman yang setia memang sangat dibutuhkan. Ibu dan adik-adiknya yang tinggal di Yogya tidak sempat datang untuk menjenguknya karena tidak ada biaya. Hanya Ariel dan Dita yang beberapa hari ini menemaninya sejak ia dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan beberapa hari yang lalu. Kecelakaan yang terjadi usai bertengkar dengan Hara. Ia memang sangat emosi waktu itu sampai memacu motornya dengan sangat kencang. Sebuah mobil dari arah berlawanan menghantam motornya. Ia terluka parah. Untung tidak sampai gegar otak. Sebelum motornya tabrakan, ia memang lebih dulu menjatuhkan dirinya sendiri.
Alhamdulillah kamu nggak koma, Ya. Kalau koma, mungkin bisa berbulan-bulan kamu dirawat.” Ariel mengucapkan syukur.
“Iya. Gue bersyukur banget. Mungkin ini hukuman buat gue karena udah ngejar-ngejar Hara yang mau nikah.” Arya tersenyum hambar. Ariel prihatin mendengarnya. Kasihan Arya. Cinta telah membutakan matanya. Seharusnya sejak dulu ia mengajarkan pada Arya tentang arti cinta sebenarnya. Yah, sejak ia sendiri tahu bahwa cinta yang hakiki hanya ditujukan kepada Allah SWT.
 “Makasih ya, Ril. Lu udah mau nemenin gue. Sebenarnya...gue juga mau minta maaf sama Hara karena udah mengganggunya malam itu. Sekarang gue yakin bahwa jodoh sepenuhnya ada di tangan Allah. Siapa yang mau disatukan Allah, maka mereka akan bersatu. Tapi siapa yang tidak, maka mereka tidak akan bersatu. Seharusnya gue belajar lebih banyak lagi dari lu.” Arya tertawa kecil.  Ariel tersenyum mendengarnya. Mudah-mudahan ini adalah awal yang baik buat Arya.
Dita datang dengan senyum di bibir.
 “Alhamdulillah kamu sudah baikan, Ya. Ini ada titipan dari Hara,” katanya sambil menyodorkan secarik kertas yang tadi diberikan Hara kepadanya. Arya menerima secarik kertas itu dengan tangan gemetar. Hara....
 Sebelum mentari terbit dari Barat dan sebelum semua pintu tobat ditutup, masih ada kesempatan untuk kita menjadi lebih baik lagi. Dan semua yang Allah berikan sebenarnya adalah yang terbaik untuk kita. Hanya kita saja yang tidak memahaminya.
Arya tertegun usai membaca tulisan di dalam kertas itu. Di depannya, Dita dan Ariel berpandangan.
“Hara juga minta maaf karena perkataannya waktu itulah yang membuatmu mendapat kecelakaan.”
“Ya. Sudah sejak awal dia kumaafkan. Tolong ucapkan terima kasih atas nasehatnya ini, ya. Aku juga minta maaf karena sudah menganggunya dan sudah membuat calon suaminya babak belur.”
Dita mengangguk. Hara sudah menceritakan masalah itu kepadanya. “Hara juga minta maaf karena dia sudah tak bisa menemuimu lagi meskipun hanya sebagai teman.”
“Ya, ya. Aku tahu. Aku memang tak boleh menemuinya lagi karena dia akan menikah. Bagaimanapun, hati kami tak bisa dibohongi.” Arya menerima dengan ikhlas. Ariel terlihat heran mendengarnya. Bukankah pernikahan Hara dibatalkan? Pertanyaan itu baru terjawab dalam perjalanan pulang ke rumah bersama istrinya.
“Hara sudah memutuskan untuk melupakan Arya selama-lamanya. Ia tak ingin hatinya goyah lagi. Jadi, sebaiknya kita tak perlu memberitahu Arya bahwa rencana pernikahan Hara telah dibatalkan agar Arya tidak lagi mengingat-ingat Hara,” ujar Dita.
“Yah, mungkin sebaiknya begitu. Arya bertekad untuk berubah menjadi orang baik. Alangkah bagusnya kalau niatnya itu karena Allah, bukan Hara. Iya, kan?” Ariel menatap istrinya, mesra.
 Dita mengangguk. “Semoga mereka mendapat jodoh mereka masing-masing,” ujarnya, pelan.
***
Hara menghela napas lega. Bus yang membawanya ke Surabaya mulai berjalan cepat setelah sempat terjebak kemacetan tadi. Hara telah memutuskan untuk pindah ke Surabaya. Keputusan yang berat mengingat karirnya di Tangerang sudah bagus. Namun, demi kebersihan hatinya, terpaksa ia menuruti nasehat Salwa. Kalau ingin benar-benar melupakan Arya dan terlepas dari bayang-bayang pria itu, maka ia harus pergi jauh dari pria itu untuk waktu yang tak dapat ditentukan. Salwa telah mencarikan pekerjaan untuknya di Surabaya. Tak jauh-jauh dari profesi sebelumnya, guru. Rencananya ia akan mengajar di sebuah Sekolah Dasar Islam Terpadu. Lagipula di Surabaya, di mana ia bisa dekat dengan teman-teman aktivis, teman-teman satu pemikiran, hatinya menjadi lebih tenang dan tidak tergoyahkan oleh sesuatu yang sepele.
Bukan. Bukan karena Hara merasa Arya tak sepadan dengannya sehingga ia melarikan diri dari Arya. Tapi karena ia merasa ia dan Arya masih harus sama-sama belajar memaknai cinta. Cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tak terburu oleh nafsu.
***

TAMAT

30 November 2004

------------------------------------ 
Alhamdulillah, sudah selesai...
masih mau baca novel saya yang lain?
ikuti kisah Paquita dalam novel "Come to Me, Paquita...."
Klik di sini yaa....


1 comment:

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...